Politik etis: Antara balas budi dan “pembentukan” nega- ra Hindia Belanda

6. Politik etis: Antara balas budi dan “pembentukan” nega- ra Hindia Belanda

Ideologi yang dianut pemerintah kolonial dalam upaya “membangun” negeri jajahannya selama periode “liberal” adalah berpola “trickle down effect”. Diasumsikan bahwa terbukanya kesempatan investasi bagi perusahaan perkebunan swasta akan menggerakkan perputaran kapital yang dengan sendirinya men- ciptakan modal domestik dan memberi kesempatan bagi terse- rapnya tenaga kerja (buruh perkebunan). Bagi pemerintah, pe- ningkatan produksi akan memberi keuntungan bagi kenaikan pa- jak, sementara bagi penduduk adalah peningkatan kesempatan kerja dan pendapatan.

Akan tetapi, keyakinan di atas tidak terbukti. Penduduk Jawa tidak berhasil meng-copy metode perusahaan Barat sebagai- mana yang diharapkan. Pernyataan mindere welvaart (merosotnya

47 Ibid. hal. 90-91. 48 Dikutip dari W. F. Wertheim, 1964, op.cit., hal. 82.

Ahmad Nashih Luthfi kesejahteraan) berlaku di Jawa, dan diakui oleh Ratu Wilhel-

mina. 49 Kemerosotan tersebut merupakan “konsekuensi” dari dipisahkannya penduduk Jawa dari sumber-sumber produksi mereka. Banyaknya jumlah korporat perkebunan tidak berkore-

lasi positif dengan peningkatan kesejahteraan rakyat. 50 Karena- nya, akar persoalannya semestinya dicari dari sebab-sebab yang bersifat struktural. Kemerosotan itu bukan suatu “kondisi” yang lazimnya dikaitkan dengan persoalan mental, ketidakmampuan mengakses modal, pengetahuan, dan pasar produksi.

Gagasan “Politk Etis” diturunkan dari kenyataan sosial-eko- nomi saat itu yang dialami oleh penduduk pribumi, selain penga- ruh ide-ide doktrin Calvinis. Basis moral inilah yang dikemu- kakan oleh Gubernur Jenderal Idenburg, setelah ia tidak mene- mukan argumen yang tepat tentang kaitan antara kondisi finan- sial negeri Belanda dan tanah jajahan, ketika yang terakhir ini menderita kemerosotan, sementara di negeri Belanda menerima saldo. Di sinilah gagasan “hutang budi” (een eereschuld) muncul. Di dalam pidatonya tanggal 21 November 1901, Idenburg menyatakan,

“Saya ingin mengatakan demikian: jelaslah bahwa Hindia Belanda mengalami kondisi sulit dalam pemenuhan kebutuhan-kebutuhan urgen. Negeri Belanda telah mengingatkan dirinya, bahwa tidak berapa lama dalam dekade-dekade lalu, negeri induk ketika mengalami penderitaan telah ditolong oleh negeri jajahannya, dan biaya yang tersisa tidak mencukupkan kebutuhan penduduk pribumi Hindia”.

“.....bukan demi meningkatkan kepemilikan kita, kekuasaan kita, kehormatan kita, juga bukan kapital kita di negeri kolonial ini, akan tetapi demi kemajuan penduduk Pribumi”.

49 Ibid. 50 Jumlah korporat perkebunan naik tajam dari 1500 (tahun 1890) menjadi

2500 (1913), peningkatannya hingga 60%. Setiap korporasi memiliki jumlah perkebunan yang variatif: 1, 3, hingga 20 perkebunan. Lihat J.N.F.M. á Campo, “Munculnya Perusahaan Korporat di Indonesia pada Masa Kolonial, 1893-1913”, dalam J. Thomas Lindblad (Ed.), Fondasi Historis Ekonomi Indonesia (Yogyakarta: PSSAT-UGM dengan Pustaka Pelajar, 2002), hal. 96.

