Raffles, riset kadaster dan “land rent system”
2. Raffles, riset kadaster dan “land rent system”
John Sturgus Bastin, sejarawan kelahiran Australia yang pernah mengeditori Jurnal Malayan and Indonesian Studies, dalam disertasinya yang dibimbing oleh J. H. Boeke, khusus menulis tentang gagasan Raffles mengenai sistem sewa tanah di Jawa. Menurut J. S. Bastin, sistem itu adalah cerminan dari sistem pajak atas tanah di Inggris, yang merupakan pengejawentahan dari gagasan Adam Smith, James Stuart Mill, Sinclair, dan be- berapa tokoh penggagas ekonomi politik pada abad 18 kala itu. Sistem ini mengalasi penetrasi ekonomi uang dan ekonomi libe-
ral pada masyarakat pribumi. 14 Pada pertengahan abad 18, ke- majuan material yang terjadi di Inggris dinilai sebagai suatu perkembangan yang wajar. Gagasan modern menyebar dari Ing- gris. Dalam hal ini pikiran Raffles terkait dengan ide liberal David Ricardo (1772-1823) yang melahirkan konsep tentang “the rent of land” beserta teorinya. Gagasan ini dikombinasikan dengan ide Thomas Robert Malthus (1766-1836) yang sangat berpengaruh pada masa itu dan dirasakan langsung gaungnya oleh Raffles. 15
Sebagai sebuah kenyataan sosial, penerapan kebijakan pajak atas tanah di Jawa didasarkan pada pengalaman di India, ketika pemerintah Inggris berkuasa di sana. Pada masa kekaisaran Moghul di India (1526-1707), negara dianggap sebagai pemilik tanah, atau super land-lord. Merujuk pada pengalaman ryotwari di
13 Parakitri T. Simbolon, Menjadi Indonesia (Jakarta: Kompas, 1995), hal. 85-88.
14 John Sturgus Bastin, The Development of Raffles’s Ideas on The Land Rent System in Java ( s’Gravenhage: 1954), hal. Ix.
15 Sediono M. P. Tjondronegoro, Negara Agraris Ingkari Agraria: Pemba- ngunan Desa dan Kemiskinan di Indonesia (Bandung: Yayasan Akatiga, 2008), hal.
Melacak Sejarah Pemikiran Agraria India, pajak tanah mulai diperkenalkan di Jawa. Kebijakan ini
berasumsi bahwa kedua kawasan tersebut mempunyai tingkat kemiripan yang tinggi, hasil dari proses difusi dari Asia Selatan.
Dalam sistem ryotwari, negara memberi perlindungan pada rakyat-petani (ryot) yang tersebar mengikuti masing-masing tuan tanah (zamindar). Dengan kebijakan itu, negara berinteraksi langsung dengan rakyat. Sistem zamindari dengan demikian dihapus. Pemukiman terbentuk pada periode sistem ini. Para ryot dilindungi dari pengusiran sepanjang mereka memberikan sejumlah bayaran (sebagai biaya sewa) kepada pemerintah. Pemukiman sistem ryotwari ini diperkenalkan oleh Thomas Munro segera setelah ia menguasai wilayah Madras pada seper- empat pertama abad 19. 16
Dalam kasus Jawa, berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Tim Mackenzie atas kondisi agrarianya, disimpul- kan bahwa status tanah-tanah yang ada merupakan milik raja/ke- rajaan. Tim bentukan Raffles yang dipimpin Mackenzie, yang berdasarkan instruksi Gubernur Jenderal Inggris Lord Minto, menginginkan dilakukannya reformasi total peraturan sewa tanah dan bagi hasil yang ada. Tujuannya adalah untuk mening-
katkan produksi dan kesejahteraan petani. 17 Tanah dan tenaga kerja merupakan faktor produksi yang penting artinya bagi di- kembangkannya ekonomi industrial perkebunan. 18
“Dari penyelidikan yang dilakukan pemerintah Inggris dan berbagai fakta yang dikumpulkan para pegawai pemerintah, tercatat bahwa di sebagian besar pulau ini, di distrik timur dan tengah, tidak ada perjanjian antara penguasa lokal dan petani, dan
pemerintah merupakan satu-satunya pemilik tanah ”. 19 (garis miring dari penulis, ANL)
16 Lihat, Gunawan Wiradi, “Landreform in India, Report on The Visit of Indonesian team to Punjab and West Bengal”, paper dipresentasikan dalam Policy
Workshop on Agrarian Reform in Comparative Perspective , Sukabumi, 17-30 Mei, 1981, hal. 5. Lihat juga, John Sturgus Bastin, op.cit., hal. 5-7.
