Cultuurstelsel dalam perdebatan
4. Cultuurstelsel dalam perdebatan
Kebijakan cultuurstelsel paling banyak mendapat minat para sejarawan, baik sejarawan Indonesia maupun asing. Masing- masing tidak jarang menghasilkan temuan dan kesimpulan yang saling bertolak belakang. Perbedaan kesimpulan tersebut disebab- kan oleh keragaman perspektif yang dipakai, beban sejarah yang mengendap di masing-masing sejarawan, aspek apa dan lokalitas mana yang dikaji, lapis masyarakat mana yang dianggap men- dapat pengaruh/dampaknya, kapan studi dilakukan, dan data apa yang digunakan. Kesimpulan pokok kajian itu secara singkat da- pat digolongkan dalam dua kutub: di satu pihak sistem itu dinilai negatif, di sisi lain dianggap positif. Pihak pertama menerjemah- kan sistem itu sebagai Sistem Tanam Paksa, pihak kedua cukup menyebut dengan Sistem Tanam.
Robert van Niel mencoba membuat pemetaan umum ten- tang historiografi cultuurstelsel. 36 Periode pertama mencatatkan beberapa nama. Van Soest dan van Deventer yang menulis pada tahun 1860-an, menilai secara kritis dengan menyatakan bahwa sistem itu berdampak negatif bagi penduduk. Pierson dan Cor- nets de Groot mengutuk cultuurstelsel, sebagaimana van Vollen- hoeven yang dengan cermat melihat bahwa sistem itu telah menghancurkan sistem kepemilikan tanah. Konsep kepemilikan individu sebelum cultuurstelsel diakui dalam masing-masing hu- kum adat, kemudian berubah menjadi kepemilikan kolektif da- lam bentuk pengalokasian tanah yang dikelola oleh desa (1/5 diperuntukkan tanaman ekspor). Meski dalam periode yang sa-
35 Robert van Niel, “Fungsi Sewa Tanah pada Masa Sistem Tanam Paksa di Jawa”, dalam Robert van Niel, Sistem Tanam Paksa di Jawa (Jakarta: LP3ES,
2003), hal 4-5. 36 Lihat, Robert van Niel, “Warisan Sistem Tanam Paksa bagi Perkemba-
ngan Ekonomi Selanjutnya”, Robert van Niel, Ibid, hal. 261-265.
Melacak Sejarah Pemikiran Agraria ma, Clive Day menilai positif sistem tersebut. Penilaiannya ada-
lah sebuah perkecualian. Pada periode kedua, terdapat nama de Kat Angelino yang menilai secara lunak sistem itu. J.S. Furnival dalam sebuah magnum opus dengan analisa ekonomi liberalnya memberi uraian baik positif dan negatif. Sementara D. H. Burger mengakui bahwa Sistem Tanam Paksa telah mendorong banyak perubahan yakni upaya defeodalisasi dan membuat desa menjadi terbuka oleh sistem ekonomi Barat. Catatan statistik Mansvelt yang kemudian dilanjutkan oleh Creutzberg menyajikan berbagai ke- majuan yang disebabkan sistem tersebut. Bahkan tanpa ragu C. Gerretson menyatakan bahwa sistem itu merupakan “kemurahan hati terbesar” yang dilimpahkan oleh negeri Belanda kepada tanah Hindia.
Reinsma yang menulis pada tahun 1955 mewakili contoh pada periode ketiga. Ia mengangkat gagasan Sistem Tanam Paksa yang meninggalkan perbaikan yang cukup mencengangkan, teru- tama terkait dengan kesejahteraan masyarakat Jawa. Fasseur dan van Niel sendiri mengakui bahwa pada mulanya ia dipengaruhi oleh gagasan-gagasan periode kedua, namun selanjutnya mereka menyimpang dari gagasan awal seiring dengan data baru yang ditemukan dan sejumlah pertanyaan-pertanyaan baru yang muncul.
Meski begitu, penghampiran terhadap kasus lokal melahir- kan kesimpulan bahwa apa yang disebut dengan Sistem Tanam Paksa itu dalam kenyataanya di lapangan membentuk berbagai wajah yang variatif sesuai dengan kebijakan lokal (melalui resi- den dan pejabat lokal lainnya), keragaman ekologis, dan susunan masyarakatnya. Ia bukan sistem yang tunggal dan seragam dari tingkatan gagasan di pusat (oleh Van Den Bosch) sampai dengan pelaksanaannya di berbagai lokasi di lapangan. Robert van Niel menyimpulkan pertama, sistem itu sesungguhnya adalah rangkai- an akomodasi setempat dengan kebiasaan peraturan lokal; kedua,, sistem itu telah memompa banyak uang ke tengah masyarakat. 37
37 Ibid, hal. 254.
Ahmad Nashih Luthfi Berbagai perdebatan itu dapat kita sebut sebagai Debat
Agraria Pertama di Hindia Belanda. Perdebatan itu terkait de- ngan bagaimana sumber-sumber agraria diolah dalam aktivitas ekonomi semi-merkantilistik, pembentukan modal, peningkatan produksi dan pendapat negara, tenaga kerja, dan pembangunan ekonomi pedesaan. Berbagai isu itu menggiring pada kesimpulan yang bertolak belakang, negatif dan positif.
