Kritik atas Pelaksanaan Revolusi Hijau
E. Kritik atas Pelaksanaan Revolusi Hijau
Dalam proses alih teknologi di bidang pertanian, menjadi penting mensituasikannya dengan konteks sosial. Sebab tekno- logi tidaklah pernah netral secara sosial (socially neutral). Revolusi Hijau menyajikan gambaran bagaimana saling terkait hubungan antara negara, sains, dan kontrol sosial. Sebagaimana argumen Perkins, “Penanaman benih varietas unggul hanyalah dapat dipa- hami melalui tekanan politik yang dilakukan oleh pemilik keku- asaan terhadap lapis bawah”. 44
43 Yujiro Hayami, “Ecology, History, and Development: A Perspective from Rural Southeast Asia”, op.cit. hal. 1
44 Mengenai antar-relasi ini diulas mendalam oleh John H. Perkins, op.cit. terutama pada Bab 5 dan Bab 10. Dalam kasus Indonesia, bentuk kekerasan oleh
aparat keamanan dalam pelaksanaan Revolusi Hijau dan penolakan terhadap benih unggul dapat disimak dalam laporan sebuah media, “4 penduduk desa Montang Betok, Lombok Timur, direndam di halaman Kodim setempat. Mereka dituduh melakukan subversi karena berani menanam padi lokal di sawahnya”, Tempo,
19 Februari, 1983.
Melacak Sejarah Pemikiran Agraria Revolusi Hijau adalah sepotong kisah bekerjanya struktur
kekuasaan sosial di pedesaan. Kondisi dan problem agraria yang berbeda-beda di setiap daerah berdasar keragaman geographic- historical -nya masing-masing akan memberi respons dan dampak yang berbeda-beda pula terhadap pelaksanaan Revolusi Hijau di Asia Tenggara. Di antara beberapa dampak negatifnya yang telah banyak dikritik adalah beberapa hal berikut.
1. Diferensiasi sosial
Revolusi Hijau telah mengakibatkan diferensiasi sosial dalam proses, bentuk, indikasi, dan mekanisme yang berbeda- beda di kawasan Asia Tenggara. 45 Intinya, pelaksanaan Revolusi Hijau melalui pengenalan benih baru, penggunaan alat-alat pertanian modern, penggunaan bahan-bahan kimia, penyuluhan dan pemberian kredit, hanya dapat diakses oleh kalangan atas masyarakat tani. Dalam kondisi penguasaan tanah yang timpang dan tidak dilakukan restrukturisasi terhadapnya, pelaksanaan Revolusi Hijau justru mengakibatkan semakin jauhnya kesen- jangan (social and economic gap) antara petani kaya dengan petani miskin (buruh dan tuna kisma).
dan non-pertanian berlangsung dalam pola yang hampir sama di semua kawasan Asia Tenggara, yakni aktivitas non-pertanian (non-agricultural
Diversifikasi antara
pertanian
activities ) dilakukan oleh “petani kaya” dan “petani miskin”, 46 dan sedikit oleh “petani menengah”. Artinya, petani kaya dapat merambah sektor non-pertanian sebab mampu melakukan “aku- mulasi” atas aktivitas pertaniannya yang telah diuntungkan oleh berbagai sarana yang didapat dari kebijakan Revolusi Hijau. Sementara petani miskin menjalani aktivitas non-pertaniannya sebagai strategi “survival” atau bertahan hidup.
45 Berbagai tulisan dalam Gillian Hart cs. op.cit., menyajikan gambaran diferensiasi sosial di Indonesia, Thailand, Filipina, dan Malaysia, dengan bentuk,
tingkat, dan cara yang berbeda-beda. 46 Ibid . hal. 9.
Ahmad Nashih Luthfi Dalam kasus di Luzon, Filipina, mekanisasi pertanian
difasilitasi melalui kredit Bank Sentral yang bekerja sama dengan International Bank for Reconstruction and Development (IBRD) dan kesediaan Bank Swasta menerima Sertifikat Transfer Tanah sebagai jaminan atas pinjaman pembelian mesin. Tenaga kerja buruh dan pengolahan menggunakan kerbau menurun tajam. Penggunaan herbisida menyingkirkan peran perempuan yang
semula bekerja sebagai pemulia benih. 47 Jika pinjaman untuk pembelian mesin itu tidak terbayar, maka tanah yang telah diagunkan akan berpindah ke tangan bank yang selanjutnya dapat diperjualbelikan ke pihak lain.