17 Thomas Stamford Raffles, The History of Java (Yogyakarta: Narasi, 2008 [terjemahan]), hal. 97.
18 Sediono M. P. Tjondronegoro, loc.cit. 19 Thomas Stamford Raffles, op.cit. hal. 88.
Ahmad Nashih Luthfi Mengingat bahwa Jawa sedang berada dalam kekuasan
pemerintahannya, maka Raffles berkesimpulan bahwa status tanah dimiliki oleh pemerintah atau negara. Inilah yang disebut dengan “domein theory”, yaitu teori tentang kepemilikan negara yang lahir dari hasil penyelidikan komisi yang dibentuk oleh Raffles pada masanya. Dalam buku babonnya itu ia menyatakan, “Tanah, setelah disurvei dan diukur, akan diberikan kepada peta- ni menurut proporsi yang adil. Kontrak diadakan antara petani
dan pemerintah secara pribadi…”. 20 Pernyataan ini mengindikasi- kan bahwa yang bertindak sebagai super-land lord adalah pemerin- tah, yang saat itu dipimpinnya.
Selain memberi dasar domein theory, hasil riset dan kebijakan kadastral Raffles memberi gambaran tentang luas tanah dan jumlah petani yang kemudian dapat diberlangsungkan kontrak sewa-menyewa. Petani diharuskan membayar sejumlah uang se- bagai ongkos sewanya kepada negara. Biaya ini dianggap sebagai
pembayaran pajak atas tanah. 21 Sistem tenurial yang semula be- ragam bentuk sesuai hirarki feodalitasnya, berubah menjadi ben- tuk kepemilikan mengikuti konsep barat, yakni “property” atau “eigendom”.
Pemerintahan Raffles dalam melaksanakan sistem pajak atas tanah itu sangat mengandalkan struktur lama berupa peran elite lokal. Dengan demikian, elite lokal mengalami restorasi keku- asaan setelah sebelumnya berangsur didepolitisasi oleh Daendels. Raffles juga menjual tanah dalam jumlah besar, termasuk tanah- tanah yang telah lama didiami penduduk kepada perusahaan pri- badi (perusahaan partikelir). Penjualan itu disertai dengan sege- nap peralihan hak “feudal” kepada perusahaan itu (hak mengutip pajak dan pengerahan tenaga kerja di perkebunan). 22
Pelaksanaan sistem pajak tanah berlangsung variatif. Secara umum dikenakan pajak secara komunal/desa (sebagaimana yang lebih dahulu diterapkan di Banten), namun di Probolinggo sis-
20 Ibid. hal. 98. 21 Gunawan Wiradi, Reforma Agraria, Perjalanan yang Belum Berakhir (Yogyakarta dan Bandung: Insist, KPA, dan Pustaka Pelajar, 2000), hal. 122-123. 22 Luiten van Zanden, op.cit., hal. 7.
Melacak Sejarah Pemikiran Agraria tem itu dikenakan pada orang-perorang/perkepala. Penerapan
pajak komunal menjadi sumber masalah ketika petugas pengum- pul pajak menetapkan standar yang lebih tinggi. Di Pekalongan
penetapan itu berakibat perpindahan penduduk. 23 Standar biaya sewa tanah yang diterapkan bersifat pajak progresif dan bukan berdasar luas lahan, dengan ketentuan sebagai berikut:
Tabel 1. Standar Biaya Sewa Tanah 24
Lahan Sawah
Jenis Pertama ½ hasil produksi Jenis Kedua
2/5 hasil produksi Jensi Ketiga
1/3 hasil produksi Lahan Tegalan
Jenis Pertama 2/5 hasil produksi Jenis Kedua
1/3 hasil produksi Jensi Ketiga
¼ hasil produksi
Di Jawa sistem sewa tanah ini dijalankan oleh Raffles pada permulaan tahun 1815. Tepatnya pada tanggal 11 Februari 1814, sistem ini diberlakukan di Banten dan Cirebon, serta di distrik-distrik di kawasan timur, melibatkan lebih dari satu juta penduduk dan setengah juta petani. Pada tahun 1815 taksiran perolehan dari pajak tanah di Banten sebanyak Rp 349.271, dengan kenaikan sebanyak 4 kali dibanding tahun sebelumnya.
Namun, hanya Rp 160.211 yang diterima pemerintah. 25 Semen- tara dari kawasan timur, berhasil diperoleh jutaan rupiah. 26
23 D. H. Burger, op.cit. hal. 159. 24 Thomas Stamford Raffles, op.cit. hal. 99. 25 Lihat, John Bastin, “The Working of The Early Land Rent System in
West Java”, Jurnal Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 116 (1960), No. 3, hal. 305.
26 J. S. Bastin menyebut tiga macam mata uang yang berlaku dan digunakan saat itu: Dolar Spanyol (Sp. dr), Rix Dollars, dan Rupiah Jawa (Rp). Pada masa
Raffles, Sp. dr. 1 setara dengan 5 shilling Inggris, dan Rp 1 setara dengan setengah shilling. Dolar Spanyol dapat dikonversi kedalam Rupiah dengan ketentuan, Sp. dr. 1000 sama dengan Rp. 2.200. Lihat, J. S. Bastin, The Development, hal. x.