Memberi penyimpulan pada berbagai isu itu, Robert van Niel dengan tegas menyatakan bahwa dari segi pembentukan mo- dal, Sistem Tanam Paksa hanya memberi keuntungan bagi pemo- dal besar: penduduk desa bertanah luas, pengusaha perkebunan swasta yang mengkontrak pada pemerintah maupun penguasa tradisional (di vorstenlanden, misalnya), dan pemilik tanah parti- kelir.
Dengan demikian dapat dipahami mengapa pada masa ini tidak terjadi pembentukan modal domestik yang mampu meng- gerakkan roda industrialisasi pedesaan. Berbagai keuntungan yang diperoleh dari sistem itu sebagai sebuah kesempatan baru, hilang begitu saja (missed opportunity). Hal senada juga dinyatakan oleh Howard Dick bahwa kegagalan itu disebabkan pertumbuhan industri awal yang terlalu menyebar sehingga tidak mampu me- lakukan aglomerasi ekonomi yang signifikan. Pasar domestik terlalu kecil untuk menjadi leading sector baru, sementara rezim perdagangan kolonial menguasai berbagai bentuk dorongan sub- stitusi impor, setidaknya sampai dengan tahun 1930-an. 38
Demikian pula menyangkut tenaga kerja murah. Sistem Tanam Paksa berjalan dengan cara mendasarkan pada sistem lama yang telah ada terkait dengan pengerahan tenaga kerja. Ti- dak hanya mempertahankan kerja corvée, namun juga menambah
38 H. W. Dick, “Nineteenth-century Industrialization: A Missed Oppor- tunity?”, dalam J. Thomas Lindblad (ed.), New Challenges in The Modern Economic
History of Indonesia: Proceeding of the First Conference in Indonesia’s Modern Economic History, Jakarta, October 1-4, 1991 (Leiden: Programme of Indonesian Studies, Leiden University, 1993), hal. 124, atau yang telah diterjemahkan, H. W. Dick, “Industrialisasi Abad ke-19: Sebuah Kesempatan yang Hilang?”, dalam Thomas J. Lindblad (ed.), Sejarah Ekonomi Modern Indonesia, Berbagai Tantangan Baru (Jakarta: LP3ES, 2000), hal. 178.
Melacak Sejarah Pemikiran Agraria dengan pelayanan tanam oleh pekerja pedesaan bagi tanaman
dagang pemerintah. Akumulasi kapital yang diperoleh dari pelaksanaan Sistem Tanam Paksa di pedesaan selama kurang lebih 40 tahun meng- alami backwash atau tersedot kembali ke negeri induk Belanda. Ditambah lagi dengan performa sistem yang lebih memberi gambaran betting to the strong, sehingga beberapa kelompok sosial lapis ataslah yang mendapat keuntungan darinya.
Ekonomi pedesaan cenderung memberi kesempatan pada ke- lompok atas sehingga bertambah kuat dan mengorbankan kepe- milikan tanah pribadi warga desa. Alih-alih mempersempit perbe- daan sosial di desa, Sistem Tanam Paksa justru semakin memper- tajamnya. Ketika sistem memperkuat kembali peranan elite tradisional desa, desa menjadi basis produksi dan unit subsisten masuknya Jawa dalam perekonomian dunia. Desa telah meno- pang negara induk dan keberlangsungan negara jajahan. Sekitar 823 juta gulden sepanjang 40 tahun itu telah masuk ke dalam kas Kerajaan Belanda. Pengintegrasian desa-desa di Jawa ke dalam sistem ekonomi pasar membuat exsploitative mode of colonial production berjalan semakin efektif, demikian kalimat penutup Robert van Niel dalam bukunya. 39
Pedesaan Jawa diposisikan sebagai sumber ekstraksi atas surplus kapital (extraction of capital surplus) bagi negeri Belanda. Sebagaimana ungkapan Fasseur, “Dengan Cultuurstelsel, van den Bosch menemukan emas di Jawa seperti Musa mengeluarkan air
dari bebatuan di padang gersang”. 40 Jawa lebih menjadi sumber penyuplai komoditas dari pada pasar bagi barang-barang Eropa. 41 Cultuurstelsel benar-benar telah memberi berbagai perubahan, namun bukan kemajuan pada pedesaan Jawa (changes without progress ), suatu gambaran yang terulang kembali pada satu abad
39 Robert van Niel, op.cit., hal. 293. 40 Fasseur, hal. 24, dikutip dari Andrew Mack, Rethinking the Dynamics of
Capital Accumulation in Colonial and Post-Colonial Indonesia: Production Regulation, Disertasi Ph.D. pada Departemen Ekonomi, Universitas Sydney, 2001, hal 62.
41 Andrew Mack, Ibid. hal 71-72.
Ahmad Nashih Luthfi berikutnya. Sajogyo merangkum perubahan yang terakhir ini
dalam istilah “modernization without development”.