Tentang Dua Ilmuwan “Mazhab Bogor”
B. Tentang Dua Ilmuwan “Mazhab Bogor”
Prof. Dr. Ir. Sajogyo, yang dikenal sebagai “Bapak Sosi- ologi Pedesaan Indonesia,” semula bernama Kampto Utomo. Ia dilahirkan di Karanganyar, Kebumen, 21 Mei 1926. Pada tahun 1955, ia lulus sarjana IPB. Selang dua tahun, langsung meraih Doktor pertanian di bawah promotor Prof. W. F. Wertheim. Ia pernah menjabat sebagai Rektor IPB selama setahun (Maret 1965-1966). 16
Pikiran-pikirannya tentang pembangunan pedesaan yang selalu memperhatikan lapis terbawah kaum tani, perempuan, dan kelembagaan lokal sangat berpengaruh tidak hanya dalam studi sosiologi pedesaaan di IPB, tetapi juga di dunia ilmu sosial (pedesaan) Indonesia. Di level kebijakan, perhatiannya tentang Usaha Peningkatan Gizi Keluarga (UPGK) diadopsi sebagai kebijakan posyandu, “taman gizi” ala Orde Baru. Hadirnya ber- bagai kerangka kelembagaan itu di desa-desa di Indonesia meng- gerakkan aktivitas tidak hanya kesehatan masyarakat tetapi juga pangan masyarakat (sebab menyangkut gizi: ketersediaan sumber karbohidrat, protein, dan mineral). Begitu juga “garis kemiskinan ala Sajogyo” yang didasarkan pada pendapatan “setara beras” minimal 240 kg untuk penduduk desa, dan 369 kg untuk pen- duduk kota per tahun. Mereka yang pendapatannya di bawah angka itu dapat dianggap miskin.
Dalam tulisan “semi-otobiografi”-nya, 17 Sajogyo menye- butkan bahwa setidaknya ia terlibat di tiga aras kelembagan: kampus, nasional, dan kelembagaan masyarakat (Civil Society
16 Atas alasan tertentu ia diberhentikan. Dengan persetujuan Menteri Perguruan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan (PTIP), Dr. Syaref Thayib, ia
mengundurkan diri. “Agar IPB tak lebih jauh terpecah, kami mundur saja”, demikian jelasnya dalam surat pribadi Sajogyo kepada penulis, 24 Mei 2007.
17 Ia menggunakan istilah menuju “profesionalisme baru”, Sajogyo, 2006, op.cit., hal. 43-116. Lihat pemetaan karirnya pada uraian Bab V.
Ahmad Nashih Luthfi Organization/ CSO). Di aras kampus, ia berperan dalam mendiri-
kan Program Studi Pasca Sarjana Sosiologi Pedesaan, LPM-IPB, LP Sosped IPB, dan Pusat Studi Pembangunan IPB. Di level nasional, ia berperan di lembaga Survei Agro-Ekonomika Depar- temen Pertanian, Usaha Peningkatan Gizi Keluarga (UPGK) di bawah Departemen Kesehatan, Dewan Riset Nasional mengetuai bagian Kebutuhan Dasar Manusia, dan Biro Pusat Statistik (BPS) dalam menganalisis indikator kesejahteraan rakyat dan menentukan Human Development Index. Di kelembagaan masya- rakat, ia tercatat sebagai anggota Yayasan Ilmu-ilmu Sosial, Per- himpunan Pertanian dan Kehutanan, Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia (PERHEPI), Gizi Pangan, dan penasehat Ikatan Sosiologi Indonesia (ISI), serta di beberapa lembaga swadaya masyarakat (LSM) di antaranya Sekretariat Bina Desa Jakarta, Pusat Pengembangan Perekonomian Rakyat (P3M), dan Forum Pengembangan Partisipasi Masyarakat (FPPM) Jakarta.
Berbagai tema yang digeluti adalah ikhtiar mengembang- kan bangunan kerangka teori bagi sosiologi pedesaan, pemba- ngunan pedesaan, pengurangan kemiskinan, transmigrasi, perbai- kan gizi keluarga, dan berbagai isu lain tentang pedesaan.
Ilmuwan kedua adalah DR. HC. Gunawan Wiradi, M. Soc. Sc. Ia tercatat dilahirkan di Solo 28 Agusutus 1932, men- dapat gelar insinyur dari Fakultas Pertanian Universitas Indone- sia (UI) Bogor (sekarang IPB), tahun 1963. Setelah itu, menerus- kan studinya di School of Comparative Sosial Sciences, Univer- siti Sains Malaysia (USM), Pulau Penang, Malaysia, tahun 1978 dan mendapat gelar M. Soc. Sc (Master of Social Sciences), serta pendidikan Non-Degree Program di Insitute of Social Studies (ISS), di Den Haag, Belanda, tahun 1989. Pada tahun 2009, ia mendapat anugerah Doktor Honoris Causa dari IPB dalam “Bi- dang Sosiologi Pedesaan dengan Bidang Kekhususan Kajian A- graria”.
Salah satu isu yang digeluti dalam bidang pedesaan adalah Reforma Agraria. Bukunya yang berjudul Reforma Agraria, Perjalanan yang Belum Berakhir memberi gambaran tentang gaga-
Melacak Sejarah Pemikiran Agraria sannya akan pelaksanaan Reforma Agraria di Indonesia. Menu-
rutnya, semasa rezim Orde Baru isu Reforma Agraria (RA) sangat dihindari. Baginya, Revolusi Hijau yang dijalankan tanpa didahu- lui Reforma Agraria (RH tanpa RA) tidak akan mampu men- transformasikan masyarakat Indonesia menuju masyarakat indus- trial sebagaimana yang dijanjikan. Argumennya, RH tidak meng- ubah apapun dalam struktur pedesaan, bahkan memperlebar ja- rak antara yang kaya dengan yang miskin, hingga melahirkan di- ferensiasi baru dalam masyarakat pedesaan.
Pendekatan yang harus dilakukan di dalam sistem pengetahuan dan kekuasaan semacam itu adalah pelaksanaan Re- forma Agraria by laverage (didongkrak dari bawah, berdasarkan pemberdayan terhadap petani), bukan by grace (hasil dari ke- murah-hatian negara). Pendekatan pertama akan mampu meng- ubah struktur penguasaan sumber ekonomi pedesaan dan meng- hasilkan pembangunan yang merata dibanding pendekatan ke- dua yang hanya mampu mengubah nilai dan fungsinya.