Hukum Cuma Tajam ke Bawah

Hukum Cuma Tajam ke Bawah

Kisruh surat palsu MK yang di tiup oleh Mahfud MD telah memberikan sinyalemen bahwa telah terjadi tindak pidana atas dugaan pemalsuan surat amar putusan MK terkait sengketa pemilu legislatif.

Kasus ini mulai mengemuka ketika Komisi II DPR RI mempertanyakan tentang kasus pemalsuan surat Mahkamah Konstitusi No. 112/PAN.MK/VIII/2009 kepada Bawaslu dan KPU. Bawaslu mencurigai atas keaslian surat Mahkamah Konstitusi Nomor: 112/ PAN. MK/ VIII/ 2009 tanggal 14 Agustus 2009 tersebut pada saat Bawaslu mengikuti sidang pleno penetapan calon terpilih anggota DPR-RI di KPU pada tanggal 21 Agustus 2009.

Berikut kronologis lengkap kecurigaan yang disampaikan Bawaslu kepada Komisi II DPR RI, pada RDP tentang sidang pleno penetapan calon terpilih Anggota DPR RI 2009, di Jakarta, (14/6);

1. Pada tanggal 21 Agustus 2009, Bawaslu dalam hal ini Anggota Bawaslu Bambang Eka Cahya Widodo, S.IP., M.Si. menghadiri sidang pleno penetapan calon terpilih anggota DPR-RI di KPU.

2. Saat isi surat Mahkamah Konstitusi Nomor : 112/ PAN.MK/ VIII/2009 tanggal 14 Agustus 2009 dibacakan dalam sidang pleno, Bawaslu mencurigai adanya keganjilan atas surat Mahkamah Konstitusi tersebut, mengingat substansi surat dimaksud berbeda dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 84/PHPU.C-VII/2009.

3. Berdasarkan keganjilan surat tersebut, maka Bawaslu meminta salinan surat untuk didalami lebih lanjut dan meminta agar keberatan yang disampaikan Bawaslu dicantumkan dalam notulensi sidang pleno KPU. Kemudian 3. Berdasarkan keganjilan surat tersebut, maka Bawaslu meminta salinan surat untuk didalami lebih lanjut dan meminta agar keberatan yang disampaikan Bawaslu dicantumkan dalam notulensi sidang pleno KPU. Kemudian

4. Beberapa hari kemudian (tidak tahu tanggal pasti), Ketua Mahkamah Konstitusi, Prof. Dr. Mahfud MD mengeluarkan pernyataan di media bahwa surat Mahkamah Konstitusi Nomor 112/PAN.MK/VIII/2009 tanggal 14 Agustus 2009 dinyatakan palsu.

5. Keesokan harinya, Ketua Bawaslu Nur Hidayat Sardini mengambil inisiatif untuk menghadap Ketua MK dengan membawa dua buah surat dengan format yang sama dengan nomor faksimili yang sama. Ketua MK bersedia untuk menerima pada sore harinya menjelang maghrib mengingat kepadatan dan urgensitas persoalan dan jadwal persidangan di MK.

6. Sore harinya, Ketua Mahkamah Konstitusi menerima Ketua Bawaslu Nur Hidayat Sardini yang didampingi Anggota Bawaslu Bambang Eka Cahya Widodo di ruang Ketua MK. Saat ditunjukkan kedua surat tersebut, Ketua MK terkejut seraya mengatakan, “Lho, ini ada lagi toh…”. Ketua MK kemudian memanggil Wakil Ketua MK pada waktu itu Prof. Dr. Abdul Mukthie Fadjar, S.H. dan Sekretaris Jenderal MK Djanedjri M. Gaffar. MK menjanjikan akan membentuk tim investigasi guna menelusuri status surat tersebut.

7. Sepulang dari Mahkamah Konstitusi sore itu, Ketua Bawaslu Nur Hidayat Sardini dan Anggota Bawaslu Bambang Eka Cahya Widodo serta Anggota Bawaslu Wirdyaningsih mendiskusikan masalah ini dari aspek pidana Pemilu, Kode Etik, dan Administrasi Pemilu.

8. Februari 2010, Bawaslu mendengar dari media massa bahwa Ketua MK telah melaporkan adanya pemalsuan surat resmi MK ke Mabes Polri. Hingga kini, Bawaslu belum tahu apakah surat palsu yang dimaksud termasuk surat yang diserahkan oleh Bawaslu kepada Ketua MK beberapa waktu silam.

Hingga kini, polisi mengaku belum memiliki cukup bukti untuk meneruskan pengusutan kasus pembuatan surat palsu Mahkamah Konstitusi. Akibatnya, polisi pun kesulitan untuk melacak aktor intelektual di balik kasus yang disebut-sebut melibatkan mantan komisioner KPU Andi Nurpati itu.

Sampai saat ini, polisi baru menjerat dua tersangka dalam kasus surat palsu MK, yaitu Juru Panggil MK Masyhuri Hassan dan Mantan Panitera MK Zaenal Arifin. Kedua tersangka itu sudah memenuhi unsur, sedangkan yang lain masih dilanjutkan. Dari hasil gelar perkara, dari hasil kesaksian, yang lain belum memenuhi unsur untuk ditingkatkan menjadi tersangka.

Dalam sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan terdakwa Masyhuri Hasan, Kamis 27 Oktober 2011 lalu, Pelaksana Staf Tata Usaha KPU M Sugiarto mengaku mendapat perintah dari mantan Komisioner KPU Andi Nurpati untuk mengetik surat permintaan penjelasan tentang putusan MK mengenai daerah Pemilihan Sulawesi Selatan.

Sementara itu, Andi Nurpati telah beberapa kali dimintai keterangan terkait kasus ini. Andi pun telah membantah semua tuduhan.

Wakil Ketua DPR Pramono Anung mengatakan bahwa kepolisian lambat menangani kasus surat palsu Mahkamah Konstitusi. Pram menduga ada tekanan politik di dalam penanganannya. Padahal menurut Pram, persoalan Mafia Pemilu sudah terang benderang. DPR dan kepolisian sudah banyak menemukan banyak fakta. Namun tak bisa disangkal, tekanan politik kuat sehingga persoalannya jadi mengambang.

Menurut Pram, apa yang menjadi temuan di panja Mafia Pemilu harusnya disinkronkan dengan kepolisian. Pram menyesalkan, hingga kini yang menjadi tersangka kasus itu hanyalah dua orang yang tidak mempunyai perlindungan politik dan kekuasaan.

Hal Ini membuktikan kembali bahwa hukum kita itu tajam ke bawah dan tumpul ke atas dan itu makin lama makin kita rasakan. Padahal hukum di negara ini adalah panglima untuk menyelesaikan masalah dan kalau dibiarkan hal ini akan melukai demokrasi kita. Makanya tokoh sekaliber Pak Mahfud geram karena persoalan ini tidak juga kelar-kelar.

Pramono Anung menerima kunjungan Delegasi Parlemen Sudan Mohammed Yousif Abdallah di Gedung Nusantara III, Selasa (14/12). foto : IW, Dok : DPR RI