Yusuf Kala Lebih Tegas dan Berani Ketimbang SBY

Yusuf Kala Lebih Tegas dan Berani Ketimbang SBY

“Politisi yang hanya menjaga citra tanpa melakukan kerja nyata

dan memenuhi janji yang dibuatnya, pasti suatu hari akan ditinggalkan konstituennya yang kecewa karena politisi tersebut

hanya sibuk menjaga citranya ”. - Pramono Anung -

Pernyataan tersebut dikemukakan Pramono Anung ketika wakil ketua DPR RI yang saat ini sedang menempuh program Doktoral bidang komunikasi Politik di Universitas Padjajaran Bandung ini mendapat penghargaan Charta Politika Award 2010 untuk kategori politisi parpol oposisi yang paling berpengaruh di media selama 2010.

Meski menjadi politisi oposisi terpopuler, Mantan Sekjen PDIP ini tetap menganggap citra bukanlah segalanya.

Pram menyakini politisi yang hanya menjaga citra tanpa melakukan kerja nyata dan memenuhi janji yang dibuatnya, pasti suatu hari akan ditinggalkan konstituennya yang kecewa karena politisi tersebut hanya sibuk menjaga citranya

Pram menganggap bahwa penghargaan yang diberikan kepadanya tentu merupakan apresiasi masyarakat tentang apa yang sudah kita perbuat dan lakukan.

“Saya tidak pernah melakukan sesuatu dengan mengharapkan penghargaan, tetapi bila kita mendapatkan apresiasi tentunya hal yang postif bagi diri saya karena ternyata publik menghargai terhadap apa yang sudah kita lakukan dan sekaligus menjadi tantangan agar kepercayaan publik selalu dapat kita jaga”.

Penghargaan dengan kategori komunikator politik yang santun di antara tokoh politisi partai oposisi pemerintahan lainnya tersebut memberikan makna, bahwa sejatinya komunikasi politik itu merupakan aktivitas komunikasi yang sarat akan tujuan.

Aktivitas yang dimaksud tidak hanya berbentuk komunikasi verbal dan tertulis, tetapi juga melibatkan simbol-simbol non verbal seperti warna pakaian, rias wajah, gaya rambut, desain simbol, logo dan sebagainya. Dengan kata lain, identitas atau citra politik turut berperan dalam komunikasi politik.

Dalam komunikasi politik dituntut bagaimana seorang politisi dapat menyampaikan ide, gagasan, dan pemikiran kepada publik dan tentunya mengharapkan publik dapat terpengaruh dan mengikuti apa yang menjadi keinginan komunikator. Dalam negara demokrasi, komunikasi politik menjadi hal yang penting karena sebuah ide atau gagasan tidak hanya harus baik tetapi bagaimana disampaikan secara baik melalui media massa yang baik juga menjadi hal yang penting.

Dalam demokrasi dan era keterbukaan seperti sekarang ini, publik menuntut adanya citra yang baik dari seorang politikus. Seorang politikus dituntut untuk bisa memerankan citra yang baik dalam setiap panggungnya, sehingga ada perbendaan antara panggung depan, yang berhubungan langsung dengan aktivitas politiknya dan panggung belakang, yakni realita kehidupan kesehariannya.

Menurut Pram, Sekarang ini banyak politisi yang terjebak untuk memainkan peran dramaturgis, itu menurut Erving Goffman. Yaitu dengan baik memerankan panggung depannya tetapi mengabaikan kerja nyata bagi masyarakatnya.

Pram menyakini politisi yang hanya menjaga citra tanpa melakukan kerja nyata dan memenuhi janji yang dibuatnya, pasti suatu hari akan ditinggalkan konstituennya yang kecewa karena politisi tersebut hanya sibuk menjaga citranya.

Terkait dengan peran dirinya dan partai politiknya sebagai oposisi, Pramono Anung menjelaskan bahwa demokrasi memerlukan adanya check and balances.

Sebagai partai di luar pemerintahan terdapat kerugian terutama menyangkut akses kepada pusat-pusat kekuasaan, terutama yang menyangkut akses ekonomi sehingga seringkali menyulitkan partai untuk bisa menjalankan roda organisasinya karena terbentur masalah pembiayaan dan kurangnya proses pembelajaran bagi kader untuk bisa memimpin secara langsung dipemerintahan.

Keuntungannya adalah lebih dekat dengan publik dan rakyat, karena setiap waktu bisa menyalurkan dan menyampaikan apa yang menjadi aspirasi atau keinginan rakyat dan bisa membuat tawaran alternatif kebijakan yang berbeda dengan apa yang menjadi kebijakan pemerintah yang sedang berkuasa.

”Jika saya harus memlilih maka tentunya secara lugas saya akan memilih menjadi tidak populer tapi maksimal kerja untuk rakyat, sebab tujuan utama saya terjun menjadi politikus adalah untuk bisa berbuat sesuatu yang nyata bagi masyarakat ”.

”Dengan latar belakang anak guru SMA di Kediri, dengan 7 bersaudara, saya mengalami dan mengetahui beratnya kehidupan di masyarakat, sehingga perlu ada politisi atau pemimpin yang sungguh-sungguh bersedia dan mau bekerja untuk rakyat secara nyata, tidak sibuk dengan kepentingannya sendiri, terutama dalam menjaga citranya ”.

Berbicara soal kepemimpinan saat ini, Pram secara tersirat, tidak menyukai kepemimpinan yang tidak tegas, dan suka bohong. Seorang pemimpin menurutnya harus berani mengambi keputusan apapun resikonya. Pemimpin yang salah membuat kebijakan itu bisa dimaafkan. Tetapi tidak bisa dimaafkan kalau pemimpin tidak mau membuat kebijakan. Apabila pemimpin tidak berani mengambil resiko atas sebuah pilihan dari keputusannya itu. Maka sudah bisa dipastikan masalah

yang muncul, penyelesaiannya akan terus berlarut-larut.

Jiwa yang harus dimiliki seorang pemimpin itu adalah tidak boleh takut tidak populer. Pemimpin besar adalah seorang yang rela tidak populer demi rakyatnya.

Pramono Anung terus terang menilai, mantan wapres M. Yusuf Kalla lebih tegas dan berani jika dibandingkan dengan SBY. JK di mata Pram lebih senang melakukan tindakan nyata daripada berwacana seperti yang dilakukan SBY.

Pram mencontohkan ketika penanganan bencana merapi. SBY berjanji akan memberikan bantuan ini dan itu. Tetapi JK sudah langsung melakukan tindakan nyata, memborong roli dan mengirimkan peralatan untuk menolong korban. Pram menilai SBY lebih cocok berduet dengan JK. Karena JK punya karakter tancap gas dan SBY penginjak rem. Mungkin saja menurut Pram dengan Boediono SBY jadi tidak cocok karena Boediono juga penginjak rem. “Karena dua-duanya rem ya jadi gak jalan,"

Pramono Anung : “Terus terang saya menilai, mantan wapres M. Yusuf Kalla lebih tegas dan berani jika dibandingkan dengan SBY. JK lebih senang melakukan tindakan nyata daripada berwacana seperti yang dilakukan SBY“. Foto : JPPN