Setgab Koalisi Di Tengah Kekuatan Politik Konstitusional Parlemen

Setgab Koalisi Di Tengah Kekuatan Politik Konstitusional Parlemen

Peristiwa “politik – Century” yang pernah menguras energi begitu besar pemerintahan Yudhoyono, menjadi pelajaran berharga dan telah menyadarkan partai Demokrat dan Presiden Yudhoyono sendiri sebagai pemenang mutlak pilpres secara langsung. Bahwa saat ini realitas politik dalam ketatanegaraan Indonesia memang berepisentrum pada konstelasi kepentingan dan tujuan pragmatis partai-partai politik di parlemen.

Realitas politik legislative heavy (Baca : DPR) ini sejatinya telah memberikan magnitude besar dan warna terang pada sejarah ketatanegaraan dan politik Indonesia. Sejarah ketatanegaraan yang meletakkan dasar tentang tiadanya kekuasaan eksekutif yang efektif bagi siapapun Presiden pemenang Pemilu, tanpa adanya dukungan politik dari parlemen.

Melalui berbagai hak politik konstitusional yang dijamin UU, parlemen sebagai representasi kekuatan partai politik, mampu mengendalikan kemana arah kekuasaan eksekutif yang dijalankan oleh Presiden selaku kepala pemerintahan. Dalam konteks ini, sistem presidensial yang dianut Indonesia menjadi dispute substansinya, karena realitas politik tersebut secara empiris, sosiologis dan konstitusional menegaskan positioning kekuatan partai politik di parlemen yang secara pragmatis bisa berbuat apa saja terhadap eksekutif.

Dalam perspektif itulah, upaya untuk membangun komunalisme hubungan antar parpol di tengah iklim politik transaksional seperti saat ini, menjadi keharusan mutlak tidak bisa dihindari oleh parpol maupun presiden pemenang Pemilu. Walaupun parpol dan presiden terpilih memenangkan pemilu secara mutlak, mau tidak mau atau suka tidak suka, mereka harus bersanding- bekerjasama dengan istilah yang dipahami sebagai “koalisi” Dalam perspektif itulah, upaya untuk membangun komunalisme hubungan antar parpol di tengah iklim politik transaksional seperti saat ini, menjadi keharusan mutlak tidak bisa dihindari oleh parpol maupun presiden pemenang Pemilu. Walaupun parpol dan presiden terpilih memenangkan pemilu secara mutlak, mau tidak mau atau suka tidak suka, mereka harus bersanding- bekerjasama dengan istilah yang dipahami sebagai “koalisi”

Dengan penggambaran seperti itulah maka kecurigaan terjadinya kartel politik semakin tak terbendung walaupun kerap dibantah baik oleh eksekutif maupun kelompok partai pendukung pemerintah. Sebab partai pemenang pemilu sebagai partai yang “berhak” atas nation management “terpaksa” harus mengikat hubungan dengan kelompok partai politik lainnya. Jika ia sendirian, maka realitas politik dan konstitusional yang dikonstruksi oleh parlemen, tidak bisa membuat Presiden selaku eksekutif yang menjalankan pemerintahan bekerja secara leluasa. Terlebih-lebih bekerja secara otonom. Jadi teramat wajar untuk pemilihan anggota kabinet dan pemimpin BUMN saja, presiden “terpaksa” atau dengan kesadaran tinggi akan potensi bahaya atas legitimasinya, mengakomodir partai politik yang bisa dianggap mampu nantinya menjadi demarkasi bagi benteng kekuasaan presiden terhadap parlemen.

Model diktator –parlementarian dengan kemasan demokrasi konstitusional

yang kemudian menggambarkan bahwa kedaulatan rakyat hanya berlangsung pada saat pemilihan umum saja. Setelah mereka terpilih dan menjadi wakil rakyat dan wakil parpol di parlemen, maka kedaulatan ini lenyap sepanjang lima tahun perjalanan menuju pemilihan umum berikutnya. Yang ada adalah kedaulatan parpol yang diatur di dalam mekanisme politik di parlemen. Otoritarianisme konstitusional (karena diatur dalam tatib, mekanisme kerja di fraksi dan aturan lainnya) itulah yang saat ini membuat parlemen “lebih” berkuasa secara politik ketimbang eksekutif.

Koalisi : Bentuk Kegagalan Manajemen Konflik Politik Partai ?

Secara empiris, dengan mengacu kepada peristiwa kudeta politik konstitusional yang dialami oleh Presiden Abdurahman Wahid,

dan peristiwa politik – ekonomi “Bailout Bank Century”, maka wajar apabila presiden Yudhoyono membangun komunalisme

“kartel” politik dengan membentuk setgab koalisi partai pendukung pemerintah.

