Romantisme Demokrasi dan Melankolisnya Pemimpin

Romantisme Demokrasi dan Melankolisnya Pemimpin

Pemimpin juga manusia, punya perasaan yang sentimentil tatkala mendapat sorotan publik terkait kebijakan yang telah dilakukannya. Apalagi soroton tersebut dianggap diametral terhadap keyakinannya sendiri tentang apa yang sudah diperbuat.

Berkeluh kesah atau bahasa lainnya ”curhat” adalah hal biasa. Namun jika pemimpin kerap berkeluh kesah kepada publik tentu saja bisa diintepretasikan bahwa pemimpin itu tidak chaovinis.

Tentu ironis tatkala kita beranggapan bahwa seharusnya yang kerap berkeluh kesah itu adalah publik kepada pemimpinya. Bukankah pemimpin yang harus mendengar keresahan hati rakyatnya, bukan malah rakyat yang justru harus mendengar keluh kesah dan perasaan pemimpin ?

Pilihan demokrasi sebagai suatu sistem kehidupan berbangsa dan bernegara yang kita pilih memang sejatinya melahirkan konsekwensi-konsekwensi logis yang membentuk karakteristik bangsa ini. Kebebasan berpendapat, berserikat dan berkumpul mengeluarkan pikiran baik lisan dan tulisan yang dijamin undang- undang itu, sejatinya memang harus diekspresikan sesuai dengan tatanan dan kultur masyarakat yang memiliki nilai-nilai kemasyarakatan dan norma. Itu sangat benar. Bahkan 100 persen benar.

Namun sebagai sebuah bangsa yang sedang mengalami siklus perkembangan kehidupan berdemokrasi yang semakin mature, Bangsa ini-terutama pemimpin negeri ini haruslah bisa mencermati bahwa demokrasi dengan berbagai ekspresi tersebut merupakan dinamika kultural yang senantiasa berkembang dan dinamis mengikuti perilaku dan sikap masyarakatnya itu sendiri.

Terlebih-lebih perilaku dan sikap pemimpin yang jelas berfungsi sebagai cermin sekaligus tolak ukur masyarakat dalam melihat makna demokrasi dengan segala implikasinya.

Dalam konteks inilah sebenarnya kita harus melihat bahwa ekspresi berdemokrasi yang dilakukan oleh masyarakat merupakan implikasi logis dari sikap dan perilaku pemimpin yang kerap menstimulasi ekspresi dan dinamika demokrasi tersebut menjadi kearah yang destruktif atau malah konstruktif.

Ketidakmampuan, dan tidak concern-nya pemimpin dalam melihat permasalahan yang dihadapi masyarakat, kebijakan yang tidak berpihak kepada kesejahteraan masyarakat, ditambah kebijakan borjuistis pejabat terkait dengan fasilitas dan jabatan yang di emban, dan seterusnya itu-dan dalam konteks apapun itu, sejatinya menjadikan masyarakat menemukan sendiri ekspresi manusiawinya dalam berdemokrasi.

Pemimpin, menurut Pramono Anung, seharusnya melihat ekspresi demokrasi yang dilakukan oleh segenap elemen masyarakat sebagai bagian dari pola komunikasi politik yang saat ini memang logis dilakukan. Kita semua setuju bahwa ekspresi itu haruslah tetap sesuai dengan tatanan dan norma etika yang harus dijunjung tinggi sebagai bangsa yang bermoral.

Namun menyalahkan ekspresi dan simbol-simbol demokrasi dalam bentuk demonstrasi dengan membuat adjusment sesuai dengan selera ”perasaan” pemimpin, juga bukan merupakan argumentasi bijak. Dalam konteks psikologi komunikasi massa, justru perilaku pemimpin yang menafikan ekspresi dan simbol-simbol demokrasi sesuai dengan selera ”perasaannya” itu justru semakin mendefinisikan bahwa pemimpin tersebut hanya berfikir reputasi kekuasaan bukan eksistensi amanah kekuasaan yang terlegitimasi.

Menurut Pramono Anung, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Boediono adalah dua sosok yang meraih kekuasaan dengan legitimasi yang luar biasa. Tidak banyak pemimpin di dunia ini yang menang pemilihan langsung secara Menurut Pramono Anung, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Boediono adalah dua sosok yang meraih kekuasaan dengan legitimasi yang luar biasa. Tidak banyak pemimpin di dunia ini yang menang pemilihan langsung secara

Seharusnya kesadaran pemimpin dengan legitimasi kekuasaan yang sedemikian besar tersebut, haruslah diimbangi oleh kesadaran penuh juga tentang harapan rakyat yang begitu besar diemban kepada keduanya.

Ketika masyarakat melihat seringnya pemimpin berkeluh kesah dan kerap berjustifikasi tentang pembenaran kebijakan yang dilakukannya, maka bisa jadi legitimasi tersebut benar adanya akan terus mengalami degradasi. Padahal jika keluh kesah tersebut terkait saja dengan refleksi keinginan rakyat yang tidak dijalankan oleh pemimpin-kemudian pemimpin melakukan koreksi atau bahkan secara gentle membuat apology tentang kesalahan dan kekeliruannya, masyarakat pasti marfum dan garansi kesempatan memimpin-pun masih terbuka sangat lebar.

