Konstruksi atas Desa: Lokal dan Global

A. Konstruksi atas Desa: Lokal dan Global

Sejarah pedesaan Indonesia adalah sejarah agraria, yakni tentang bagaimana tanah sebagai ruang fisik, geografis, ruang so- sial-kultural dikuasai, diatur, dikelola, dan dieksploitasi. Hal ini menunjukkan bahwa sejarah Hindia Belanda adalah sejarah ten- tang “invention of tradition,” dengan seperangkat nilai-nilai yang hendak dicangkokkan: kapitalisme dan liberalisme. Kedua nilai ini termanifestasikan dalam bagaimana tanah diolah, tenaga kerja dikerahkan, modal dibentuk, dan bagaimana birokrasi dibangun.

Bagaimana desa dibayangkan oleh para penulis, dapat disi- mak dalam uraian berikut:

“Di Djawa dan Madura, desa itu terdjadi dari sekumpulan ‘tanah pekarangan’ jang biasa diberi tanda berupa pagar keliling, baik ter- djadi dari pagar hidup, maupun pagar batu tembok, kaju ataupun bambu. Diatas pekarangan berdiri sebuah atau beberapa buah rumah kediaman penduduk beserta lumbung padi, kandang sapi, kuda, kambing, kerbau. Pekarangan-pekarangan itu dari udjung desa jang satu keudjung desa jang lain disambung dengan djalan- djalan desa. Ditepi desa djalan-djalan itu biasanja ditutup dengan sebuah pintu dari kaju atau bambu, jang pada waktu malam dikun-

Ahmad Nashih Luthfi tji dari dalam dengan kuat. Dimuka pintu d tu desa itu disebelah dalam

berdiri sebuah gardu tempat pendjagaan”. 1

Gambar 1. Desa Jawa dan Reorganisasinya se a selama dan setelah Sistem Tanam Paksa, 1830 dan an 1835 (Sumber: Robert Cribb, Historical Atlas of Indonesia (Honolulu: University of Hawaii Press, 2000))

Desa sebagaimana gambaran di atas as demikian tertata de- ngan rapi. Menariknya adalah sejak kapan an desa dalam gambaran semacam itu mulai ada; di zaman pra-ko kolonial ataukah sejak kolonialisme masuk (dan pada periode kap kapan)? Beberapa sejar- awan memberi pandangan yang berbeda-bed beda. Desa yang digam- barkan sebagai unit yang homogen, stabil, il, penuh ketenteraman, adalah pencitraan yang oleh sebagian sejara ejarawan dipandang bersi-

fat ilutif belaka. 2 Pandangan itu mengasum sumsikan bahwa desa Ja- wa bersifat terisolasi, “timeless”, tercukupi d pi dengan sistemnya sen- diri. Sehingga ketika unsur-unsur eksternal al (yang dibawa oleh re- zim Kolonial) masuk seperti melalui admin inistrasi, pembangunan infrastruktur, penyuluhan, ekonomi moneter eter, dan transisi menu-

1 Soetardjo Kartohadikoesoemo, Desa (Yogyaka karta: Sumur Bandung, 1965 [cetakan kedua]), hal. 4.

2 Jan Breman, The Village on Java and The Early Early Colonial State (Rotterdam: CASP, 1980) hal. 5.

Melacak Sejarah Pemikiran Agraria ju produksi berorientasi pasar, desa mengalami disintegrasi dan

diversifikasi. Pandangan yang ilutif itu dianut oleh Boeke, Schrieke, dan van Vollenhoeven. Pandangan semacam ini pula yang agak- nya menandai romantisasi dalam historiografi Indonesiasentris. Cara pandang itu seakan-akan menafikan realitas internal yang sejak mula memiliki kondisi yang kompleks, telah terdiferensiasi, dan dengan segenap potensi konfliknya. Di sini, suatu bentuk glorifikasi atas masa lalu (yang dinilai lebih murni, lebih baik, dan asli) dengan rujukan-rujukannya yang tidak (selalu) jelas, akan menjadi persoalan tersendiri; tentang keaslian mana dan macam apa yang kemudian diidealkan. 3

Berbagai cara pandang yang menitikberatkan pada homo- genitas, kesatuan, ketertutupan, ketidakterbagian, dan kelamba- nan, menjadi pijakan berbagai kebijakan pemerintah Kolonial. Pandangan itu menjadi legitimasi atas proses pembangunan ne- geri Hindia Belanda. Belakangan seorang ilmuwan sosial asal Belanda, Jan Breman, membantah cara pandang seperti itu. Ia menunjukkan, setidaknya telah ada dua nama yang memberikan pandangan berbeda dalam melihat desa Jawa: Wertheim dan Onghokham. Wertheim sadar benar bahwa ada hubungan-hubu- ngan “patrimonial” di dalam masyarakat Jawa, yang membe- dakan satu kelompok dengan kelompok lainnya. Sementara Ong- hokham melalui disertasinya menunjukkan telah adanya “dife- rensiasi internal” masyarakat, baik sebelum maupun ketika ber- langsung pemerintahan Kolonial. 4

Bagi Jan Breman sendiri, desa lebih menyangkut “the problem of resources management: how exercise control over the Javanese peasants and their products ”. 5 Desa adalah arena kontestasi perebu- tan atas sumber daya itu. Di dalamnya terdapat “pola relasi vertikal” dan “keragaman horisontal”. Gejala landless population menurutnya telah ada sejak abad XIX, sehingga depesantization

3 Ibid., hal. 6. 4 Ibid. , hal. 8-9. 5 Ibid. , hal. 3.

Ahmad Nashih Luthfi bukanlah hal baru. Proses itu telah dapat dijumpai pada abad

lampau. Kesempatan kerja penduduk yang tidak memiliki tanah hanyalah dengan cara menjual tenaganya sebagai buruh di per- kebunan (internasional). Dengan demikian, keterintegrasian te- naga kerja sekaligus desa itu sendiri ke dalam sistem ekonomi global bukanlah hal baru pula.

Breman juga menjelaskan bagaimana sistem desa ditemu- kenalkan di bawah pemerintahan kolonial, yang eksistensinya tergambarkan pada permulaan abad ke-19. Dengan kata lain, komunitas desa adalah sebuah konstruksi kolonial. Sebagai sebuah “colonial practice”, konstruksi itu dibangun dengan cara yang bersifat “trial and error”. Akibat dari “coba-coba” dan “gagal” itu, kesemuanya harus ditanggung oleh masyarakat desa.

Benar bahwa desa di Jawa lebih tua usianya daripada desa-desa yang ditemu-kenalkan oleh kolonial, namun bagaimana gambaran tentang desa di abad-abad lampau itu tidak banyak yang bisa diketahui. Mengingat hampir tidak tersisa sedikitpun wilayah Jawa yang tidak terjamah oleh sistem baru Kolonial. (Desa) Jawa telah diberi fungsi baru. Jawa telah berubah dari bentuk aslinya.

Tentang bagaimana desa-desa Jawa berubah, dibentuk, ditemu-kenali oleh kekuasaan kolonial, dan sebaliknya bagai- mana seiring dengan itu format negara kolonial terbentuk, dapat dilihat dalam berbagai periode berikut.