Malthusian, Perang Dingin, dan Modernisme

B. Malthusian, Perang Dingin, dan Modernisme

Secara teoritis yang mendasari munculnya program Revolusi Hijau adalah teori Thomas Robert Malthus (1766-1836). Teori Malthus (Malthus theory) mengatakan bahwa peningkatan pro- duksi pangan mengikuti deret hitung (aritmetik: 1, 2 , 3, 4...), sementara pertumbuhan penduduk mengikuti deret ukur (geo- metrik: 1, 2, 4, 8,..). Artinya, jumlah manusia mengalami per- tumbuhan cepat (over-population) sehingga melampaui pertum- buhan produksi pangan. Jika demikian, maka kelaparan menjadi ancaman yang nyata. Karenanya, solusi harus segera ditemukan, dan jalan keluarnya adalah: “teknologi”.

Pada masa Perang Dunia II, argumen serupa digunakan rezim Nazi Jerman. Bukan dengan cara meningkatkan produksi sebagai jalan keluar yang dipilihnya, namun dengan cara keji terhadap nyawa manusia, yakni apa yang disebut dengan praktik eugenics 6 . Praktik ini adalah suatu legitimasi saintifik dalam mendiskriminasi ras lain dan orang yang dianggap menderita

5 Dikutip dari Sediono M.P. Tjondronegoro, “Revolusi Hijau dan Perubahan Sosial di Pedesaan Jawa”, makalah untuk Seminar Perubahan Sosial

dan Demokrasi Pedesaan , PAU Studi Sosial, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 11-13 Desember 1989.

6 John H. Perkins, op.cit., hal 133. Praktik eugenics modern sebagaimana prinsip neo-Malthusian adalah kontrol kelahiran terhadap rakyat miskin oleh

kelas menengahnya. Kampanye penggunaan alat kontrasepsi, tidak jarang dilakukan secara paksa, mengasumsikan bahwa keluarga miskin akan cenderung menghasilkan anak yang “feeble-minded” sehingga menjadi problem sosial: prostitusi, gelandangan, dan kejahatan. Bandingkan, Eric B Ross, “The Malthus Factor Poverty, Politics and Population in Capitalist Development”, The Corner House Briefing 20: Poverty, Politics and Population, July 2000, hal. 5.

Ahmad Nashih Luthfi defisiensi mental (yang menurutnya berasal dari keluarga mis-

kin). Maka manusia-manusia semacam itu harus dibunuh agar yang tersisa hanyalah manusia-manusia “terpilih”.

Para intelektual Amerika dalam iklim politik tahun 1945- 1955 hingga suasana Perang Dingin melahirkan gagasan yang mengakui hubungan skematik antara over-populasi, keletihan sumber daya (resource exhaustion), kelaparan, instabilitas politik, bahaya komunisme, dan perang. Teori ini disebut dengan “Popu- lation-National Security Theory”

(PNST). Dalam teori ini, kelaparan dilihat sebagai akibat dari over-populasi dan keletihan sumber-daya, yang akan mendorong terjadinya keletihan sumber- daya selanjutnya dan instabilitas politik. Pembiakan dan pembe- nihan tanaman (plant breeding) dinilai sebagai obat penolong bagi bencana kelaparan, sebab sains dapat meningkatkan produksi pangan dan stabilisasi benih. 7

Konteks politik dan pengembangan teori ini menjadi pen- ting bagi pemahaman dibangunnya riset-riset dan program pertanian di Asia Tenggara. Sebagai bagian dari politik Perang Dingin, Revolusi Hijau di beberapa kawasan Asia Tenggara dipilih sebagai strategi untuk menggantikan landreform yang sela- ma beberapa tahun sebelumnya (di)identik(kan) dengan kebija- kan komunis.

Gambar 2. Pihak Rockefeller Foundation disusul Presiden Amerika, Lyndon Johnson, berkunjung ke IRRI, Philipina, pada tahun 1960-an.

