Produksi dan Produktivitas Padi
Tabel 6. Produksi dan Produktivitas Padi
di 4 Negara Asia Tenggara 28
Indonesia Malaysia Filipina Thailand ASEAN
Produksi (ribu meter ton) dan persen 1970 19234
(25,8) Produktivitas (kg/ha)
27 Angka diolah dari tabel IRRI yang bersumber data FAO, diambil dari www.irri.org, diakses tanggal 9 Juli 2009.
28 Teofilo C. Daquila, op.cit., hal. 56.
Melacak Sejarah Pemikiran Agraria
D. Menjadikan Pertanian Bergerak (Getting Agriculture Mo- ving )
Guna mencegah “efek domino” atas pengaruh komunisme sekaligus memenangkan perebutan pengaruh atas negara-negara yang dinilai condong ke arah komunis, serta mencegah keresahan agraria (agrarian unrest) di pedesaan-pedesaan Asia Tenggara pasca-kolonial, maka dilakukan upaya modernisasi pedesaan me- lalui serangkaian paket Revolusi Hijau. Benjamin White menca- tat,
“This is the period in which the focus in agricultural development, in Indonesia and many other countries, shifted from structural change
through ‘agrarian reform’ to technological change through the ‘green revolution ’.” 29
Dukungan penuh berasal dari Amerika melalui berbagai lembaga seperti Ford Foundation, Rockefeller Foundation, World Bank, bahkan oleh pemerintahnya sendiri melalui USAID terhadap pendirian IRRI, sebagai satu-satunya lembaga riset padi dalam proyek Revolusi Hijau. Lembaga IRRI bertugas, “to do basic research on the rice plant and applied research on all phases of rice production, management, distribution and utilization”. 30
Bagi pihak Amerika, bantuannya terhadap pembangunan di berbagai belahan dunia (termasuk Asia Tenggara) merupakan metode, “by which U.S. maintains a position of influence and control around the world, and sustains a good many countries which would
definitely collapse or pass into the communist bloc ”. 31 Suatu kebijakan yang tidak hanya dimaksudkan membendung efek domino
29 Benjamin White, “Gunawan Wiradi, The Agro Economy Survey and Indonesia’s Green Revolution”, dalam Gunawan Wiradi, Ranah Studi Agraria,
Penguasaan Tanah dan Hubungan Agraris, (Yogyakarta: STPN, 2009), hal. xiv. 30 Pernyataan ini tertulis dalam nota kesepehaman (MoU) yang dibuat di
New York pada tanggal 9 Desember, 1959. Bertugas sebagai direktur pertama IRRI adalah Robert F. Chandler, Jr (27 September 1959). Lihat, “IRRI History”, dalam www.irri.org, diakses tanggal 9 Juli, 2009.
31 Dikutip dari, Jagannath Pathy, “The United States Intervention in Third World Rural Policies”, Social Scientist, Vol. 14, No. 4. (April, 1986), hal. 40. Atas
alasan ini, presiden terpilih, Lyndon Johnson, mengunjungi IRRI pada 26 Oktober 1966. www.irri.org, op.cit.
Ahmad Nashih Luthfi sebagaimana yang dicanangkan sejak presiden Eisenhower,
namun untuk suatu visi: kontrol atas dunia. Mengenai containment politics ini, seorang tokoh underground bernama Gay J. Pauker sangat berperan dalam mengimposisikan gagasan-gagasannya ke dalam struktur kekuasaan negara, utama- nya di Indonesia. Ia mengajukan suatu argumen teoritis tentang konsekuensi politis atas program pembangunan pedesaan di Indonesia. Tidak hanya itu, ia memberi justifikasi atas pembunu-
han massal pengikut dan mereka yang dituduh PKI, 32 suatu upa- ya guna memuluskan gelombang perubahan di pedesaan Indone- sia. Ia juga memberi saran-saran pragmatis terhadap pemerintah yang baru terpilih atas pelaksanaan Revolusi Hijau. Padahal un- tuk menjalankan program Revolusi Hijau ini Indonesia membia- yainya dengan uang pinjaman/hutang.
Menurut Budiawan, Pauker telah melakukan “kekerasan epistemologis” dalam membangun body of knowledge atas proses modernisasi yang harus dilalui Indonesia. Saran atas jalur yang ditempuh seakan-akan menjadi historical imperative yang tidak
dapat ditawar-tawar. 33 Sehingga Green Revolution was only the admissible system , tidak ada alternatif lain kecuali Revolusi Hijau. Jika dibaca dalam konteks sejarah kapitalisme, apa yang
dilakukan oleh Pauker sebagai representasi politik Perang Dingin, adalah memberi arahan bagaimana previous accumulation terjadi. Dijadikannya massa rakyat di pedesaan sebagai floating mass , padahal sebelumnya ada upaya mengorganisirnya, memberi jalan lempang bagi masuknya kapital ke desa-desa di Indonesia.
