Wong cilik- nya Soekarno

3. Wong cilik- nya Soekarno

Istilah wong cilik memuat berbagai kategori sosial. Ia bersifat partikular sesuai dengan konteks lokal dan kapan istilah itu digunakan. Istilah itu lebih merujuk pada pernyataan ideologis

daripada penjelasan sosiologis. 33 Perbedaan antara wong cilik dan 30 Lihat paragraf penutup Bab 5 dalam naskah tersebut.

31 Sartono Kartodirdjo dalam disertasinya mengutip buku ini untuk bab satu-nya. Anehnya, ia tidak menghadirkannya kembali untuk buku-buku

utamanya tentang historiografi. Dari pelacakan daftar pustaka dan indeks, tidak disebut nama maupun judul penelitian tersebut.

32 Meskipun dua partai politik telah lahir pada tahun 1920-an, namun ti- dak ada organisasi berbasis kaum tani yang muncul. Tidak seperti di negara-nega-

ra lain, di Indonesia ironis sekali kaum intelektual dan tokoh pergerakannya tidak mengangkat isu agraria sebagai isu politik mereka. Lihat, Jan Breman, “The Village in Focus”, dalam Breman, P. Kloos dan A. Saith (Eds.), The Village in Asia Revisited (J.C. Delhi: Oxford University Press, 1997), hal. 15-75.

33 John Sullivan, dikutip dari Arif Aris Mundayat, Ritual and Politics in New Order Indonesia: A Study of Discourse and Counter-Discourse in Indonesia , Disertasi

pada School of Social and Life Science, Swinburne University of Technology, 2005, hal. 2.

Melacak Sejarah Pemikiran Agraria wong gede bukan hanya disebabkan faktor kepemilikan kekayaan,

sehingga dengan itu menjadikan wong gede superior dan wong cilik inferior, namun lebih menjadi persoalan objektifikasi “kelompok atas” terhadap “kelompok bawah” yang memungkinkan pembe- daan sosio-kultural dilakukan. 34

Lantas seperti apa imajinasi sosiologis 35 Soekarno tentang wong cilik dalam masyarakat Indonesia? Setidaknya dalam 3 tuli- san yang terhimpun dalam buku Dibawah Bendera Revolusi (“Mar- haen dan Marhaeni”, “Marhaen dan Proletar”, dan “Mentjapai Indonesia Merdeka”), Soekarno menjelaskan siapa wong cilik itu. Ia menyebutnya dengan istilah Marhaen, suatu nama yang diam- bilnya dari seorang petani bernama Marhaen yang dijumpainya

di Cigelereng dekat Bandung. 36 Petani itu mengolah lahan sempit yang dimilikinya sendiri, melarat tetapi bukan proletar sebagai- mana dalam istilah Marxis.

Imajinasi wong cilik Soekarno melalui “pengalaman berte- munya” ia dengan Marhaen mengkonfirmasi pemahamannya tentang struktur kelas pedesaan yang berasal dari Karl Kautsky. 37 Berbeda dengan pendirian Lenin yang mengatakan bahwa proses kapitalisme di pedesaan akan menghilangkan kelas petani di pedesaan (de-peasantization), Kautsky berpendapat bahwa yang terjadi adalah peminggiran masyarakat tani (peasantry) dan bu-

kannya lenyap sama sekali. 38 Marhaen yang dijumpai Soekarno adalah petani yang bukan “tanpa alat produksi sama sekali” sebagaimana proletar-Marxis, namun masih “memiliki dan meng- usahakan tanah yang sempit”.

34 Arif Aris Mundayat, Ibid. 35 Tentang bagaimana massa “dibayangkan” dan “didistorsi” secara epistemologis dalam ilmu sosial, lihat W. F. Wertheim, Elite Perception and The Masses , Department of South and Southeast Asia Kajianes, Sociology and Anthropology Center, Amsterdam University, 1984

36 Nama Marhaen tidak lazim digunakan oleh orang Sunda, kecuali jika benar bahwa nama itu hasil kreasi Soekarno, akronim dari Marx, Hegel, dan

Engels. 37 Ben White, op.cit., hal. 112.

