Dalam rangka persiapan UUPA

1. Dalam rangka persiapan UUPA

Harus dipahami terlebih dahulu bahwa gagasan restruktu- risasi penguasaan sumber-sumber agraria telah diusung jauh-jauh hari oleh para pendiri bangsa dan menjadi tuntutan umum di ne- gara-negara yang baru saja bebas dari kolonialisme. Di negara- negara Asia maupun Timur Jauh, tuntutan ini menjadi isu politik utama setelah mereka terlepas dari kekuasaan kolonial. Mereka merasakan perlunya segera dibuat perundang-undangan yang mengurangi biaya sewa tanah dan untuk memberi jaminan atas

terciptanya kondisi keamanan tenurial (security of tenure). 53 Pada gilirannya tujuan peraturan itu adalah untuk memfasilitasi transfer kepemilikan tanah kelebihan maksimum kepada kaum

tani penggarap. Pada masa Jepang, “reforma agraria” sebenarnya telah di- lakukan melalui inisiatif rakyat sendiri. Rakyat melakukan reklaiming, pendudukan, dan kemudian mengolah perkebunan- perkebunan yang sebelumnya dikuasai oleh orang-orang Eropa terutama Belanda. Pada masa Jepang banyak orang Eropa yang dimasukkan ke dalam kamp-kamp internira, terbunuh, atau pu- lang ke negara asal mereka. Tindakan penguasaan oleh rakyat itu ditoleransi oleh Jepang, bahkan diperoleh dukungan agar tanah

51 Ibid. 52 Ben white, op.cit., hal. 115-118. 53 Klatt, W., “Agrarian Issues in Asia”, International Affairs (Royal Institute

of International Affairs), Vol. 48, No. 3 (Jul., 1972), hal. 395-413.

Melacak Sejarah Pemikiran Agraria eks-perkebunan tersebut ditanami tanaman tertentu seperti

tanaman yang menghasilkan minyak. 54 Toleransi semacam itu dilanjutkan ketika memasuki periode

kemerdekaan. Sikap toleransi itu dapat dikatakan sebagai “persepsi kolektif” kala itu, sambil menunggu payung hukum agraria nasional segera dibentuk. 55

Setahun setelah kemerdekaan RI, pada tahun 1946 upaya restrukturisasi yang dilakukan pemerintah secara legal adalah upaya menghapus desa-desa perdikan di Banyumas yang elite- elitenya menguasai sebagian besar kepemilikan tanah di desa. Penghapusan desa perdikan ini didasarkan pada UU No. 13 Tahun 1946. Selanjutnya adalah masalah tanah konversi, tanah sewa, erfpacht, dan konsensi landbouw.

Hal penting yang perlu dicatat adalah upaya trans- fer/pembagian tanah dari elite ke rakyat sebagai konsekuensi penghapusan desa perdikan dilakukan dengan ganti rugi, sebagai- mana ganti rugi yang diberikan nantinya pada upaya nasiona- lisasi perkebunan-perkebunan milik orang Eropa pada tahun 1958. Artinya, Reforma Agraria itu dipandu oleh negara (state led land reform ) dengan skenario ganti rugi dan upaya meminimalisir konflik sedemikian rupa.

Pada tahun 1948 dilakukan pembagian tanah-tanah eks perkebunan Belanda di Yogyakarta kepada organisasi tani. Demi- kian, upaya restrukturisasi penguasaan sumber-sumber agraria itu terus bergulir di level pemerintahan dan semangat untuk menyu- sun payung hukum pertanahan nasional segera dilakukan.

Berbagai seminar, kajian, dan diskusi dipersiapkan untuk merumuskan Hukum Tanah Nasional (HTN) yang berlangsung secara terus menerus, yakni tahun 1948, 1951, 1956, 1958, dan 1959. Periode ini memunculkan banyak nama yang terlibat di dalamnya, seperti Sarimin Reksodihardjo, Singgih Praptodihar-

54 Simak, misalnya, Shigero Sato, War, Nationalism, and Peasants Java Under the Japanese Occupation 1942–1945 (Australia: Allen & Unwin, Ltd., 1994).

55 Gunawan Wiradi, “Agrarian Reform Movement in Indonesia: Past and Present”, tt, 2005, hal. 3.

Ahmad Nashih Luthfi djo, Notonagoro, Soewahjo, Soenarjo, Sadjarwo, KH. Zainal

Arifin, Boedi Harsono, dan lainnya, serta berbagai kelembagaan seperti Universitas Gadjah Mada, Departemen Agraria.

Secara berturut-turut, penyiapan penyusunan Undang- Undang Pembaharuan Agararia (UUPA) melahirkan beberapa kepanitian: “Panitia Agraria Yogya”, “Panitia Agraria Jakarta”, “Panitia Soewahjo”; dan dua rancangan: “Rancangan Soenarjo”, dan “Rancangan Sadjarwo”. Inti dari penyusunan dasar-dasar Hukum Agraria/Hukum Tanah baru itu adalah untuk menggan- tikan Hukum Agraria warisan pemerintah kolonial. 56

Melalui Penetapan Presiden No. 16 Tahun 1948, dibentuklah Panitia Agraria yang dikenal sebagi “Panitia Agraria Yogya”. 57 Ketuanya adalah Sarimin Reksodihardjo. Tugas panitia itu lebih bersifat persiapan, menghimpun berbagai pemikiran ke arah penyusunan hukum agraria baru, pengganti hukum kolonial 1870.