32 Kaitan antara pemikiran Malthusian dengan pemikiran eugenics yang terkenal pada masa Perang Dingin melalui tokoh Garret Hardin, terabadikan
dalam bentuk politik “containment”, pembendungan bahkan penyingkiran komunisme. Eric B Ross, op.cit., hal. 9. Bandingkan dengan Budiawan, “Seeing the Communist Past through the Lens of a CIA Consultant: Guy J. Pauker on the Indonesian Communist Party Before and After the '1965 Affair'”, Inter-Asia Cultural Studies, Volume 7, Number 4, (2006), hal. 660-661.
33 Budiawan, Ibid., hal. 651 dan 660.
Melacak Sejarah Pemikiran Agraria
Tabel 7. Pinjaman Bank Dunia terhadap Pembangunan Pertanian
Indonesia, 1976-1999 (dalam US$ juta) 34
Pupuk Irigasi pertanian
Kredit
Pembangunan
dan drainase 360
Riset dan
Secara ilmiah bentuk dukungannya ditunjukkan melalui pengiriman buku-buku, kerjasama studi dan pengiriman para konsultan lembaga Council on Economic and Cultural Affairs (CECA) yang didirikan oleh John D. Rockefeller III (sebagaimana terhadap pendirian IRRI). Lembaga ini kemudian berganti nama menjadi The Agricultural Development Council (A/D/C). 35 Dalam periode lembaga A/D/C inilah dikenal nama Arthur T. Mosher sebagai direkturnya. Bukunya, Getting Agriculture
Moving , 36 menjadi rujukan para akademisi, pejabat, dan pegawai pertanian di lembaga pemerintah. Buku ini didistribusikan teru- tama di negara-negara Asia, dan diterjemahkan ke banyak bahasa termasuk Indonesia. Isinya mencerminkan secara dominan teori modernisasi dalam wacana pembangunan pedesaan dan fokus baru dalam paket Revolusi Hijau. Di dalamnya terdapat “lima
hal esensial” dan “lima akselerator” 37 . Masalah landreform sama
34 Jonathan Pincus, “The Post-Washington Consensus and Lending Opera- tions in Agriculture: New Rhetoric and Old Operational Realities”, op.cit., hal. 51.
35 Ben White, “Between Apologia and Critical Discourse: Agrarian Tran- sition and Scholarly Engagement in Indonesia”, dalam Vedi R. Hadiz dan D.
Dhakidae (Eds.), Social Science and Power in Indonesia (Jakarta: Equinox bekerjasama dengan ISEAS, 2005), hal. 114.
36 Arthur T. Mosher, Getting Agriculture Moving: Essentials for Development and Modernization . (New York: Praeger Publishers for the Agricultural Development
Council, 1965). 37 Lima hal esensial : pasaran untuk hasil usaha tani; teknologi; tersedianya
saprotan secara lokal; perangsang produksi untuk tani; dan transportasi. Lima akselerator : pendidikan pembangunan; kredit produksi; kelompok kerja; perbaikan dan perluasan lahan; dan perencanaan nasional pembangunan pertanian, Ibid.
Ahmad Nashih Luthfi sekali tidak disebutkan dalam buku itu, 38 suatu isu yang memang
sengaja dihindari. Peter McCawley menunjukkan bahwa pada periode inilah Amerika banyak memberi bantuan kepada dunia akademis Indo- nesia. Buku-buku teks ekonomi makro, ekonomi pembangunan, ekonometri, kebijakan pajak, estimasi pendapatan nasional dan daerah, dan sosiologi Barat, serta berbagai jurnal (termasuk BIES ), dan buku-buku “how to” masuk ke berbagai kampus In- donesia. Bahkan dua buku didanai penerjemahannya, yakni buku Hirschman, The Strategy of Economic Development, dan buku Arthur T. Mosher, Getting Agriculture Moving: Essentials for Development and Modernization . Buku pertama tidak sepopuler buku kedua. 39
Pemikiran Arthur T. Mosher didasarkan pada prinsip tahap- tahap pertumbuhan ala Rostow. Rostow mengidentifikasi 5 tahap transisi dari tradisional menuju modern: masyarakat tradi- sional (the traditional society), pra-kondisi tinggal landas (the pre- condition for take off) , tinggal landas (the take off), menuju dewasa (the drive to maturity), dan masyarakat berkonsumsi tinggi dan masif (the age of high mass consumption). Dalam perdebatan mengenai tahapan Rostowian ini, terdapat suatu bantahan mengapa misalnya dalam kasus Filipina pada tahun 1957, ketika telah dilalui “the take off” justru ia kembali lagi ke arah “the precondition for take off ”. Maka, jawaban agar pembangunan eko- nomi (pertanian) dapat mengalami “rapid growth” adalah dengan dilakukan “rapid difussion”, yakni melalui teknologi. 40
