Kehidupan pekerja perkebunan dan petani pada masa malaise

1. Kehidupan pekerja perkebunan dan petani pada masa malaise

Riset sosial ekonomi pernah dihasilkan oleh pemerintah kolonial Belanda pada abad XX, tepatnya tahun 1939-1940. Riset itu berjudul Living Condition of Plantation Workers and Peasant on Java in 1939-1940. Sebagai riset kebijakan, penelitian tidak memberi penekanan pada sejumlah asumsi-asumsi teoritis tentang bagaimana struktur agraria (ketenagakerjaan) yang ada menyumbang pada kondisi kemiskinan yang terjadi pada pekerja. Sebagai negeri yang pemasukannya masih mengandalkan sektor perusahaan perkebunan, resesi ekonomi dunia yang terjadi pada tahun 1930-an memberi efek tajam. Yang diharapkan dari riset itu adalah hal-hal praktis tentang “apa yang harus dilakukan” dalam memberi standar dasar upah pekerja tatkala kemunduran ekonomi terjadi, sehingga perekonomian perkebunan tetap dapat berjalan.

Secara metodis penelitian di atas cukup mengandung bias, sebab penelitian dilakukan oleh pejabat negara, wakil dari peru- sahaan perkebunan, dan sama sekali tidak melibatkan unsur pekerja, dan peneliti independen atau akademisi. Meski demi- kian, kesimpulan yang dihasilkan memberi gambaran yang nega- tif atas kondisi pekerja perkebunan dan petani. Berikut uraian tentang hasil penelitian tersebut. 17

16 Ben White, loc.cit. 17 Uraian ini didasarkan pada ringkasan laporan tersebut, Coolie Budget

Commission, Living Condition of Plantation Workers and Peasant in Java in 1939- 1940—diterjemahkan dari bahasa Belanda oleh Robert van Niel (New York: Modern Indonesia Project Cornell University, 1956) hal. 122-129.

Melacak Sejarah Pemikiran Agraria “Coolie Budget Commission” dibentuk guna menyelidiki

kondisi ekonomi sosial buruh perkebunan di Jawa tersebut. Pene- litian bertujuan untuk “memformulasikan dasar-dasar anggaran standar” yang hasilnya akan diserahkan kepada Direktur Urusan Hukum dan Ekonomi.

Penelitian sosiologis pada sejumlah perkebunan di Jawa Timur, Jawa Tengah dan Jawa Barat selama kurang lebih setahun itu berhasil diselesaikan pada 8 Desember 1941. Namun hasilnya tidak sempat dipublikasikan, karena dikhawatirkan akan disalah- gunakan untuk melakukan penyerangan terhadap sistem admi- nistrasi Kolonial.

Sebelum riset itu dilakukan, belum pernah ada penelitian utama tentang berbagai persoalan tenaga kerja-buruh, bahkan untuk kawasan Asia Tenggara. Penelitian itu dilatarbelakangi bencana yang menimpa perekonomian dunia, yang juga tidak terelakkan menimpa Hindia Belanda. Harga produk pertanian Indonesia menurun tajam selama depresi sehingga mempenga- ruhi turunnya upah buruh. Guna merespons devaluasi mata uang gulden Belanda disamping persiapan pra-perang, pada tahun 1937 harga-harga dinaikkan. Anehnya upah buruh justru tidak dinaikkan dan jauh tertinggal. Padahal pemerintah telah meng- himbau para pemilik perusahaan perkebunan agar menaikkan u- pah.

Komisi penyelidikan beranggotakan 3 pegawai sipil senior, 2 perwakilan perusahaan perkebunan, namun anehnya tidak seo- rangpun juru bicara yang mewakili kepentingan buruh. Komisi dalam riset lapangannya dibantu oleh staf ahli pertanian, inspek- tur tenaga kerja, dan lainnya yang bertugas mengawasi pengum- pulan data yang dilakukan oleh tenaga yang direkrut dari admi- nistrator lokal. Biro pusat statistik pemerintah di Jakarta ikut terlibat dalam penyelidikan. 18

18 Lihat analisa ringkas atas laporan tersebut dalam W. F. Wertheim, “The Coolie Budget Report”, Pacific Affair, Vol. 26, No. 2. (Juni, 1953), hal. 159-164.

