Analisis Peremajaan Optimum dan Faktor-faktor yang Memengaruhi Keputusan Petani Melakukan Peremajaan Karet : Studi Kasus Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan).

(1)

1 I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Indonesia memiliki potensi yang sangat besar di sektor pertanian khususnya di sektor perkebunan. Sektor perkebunan memberikan sumbangan yang cukup besar terhadap produk domestik bruto (PDB) bagi negara. Berdasarkan data BPS (2011) diketahui bahwa pada tahun 2010, sektor pertanian khususnya pada tanaman perkebunan mampu memberikan kontribusi sebesar 2,1 persen dari total produk domestik bruto nasional. Peningkatan PDB yang tinggi terjadi pada perkiraan tahun 2010 yaitu sebesar 21,4 persen dibandingkan pada tahun 2009 yang hanya mengalami peningkatan sebesar 5,15 persen dari tahun 2008. Peningkatan yang terjadi tersebut dapat menjadi salah satu indikator bahwa masih banyak penduduk Indonesia yang menggantungkan hidup pada sektor pertanian khususnya pada tanaman perkebunan.

Tabel 1. Luas Lahan Komoditi Perkebunan di Indonesia (Ribu Ha)

Komoditi Tahun

2006 2007 2008 2009 2010 ⃰

Karet 513,2 514,0 515,8 482,7 472,2

Kelapa Sawit 3748,5 4101,7 4451,8 4888,0 5032,8

Coklat 101,2 106,5 98,4 95,3 95,9

Kopi 53,6 52,5 58,3 48,7 48,7

Tembakau 5,1 5,8 4,6 4,2 4,2

Sumber : Badan Pusat Statistik (2011) Keterangan : * Angka sementara

Berdasarkan Tabel 1, terlihat jelas bahwa karet merupakan tanaman perkebunan kedua yang banyak diusahakan di Indonesia setelah kelapa sawit. Hal ini ditinjau dari luas areal perkebunan karet yang digunakan di Indonesia. Selain itu, luas areal perkebunan karet mulai tahun 2005 sampai 2008 mengalami peningkatan, sedangkan untuk tahun 2009 mengalami penurunan sebanyak 6,4 persen dari tahun sebelumnya. Perubahan luas lahan dapat salah satunya dapat disebabkan karena adanya penurunan harga karet dunia pada tahun tersebut. Akibatnya, ketertarikan masyarakat Indonesia untuk membudidayakan karet menjadi berkurang sehingga luas lahan perkebunan untuk karet pun menjadi berkurang.


(2)

2 Tabel 2. Produksi Komoditi Perkebunan di Indonesia (Ton)

Komoditi Tahun

2006 2007 2008 2009 2010 ⃰

Karet 2.637.231 2.755.172 2.751.286 2.440.347 2.591.935 Kelapa Sawit 17.350.848 17.664.725 17.539.788 18.640.881 19.844.901

Coklat 769.386 740.006 803.594 809.583 844.626

Kopi 682.158 676.476 698.016 682.590 684.076

Tembakau 146.265 146.851 168.037 176.510 122.276

Sumber : Badan Pusat Statistik (2011) Keterangan : * Angka sementara

Berdasarkan Tabel 2, perbandingan total produksi dari lima tanaman perkebunan tahun 2006-2010 menunjukkan bahwa total produksi karet merupakan total produksi terbesar kedua setelah kelapa sawit. Hal ini dapat dikarenakan jumlah luas lahan karet yang ada merupakan luas lahan kedua setelah kelapa sawit. Terlihat jelas bahwa total produksi karet di Indonesia mulai tahun 2006-2008 mengalami peningkatan dan mengalami penurunan pada tahun 2009, kemudian mengalami peningkatan kembali pada tahun 2010. Penurunan jumlah produksi dapat terjadi salah satunya karena penurunan luas lahan yang terjadi pada tahun tersebut.