(Sumber: www.irri.org)

7 Ibid., hal. 120-121.

Melacak Sejarah Pemikiran Agraria Sementara itu, studi tentang populasi manusia telah menjadi

perhatian Rockefeller Foundation sebelum Perang dunia II. Pada tahun 1946 muncul kritik tentang masalah populasi namun dikaitkan dengan persoalan kesehatan. Kritik itu muncul dari wakil John D. Rockefeller III, bagian Public Health Programs. Dalam bidang kesehatan ini Rockefeller memberi dukungan selama lebih dari 40 tahun. Inti kritiknya adalah jika proteksi terhadap kesehatan semakin membaik, maka akan meningkatkan daya tahan manusia sehingga mengakibatkan “massive increase in the population ” yang akan membahayakan bila “no prospects for feeding the people ”. Raymond Fosdick sebagai presiden yayasan kala itu menyetujui gagasan tentang kesehatan publik dikaitkan dengan peningkatan produksi pangan. Ia menyatakan,

“Saya senantiasa memiliki feeling bahwa negara seperti India selalu dalam kondisi ‘vicious circle’. Anda memiliki populasi yang maha besar namun dengan kondisi suplai pangan yang tidak mencukupi. Konsekuensinya, Anda selalu menghadapi problem kekurangan gizi dan kelaparan. Cara keluar dari itu adalah sistem pendidikan yang memadai atau dengan meletakkan dasar kehidupan industrial”. 8

Gagasan itu bergulir di International Health Division (IHD) melalui direkturnya George K. Strode. Kemudian pada Juni 1948, Strode melapor kepada Marshall C. Balfour, seorang dok- ter yang cukup lama menjabat program luar negeri IHD untuk menindaklanjutinya. Strode setuju atas draf rencana riset popu- lasi yang akan dilakukan di Jepang, China, Formosa (Taiwan), Ja- wa dan Filipina. Akhirnya tim riset berangkat dikepalai oleh Frank Notestein atas biaya Rockefeller Foundation. 9

Hasil kunjungan ke Jepang, Taiwan, Korea, China, Indo- nesia, dan Filipina antara September hingga Desember 1948 ber- isikan bantahan tafsir Malthusian yang dinilai simplisistik. Tim kemudian cenderung mengarah pada neo-Malthusian: jumlah penduduk tinggi sebab angka mortalitas turun namun tidak pada angka natalitasnya, sehingga perlu dilakukan kontrol kelahiran

8 Ibid., hal. 133. 9 Ibid., hal. 134.

Ahmad Nashih Luthfi (birth control). Tim selanjutnya beranjak pada kesimpulan bahwa

jumlah penduduk semakin tinggi sehingga diperlukan food self- sufficiency , dan Jepang menjadi contoh bagaimana hal itu

dilakukan dengan cara industrialisasi. 10 Masa inilah awal dari kejayaan developmentalisme, 11 dimana produksi pertanian di kawasan Selatan dibentuk melalui berbagai cara: proyek-proyek investasi kuasi-publik melalui aid agencies— terutama Bank Dunia, melalui strategi bantuan bahan makanan dan/dumping bahan makanan komersial dari kelebihan stok beras di Amerika.

Selain Rockefeller Foundation, lembaga donor internasional yang membiayai pelaksanaan revolusi Hijau adalah Bank Dunia (World Bank). Melalui hadirnya presiden baru, George Woods, Bank Dunia berpikir bahwa di sektor pertanian yang di dalamnya bekerja 2/3 dari kaum termiskin di dunia, ternyata hanya menerima 8% pinjaman sampai dengan tahun 1963. Dari pemi- kiran itulah George Woods kemudian mengeluarkan investasi khususnya pada riset pertanian, bekerja sama dengan Rockefeller

10 Ibid. Menurut Gunawan Wiradi, kesuksesan Jepang dalam masalah pangan bukan sebab loncatan industrialisasinya, namun industri mereka terlebih

dahulu didasari pada upaya restrukturisasi penguasaan faktor produksi, yakni tanah, melalui landreform. Ketika Jepang kalah perang, panglima tentara Jendral Mac Arthur, Jr. yang bermarkas di Jepang segera menulis surat perintah pada kaisar Jepang, Hirohito, pada tanggal 9 Desember 1945. Surat berkode SCAP- 411/1945 berisi perintah agar dalam jangka tiga bulan Jepang harus menyusun dan langsung melaksanakan program landreform. Demikian juga Korea Selatan dan Taiwan dalam pelaksanaan landreform yang dinilai berhasil atas dukungan AS (dalam paket bantuan Marshall Plan). Lihat, Gunawan Wiradi, Dilemma Reforma Agraria, makalah tidak diterbitkan (29 hal.), 2008, hal. 12.

