Kajian Pustaka

E. Kajian Pustaka

Sejauh pengetahuan penulis, baru ada satu tulisan yang secara khusus membaca diskursus transisi agraria dan dalam konteks itu pembangunan pedesaan dibicarakan. Tulisan itu dikerjakan oleh Benjamin White, “Between Apologia and Critic Discourse: Agrarian Transition and Scholarly Engagement in

Indonesia”. 19 Ia mendiskusikan keterlibatan para sarjana Indone- sia dalam memproduksi wacana transisi agraria baik dari mereka yang cenderung melakukan apologi terhadap kebijakan negara maupun para ilmuwan yang menyuarakan sikap kritisnya. Namun, telaah Ben White tersebut hanya meletakkan satu kon- teks dalam melihat dinamika itu, yakni konteks global di mana wacana ekonomi politik pedesaan tidak terlepas dari pendesimi- nasian ilmu sosial melalui prakarsa negara luar dan lembaga donor, dan dalam kondisi semacam itu pula ilmu sosial di Indo- nesia bertumbuh. Adapun konteks pribadi orang per orang dalam pergulatannya sebagai ilmuwan seperti yang akan dilakukan oleh penelitian ini, tidak dibahas dalam paparan Ben White tersebut.

Dua buku lain lebih menekankan pada ketokohan dua ilmuwan tersebut, yakni Sajogyo, Bapak, Guru, dan Sahabat 20 , dan Menuju Keadilan Agraria: 70 tahun Gunawan Wiradi. 21 Buku

pertama bernuansa personal, bermanfaat dalam memberi gamba- ran habitus Sajogyo. Buku kedua merupakan tulisan berbagai tema pedesaan yang dipersembahkan sebagai kado ulang tahun Gunawan Wiradi yang ke-70. Satu buku yang ditulis sendiri oleh Sajogyo menyajikan refleksi perjalanan karir “profesionalisme

19 Ben White, loc.cit. 20 Mubyarto, dkk., Sajogyo, Bapak, Guru, dan Sahabat (Jakarta: Yayasan Agro-Ekonomika, 1996). 21 Endang Suhendar, dkk., Menuju Keadilan Agraria: 70 tahun Gunawan Wiradi (Bandung: AKATIGA, 2002).

Ahmad Nashih Luthfi baru”-nya. 22 Buku ini berguna untuk mengetahui bagaimana

Sajogyo melihat dirinya sendiri (from within) dan perjalanan kariernya sebagai ilmuwan. Meski demikian, buku ini tidak seca- ra mendalam mengeksplorasi konteks yang lebih luas bagaimana situasi dan kondisi ilmu sosial (sosiologi pedesaan) saat itu.

Tuduhan kemandegan ilmu sosial dapat dilihat dari uraian Arief Budiman yang diwawancarai oleh majalah Prisma pada tahun 1983. 23 Ia menjelaskan bahwa kemandegan itu disebabkan ahistorisnya ilmu sosial di Indonesia. Tidak adanya dialektika antara yang empiris dengan ide menjadikan ilmu sosial di Indonesia semata-mata bersifat tekstual dan normatif. Ia tidak dipergulati ke dalam kondisi real masyarakat dengan melihat konteks historisnya masing-masing. Ilmu-ilmu sosial liberal diaplikasikan secara ahistoris. Tulisan ini memberi manfaat pada argumen tentang tuduhan kemandegan ilmu sosial di Indonesia dan melalui pengalaman kedua tokoh Bogor yang dikaji, benarkah tuduhan itu berlaku bagi mereka. Jika tidak, apa dan bagaimana pengalaman mereka berdua sampai dengan tidak mengalami jebakan “kemandegan” tersebut.

Karya sejarah yang secara eksplisit dan tegas menunjukkan pendekatannya secara Marxis sekaligus Indone- siasentris adalah tulisan Malcolm Caldwell dan Ernest Utrecht, An Alternative History of Indonesia. 24 Cara pandang kedua penulis dalam melihat sejarah Indonesia dengan menghadapkannya pada pertumbuhan kapitalisme sangatlah berbeda. Penulis menun- jukkan bagaimana praktik pemerintah kolonial melalui berbagai eksperimen kebijakannya (mulai dari periode VOC, Daendels, Raffles, van Der Capellen, Culttuurstelsel, Ekonomi Liberal, Politik Etis, hingga ekonomi Orde Baru) adalah bagian dari pemantapan aktifitas ekonomi kapital, dan dalam konteks inilah negara

22 Sajogyo, Dari Praktek ke Teori dan ke Praktek yang Berteori (Jakarta: Yayasan Agro Ekonomika, 2004). Tulisan ini dimuat kembali dalam Sajogyo, 2006, loc. cit.

23 Arief Budiman, “Ilmu-ilmu Sosial Indonesia Ahistoris”, Prisma 6, Juni, 1983, hal. 74-90.

24 Malcolm Caldwell & Ernst Utrecht, An Alternative History of Indonesia (Sidney: Apcol, 1979).

Melacak Sejarah Pemikiran Agraria Indonesia dibentuk (state formation). Negara lahir dan hadir guna

memfasilitasi kepentingan kapital yang telah berkembang di su- atu kawasan (negeri jajahan).

Sudut pandang marxis tersebut mewarnai dalam setiap bab buku mereka. Dalam konteks akselerasi dan akumulasi kapital yang difasilitasi oleh negara Kolonial dan negara Orde Baru itu- lah, proses marjinalisasi dan ketercerabutan rakyat dari sumber- sumber produksi terjadi. Kekerasan kemanusiaan, persoalan HAM, kemiskinan, ketidakadilan (Pembantaian PKI dan Kasus Timor Timur), menjadi sorotan penulis. Di sinilah letak Indone- sia-sentris dari buku itu, yang secara tegas dinyatakan kedua pe- nulisnya.

Buku di atas membantu dalam melihat sejarah panjang yang terjadi sejak masa Daendels hingga Orde Baru. Perjalanan pan- jang sejarah itu tidak akan diabstraksikan ke tingkatan filsafat sejarah, dengan mencari pola gerak sejarah, misalnya, namun sebagai perspektif di dalam melihat bagaimana partikularitas sejarah.