Analisa mendalam dengan disertai tabel-tabel disajikan dalam W. F. Wertheim, Masyarakat Indonesia dalam Transisi: Kajian Perubahan Sosial (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999), hal. 20.

Ahmad Nashih Luthfi Komisi melakukan pengumpulan data atas 18 perkebunan

sampel dari keseluruhan 1.182 perkebunan yang ada saat itu, dan 2 hutan jati. Pemilihan berdasarkan keragaman geografis dan jenis tanamannya.

Tabel 9. Lokasi dan Jenis Perusahaan Perkebunan yang Dijadikan Sampel Penyelidikan Komisi 19

Perkebunan Jawa Barat Jawa Tengah Jawa Timur Karet

3 Kayu Jati

2 Jumlah

4 6 10 Total:

20 lokasi Dalam melakukan riset, responden pekerja dikategorikan

dalam 3 kelompok: pekerja perkebunan (1.015 keluarga), pekerja pabrik (253 keluarga), dan mandor atau teknisi (287 keluarga). Sementara kaum tani diambil sampel 390 keluarga. Juga dibeda- kan antara mereka yang menetap di perkebunan dengan yang tidak menetap, artinya pulang ke rumah masing-masing sesuai dengan kondisi setempat. 20

Jenis informasi yang dikumpulkan adalah tentang komposisi keluarga, jenis kelamin, umur, tinggi-berat anggota keluarga, kon- disi rumah, kepemililkan tanah dan ternak, layanan sosial, jum- lah perolehan upah dan pendapatan lain, peluang kerja di perke- bunan dan tempat lain, pengeluaran dan pola konsumsi. 21

Saat itu Jawa dihuni 14 juta jiwa. Ketika dilakukan sensus tahun 1930, sekitar sejuta penduduknya bekerja di perkebunan Eropa. Separuh dari jumlah itu bekerja di perkebunan gula. Jika tenaga kerja paruh waktu yang tidak tercatat dalam sensus disertakan dalam hitungan, maka akan diperoleh angka 800.000

19 Coolie Budget Commission, op.cit., hal. 123. 20 Ibid. 21 Uraian selanjutnya, W. F. Wertheim (1953), op.cit., 159-164.

Melacak Sejarah Pemikiran Agraria untuk tenaga kerja di perkebunan gula saja. Sehingga diperkira-

kan sampai dengan tahun 1939, jumlah tenaga kerja perkebunan gula sekitar 1,5 juta jiwa.

Hasil penyelidikan itu menunjukkan bahwa sejumlah kecil mandor dan teknisi menerima gaji tertinggi. Dalam kasus pekerja perkebunan yang menetap, 10% anak berusia di bawah 12 tahun, 62% berusia 12-16 dalam kondisi bekerja dan mendapat upah. Demikian juga istri ikut sebagai tenaga kerja, jumlahnya sekitar 68-70% dari total.

Area yang dialokasikan per keluarga rata-rata lima meter, termasuk ruang untuk dapur. Pemuka setempat menikmati hak istimewa, sementara keluarga kuli terkadang tinggal di barak dengan menempati satu ruangan. Tempat tinggal itu dibangun dari anyaman bambu dan separuhnya berlantai tanah. Secara u- mum, kondisi tempat tinggal para mandor dan teknisi sangat mencolok perbedaannya dengan para kuli perkebunan dan pa- brik, tidak hanya dari segi bangunan rumahnya, namun juga perlengkapan di dalamnya.

Kuli pabrik menerima upah lebih besar ketimbang kuli perkebunan, dan yang menetap menerima lebih besar upah ketimbang yang tidak menetap. Seorang kuli perkebunan laki- laki yang tidak menetap menerima upah 2/3 sen saat itu. Perempuannya menerima lebih sedikit. Secara keseluruhan, pekerja laki-laki yang menetap menerima upah 1,1 sen dan tidak lebih dari 1,9 sen per jam. Sementara mandor dan teknisi bergaji 2,7.

Semua pekerja pabrik laki-laki baik yang menetap atau tidak bekerja selama 10-11,5 jam perhari, dan perempuannya 9,1-10,3 jam. Sedangkan yang bekerja di perkebunan rata-rata 8 jam perhari.