38 Gunawan Wiradi, op.cit., hal. 121.

Ahmad Nashih Luthfi Jika Kautsky dengan pemahaman itu berujung pada saran

untuk menetralisir kaum tani sebab tidak progresifnya mereka akibat proses kapitalisasi di pedesaan 39 , maka begitupun juga pendapat Soekarno. Menurutnya, secara umum yang disebut Marhaen adalah bukan hanya petani namun juga kaum buruh, dan kaum melarat Indonesia yang lain, “misalnya kaum dagang ketjil, kaum ngarit, kaum tukang kaleng, kaum grobag, kaum

nelajan, dan kaum lain-lain” 40 , akan tetapi yang menjadi bagian besar sekali dalam perjuangan kaum Marhaen adalah kaum proletar (kaum buruh). Sebab, lanjutnya:

“Kaum proletarlah yang kini lebih hidup didalam ideologi-modern, kaum proletarlah jang sebagai klasse lebih langsung terkena [sic.] oleh kapitalisme, kaum proletarlah jang lebih ‘mengerti’ akan segala-galanja kemoederenan sosio-nasionalisme dan sosio- demokrasi”. 41

Selain itu, menurut Soekarno kaum tani akibat dari feodalisme masih dihinggapi alam fikiran mistis, kolot, kuno dan meyakini datangnya “Ratu Adil” yang kelak akan menolong na- sib mereka.

Cara pandang Soekarno terhadap petani dengan proletar memang sangat berlainan. Meski dia, sebagaimana disebut di muka, adalah perkecualian dari para tokoh pergerakan yang menaruh perhatian pada isu dan kondisi agraria, namun pemahamannya tehadap struktur sosial pedesaan tidaklah meng- gambarkan adanya diferensiasi internal. Ini sangat berbeda de- ngan pandangannya tentang kaum proletar. Dalam tulisan “Ka- pitalisme Bangsa Sendiri”, ia menyadari adanya diferensiasi in- ternal itu: tuan-tuan bangsa sendiri yang ikut “menyengsarakan buruh”. Cara produksi kapitalisme memisahkan kaum buruh dari alat produksinya, yang mengakibatkan “meerwaarde” (surplus value ) jatuh ke tangan majikan, juga mengakibatkan kaum buruh

39 Ibid. 40 Soekarno, “Marhaen dan Proletar”, dalam Dibawah Bendera Revolusi,

(Panitya Penerbit Dibawah Bendera Revolusi, 1964), hal. 254. 41 Ibid.

Melacak Sejarah Pemikiran Agraria industri batik, rokok kretek, dan lainnya di negeri Mataram, La-

weyan, Kudus, Blitar, hanya menerima 10 hingga 20 sen sehari. 42 Namun demikian, cara pandang yang mengabaikan

diferensasi sosial masyarakat tani itu tidak lebih “strategi politik” Soekarno yang lebih mengedepankan “kesatuan identitas” masyarakat Indonesia dan mengalihkannya pada bentuk perjuangan melawan kolonial. Jika diferensiasi itu ditunjuk- kannya, maka bisa jadi membahayakan proses integrasi dan bangunan nasionalisme yang selalu dipropagandakannya. Potensi adanya pertentangan kelas dalam masyarakat pertanian-pedesaan dialihkan menjadi pertentangan antara colonizer dengan colonized. Ideologi memang seringkali tidak bersepadan dengan realitasnya. Dan Soekarno telah berstrategi memilih-milih mana yang mung- kin untuk dimunculkan sebagai realitas, dan mana yang diabai- kannya.

Demikian juga pemikiran Soekarno tentang gerakan perem- puan. Kaum Marhaeni tidak perlu dipisah-pisahkan dengan kaum Marhaen sebab akan memperlemah gerakan. Ia menyeru- kan agar “satu massa aksi, jangan dipisah-pisahkan”. 43

Cara pandang Iwa Kusuma Sumantri dan Soekarno dalam melihat sejarah Indonesia, khususnya realitas pedesaan, dengan menghadapkannya pada pertumbuhan kapitalisme sangatlah menarik untuk diperhatikan. Jika benar bahwa penulisan sejarah Indonesia dengan cara menghadapkannya pada pertumbuhan kapitalisme dalam metodologi Marxis atau ekonomi politik telah (di)hilang(kan) selama beberapa dekade dalam historiografi Indonesia, apakah pengabaiannya telah berlangsung sejak awal sebelum terjadi peristiwa 65?