Walaupun secara normatif, keberadaan setgab merupakan upaya membangun sinergisitas dan kolaborasi konstruktif antar parpol, pada prakteknya pembentukan setgab ini dimanfaatkan untuk meningkatkan

politik dengan mengeksploitasi keuntungan semaksimal mungkin melalui struktur pemerintahan Yudhoyono.

resources

partai-partai

Dalam konteks yang demikian itulah sebenarnya presiden Yudhoyono mengalami dilema kepemimpinan yang amat laten sebagai kepala pemerintahan. Disatu sisi, keberadaan setgab koalisi dengan menu pembagian kue kekuasaan yang diberikan Yudhoyono ini dimaksudkan agar partai politik yang tergabung dalam setgab dapat “dikendalikan” untuk menjaga efektifitas pemerintahan. Namun di sisi lain, secara logis presiden Yudhoyono juga menyadari bahwa penjatahan kekuasaan ini tidak serta merta dapat mengamankan eksistensi dan legitimasi kekuasaannya. Sebab politik ibarat bom waktu, ia akan menunggu momentum dan memanfaatkan setiap peluang agar kepentingan seluruh partai politik dapat terakomodir, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang, ada atau tidak adanya ia dalam setgab koalisi.

Lolosnya hak angket kasus bailout Century dan hampir lolosnya angket mafia pajak, menggambarkan betapa konstruksi koalisi yang dibangun tidak memiliki dasar pondasi kuat yang bersifat permanen. Walaupun partai politik di “sandera” oleh code of conduct nota kesepakatan setgab koalisi, semua tetap bergantung pada realitas politik yang bisa menguntungkan di parlemen.

Menghadapi dilema seperti itu, memang dibutuhkan sebuah manajemen konflik politik dengan gaya kepemimpinan yang efektif pula. Namun sayangnya Yudhoyono justru menghadapi kekuatan parlemen dengan mereduksi komunikasi politik melalui cara yang keliru. Presiden melakukan kanalisasi politik dengan menumpuk sebanyak-banyaknya dukungan politik untuk Menghadapi dilema seperti itu, memang dibutuhkan sebuah manajemen konflik politik dengan gaya kepemimpinan yang efektif pula. Namun sayangnya Yudhoyono justru menghadapi kekuatan parlemen dengan mereduksi komunikasi politik melalui cara yang keliru. Presiden melakukan kanalisasi politik dengan menumpuk sebanyak-banyaknya dukungan politik untuk

Yang muncul diopini publik justru keberadaan sesgab koalisi merupakan upaya untuk mengkooptasi peran parlemen yang saat ini cenderung dominan.

Menurut Pramono Anung sinyalemen tersebut muncul dan beralasan karena setelah sesgab terbentuk, beberapa persoalan yang seharusnya diselesaikan di parlemen, justru kebanyakan diselesaikan di luar parlemen. Pram masih menganggap wajar apabila persoalan yang dibahas diluar parlemen tersebut dibicarakan secara informal. Namun ketika sudah diformalkan justru yang terjadi DPR telah di reduksi perannya secara kelembagaan. Seakan-akan keputusan DPR lebih rendah dari Setgab.

Pram mengambil beberapa contoh kasus yang diselesaikan secara sepihak oleh sesgab, misalnya soal Rancangan Undang-undang Keistimewaan (RUUK) DIY, pemilihan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Gubernur BI, Kapolri dan lainnya.

Jadi ada tidaknya setgab koalisi sebetulnya tidak berarti signifikan terhadap eksistensi dan legitimasi Yudhoyono. Sebab mekanisme otoritarianisme parlemen kadung terbentuk dan setiap saat bisa menjadi kerikil dalam sepatu Yudhoyono.

Yang patut diingat, anggota parpol di parlemen secara personal juga memiliki paradigma yuridis terkait hak politik konstitusionalnya terhadap partai politik maupun atas nama konstituen yang secara pribadi bisa dijustifikasi secara sempit oleh setiap anggota parpol di parlemen. Berbagai kasus pembangkangan terhadap sikap fraksi oleh anggota DPR yang notabene partai politiknya merupakan bagian dari setgab koalisi, membuktikan bahwa komitmen politik tidak ada yang bersifat permanen.

Dengan demikian upaya untuk merekonstruksi setgab koalisi melalui penandatanganan kontrak politik baru merupakan kesia- siaan belaka. Walaupun ada ancaman reshuffle, namun sekali lagi realitas politik konstitusional di parlemen, sejatinya lebih menentukan dari nilai kontrak politik itu sendiri. Pada akhirnya sekali lagi ada atau tidak ada setgab koalisi, posisi Yudhoyono tetap saja rentan karena pada kenyataannya komposisi trias politica dalam sistem ketatanegaraan kita telah meletakkan parlemen “lebih liberal” baik secara kelembagaan maupun secara individu tanpa bisa dikontrol secara efektif pula oleh fraksi.

Pramono Anung : “Eksistensi Sesgab Koalisi sejatinya hanya merupakan kartelisasi politik yang salah satu implikasinya adalah membuat DPR pada akhirnya bekerja tidak seluwes dan sedinamis sebelumnya ”. Foto : Okezone