2. Marjinalisasi perempuan
Dalam analisis jender, strategi pembenihan Revolusi Hijau yang maskulinis telah merusak dan memarjinalkan “self-repro- ducing character and genetic diversity of seeds ” yang memiliki dasar- dasar feminis. IRRI dan berbagai korporasi perbenihan telah mengusir perempuan dalam peran mereka sebagai “pembenih”, suatu pengetahuan yang telah mereka miliki dan praktikkan berabad-abad. Bahkan di Filipina, para petani yang telah banyak dirugikan oleh Revolusi Hijau menyebut IRRI sebagai “imperialisme perbenihan”, “menabur benih pemerintah, berarti menabur rugi”. 48
Pengalaman Indonesia memberi gambaran serupa. Para pemilik tanah tidak hanya memperoleh keuntungan dari produk- si sawahnya, namun juga mereka mampu membeli mesin giling (huller) dan menggantikan peran perempuan yang biasanya ber- tugas menumbuk padi. Efektivitas dan efisiensi yang dihasilkan oleh mesin giling tentu lebih tinggi daripada menumbuk secara manual, sekitar 25% selisihnya. Seiring juga dengan sistem pemanenan yang tidak lagi dilakukan secara konvensional, na- mun menggunakan sistem borongan yang memakai tenaga kerja
47 Brian Fegan, op.cit., hal. 138. 48 Vandhana Shiva, Women Ensure Survival, hal. 1-2, sumber: www.metafro.be/leisa/1989/5-4-7.pdf, diakses tanggal 23 Juni 2009.
Melacak Sejarah Pemikiran Agraria dari luar dan didominasi oleh pria. Pemanen luar menggeser pe-
manen dalam. Frans Husken dalam disertasinya yang mengambil lokasi di desa Gondosari, Tayu, Pati Jawa tengah, menuliskan hal ini. 49 Ia mengutip paparan beberapa perempuan yang ada di wilayah stu- dinya, Tayu, Jepara,
“Pukulan apa yang tidak terjadi kepada kami selama ber- tahun-tahun belakangan ini. Mula-mula datang mesin selép yang membikin mati usaha kami sebagai tuton (pedagang beras kecil-kecilan). Kemudian pemilik sawah menyerahkan tanduran kepada kelompok-kelompok tetap wanita dan pria yang dianggap berpengalaman dan ahli, sehingga kami tidak kebagian kerja…Semua yang dulunya ikut serta dalam men- derep dan mengasak, sekarang hanya menganggur tinggal di rumah. Bila dulu gampang mendapat kerja, sekarang kok semakin susah...Wong cilik dipateni kabeh. 50
Secara umum, marginalisasi perempuan tidak hanya terjadi akibat pengenalan teknologi modern namun juga adanya alih fungsi lahan, pembatasan terhadap komoditas tertentu, kelem-
bagaan, dan aplikasi program gender pada pertanian. 51 Proses marginalisasi buruh tani dan petani miskin terjadi bersamaan de- ngan terkonsentrasinya kepemilikan tanah di balik peningkatan produksi pertanian selama Revolusi Hijau.
3. Migrasi sebagai bentuk nyata deagrarianisasi
Proses “deagrarianisasi” dan “marjinalisasi perempuan” telah banyak ditunjukkan dalam berbagai penelitian. Istilah seperti “housewife-ization” yang ditemukan dalam kajian di Malaysia Barat, dimana perempuan memiliki julukan “seri rumah tangga”
49 Ringkasannya dapat dibaca dalam Frans Husken, Cycles of Commercia- lization and Accumulation in A Central Javanese Village, dalam Gillian Hart cs.,
op.cit. , hal. 303-331. 50 Frans Husken, Masyarakat Desa dalam Perubahan Zaman: Sejarah
Diferensiasi Sosial di Jawa 1830-1980 (Jakarta: Grasindo, 1998), hal. 265. 51 Ken Suratiyah, “Gender dan Pertanian”, dalam Sih Handayani dan Yos
Soetiyoso (Ed.), Merekonstruksi Realitas dengan Perspektif Gender (Yogyakarta: Serikat Bersama Perempuan Yogyakarta, 1997), hal. 101-112.