Pemikiran Arthur T. Mosher, sebagaimana Rostow, menco-
ba memparalelkan pengalaman negara-negara non-Barat agar me- ngikuti tahapan yang dilalui oleh negara Barat,
38 Benjamin White, “Gunawan Wiradi, The Agro Economy Survey and Indonesia’s Green Revolution”, dalam Gunawan Wiradi, op.cit., hal xvi
39 Peter McCawley, “Some Suggestions for Aid to Indonesian Universities”, Bulletin of Indonesian Economic Studies , Vol. 10, No. 3, November 1974, hal. 116
40 Yujiro Hayami dan Vernon W. Ruttan, Agricultural Development: An International Perspective , (Baltimore dan London: The John Hopkins Press, 1971),
hal. 13-15 (terutama Bab II, “Agricultural Economic Development Theories”)
Melacak Sejarah Pemikiran Agraria “It is useful, as well as roughly accurate, to regard the process of
development now going forward in Asia, the Middle East, Africa, and Latin America as analogous to the stage of precondition and take-off of other societies, in the late eighteenth, nineteenth, and twentieth centuries ”. 41
Cara memulangkan perkembangan Asia pada keteraturan- keteraturan dan proses-proses kausal yang dicatat di tempat lain (Barat), dan tidak melihat unsur yang baru hasil bentukan dari sejarah, telah banyak dikritik oleh ilmuwan terkenal Wertheim dalam beberapa telaahnya, seperti tertuang dalam Indonesian Society in Transition,
A Study of Social Change (1957)—untuk kasus Indonesia, East-West Parallel (1964), dan Third World Whence and Whither? (1997). Demikian juga dengan Edward W. Said dalam Orientalism.
Berbagai penelitian yang memberi dasar legitimasi (kesukse- san) pelaksanaan Revolusi Hijau di Asia Tenggara berangkat dari perspektif neoklasik. Cara menghubungkan proses modernisasi, pembangunan, dan teknologi tampak dalam berbagai penelitian dengan pendekatan Induced Development Model, Difusion Model and
International Technology Transfer, Induced Institutional Innovation Theory, dan sebagainya, sebagaimana yang dilakukan misalnya oleh Yujiro Hayami dan Masao Kikuchi.
Sebagai contoh, proses bagaimana kelembagaan desa berada- ptasi terhadap teknologi yang dibawa oleh Revolusi Hijau, duku- ngan kebijakan pemerintah terhadapnya, sehingga memberi dam- pak pada produksi dan tingkat tekanan penduduk, merupakan kajian utama dua peneliti tersebut. Pendekatan yang mereka lakukan di Indonesia (Kabupaten Subang) dan Filipina (Laguna, Luzon
tengah), misalnya, mencerminkan perspektif itu. 42 Mereka me- nyimpulkan bahwa pedesaan Laguna berhasil keluar dari jebakan
41 Dikutip dari Ibid, hal. 14. 42 Lihat, Masao Kikuchi dan Yujiro Hayami, “Technological and Insti- tutional Responsse and Income Shares under Demographic Pressure: A Comparison of Indonesian and Philippine Villages”, dalam Geoffrey B. Hainsworth, Village-Level Modernization in Southeast Asia: The Political Economy of Rice and Water (Columbia University of Columbia Press, 1982), hal. 173-190.
Ahmad Nashih Luthfi Ricardian melalui pengenalan irigasi modern dan teknologi baru
pertanian. Pengalaman itu mampu menolak tuduhan bahwa tek- nologi modern dan sistem irigasi cenderung hanya menguntung- kan petani kaya sehingga mengakibatkan distribusi pendapatan yang tidak merata.
Bahkan kedua peneliti itu menyatakan keyakinannya di penghujung tulisan tersebut bahwa kemiskinan dan ketimpangan pendapatan bukanlah nasib yang tak dapat diubah bagi Asia Tenggara jika penanggulangannya ditempuh melalui teknologi, sehingga pertumbuhan penduduk yang memberi tekanan pada penguasaan tanah dapat ditanggulangi.
Jika terdapat kegagalan dan dampak sosial yang merugikan, menurut Yujiro Hayami, lebih disebabkan perbedaan dan keuni- kan kondisi ekologis dan bukan perbedaan struktur penguasaan tanahnya. Sebab menurutnya, kesuksesan Revolusi Hijau dilaku-
kan dengan cara “exploitation of unused lands”. 43 Baginya, tidak lagi diperlukan jalan landreform, sebab Revolusi Hijau telah memberi jalan keluar bagi stagnasi pertanian di Asia Tenggara.