Jumlah Penduduk Total dan yang Khusus

Tabel 8. Jumlah Penduduk Total dan yang Khusus

di Sektor Pertanian, 1961-1995 (dalam juta) 62

Negara /

Total Tenaga tahun

Populasi

Total Desa

Desa

Populasi tenaga kerja kerja

62 Data disusun kembali dari tabel IRRI yang berdasarkan data FAO, op.cit.

Melacak Sejarah Pemikiran Agraria

Jika benar bahwa pembangunan pertanian melalui Revolusi Hijau menghasilkan perbaikan menyeluruh

pada mata pencahariaan (livelihood) dan tenaga kerja pedesaan, maka seharusnya tidak terjadi pergeseran-pergeseran angka di atas sebagai cermin dari pencerabutan tenaga kerja pertanian dan migrasi.

Kesimpulan akhir ini mengundang pertanyaan penting atas kebijakan tersebut, untuk siapa sebenarnya Revolusi Hijau itu? Kesahihan argumen Malthusian tentang jumlah penduduk yang mengalami kenaikan berlipat setiap 25 tahun tidak pernah dicek. Pemikiran itu telah mendasari proyek pembangunan sepanjang separoh abad 20 pasca Perang Dunia II, mendasari cara bagaima- na relasi antara negara-negara Barat dengan negara-negara Ber- kembang. Bersama dua produk gagasannya, yakni kebijakan “kontrol populasi” dan “Revolusi Hijau”, pemikiran Malthus telah menjadi mitos. 63

Pihak yang diuntungkan (beneficieries) atas Revolusi Hijau yang dicirikan dengan “capital intensive” di tingkatan pedesaan adalah para pemilik tanah dan petani kaya yang mampu meng- akses teknologi. Di level makro, berbagai pihak yang diuntung- kan adalah mereka yang sedari awal mendukung gagasan itu. Berbagai pabrik pupuk semisal “Phillips’s American Fertilizer and

63 Eric B Ross, “The Malthus Factor Poverty, Politics and Population in Capitalist Development”, op.cit. hal., 18.

Ahmad Nashih Luthfi Chemical Co.”, “DuPont” bank-bank yang terkait dengan

Standard Oil Company milik Rockefeller, yang beroperasi di Asia Tenggara dengan bendera yang berbeda-beda, adalah penerima keuntungan yang nyata. Bahkan Revolusi Hijau telah menolong defisit perdagangan non-agrikultural Amerika Serikat. 64

Sebagai sebuah gagasan, Malthusianisme telah mendesakkan keniscayaan Revolusi Hijau yang tidak memungkinkan alternatif lain dipilih. Gagasan neo-populisme landreform dalam bentuk re- distribusi tanah kepada satuan rumah tangga baru yang akan di- jalankan di negara-negara Asia Tenggara pascakolonial segera disapu bersih. Bentuk sekuritas faktor produksi rumah tangga, yakni tanah, dinilai akan mendorong “peningkatan populasi”, sesuatu yang sedari mula ditakutkan oleh pemeluk keyakinan Malthusianisme.

Tahapan selanjutnya, ketika sumber-sumber agraria (tanah) dirubrikasi untuk kepentingan pertambangan, perhutanan, perta- nian, dan pembangunan perkotaan melalui pemahaman yang sa- lah akan “hak menguasai negara”, alat produksi itu semakin jauh dari massa rakyat. Perubahan sosial-ekonomi masyarakat pedesa- an pada gilirannya menuju ke arah kapitalisme.

Saat ini kita saksikan adanya ketakutan negara Barat terhadap fenomena “migrasi” penduduk dari negara-negara Ber- kembang. Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa ketakutan itu cermin dari masih hidupnya gagasan Malthusian, setidaknya di negara-negara Eropa saat ini. Gagasan itu membuat proses inter- aksi antara Utara-Selatan, Barat dan Timur, negara Maju dan Berkembang, terjadi secara dominatif. Kritik dan gugatan terha- dap Malthusianisme, Revolusi Hijau dan sejenis pembanguna- nisme lainnya, yang membawa akibat pada arah transformasi agraria kapitalis yang bias, harus terus-menerus digelorakan.

64 Ibid. , hal. 16.

B AB IV

K AJIAN A GRARIA I NDONESIA

D dengan Indonesia merdeka, terutama masa Orde Baru. Berbagai

alam bab ini diuraikan pelembagaan kajian agraria di Indonesia sejak masa Kolonial Hindia Belanda sampai

varian kajian agraria akan ditunjukkan, baik yang berbasis kepen- tingan kebijakan, akademik, maupun partisipatoris-emansipasif. 1 Dari berbagai varian itu kemudian dipetakan karakteristik kajian

agrarianya, apakah termasuk kajian agraria di-atau-tentang Indo- nesia, ataukah kajian agraria Indonesia.

Berbeda dengan Ben White yang membedakan dua kons- truksi kajian tersebut berdasarkan siapa yang melakukan kajian (the role of Indonesian academics rather than the role of foreign aca- demics 2 ), uraian ini lebih mendasarkan diri pada kapasitas dialek-

tika antara teori yang digunakan dengan realitas yang dikaji. Kajian agraria di-atau-tentang Indonesia (agrarian studies in/on Indonesia ) lebih menerapkan ilmu ekonomi/sosial/humaniora Ba- rat, kerangka analitik, dan konstruksi teoretiknya. Kajian ini se- cara kategoris menjelaskan dan menyederhanakan rumitnya rea- litas pedesaan-pertanian yang menyejarah di aneka ragam kondisi

1 Mengenai pembedaan tiga tipe penelitian dapat dilihat dalam Gunawan Wiradi, Metodologi Kajian Agraria (Bogor: Sajogyo Institute dan IPB, 2009), hal.

28. 2 Ben White, “Between Apologia and Critical Discourse: Agrarian Transiti-

on and Scholarly Engagement in Indonesia”, dalam Vedi R. Hadiz dan D. Dhakidae (Ed.), Social Science and Power in Indonesia (Jakarta: Equinox bekerjasama dengan ISEAS, 2005), hal. 107.

Ahmad Nashih Luthfi geografis kepulauan Indonesia. Sedangkan Indonesian agrarian

studies adalah cara melihat realitas Indonesia untuk menghasilkan rumusan teoritis baru dengan memperhadapkan pada rumusan teoritis ilmu sosial Barat, kemudian mengorientasikannya men- jadi kebijakan pemerintah dan peningkatan kesadaran masya- rakat akan perlunya perubahan. 3

Pengalaman berbagai riset individu, lembaga akademis mau- pun pemerintah, sekaligus eksemplar dari ilmuwan pengkajinya, akan disajikan pula. Dari berbagai pengalaman itu diharapkan tergambar kecenderungan (trend) teori, perspektif, disiplin ilmu yang digunakan, serta topik yang dikaji dalam kajian agraria, ke- tika diletakkan dalam konteks pelembagaan ilmu-ilmu sosial di Indonesia.