Ahmad Nashih Luthfi (fulltime housewives) di Negeri Sembilan, memberi gambaran ten-
tang dampak mekanisasi terhadap tenaga kerja pertanian. 52 Kasus serupa terjadi di Filipina dan Indonesia. Di Filipina, antara tahun 1977-1984, fenomena yang tampak nyata di desa Pampangan adalah migrasi tenaga kerja perempuan ke negeri Saudi Arabia. Dari total tenaga kerja yang berjumlah 488 jiwa, tenaga kerja pertanian menurun dari 59 menjadi 46 orang (10%), dan pekerja migran ke luar negeri naik dari 17 menjadi 78 (17%), disusul dengan kenaikan tukang batu, tukang kayu, dan tukang tembaga (tinsmith) dari 47 menjadi 108 (23%). Jumlah supir, konduktor, dan pengemudi kendaraan roda tiga naik dari
24 menjadi 50 (11%). 53 Kasus mengenai ketunakismaan dan konsentrasi penguasaan tanah, disusul dengan migrasi sirkuler maupun migran luar negeri di Indonesia (TKI/TKW), ditunjukkan dalam studi Jan Breman dan Gunawan Wiradi dalam Masa Cerah dan Masa Suram di Pede- saan Jawa, yang mengambil lokasi di Subang Utara dan Cirebon Timur. Jumlah tunakisma meningkat menjadi 78% dengan ku-
rang dari 20 rumah tangga menguasai 80% luas tanah. 54 Tampak nyata adanya diferensiasi sosial. Lokasi penelitian ini juga meru- pakan lokasi penelitian Hayami-Kikuchi. Breman-Wiradi meno- lak argumen Hayami-Kikuchi yang menyatakan bahwa baik orang miskin maupun orang kaya menikmati keuntungan dari Revolusi Hijau. Bukan hanya meningkatnya kesenjangan, namun yang terjadi adalah relasi patron-client yang pernah berfungsi memberi “jaminan sosial” terhadap orang miskin sudah tidak ada
52 Jonathan Rigg, “Rural-urban Interactions, Agriculture and Wealth: A Southeast Asian Perspective”, Progress in Human Geography, 22, 4 (1998), hal.
508. 53 Cynthia Banzon-Bautista, “The Saudi Connection: Agrarian Change in A
Pampagan Village, 1977-1984”, dalam Gillian Hart, Andrew Turton, dan Benjamin White (ed.), op.cit., hal 149.
54 Jan Breman dan Gunawan Wiradi, Masa Cerah dan Masa Suram di Pedesaan Jawa: Studi Kasus Dinamika Sosio-Ekonomi di Dua Desa Menjelang Akhir
Abad ke-20 (Jakarta: LP3ES-KITLV, 2004), hal. 64-65.
Melacak Sejarah Pemikiran Agraria lagi. 55 Orang lapis bawah tidak hanya tercerabut dari tanahnya
(sebagai alat produksi), namun juga ikatan sosialnya. Bahkan untuk bertahan hidup, tunakisma dari Cirebon Timur pergi ke luar kota. Mereka tidak lantas beralih pada jenis pekerjaan lain, sesuatu yang juga sulit didapatkan, namun ba- nyak juga yang menjadi tenaga kerja panen dengan pergi ke dae- rah-daerah sekitar Jakarta, bahkan hingga ke Banten. Pilihan ini disertai ancaman pengusiran oleh tenaga kerja setempat dan persaingan dengan tenaga kerja lainnya, bahkan adanya pem- bakaran terhadap gubug-gubug tempat singgah mereka. 56
4. Keresahan pedesaan
Dalam bukunya berjudul Perlawanan Kaum Tani, 57 James C. Scott memberi contoh perlawanan yang dilakukan oleh petani Malaysia pada tahun 1978-1980, sebagai dampak dilak- sanakannya Revolusi Hijau. Bentuk pertama adalah perlawanan perempuan-perempuan penanam yang memboikot pemilik tanah sebab mendatangkan alat-alat panen kombinasi guna menggan- tikan kerja tangan mereka. Kedua adalah perlawanan dalam ben- tuk pencurian hasil panen oleh petani pekerja sebelum diangkut dari areal tanam maupun ketika berada di rumah pemiliknya. 58
Wilayah yang diceritakan Scott adalah desa yang dina- mainya Sedaka. Desa ini memiliki 74 rumah tangga, bertempat di Dataran Muda, Kedah, Malaysia. Pada tahun 1979 separoh keluarga miskin memiliki 3% dari lahan padi yang diusahakan dan menggarap termasuk tanah sewa 18%-nya. Ada sepuluh keluarga yang tidak mempunyai tanah. Di lain pihak, terdapat
10 keluarga kaya yang memiliki lebih dari setengah lahan padi yang ada di desa dan masing-masing mengolah rata-rata 8 acre (3,7168 ha).