Ahmad Nashih Luthfi
Tabel 2. Taksiran Pendapatan dari Sewa Tanah, 1813 27
Daerah Perolehan
Cirebon Sekitar Rp. 218.736 Ulujami
Sekitar Sp. dr. 18.000-20.000 Pekalongan
Rp. 260.338 Kedu
Rp. 419.760 Grobogan, Jipang, Wirosari
Rp. 150.000 Semarang
Rp. 330.517 Demak dan Kendal
Sp. dr. 37.027 Pasuruan, Malang, Ontang
Rp. 530.000, ditambah pajak dari rumah petak: Rp. 20.000
Probolinggo, Besuki, Panarukan, Rp. 560.000, ditambah pajak dari Puger, Lumajang
rumah petak: Rp. 24.000 Banyuwangi
Rp. 52.000, ditambah pajak dari rumah petak: Rp. 6.000
Surabaya Rp. 1.236.000, setelah dikurangi biaya operasional sekitar 14%
Gresik Rp. 605.404 Rembang, Lasem, Tuban
Rp. 256.092 Jepara
Rp. 43.615 Juwana
Rp. 47.935 Kudus
Rp. 32.392 Pati
Rp. 105.685
Selain yang tersaji dalam tabel di atas, akibat yang ditimbulkan dari kebijakan itu yang diklaim oleh Raffles tergam- barkan secara prosaik sebagaimana berikut:
27 Diolah dari J. S. Bastin, op.cit., hal 163-176
Melacak Sejarah Pemikiran Agraria “ …pada awal bulan Desember 1815, beberapa bulan sebelum saya
meninggalkan pulau ini, saya melakukan perjalanan keliling ke berbagai provinsi untuk mengawasi secara langsung kemajuan implementasi sistem yang ada, sekaligus melihat angka kejahatan yang terjadi. Dan saya merasa puas dengan hasilnya.” 28
Berdasarkan berbagai laporan para bupati, disimpulkan bahwa kebijakan itu memberi dampak pada kemajuan di bidang pertanian, turunnya angka kejahatan, peningkatan produksi, perbaikan infrastruktur (terutama transportasi), dan perluasan lahan garap. Laporan-laporan itu mencatat berbagai kemajuan di beberapa kota di Jawa seperti Cirebon, Tegal, Pekalongan, Kedu, Jepara, Rembang, Gresik, Surabaya, dan Pasuruan. 29
Periode Raffles memberi gambaran bagaimana setiap kebijakan yang lahir dari suatu rezim didasarkan pada riset yang mendalam. Hal ini menjelaskan bagaimana pertautan pengeta- huan dan kekuasaan yang saling terkait dan berjalin berkelindan membentuk diri. Raffles yang menjadi anggota dari Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen (Masyarakat Batavia
untuk Seni dan Ilmu Pengetahuan), 30 dengan kegairahan era liberal saat itu, meletakkan dasar-dasar sistem registrasi pertanahan. Sistem itu memberi dua arti: negara sebagai tuan tanah baru menggantikan penguasa tradisional sebelumnya; dan terbukanya aksesibilitas tanah oleh siapapun yang mampu membayar uang sewa (pada kenyataannya juga membeli) kepada negara.
28 Thomas Stamford Raffles, op.cit. hal. 100 29 Ibid. 30 Sejarah riset saintifik yang dilakukan oleh orang-orang Eropa di kawasan
tropis-Indonesia, dan kaitannya dengan praktik kolonialisme, serta berbagai lembaga yang muncul dalam kaitannya dengan hal itu, telah disketsakan oleh Peter Boomgaard dalam, “The Making and Unmaking of Tropical Science Dutch Research on Indonesia, 1600-2000”, Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde (BKI) , 162-2/3 (2006), hal. 191-217. Menurut Boomgaard, Bataviaasch Genootschap lahir pada tahun 1778 pada era revolusi ilmu pengetahuan kedua. Ia dicirikan pada semangat “Enlightenment” yang pada saat bersamaan didirikan juga Linnean Society di London. Bataviaasch Genootschap beranggotakan para borjuis amatir seperti pengacara, tokoh Protestan, para birokrat dan pekerja VOC.
Ahmad Nashih Luthfi Pada gilirannya, ketika pemerintah Raffles memerlukan
biaya tinggi guna keberlangsungan roda pemerintahan di India, ia membuat keputusan menjual tanah, termasuk desa-desa dan penduduknya yang mendiami luasan tanah itu, kepada pihak swasta. Pengusaha swasta menerima “berkah” atas segenap peralihan hak “feudal” yang diberikan pemerintah, baik me- nyangkut hak mengutip pajak, pengerahan tenaga kerja, dan sebagainya. Tercatat di Karesidenan Batavia, Karawang, Sema- rang dan Surabaya, tanah-tanah dijual kepada pihak swasta (Ti- onghoa). 31
Era liberal telah dimulai dengan nyata. Problem ketersediaan tanah telah dipecahkan, tinggal bagaimana faktor produksi lain dipersiapkan oleh rezim penerus: tenaga kerja murah. Ekonomi liberal Raffles ditandai dengan regulasi pertanahan dalam rangka menghidupkan “aset-aset yang mati” sebab dikuasai dalam sistem feodal/adat, satu gagasan yang menemukan bentuknya kembali pada pergantian abad 20-21 melalui tokohnya, Hernando de Soto. 32