Data Kementerian Pertanian Indonesia tahun 2010 menyebutkan bahwa Indonesia memiliki luas lahan perkebunan karet yang paling luas di dunia, yaitu sekitar 3,4 juta hekar. Luas lahan perkebunan karet tersebut tersebut terdiri dari perkebunan rakyat (PR), perkebunan besar negara (PBN), dan perkebunan besar swasta (PBS). Perkebunan rakyat merupakan perkebunan karet yang dimiliki dan dikelola oleh rakyat. Sedangkan perkebunan besar negara yaitu perkebunan karet yang dikelola dan dimiliki negara dan perkebunan besar swasta yaitu perkebunan karet yang dikelola perusahaan perekebunan swasta.

Perkebunan karet rakyat mencapai 85 persen dari total luas perkebunan karet yang ada di Indonesia dan hanya delapan persen perkebunan besar milik negara serta tujuh persen perkebunan besar milik swasta1. Berdasarkan Tabel 3

1

[DEPTAN] Departemen Pertanian. 2011. Luas Areal dan Produksi Perkebunan Seluruh Indonesia Menurut Pengusahaan.


(3)

3 dapat dilihat bahwa luas lahan perkebunan karet rakyat (PR) paling luas dibandingkan perkebunan besar negara (PBN) dan perkebunan besar swasta (PBS). Namun produktivitas karet dari PR paling rendah dibandingkan PBN dan PBS. Bahkan pada tahun 2008 dan 2009, produktivitas karet cenderung menurun. Produktivitas karet yang lebih rendah dapat dikarenakan kualitas dari klon karet yang ditanam, teknologi budidaya yang belum diterapkan petani seperti penggunaan pupuk, dan umur karet yang sudah tua dan rusak (Akiefnawati, Wibawa, Joshi, dan Noordwjik, 2007).

Tabel 3. Luas Areal, Produksi, dan Produktivitas Karet di Indonesia Tahun Luas Areal

(ribu Ha)

Produksi ( ribu Ton) Produktivitas (Ton/Ha)

PR PBN PBS PR PBN PBS PR PBN PBS

2006 2.833 238 275 2.082 265 288 0,735 1,117 1,049 2007 2.900 238 275 2.176 277 301 0,751 1,164 1,092 2008 2.910 238 275 2.173 276 300 0,747 1,162 1,091 2009 2.911 239 284 1.942 238 259 0,667 0,997 0,912 2010*) 2.934 236 274 2.065 252 274 0,704 1,066 1,001 2011**) 2.935 239 276 2.105 260 276 0,717 1,087 1,000

Sumber : Direktorat Jenderal Perkebunan (2011), diolah Keterangan : * Angka sementara

** Angka estimasi

Penggunaan bibit unggul pada perkebunan karet rakyat tergolong masih rendah. Sumber bibit karet pada perkebunan rakyat biasanya berupa bibit cabutan atau bibit dengan mutu yang rendah (Akiefnawati, Wibawa, Joshi, dan Noordwjik, 2007). Penggunaan bibit yang seperti itu, dapat menyebabkan produktivitas karet menjadi lebih rendah dibandingkan dengan produktivitas karet yang menggunakan bibit unggul. Faktor lain yang diduga menyebabkan rendahnya produktivitas karet pada perkebunan rakyat yaitu dari teknis produksi atau pengelolaan kebun karet. Pengelolaan perkebunan karet rakyat belum sepenuhnya melakukan penerapan teknik dan manajemen usaha yang efisien. Pengelolaan kebun karet yang dilakukan masih sederhana. Setelah bibit karet ditanam untuk selanjutnya dibiarkan tanpa ada perawatan pada kebun karet sehingga menyebabkan produktivitas karet yang rendah ( Sadikin dan Irawan, 2004).