55 Ibid., hal. 28. 56 Ibid., hal. 89-90. 57 James C. Scott, Perlawanan Kaum Tani (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,
1993). 58 Ibid. , hal. 278-282.
Ahmad Nashih Luthfi Pada tahun 1971 dilaksanakan Revolusi Hijau dengan
pengenalan cara baru dalam hal pola tanam dan mekanisasi alat- alat pertanian. Cara baru ini membawa keuntungan bagi pemilik lahan, sebab memberi dampak bergandanya panen. Ketika pada tahun 1980 di seluruh Dataran Muda mengalami mekanisasi, alat-alat potong kombinasi raksasa diperkenalkan. Alat yang di- beli dengan harga M$ 200.000 hanya dapat dibeli oleh sindikat- sindikat pengusaha. Alat ini memanen 80% dari tanaman padi sehingga menyingkirkan tenaga kerja petani. Pemilik lahan kecil, penyewa marjinal, dan buruh upahan menjadi dirugikan.
Secara sosial budaya, akibat dari kebijakan ini ikatan patro- nase memudar dan cara-cara sebelumnya guna mempertahankan ikatan itu jarang lagi dilakukan. Pengadaan pesta oleh petani ka- ya, pemberian zakat dan pemberian bonus panen pada tenaga kerja tani, sebagai strategi mempertahankan ikatan patron-klien di antara mereka, tidak lagi dilakukan sebab fungsi tenaga kerja petani telah digantikan oleh mesin.
“Bentuk perlawanan atas hadirnya mesin-mesin itu dilakukan dalam bentuk ‘perlawanan sehari-hari’; masuknya mesin dihalang-halangi, baterai-baterai mesin dikeluarkan, karburatornya dirusak, mesinnya dimasukkan ke saluran irigasi, pasir, lumpur atau pun benda-benda semisal paku dan besi-besi bekas dilemparkan ke dalam bor, dan sebagainya.” 59
James C. Scott mencatat tentang pencurian padi. Selama ta- hun 1979-1980, terdapat 10 kasus pencurian. Kasus yang kerap terjadi adalah pencurian karung-karung goni yang berisi gabah padi.
Beberapah hal di atas itulah yang dicatat James C. Scott aki- bat dari pelaksanaan Revolusi Hijau di Malaysia.
5. Punahnya keragaman hayati
Revolusi Hijau perlahan-lahan telah menyapu keragaman hayati yang ada di dunia. Amerika pada tahun 1986 telah me-
59 Ibid. , hal. 288-289.
Melacak Sejarah Pemikiran Agraria nyimpan 22% koleksi plasma nutfah yang ada di dunia, semen-
tara Uni Soviet 7%, India dan Malaysia masing-masing 6%. Plas- ma nutfah adalah gen asli yang dapat disilangkan menjadi varie- tas baru. Keberadaan plasma nutfah mayoritas ada di wilayah ne- gara Dunia Ketiga, namun umumnya dibenihkan di kawasan Utara, khususnya di Amerika Serikat. 60
Penggunaan herbisida, fungisida, dan pestisida, juga ikut andil merusak daur kehidupan pertanian. Hama tanaman alami ikut mati terkena racun yang disemprotkan ke batang-batang tanaman. Tindakan itu malah memunculkan berbagai penyakit tanaman yang tidak hanya menyerang areal persawahan, namun juga tanaman-tanaman di pekarangan. Hal itu juga disebabkan sistem monokultur yang diterapkan di persawahan.
Pahun 1975 di Indonesia terdapat 80 macam hama dan pe- nyakit tanaman yang mengancam tanaman padi, mulai dari we- reng yang dianggap paling ganas, tikus yang punya siklus 7 tahu- nan, sundep alias hama penggerek, belalang, dan walang-sangit. Ta- naman kelapa diserang oleh 85 macam hama dan penyakit. Di antara semua itu yang paling dahsyat adalah belalang Sexava Nu- bila yang sering menyerang kepulauan Sangihe-Talaud, serta Sexava Carne yang menyerang Maluku Utara, dan meloncat ke kepulauan Togean di Teluk Tomini. Tanaman jeruk terancam ti- dak kurang oleh 74 macam hama dan penyakit, dan jagung se- jumlah 51. 61