Seminar Sejarah Nasional I pada tahun 1957 tidak memun- culkan secara eksplisit bagaimana analisa Marxis digunakan. Ber- bagai prasaran tentang periodisasi dan perdebatan tentang filsa- fat sejarah (nasional) juga tidak mencerminkan kecenderungan historiografi Marxis. Moh. Ali sebagai salah satu pemrasaran ke-

42 Soekarno, “Kapitalisme Bangsa Sendiri”, dalam Ibid., hal. 181-182. 43 Soekarno, “Marhaen dan Marhaeni”, dalam Ibid. hal. 247.

Ahmad Nashih Luthfi tika mengusulkan periodisasi Indonesiasentris tidak pula mem-

beri sinyal ke arah sana. 44 Padahal dalam beberapa tulisannya yang terbit tahun 1950, ia bersimpati pada dua cara pandang atas sejarah Indonesia “secara Komunistis” 45 . Ia menunjuk dua nama, Tan Malaka dan S. J. Rutgers.

Dalam tulisan itu Moh. Ali menyajikan periodisasi sejarah berdasarkan “politik ekonomi”. 46 Ia menunjukkan periodisasi

Tan Malaka dalam buku Massa Actie-nya, sebagai historiografi yang didasarkan atas “rakyat-jembel Indonesia dan bahwa sejarah

yang dilukiskan itu memang sejarah rakyat jembel”. 47 Tan Malaka membuat 5 babakan zaman. Dua Zaman terakhir adalah Zaman Belanda yang berisi dua periode, yakni imperialisme

Kuno dan Imperialisme Modern, dan Zaman Perebutan Kekuasaan antara Kelas Jembel dan Kaum Imperialisme.

Sementara Rutgers dengan faham Komunisnya menyajikan periodisasi sejarah Indonesia berdasarkan “produksi, yaitu cara produksi, cara menghasilkan sesuatu”, dan bagaimana “perkem- bangan sistem penggunaan modal dan cara menghasilkan ba-

rang”. 48 Moh Ali menyimpulkan, “Membaca Massa Actie maupun

44 Simak Laporan Seminar Sejarah (Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada, 1958), terutama hal. 54-55. Seminar Sejarah I tahun 1957 di UGM, Yogyakarta,

ini dihadiri oleh D.N. Aidit sebagai ketua Partai Komunis Indonesia yang disertai Njoto. Sementara bertindak sebagai sekretaris panitia pelaksana adalah Drs. Busono Wiwoho yang juga menjadi ketua Himpunan Sarjana Indonesia. Pemberitaan kehadiran pimpinan PKI ini dimuat dalam Harian Rakjat, Kamis 19 Desember 1957.

45 Bukunya semula berjudul Sedjarah Nasional dan diterbitkan kembali men- jadi Pengantar Ilmu Sejarah Indonesia (Yogyakarta: LKiS, 2005). Dalam kesem-

patan lain ia menyebutnya Marxis (historiografi Marxis). Dua nama yang ditam- bahkannya sebagai “sejarawan Marxis” adalah D.N. Aidit dan A. Guber. Meski begitu, ia mengkritik keduanya sebagai “agak terlampau bebas menggunakan fakta-fakta demi tujuan mereka”. Moh. Ali, “Beberapa Masalah tentang Historiogarfi Indonesia”, dalam Soedjatmoko, dkk. (Ed.), Historiografi Indonesia, Sebuah Pengantar (Jakarta: Gramedia, 1995), fn. 48, hal. 376.

46 Maksudnya adalah ekonomi politik. 47 Moh Ali, 2005, op.cit., hal. 176. 48 Ibid., hal. 177.

Melacak Sejarah Pemikiran Agraria Indonesie 1 karangan Rutgers membawa alam baru tentang bebe-

rapa segi dari sejarah Indonesia”. 49 Dengan uraian di atas dapat dinyatakan bahwa akar-akar

historiografi Indonesiasentris semula lebih kuat dorongan “ima- jinasi sosiologisnya” (yakni tentang siapa yang seharusnya dina- rasikan dalam sejarah) daripada “metode eksplanatif” (multi- dimensi ilmu sosial), “penggunaan sumber” (non-filologis), dan “aspek”-nya (non-politik). Rintisan ke arah itu mula-mula dikecambahkan oleh mereka, diakui atau tidak, para “sejarawan” yang berperspektif “Marxis-Komunis”.