Masyarakat kita sangat manusiawi dan pasti juga beranggapan bahwa tidak ada pemimpin dimuka bumi ini yang sempurna. Rasulullah SAW sendiri saja, sebagai pemimpin sejati umat manusia merasa dirinya adalah manusia yang tidak sempurna karena mengakui bahwa tidak semua masalah bisa diselesaikan dengan tangannya. Sehingga lahirlah sebuah hadist yang mengatakan bahwa apabila sesuatu itu tidak dipegang oleh ahlinya, maka tunggulah saat kehancurannya.

Masyarakat juga sangat mengerti bahwa istilah program 100 hari dan istilah pemakzulan adalah hanya simbolisasi bahwa apakah pemimpin memiliki cetak biru secara konseptual sekaligus manajerial dalam mengelola agenda-agenda kehidupan bermasyarakat dan bernegara atau tidak.

Apalagi wacana atau istilah pemakzulan yang kerap disampaikan pemerintah . Ia hanya merupakan ”warning” terkait legitimasi yang diberikan rakyat kepada pemimpin. Kanapa logika tersebut tidak digunakan sebagai diktum politik bahwa pemimpin adalah pelayan masyarakat. Malah logika yang dibangun merujuk hanya Apalagi wacana atau istilah pemakzulan yang kerap disampaikan pemerintah . Ia hanya merupakan ”warning” terkait legitimasi yang diberikan rakyat kepada pemimpin. Kanapa logika tersebut tidak digunakan sebagai diktum politik bahwa pemimpin adalah pelayan masyarakat. Malah logika yang dibangun merujuk hanya

Jika pola komunikasi politik kekuasaaan ini kerap dikembangkan terus oleh pemimpin, maka jangan heran rakyat akan melihat bahwa energi pemerintah dan kekuasaan akan terkuras habis hanya mengurusi masalah kerisauan dan kekhawatiran- kekhawatiran karena perasaan pemimpin yang terancam reputasi dan jabatannya. Masyarakat butuh pemimpin yang tetap fokus walau dalam keadaan under presure.

Bukan pemimpin yang malah hanyut pada dinamika psikologi sebuah simbol ekspresi demokrasi yang dianggap sebagai ”pengganggu” kinerja”. Salah alamat jika pemimpin memaknai simbol dan ekspresi demokrasi dalam kerangka sempit seperti itu. Justru masyarakat butuh pemimpin yang mampu memahami simbol dan ekspresi demokrasi sebagai sesuatu yang secara implisit mampu mengetuk kesadaran dan hati nurani pemimpin.

Jika tidak ada Presure publik tentang ”koin” untuk Prita dan koin untuk Bilqis, Jika media massa tidak mempresure informasi terkait kasus Bibit – Chandra, KPK versus Polri, jika masyarakat dan media massa tidak mempressure kasus Century, kasus Nazarudin, kasus surat palsu MK dan jika masyarakat tidak mempresure kasus keadilan masyarakat kecil di ruang pengadilan dan sebagainya, mungkinkah secara konstruktif pemerintah melihat persoalan tersebut dalam perspektif yang sesuai dengan pengharapan masyarakat ?

Apalagi kekhawatiran

soal adanya gerakan “pamakzulan” oleh kelompok masyarakat tertentu yang secara massif saat ini sedang berkeliling di daerah-daerah dan sering berkumpulnya para tokoh Jenderal purnawirawan dan tokoh mantan pejabat yang mengkritisi kepemimpinan SBY-Boediono.

Presiden

Pram menegaskan masih terlalu dini untuk melakukan pemakzulan terhadap SBY.Terlalu jauh untuk impeachment.

Jika kita sudah menyepakati kalender demokrasi, maka sudah seharusnya semua elemen menyadari bahwa untuk mengganti pemerintah haruslah melalui kalender pemilu. Kalau tidak puas ya silahkan dikritisi, tetapi pergantian itu melalui pemilu. Sekarang menurut Pramono Anung, apa yang mau di impeach ?.

Pram mengatakan, “meski keresahan muncul ditengah-tengah masyarakat, akan tetapi secara garis besar demokrasi tetap berjalan, bahkan sektor ekonomi juga tidak terlalu buruk. Makro ekonominya malah semakin baik, menurut saya ya silahkan saja resah tetapi kalender demokrasi harus diperhatikan dan dijaga ”.

SBY juga disarankan tidak melulu berkutat pada keresahan pribadinya, Pram juga kasihan karena kerap mengurus hal-hal yang remeh-temeh dan terus berkutat pada politik pencitraan, akhirnya terlihat SBY menjadi kurang gesit dan sehat lagi. Apalagi keliatan saat ini kelopak mata SBY makin tampak hitam lebam.

Harusnya SBY melihat apa yang menjadi ekspresi masyarakat sebagai sebuah kritik untuk meningkatkan kinerjanya. Masyarakat masih memiliki ekspektasi terhadap presiden yang dipilihnya. Dan SBY haruslah lebih positif thingking untuk itu.

Oleh karenanya Pram berharap SBY jangan lagi kebanyakan curhat kepada masyarakat. Tunjukkan saja bahwa Pemerintah sudah maksimal dan bekerja untuk rakyat. Dan rakyat harus merasakan itu. Bukan sekedar retorika.

Pemimpin seharusnya berfikir, Perasaan apa yang dirasakan masyarakat kepada pemimpin, bukan perasaan apa yang dirasakan pemimpin kepada masyarakat.