Kartelisasi Politik Itu Bernama Sekber Koalisi

Kartelisasi Politik Itu Bernama Sekber Koalisi

Eksistensi Sekber (baca : sekretariat bersama) partai koalisi menurut Pramono Anung memang layak dicermati secara serius. Sebab Sekretariat Gabungan Partai Koalisi SBY-Boediono bagi masyarakat telah menimbulkan pro dan kontra.

Pramono Anung menilai usia Setgab tidaklah berlangsung lama. Sebab Setgab tidak bisa dibakukan kecuali jika kemudian merger menjadi satu partai dan usianya secara substantif akan sangat pendek.

Pendirian Sesgab juga tak lepas dari latar belakang kasus yang menerpa pemerintahan SBY. Kita ketahui bahwa lahirnya sesgab juga berlatar belakang kasus Century.

Menurut Pram, persoalan Century secara politis sudah diputuskan di paripurna DPR dan sudah menjadi keputusan politik. Selanjutnya ranahnya adalah ranah hukum. Sehingga kemudian kalau ada keinginan untuk katakanlah membekukan atau apapun dari hal yang sudah diputuskan tentunya tak bisa diputuskan di luar konteks yang diputuskan melalui paripurna. Dengan demikan Pram melihat bahwa apa yang diputuskan tak bisa dianulir lagi.

Kemudian, rakyat tentu mencatat bahwa yang dilakukan kelompok ataupun koalisi yang mengatakan mereka berkeinginan mempetieskan atau meniadakan jelas melawan logika publik yang selama ini terjadi.

Pram juga melihat bahwa koalisi kepada rakyat yang menyangkut kebenaran itu lebih susbtansial dibandingkan dengan hal-hal yang hanya untuk memperkuat dan mengamankan kekuasaan. Jadi rakyat akan mencatat partai atau fraksi yang dulunya mendukung tiba-tiba berubah karena faktor yang sebetulnya sederhana yaitu persoalan kedudukan. Itu akan menjadi catatan bagi rakyat.

Pram juga menganalisa bahwa dipilihnya Aburizal Bakrie sebagai Ketua Setgab Partai Koalisi sebagai sesuatu yang bukan luar biasa. Dalam konteks pembentukan kabinet, Golkar sudah menjadi bagian di dalamnya. Yang penting dalam konteks Setgab itu tak dikenal di sistem presidensial.

Sekarang ini mungkin mereka bisa bersama-sama. Nanti yang berkaitan dengan kepentingan, tujuan, gagasan berbeda nanti juga berbeda. Mereka juga masing-masing partai atau fraksi harus mengkampanyekan fraksinya masing-masing. Tak bisa kemudian jadi subordinat dari partai lain.

Walaupun SBY secara langsung telah mejelaskan maksud dan tujuan forum ini kepada publik, masyarakat sejatinya tetap cemas bahwa sebenarnya paktek kehidupan demokasi kita tengah digiring kembali memasuki era yang diwarnai hegemoni politik dan rezim kontrol yang sentralistis. Ruang pengawasan akan semakin mengecil, bahkan bukan mustahil suara rakyat akan diberangus di DPR.

Menurut Pramono Anung, eksistensi Sekretariat Bersama atau Sekber sejatinya hanya merupakan kartelisasi politik yang salah satu implikasinya adalah membuat DPR pada akhirnya bekerja tidak seluwes dan sedinamis sebelumnya.

Ketidakluwesan kerja politik DPR terjadi karena akan dibayangi oleh adanya hantu recall dan pergantian antar waktu yang secara politis tengah dirancang forum ini sebagai salah satu jalan untuk mereduksi peran dan progresifnya anggota DPR yang dianggap kritis membela kepentingan rakyat, namun justru di cap mbalelo dan tidak loyal terhadap garis kebijakan partai koalisi.

Keseriusan publik dalam mencermati keberadaan sekber partai koalisi ini juga menjadi catatan tersendiri. Mengingat forum ini juga dicurigai tengah merancang jalur satu pintu bagi naik atau duduknya pejabat publik. Bisa jadi dengan kondisi semacam itu obyektifitas peran dan fungsi pejabat publik nantinnya akan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dengan selera sharing of Keseriusan publik dalam mencermati keberadaan sekber partai koalisi ini juga menjadi catatan tersendiri. Mengingat forum ini juga dicurigai tengah merancang jalur satu pintu bagi naik atau duduknya pejabat publik. Bisa jadi dengan kondisi semacam itu obyektifitas peran dan fungsi pejabat publik nantinnya akan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dengan selera sharing of

Adalah benar bahwa SBY harus belajar dari pengalaman terkait dengan sepak terjang partai koalisi yang tidak bisa loyal. Contoh paling ekstrem adalah pengalaman kasus Century. Namun demikian bukankah lebih benar bahwa yang namanya praktek kehidupan dalam politik praktis adalah dinamis. Ia tidak akan bisa hidup diatas kertas komitment dan kepentingan kekuasaan.

