Buruknya Pembinaan Kader Parpol Mempengaruhi Kualitas dan Eksistensi DPR di Mata Publik

Buruknya Pembinaan Kader Parpol Mempengaruhi Kualitas dan Eksistensi DPR di Mata Publik

Citra DPR terus menurun seiring banyaknya kader parpol yang bermasalah dimata publik. Dari persoalan administratif dan kedisiplinan, Ketidakcakapan individu akibat tidak kompeten sehingga hanya jadi “penggembira” di ruang-ruang sidang, buruknya kinerja karena rendahnya produktivitas penyelesaian rancangan undang-undang, sampai tudingan DPR menjadi “sarang“ bagi orang-orang yang tersangkut kasus hukum.

Menurut Pramono Anung, Banjir kritik tersebut dapat dikatakan sebagai bentuk keprihatinan kolektif masyarakat terhadap anggota DPR yang harus disikapi secara positif.

Bahkan hal tersebut perlu dijadikan momentum untuk melakukan perbaikan dari segala dosa-dosa yang sudah dilakukan oleh DPR, mengingat DPR ini memiliki peran yang amat sentral dan strategis dalam menentukan arah dan nasib bangsa ini ke depan.

Wakil Ketua DPR Pramono Anung juga menilai saat ini sangat urgen untuk melakukan upaya peningkatan kaderisasi parpol untuk mendongkrak prestasi anggota DPR kita kedepan.

Menurut Pram, ada dua hal yang menyebabkan kondisi tersebut terjadi. Pertama menyangkut masalah kaderisasi masing-masing partai. Semenjak pemilu 2004-2009 persoalan pengkaderan di internal partai politik secara umum dirasakan belum keliatan baik. Akibat persoalan inilah seringkali menjadikan sikap pragmatisme politik seorang politisi ebih dominan ketimbang tujuan idealnya menjadi seorang wakil rakyat di DPR. Hal ini disebabkan antara lain karena proses menjadi caleg melalui pemilu memerlukan biaya yang sangat besar.

Oleh karenanya berbagai pihak terutama DPR bersama pemerintah harus memikirkan bagaimana kedepan proses Oleh karenanya berbagai pihak terutama DPR bersama pemerintah harus memikirkan bagaimana kedepan proses

Faktor berikutnya terkait upaya untuk mendongkrak prestasi anggota DPR adalah menyangkut masalah kompetensi dan integritas para wakil rakyat kita. Pokok pangkal ini tentu saja berangkat dari fakta empiris tentang eksistensi para wakil rakyat dalam mengemban tugas dan fungsi legislasi-termasuk di dalamnya mengenai masalah etika dan tanggung jawab moral mereka.

Pemilu 2014 memang lebih kurang 3 tahun lagi kedepan. Namun sebagai evaluasi, tiada jalan yang paling efektif selain merekonstruksi paradigma eksistensi para wakil rakyat kita sebagai representasi parpol di dewan perwakilan rakyat maupun daerah. Sejatinya keberadaan mereka haruslah merujuk pada 3 komponen utama personality, yaitu kompetensi, sikap dan perilakunya. Kesemua itu untuk tujuan menghadirkan para wakil rakyat yang memang memiliki kemampuan intelektual sesuai dengan bidangnya-memiliki kinerja baik-punya integritas dan dedikasi terhadap rakyat.

Rekonstruksi eksistensi wakil rakyat tentu harus dimulai dari hasil menganalogikan komposisi wakil rakyat kita saat ini. Dari hasil analogi inilah sejatinya kita bisa membangun komitment das solen tentang eksistensi wakil rakyat kita sesungguhnya.

Kalau di telisik persebaran komposisi anggota DPR kita dapat dapat dibagi kedalam 3 kualifikasi : pertama, kualifikasi anggota DPR yang memiliki idealisme sangat kuat. Jika dicermati Masyarakat kita sebenarnya bisa menilai dari karakteristik anggota DPR kita ini dengan ciri-ciri sederhana, yaitu berfikir jernih, tulus berpihak pada rakyat dan terutama sekali adalah cerdas dan menjunjung aturan main dan etika komunikasi. Tipikal sosok yang seperti ini juga terlihat dari sangat baiknya kinerja dan kehadirannya di tugas-tugas legislasi.

Kedua, kualifikasi anggota DPR kita yang pragmatis-oppurtunis. Tipikal sosok anggota DPR kita ini sangat kentara. Terlihat dari tidak konsistensinya antara ucapan dan tindakan, cenderung mengedepankan kekuatan logika ketimbang obyektifitas dan kejernihan masalah, Psudois demokrasi namun sejatinya sangat partisan dan sektarian bahkan keliatan sekali memanfaatkan jabatan hanya untuk kepentingan mengamankan posisi pribadinya, hanya concern pada tema-tema yang bertitik tolak pada kepentingan pribadi dan golongannya, kutu loncat dan tidak produktif secara intelektual di tugas-tugas legislasinya.