Panitia Agraria Yogya terbentuk dengan Penetapan Presiden Republik Indonesia No. 16 dan 17/1948. Panitia ini berpendapat bahwa untuk mewujudkan masyarakat makmur yang bebas dari penindasan, harus ada pembatasan luas tanah ke bawah dan ke atas. Belum ada ketetapan angka yang dapat dipakai untuk selu- ruh Indonesia. Di Jawa direncanakan minimum 2 ha dan maksi- mum 10 ha. 58

56 Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan UUPA, Isi dan Pelaksanaannya, Jilid 1 (Jakarta: Djambatan, 2007 [edisi ke-11]), hal. 125.

Uraian mengenai kepanitian dan rancangan ini dapat disimak dalam Gunawan Wiradi, Reforma Agraria, Perjalanan yang Belum Berakhir (Bogor dan Bandung: Sajogyo Institute, KPA, dan AKATIGA, 2009 [cetakan ke-dua]), hal. 82-86.

57 Tentang panitia ini simak, Iman Soetiknjo, Proses Terjadinya UUPA: Peranserta Seksi Agraria Universitas Gadjah Mada (Yogyakarta: GMU Press, 1987).

58 Moch. Tauchid, Masalah Agraria sebagai Masalah Penghidupan dan Kemakmuran Rakyat Indonesia (Yogyakarta: Pewarta, 2009), hal. 503. Angka “2

hektar” dan “10 hektar” masih menjadi “misteri”. Angka itu muncul dari tulisan berbahasa Belanda anonim yang sampai saat ini tidak diketahui siapa penulisnya. Lihat juga uraian Ben White dalam lingkar belajar LIBRA, Pusat Kajian Pedesaan UGM, 13 Juli 2008. Penentuannya didasarkan pada penghitungan agronomis semata, dan mengindahkan faktor aplikatifnya untuk kasus Jawa. Maka tidak mengherankan bahwa salah satu kesimpulan Wolf Ladejinsky atas kegagalan pelaksanaan UUPA adalah tidak realistisnya angka tersebut.

Melacak Sejarah Pemikiran Agraria Tahun 1950-an melalui prakarsa Menteri Pertanian,

Soenaryo, dibuat Rancangan Undang-undang Agraria. Berbagai simposium di beberapa kota diadakan untuk menggodoknya. Tanggal 1 Agustus 1960, RUU baru hasil kerjasama Departemen Agraria, Panitia Ad Hoc DPR, dan Universitas Gadjah Mada diajukan ke DPR-GR. RUU itu akhirnya disetujui DPR-GR pada tanggal 24 September 1960 dalam Lembaran Negara No.104 Tahun 1960 sebagai Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, atau dikenal dengan istilah Undang-undang Pembaharuan Agararia (UUPA). UUPA ini kemudian diikuti oleh Peraturan Pemerintah pengganti Undang-undang No.56 Tahun 1960 (yang dikenal dengan un- dang-undang land reform). Sejak saat itu tanggal 24 Sepetember 1960 (hari lahirnya UUPA) ditetapkan sebagai “Hari Tani”. 59

Redistribusi tanah tidak serta merta dapat dilaksanakan sebab setahun kemudian pemerintah disibukkan dengan penyia- pan pembentukan panitia landreform, pengadilan landreform, dan pendanaan landreform. Baru pada tahun 1962 dapat dilaksanakan dengan tahapan pertama di Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara. Ta- hap kedua yang direncanakan adalah landreform di kawasan Su- matera, Kalimantan, Sulawesi, dan lainnya. Dalam perkem- bangannya, rencana ini gagal dilaksanakan. Pada tahun 1965 terjadi huru-hara politik di tingkat nasional dan pembantaian rakyat di pedesaan-pedesaan, sesuatu yang kemudian membuat semua usaha mewujudkan landreform itu berhenti.

59 Lihat, Iman Soetiknjo, Politik Agraria Nasional: Hubungan Manusia dengan Tanah yang Berdasarkan Pancasila (Yogyakarta: UGM Press, 1994 [cetakan

keempat]). Di masa Orde Baru, tanggal itu tidak lagi disebut dengan “Hari Tani” melainkan “Hari Ulang Tahun UUPA”. UUPA hanya dilihat sebagai “peristiwa” di masa lalu, bukan sebagai bukti dari kemenangan dan keberpihakan terhadap kaum tani. Hingga saat ini penyebutan itu masih bertahan di lembaga pemerintah.

Ahmad Nashih Luthfi

Tabel 10. Daftar Tanah yang telah Dibagikan dalam Landreform Tahap pertama di Jawa dan Sunda Kecil 60

Kategori Luas tanah

Luas tanah Jumlah tanah

Jumlah

garapan

dibagikan penerima (ha)

65.132 100.477 kelebihan Tanah

8.610 29.324 absentee Tanah

73.566 73.566 79.850 kerajaan Tanah