Melacak Sejarah Pemikiran Agraria “Juga bukan egoisme prinsip dasar kebijakan kolonial kita, namun

motivasi lebih tinggilah yang menguasainya. Bukan kekuasaan sebagai dasar legalnya, namun misi moral demi kemajuan penduduk, yang bukanlah setengah spesies dari penduduk Barat, namun mengubahnya dengan menempatkan mereka dalam “satu organisme kemanusiaan (single organism of humanity)”. 51

Mengomentari pidato itu, van Deventer menulis dalam De Gids, LXVI (1902), bahwa gagasan itu sejalan dengan keyakinan Dr. Kuyper yang dinyatakan pada 22 November 1900, ketika ia mendebat dokumen penyusunan anggaran Hindia tahun 1901. Keyakinan ini juga diikuti oleh van Deventer. 52

Periode industrial asing harus segera ditransformasikan ke dalam periode sosial ekonomi. Artinya, harus ada pembagian kekayaan dari pemanfaatan atas tanah kepada penduduk pribumi agar tidak lagi jatuh ke tangan kapital asing. Untuk itu, level pengetahuan dan kemampuan penduduk harus ditingkatkan. Dilakukan penguatan ekonomi dan pembentengan kepercayaan diri, tanah yang dianggap keramat dan subur harus lebih dipro- duktifkan, reformasi moral, dan dihapuskannya penyalahgunaan- penyalahgunaan yang tidak menyenangkan.

Upaya yang ditempuh dalam mewujudkan gagasan di atas adalah penyelenggaraan pendidikan. Pendidikan dasar diperluas untuk kalangan elite penduduk, pegawai terbaik diberi pelatihan, demikian juga para teknisi, pengacara, dokter, ahli peternakan, ahli pertanian, pedagang, dan nelayan. Bagi massa rakyat, kerajinan tangan harus dibangkitkan dan distimulasi, seni rakyat, seperti halnya kebutuhan bunga, harus ditanam dengan penuh kecintaan. Pajak dibayarkan dengan uang dan disesuaikan berdasar persetujuan dengan kapasitas keuangan pribumi. Sistem kredit yang terorganisir harus memfasilitasi pembangunan per- tanian. Pertanian penduduk harus diperluas melalui pembangu- nan irigasi yang baik. Tanah yang terancam banjir harus dicegah.

51 Dikutip dari C. Th. van Deventer, “A Welfare Policy for The Indies”, dalam W.F. Wertheim (ed.), Indonesian Economics: The Concept of Dualism in Theory

and Practice (The Hague: W. Van Hoeve, 1961), hal. 258. 52 Uraian didasarkan pada Ibid., hal. 260-262.

Ahmad Nashih Luthfi Informasi dan diseminasi pengetahuan praktikal (penyuluhan)

harus diberikan, dan mereka yang telah menguasainya lantas menularkan melalui percontohan plot kepada kawannya.

Apakah kebijakan “Politik Etis” berhasil membentengi penduduk di dalam pertarungan ekonomi yang ada saat itu? Ada penilaian, bahkan periode itu diawali dengan harapan yang tinggi, sedikit krisis dengan beberapa kali menikmati booming, namun berakhir dengan banyak keluhan bahwa kesejahteraan rakyat justru mengalami kemerosotan. W. F. Wertheim menga- nalisis beberapa sebab dengan mencoba menelisik bagaimana kar- akter pengaruh Barat itu terjadi. 53

Pertama , pengusaha perkebunan tidak mempunyai ciri eksponen “free enterprise”. Ketika terjadi krisis, posisinya diam- bil alih oleh pelaku yang dipekerjakan oleh korporasi perusahaan perkebunan, perusahaan dengan tanggung jawab terbatas. Mereka ini tergantung pada bank perkebunan (cultuurbanken). Singkatnya, terjadi kartelisasi perusahaan dengan menikmati nepotisme negara. Akibatnya, terjadi sentralisasi Jawa, dan keter- gantungan “outer island” pada pedagang asing dan pengusaha Barat.

Kedua , dalam banyak kasus, terintegrasinya ke dalam ekonomi uang mengakibatkan proses pemiskinan, ketika sistem penguasaan tanah menjadi tidak pasti.