Ketiga adalah kualifikasi Tipikal anggota DPR yang didefinisikan sebagai kelompok koboi. Ciri khusus dari kelompok ini kebanyakan dihuni oleh kelompok orang yang “baru” belajar politik tapi punya kesempatan gampang untuk duduk di DPR. Kita bisa cermati kualifikasi ini telah melahirkan sosok-sosok yang meledak-ledak, berfikir jangka pendek, cenderung menabrak aturan main dan etika serta tata tertib fungsi kerja legislasi dan yang paling ekstrem adalah kelompok koboi ini sangat ingin secara instan menjadi tokoh nasional walaupun kapasitas dan pengalamannya masih teramat dangkal.

Ketiga kualifikasi tersebut menjadi persebaran yang menarik dalam melihat wajah anggota DPR kita. Pola yang ideal adalah kualifikasi idealisme mendominasi karakter anggota DPR lainnnya.

Namun kenyataanya tokoh-tokoh yang memiliki idealisme kuat justru menjadi kelompok yang “kesepian” ditengah dinamika kinerja dan tata laksana aktivitas DPR. Walaupun masyarakat kita tidak bisa serta merta memiliki parameter obyektif tentang ini, namun fakta empiris telah menjadi bagian dari realita memori masyarakat kita tentang kualitas anggota DPR kita itu.

Jika partai politik tidak segera bangun dari tidurnya terkait proses kualifikasi dan kompetensi kader anggotanya, termasuk melakukan konsensus untuk perubahan konstruktif sistem pemilu yang akan datang, maka tidak akan ada perubahan yang signifikan secara positif untuk menghadirkan sosok atau wajah anggota DPR kita sesuai dengan harapan rakyat.

Seperti yang telah disebutkan diatas, salah satu faktor yang sangat mendasar yang memberikan kontribusi terhadap karakter calon legislatif kita adalah karena memang tidak berjalan maksimalnya peran partai politik dalam melakukan proses kaderisasi anggota yang akan duduk menjadi anggota DPR.

Pramono Anung menilai rapuhnya sistem kaderisasi dan pola perekrutan di internal partai sejatinya telah mengikis militansi kader, serta telah mendorong sejumlah parpol bersikap pragmatis dalam menggerakkan mesin organisasi maupun mengikat konstituennya. Dan salah satu strategi atau pola instan yang banyak dijalankan sekarang tak lain adalah dengan melakukan pendekatan politik uang.

Pendekatan ini disadari atau tidak, sejatinya tidak saja telah menciderai kehidupan berdemokrasi, tapi sekaligus memunculkan tuduhan publik bahwa parpol telah menjadi episentrum dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme.

Tuduhan ini bahkan seolah memperoleh pembenaran lantaran tak sedikit kader parpol yang dalam konteks ini berperan bak mesin pengumpul uang bagi partainya dan mendapat "perlindungan dan pembelaan" manakala tersangkut perkara korupsi.

Oleh karena itu, menurut Pram, pembenahan kualitas DPR tidak bisa tidak harus dimulai dari peningkatan kualitas parpol. Seiring dengan semakin kuatnya kesepakatan untuk terus memperkokoh fondasi demokrasi. Dan parpol tentunya juga harus berkomitmen untuk terus melakukan perubahan hingga pada gilirannya terinstitusionalisasi menjadi organisasi partai politik yang modern dan demokratis.

Perbaikan sistem kaderisasi menjadi keniscayaan yang tak bisa ditawar lagi untuk menghadapi pemilu 2014 mendatang. Di luar itu, oligarki dan sentralisasi kebijakan yang kini masih terlihat kuat di sejumlah partai rasanya juga perlu segera dipangkas, karena kondisi demikian tak sehat lagi bagi berkembangnya demokrasi.

Oleh karenanya, wacana pemberdayaan kader parpol melalui karantina politik yang sistematis, kontinu dan terpogram sangat dibutuhkan oleh parpol untuk memberikan elektabilitas anggota parpol sebagai calon wakil rakyat. Paling tidak dengan cara itu parpol juga tidak akan mendapatkan cek kosong yang diberikan kader parpol sebagai calon legislatif terhadap parpol dan daerah pemilih yang diwakilinya. Belum terlambat bagi partai politik melakukan itu. Bukankah pepatah mengatakan ”besi mesti ditempa selagi panas ?”

Bersama Fungsionaris dan para Pimpinan PDIP. “Saya termasuk yang membangun sistem” foto : SCTV