11 Developmentalisme pada gilirannya menjadi ideologi yang sangat berpengaruh pasca Perang Dingin. Ide-ide “pembangunanisme” dikaji secara

serius melalui munculnya Development Studies di universitas-universitas Inggris pada tahun 1960-an dan 1970-an. Apa yang dipelajari di dalamnya adalah applied knowledge dengan tujuan praktis agar dapat diterapkan sebagai kebijakan dan intervensi pembangunan di negara-negara berkembang. Dua isu yang dikaji adalah ekonomi pertumbuhan (bagaimana harus mempromosikannya), dan kemiskinan (bagaimana cara menanggulanginya). Henry Bernstein, Development Studies and The Marxists, dalam http://repositories.cdlib.org/cgirs/CGIRS-2004-8, diakses tanggal 23 Juli 2006.

Melacak Sejarah Pemikiran Agraria Foundation dan Ford Foundation untuk mengembangkan

teknologi. Di sinilah mereka berperan penuh mendukung Revo- lusi Hijau.

Secara khusus Bank Dunia memberi perhatian pada kredit pertanian. Pembagian proyek perkreditan itu di dalam portofolio pertanian Bank Dunia naik secara tajam dari 5% pada periode anggaran 1948-1963 menjadi 41% periode 1964-1968. Kredit pertanian yang diberikan melalui bank-bank pembangunan, bank-bank komersial, koperasi, dan proyek yang ditunjuk, adalah mekanisme yang dipilih, dimana Bank Dunia dapat memberi dukungan bagi diseminasi teknologi Revolusi Hijau kepada petani skala rumah tangga di Asia dan Afrika. Kesuksesan benih padi dan gandum varietas unggul mengundang investasi pada irigasi dan drainase, sekaligus tuntutan terhadap hadirnya inves- tasi-investasi baru lainnya: pembenihan, produksi pupuk, distri- busi input (saprotan), pemrosesan dan penggudangan. 12

Dengan cara pandang semacam itulah berbagai Laporan Pembangunan Dunia (World Development Report) tahunan yang dikeluarkan World Bank menyimpulkan bahwa pengalaman per- tanian skala rumah tangga sebagai bentuk organisasi mulanya mengalami “benturan”, lalu “dimudahkan” oleh Revolusi Hijau

dan selanjutnya “terlindungi” dari krisis kelaparan. 13 Inilah kla- im-klaim Bank Dunia dalam laporan-laporannya. Demikianlah, ketakutan Malthusian akan kelaparan massal pascaperang mendorong usaha kontrol atas populasi, riset-riset internasional, program pembangunan dan difusi benih varietas

12 Jonathan Pincus, “The Post-Washington Consensus and Lending Operations in Agriculture: New Rhetoric and Old Operational Realities”, satu bab

yang kemudian menjadi buku dalam Ben Fine, Costas Lapavitsas dan Jonathan Pincus (Eds.), Development Policy in the 21 st Century (London: Routledge, 2001), hal. 14.

13 Haroon Akram-Lodhi, “(Re)imagining Agrarian Relations? The World Development Report 2008: Agriculture for Development”, Development and

Change , Institut of Social Studies, The Hague, hal. 1156.

Ahmad Nashih Luthfi baru dalam proyek besar Revolusi Hijau. 14 Gagasan Malthus ber-

gema lagi dalam upaya pembangunan yang sebelumnya juga te- lah dianut, misalnya oleh pemerintah kolonial di Jawa pada masa Raffles. Satu gagasan yang mendukung dan berkesesuasian de- ngan faham pembangunan (developmentalism) adalah menghidup- kan aset yang mati (tanah) melalui land rent.