Menurut Pramono Anung, praktek politik haruslah terjewantah ke dalam komitment negara kesejahteraan. Ia harus tumbuh dan dinamis sesuai dengan urat nadi keinginan dan kepentingan rakyat. Mengkooptasinya dalam bentuk forum koordinasi sejatinya hanya membuat sinergitas dan kolaborasi praktek politik bangsa ini berada dalam dimensi dan spektrum yang tidak kondusif. Justru keberadaan forum ini menegaskan peluang terjadinya front terbuka secara destruktif antara penguasa dengan pihak-pihak yang disebut oleh pemerintah sebagai kelompok oposisi itu atau kelompok penyeimbang.

Dan pemerintah melalui kekuasaan SBY tengah memainkan peran itu untuk mengendalikan kekuatan trias politica yang sejatinya harus tumbuh secara alamiah sesuai dengan pilihan demokrasi pancasila yang kita anut. Dengan peta dan konstelasi politik semacam ini, istilah yang kerap dikemukakan SBY yang menghargai perbedaan dan menjunjung tinggi persaingan dalam kompetisi politik yang sehat sekaligus menciptakan budaya check and balances hanyalah sekedar lips service dan hanya sekedar trik “pengaman kekuasaan” untuk mendapatkan legitimasi diranah iklim demokrasi kita.

Walaupun Pram menilai bahwa Sekber ini usianya tidak akan lama namun dalam perspektif kekuasaan politik SBY, sekber ini di rancang sebagai sebuah wadah permanen untuk melestarikan Walaupun Pram menilai bahwa Sekber ini usianya tidak akan lama namun dalam perspektif kekuasaan politik SBY, sekber ini di rancang sebagai sebuah wadah permanen untuk melestarikan

Jadi menurut Pram, amat disayangkan jika perspektif politik eksistensi Sekber koalisi mengacu kepada orientasi pemikiran seperti itu. Padahal sejatinya koalisi yang menjunjung tinggi konstituen mestinya bergantung kepada isu dan program. Bukan pada konsensus “kebersamaan” melanggengkan kekuasaan tanpa kontrol. Sesuatu hal yang tidak mungkin, namun tetap dipaksakan dalam wujud kebersamaan koalisi. Padahal jelas tiap-tiap partai membawa isu dan program masing-masing yang dijanjikan kepada rakyat sewaktu pemilu, dan tiap-tiap partai seharusnya membela isu dan program itu di parlemen, bukan di wadah inskonstitusional yang bernama Sekber Koalisi.

Inilah fakta ironis perilaku elit politik kita. Dengan justifikasi untuk melakukan koordinasi, namun didalamnya tersirat makna politik di belakang apa yang disebut sekretariat bersama alias sekber itu. Ia bersembunyi dibalik makna koordinasi dan sentralisasi, yang dalam satu napas sejatinya dapat dirumuskan sebagai garis komando. Garis komando yang dipimpin SBY sebagai ketua sekber, dengan Aburizal Bakrie alias Ical sebagai ketua hariannya.

Menurut Pram, kembalinya kepercayaan SBY kepada Ical hanyalah menunjukkan adanya transaksi politik diantara mereka. Siapa pun tahu ketua harian adalah komandan operasi sehari-hari. Dialah yang menggerakkan mesin politik sehari-hari.

Dalam perspektif menilai keberadaan Sekber ini, masyarakat sejatinya menyadari bahwa inilah bentuk upaya pelanggengan kekuasaan melalui kartelisasi politik yang dikemas secara normatif dengan menjustifikasi nalar dan akal sehat untuk mendorong agar stabilitas politik tetap konstruktif dimata pemegang kekuasaan. Padahal kehidupan berdemokrasi tidaklah bisa stagnan. Ia harus dinamis, namun tidak berarti sifat kedinamisan partai politik kemudian menegasikan kepentingan dan keinginan rakyat.

Pimpinan Parpol seharusnya meletakkan anggotanya sebagai episentrum pelaksanaan

kehidupan berdemokrasi yang sesungguhnya. Biarkan ia menjadi ibu kandung dari suara masyarakat. Parpol mengakomodasi dan memperjuangkannya. Sehingga jelas nampak mana yang benar dan mana yang salah. Tidak

salah kemudian diargumentasikan secara logis dan nalar sebagai sesuatu yang benar.

Sekali lagi keberadaan sekber justru meletakkan substansi kehidupan berdemokrasi itu pada ruang yang gelap tak berujung. Ia justru menjadikannya tempat yang paling formalistik bagi pencapaian sebuah sistem hegemoni politik, yang kerap tumbuh diatas kekhawatiran-kekhawatiran dan prasangka perasaan pemimpin karena pemahaman dan pemaknaan substansi demokrasi itu sendiri secara subyektif – melankolic.

Bersama Ketua dewan pembina Partai Golkar Ir. Akbar Tanjung. "Saya menyakini politisi yang hanya menjaga citra tanpa melakukan kerja nyata dan memenuhi janji yang dibuatnya, pasti suatu hari akan

ditinggalkan konstituennya yang kecewa karena politisi tersebut

hanya sibuk menjaga citranya” Foto : Kompas