Nilai konsumsi kuli perkebunan hampir semua dari upah yang diperolehnya per hari, hanya mandor dan teknisi yang bisa menabung. Persentase dari pengeluaran itu yang tertinggi adalah untuk membayar hutang, melalui kredit, terutama untuk kebutuhan mereka selama di perkebunan. Saat penelitian

Ahmad Nashih Luthfi dilakukan, kewajiban hutang mereka dalam kondisi yang sangat

buruk. Mengenai kondisi fisik pekerja, dijelaskan bahwa berat dan tinggi perempuan naik tajam memasuki usia 18 tahun, dan rata- rata turun setelah usia 30 tahun. Laki-lakinya naik secara perlahan di atas usia 18 tahun hingga 23 tahun, dan tidak lagi naik setelah itu. Di Jawa Barat, berat laki-laki dewasa sekitar 108-115 pound, di Jawa Tengah 101-106 pound, sementara perempuannya sekitar 88-97 dan 84-93 pound. Anggota keluarga mandor dan teknisi lebih berat dan tinggi. Penelitian melihat fenomena itu terkait dengan tingkat konsumsi pangan.

Untuk pengeluaran dibedakan antara beberapa kategori: pangan, bahan bakar, lampu penerangan, dan air; pakaian; per- baikan rumah dan uang sewa; dan lain-lain. Sebagian kebutuhan pangan pekerja paruh waktu berasal dari yang diusahakan sen- diri di desa mereka.

Kuli dan petani yang tidak menetap menghabiskan 70-75% pendapatannya untuk kebutuhan pangan, dan 80% bagi mereka yang menetap di perkebunan. Gambaran berbeda bagi para mandor dan teknisi. Mereka menghabiskan rata-rata 58-59% untuk kebutuhan pangannya.

Pengeluaran untuk kategori bahan bakar, lampu pene- rangan, dan air utamanya dibelikan kayu bakar dan minyak ta- nah. Sedangkan kebutuhan pakaian dan sabun rata-rata perbulan untuk kuli dan petani sebesar 8-14 sen. Kecuali bagi kategori mandor dan teknisi yang rata-rata 1,6-1,7 sen per keluarga per bulan, tidak tersisa jatah untuk perbaikan rumah dan perkakas. Kebutuhan lain-lain seperi merokok dan menginang, meningkat tajam jika terjadi kenaikan upah. Secara keseluruhan, mereka yang menetap menghabiskan banyak pengeluaran dibanding yang tidak menetap. 22

22 Jika analisa Artikulasi Moda Produksi dilakukan, keberadaan tenaga kerja petani pedesaan berfungsi sebagai “labor supply” yang murah bagi perusahaan

perkebunan yang sifatnya enclave tersebut. Tenaga kerja yang sifatnya sirkuler justru dipertahankan, sebab jika tidak perusahaan tidak mampu membiayai ongkos kehidupan mereka sehari-hari. Biaya hidup tenaga kerja itu sebagian

Melacak Sejarah Pemikiran Agraria Pengeluaran untuk keperluan kesehatan, sanitasi, termasuk

untuk mandi dan merawat diri, pendidikan, transportasi, berki- rim surat, upah pembantu rumah tangga, olah raga dan rekreasi, hanya ada pada golongan mandor dan teknisi. Justru untuk kepentingan agama (selamatan), kewajiban sosial, dan amal, kelompok miskin itu menghabiskan 90% dari pengeluaran lain- lain mereka.

Sekitar 60-70% pengeluaran pangan kelompk kuli dan petani miskin adalah untuk membeli beras. Jika menginginkan membeli daging dan sumber protein lain semisal mentega, gula, teh dan kopi, maka jatah untuk membeli beras menjadi berku- rang. Pekerja yang menetap lebih banyak mengonsumsi daging dibanding lainnya yang hanya makan sayuran dan rempah-rem- pah.

Rata-rata konsumsi anggota rumah tangga kuli yang tidak menetap, termasuk jika ada selamatan adalah 1.282 kalori; kuli pabrik tidak menetap mengkonsumsi 1.399; dan petani lokal mengkonsumsi 1.391. Namun angka ini berbeda-beda di bebe- rapa tempat. Untuk Jawa Barat, angka rata-rata konsumsi kalori adalah paling tinggi dan Jawa Tengah berangka paling rendah. Di perkebunan gula, tenaga kerja paksa yang tidak menetap, kon- sumsi kalori perhari termasuk ketika ada acara selamatan adalah 959 kalori, berbeda dengan petani setempat yang 1.159 kalori. Satu kasus perkebunan gula di Jawa tengah ditemukan angka 652-894.