Ketiga , yang mengguncangkan adalah sedikit demi sedikit masyarakat Jawa menuju ke arah diferensiasi. Modernisasi atas suprastruktur masyarakat Barat benar-benar telah membuka kesempatan pekerjaan baru bagi orang Indonesia. Bahkan eks- pansi bisnis dan fungsi pemerintahan menciptakan kesempatan pekerjaan masyarakat, baik untuk posisi administratif ataupun teknis. Media transportasi menguntungkan para mekanik dan sopir. Akan tetapi secara keseluruhan, perjuangan ekonomi tetaplah sulit bagi rakyat Indonesia. Untuk menjadi kelas menengah seringkali penuh halang rintang dengan adanya orang asing—utamanya Cina. Mereka ini memanfaatkan hubungan se-

53 W. F. Wertheim, 1964, op.cit. hal. 85-86

Melacak Sejarah Pemikiran Agraria cara menyeleweng dengan korporasi yang lebih besar, didasarkan

pada sistem klan, berkeanggotaan pemilik modal besar dan pe- ngetahuan tinggi.

Keempat , pada periode ini, investasi berlanjut dalam perta- nian skala luas dan pada sektor pertambangan. Pola ekonomi berorientasi hulu, dan Indonesia diposisikan sebagai penyuplai “raw material”, sehingga tidak memberi resonansi ekonomi pada sektor domestik.

Kelima , produktivitas pertanian ditingkatkan melalui pelaya- nan irigasi dan sarana lain. Emigrasi ditempuh sebagai solusi atas kelebihan populasi. Padahal sebenarnya bukan semata masalah “over population” atau kelebihan tenaga kerja, tapi yang lebih nya- ta adalah “under production”. Yang terakhir ini terkait dengan ke- tersedian sumber-sumber produksi dan pembentukan modal. Se- harusnya yang dilakukan adalah penciptaan industrialisasi pede- saan bukan dengan kebijakan yang sifatnya paliatif yang tidak

memberi efek mendasar. 54 Dalam kenyataannya, irigasi lebih ba- nyak menguntungkan perusahaan tebu. Demikian juga sistem ja- lan dan stasiun-stasiun percobaan. Secara tegas, Wertheim dalam menilai periode ini menyatakan, bahwa secara singkat tidak ada peningkatan bersifat permanen dalam hal kesejahteraan umum.

Pada periode ini hasil pembangunan pedesaan dalam kenya- taannya jauh dari yang diinginkan. Berbagai sebab kegagalan itu dapat dikonfirmasi ulang dalam periode-periode berikutnya.

Perjalanan panjang pembangunan (pedesaan) semasa Kolonial hingga awal abad ke-20 memberi pemahaman bahwa terbentuknya nation-state Hindia Belanda adalah hasil diperha- dapkannya dengan pertumbuhan kapitalisme. Sebagaimana di- praktekkan oleh pemerintah kolonial melalui berbagai eksperi-

54 M. A. Jaspan, “Persoalan Transmigrasi: Obat Mujarab atau Jalan Buntu?”, dalam Jaspan, M. A, Social Stratification and Social Mobility in Indonesia,

A Trend Report and Annotated Bibliography (Jakarta: Penerbit Gunug Agung, 1960) hal. 37-38. Bahkan Jaspan berpendapat bahwa kebijakan transmigrasi telah gagal dalam mengurangi tekanan penduduk di Jawa. Terdapat transmigran yang kembali namun tidak tercatat oleh lembaga resmi pemerintah. Kebijakan transmigrasi hingga kini menghasilkan “pemindahan kemiskinan” pedesaan di lokasi yang dituju, Sumatera Selatan.

Ahmad Nashih Luthfi men kebijakannya (mulai dari periode VOC, Daendels, Raffles,

van Der Capellen, Culttuurstelsel, ekonomi liberal, hingga Politik Etis, sebagaimana uraian di atas), pembentukan negara (state for- mation ) adalah bagian dari pemantapan aktivitas ekonomi inter- nasional di Hindia Timur.