Konsumsi protein sangat menentukan angka kalori itu. Konsumsi protein rata-rata harian adalah 50-60 gram (mendekati 1¾ hingga 2 ons) bagi mereka para mandor, teknisi, dan kuli yang menetap. Kuli yang tidak menetap dan petani

dipenuhi melalui aktivitas dan perolehan mereka di pertanian/desa. Sehingga tepat jika dikatakan bahwa pertanian mensubsidi (perusahaan) perkebunan. Bandingkan dengan analisa Clifford Geertz yang justru melihat fenomena petani dengan “k akinya yang sebelah tertancap di lumpur sawah, yang sebelah lagi menginjak lantai pabrik ” untuk menunjukkan terbukanya peluang bekerja di perusahaan perkebunan, dan secara umum sistem kapitalisme Barat yang menurutnya tidak banyak mempengaruhi kondisi petani Jawa.

Ahmad Nashih Luthfi mengkonsumsi 30-40 gram. Protein hewani nyaris tidak dijumpai

dalam semua keluarga kelompok ini. Kelompok istimewa akan menikmati protein hewani, termasuk ketika ada selamatan, seba- nyak 10 gram per hari. Sepotong ikan sebagai lauk adalah sebuah kemewahan bagi kuli perkebunan.

W. F. Wertheim menyimpulkan bahwa gambaran keselu- ruhan yang disajikan Laporan Komisi Anggaran Kuli adalah sungguh menyusahkan hati. Upah yang diterima pekerja kuli sungguh rendah sehingga mereka nyaris menjadi “pengangguran terselubung”. 23 Ia menyatakan,

“Sebagaimana penggantian tanam paksa atau sanksi pidana dengan kontrak bebas, belum terbukti merupakan karunia yang sesung- guhnya bagi para pekerja perkebunan, maka penggantian kerja pak- sa dengan pekerja upahan untuk pekerjaan umum tidak menunjuk- kan keuntungan yang jelas bagi para pekerja yang terkait”. 24

Hasil penelitian itu tidak membawa implikasi kebijakan apapun meski kesimpulannya menjadi pembicaraan umum di kalangan Belanda. Menjelang akhir periode sebelum perang, gambaran paradoksal muncul, sistem perbudakan secara resmi memang telah dihapuskan, namun dalam kaitannya dengan pasokan tenaga kerja yang semakin banyak di perkebunan dan pelabuhan, muncul kemungkinan terjadinya kekerasan baru. Ter- lebih pada masa pendudukan Jepang. 25

Penelitian di atas diperlukan sebagai bagian dari proses pen- ciptaan pengetahuan tentang seperti apa kehidupan pekerja perkebunan dan petani yang darinya dapat dirumuskan standar anggaran. Dari situ dapat tercipta standar minimal “rust en orde”, sehingga tidak terjadi “agrarian unrest” atau keresahan agraria di wilayah perusahaan perkebunan. Penelitian tidak dimaksudkan untuk melakukan penataan ulang atas struktur agraria, walau

23 Bandingkan juga penegasannya kembali dalam W. F. Wertheim, (1999) op.cit., hal. 201.

24 Ibid. , hal. 208. 25 Ibid. , hal. 213.

Melacak Sejarah Pemikiran Agraria sistem ketenagakerjaan yang berdampak pada kemiskinan tam-

pak secara gamblang. Dalam kata pengantar atas laporan yang telah diterjemah- kan ke dalam bahasa Inggris, Goerge McTurnan Kahin menya- takan bahwa kesimpulan itu mengkonfirmasi mengapa para pekerja perkebunan memberi dukungan positif terhadap para pe- mimpin revolusi. Sekaligus memberi pemahaman mengapa or- ganisasi buruh pasca-revolusi dapat berkembang demikian kuat

di antara buruh perkebunan. 26 Hal terakhir telah sangat gam- blang ditunjukkan oleh Ann Laura Stoler dalam kasus perkebu-

nan di daerah Pantai Timur Sumatera. 27 Demikian juga kuatnya SOBSI di berbagai wilayah perkebunan di Jawa dan periode awal

BTI yang beranggotakan para buruh perkebunan melebihi petani, terutama tahun-tahun sebelum peristiwa perjanjian Konferensi Meja Bundar.