Banyaknya perkebunan karet yang sudah tua, rusak, dan kurang produktif pada perkebunan karet rakyat karena petani telat melakukan peremajaan dapat


(4)

4 menjadi salah satu penyebab rendahnya produktivitas karet. Direktorat Jenderal Perkebunan melalui program revitalisasi perkebunan tahun 2009 merencanakan pengembangan perkebunan dengan melakukan peremajaan pada tanaman perkebunan seperti kelapa sawit, karet, dan kakao. Luas perkebunan karet yang diremajakan pada program tersebut mencapai 217.000 Ha. Luas karet yang akan diremajakan tersebut mencapai sekitar 6,8 persen dari total luas lahan karet yang ada dan merupakan nilai tertinggi jika dibandingkan dengan luas peremajaan perkebunan kelapa sawit maupun kakao yang masing-masing hanya seluas 99.000 Ha dan 31.000 Ha. Tingginya luas perkebunan karet yang diremajakan, mengindikasikan bahwa banyak perkebunan karet yang sudah tua, rusak, dan kurang produktif dan telat untuk diremajakan.

Produktivitas karet yang semakin menurun dan rendah dapat ditingkatkan dengan cara memperbaiki penggunaan faktor input yang digunakan, seperti penggunaan bibit unggul dan penggunaan pupuk (Akiefnawati, Wibawa, Joshi, & Noordwjik, 2007). Permasalahan umur produksi atau karet yang sudah tua dapat dilakukan dengan peremajaan dari karet itu sendiri. Peremajaan memiliki peran yang penting dalam pengelolaan suatu perkebunan. Perkebunan yang diremajakan dapat diperbaiki dan ditingkatkan tingkat produktivitas dengan cara penggunaan bibit unggul pada saat peremajaan dilakukan. Bibit unggul yang digunakan pada perkebunan dapat menghasilkan getah karet lebih banyak dibandingkan dengan bibit karet sebelumnya yang sudah tua.

Lahan yang cocok untuk penanaman karet yaitu lahan yang memiliki jenis tanah podsolik merah kuning (Tim Penulis PS, 2011). Sebagian besar jenis tanah tersebut berada di wilayah Sumatera. Selain dari jenis tanah, syarat tumbuhnya tanaman karet juga dipengaruhi iklim, curah hujan, ketinggian tempat serta kondisi tanah. Lokasi perkebunan karet yang paling luas berada di wilayah Sumatera. Berdasarkan data Departemen Pertanian, pada tahun 2010 luas perkebunan karet di Sumatera sekitar 2,3 juta ha atau 67,6 persen total luas perkebunan karet Indonesia. Daerah perkebunan karet di Sumatera hampir tersebar di seluruh provinsi yang ada di Sumatera, salah satunya Sumatera Selatan. Luas areal perkebunan karet di Sumatera Selatan pada tahun 2010


(5)

5 memiliki luas mencapai 665.129 Ha atau sebesar 29% dari total luas lahan di Sumatera.

Berdasarkan Tabel 4 dapat dilihat bahwa peningkatan produktivitas karet di Sumatera Selatan dari tahun 2005-2008 mengalami peningkatan. Namun pada tahun 2009 dan 2010, produktivitas karet mengalami penurunan. Pada tahun 2009 terjadi penurunan produktivitas karet dan juga penurunan luas lahan karet. Penurunan luas lahan karet diduga karena terjadi konversi lahan dari perkebunan karet menjadi perkebunan kelapa sawit ataupun perkebunan karet menjadi perumahan atau komplek pertokoan. Banyaknya perkebunan karet yang memiliki tanaman karet yang sudah tua sehingga tidak produktif lagi namun belum dilakukan peremajaan terhadap lahan karet tersebut dapat menjadi salah satu penyebab turunnya produktivitas karet.

Tabel 4. Luas dan produksi karet di Provinsi Sumatera Selatan

Tahun Luas Areal (Ha) Produksi (Ton) Produktivitas (Ton/Ha)

2005 655.230 450.495 876

2006 648.754 517.799 980

2007 659.134 542.538 1.013

2008 662.788 543.698 1.017

2009 659.769 484.000 925

2010 665.129 515.965 959

Sumber : Deptan (2010)

Produktivitas karet di Sumatera Selatan pada tahun 2010 juga mengalami penurunan. Penurunan yang terjadi tersebut tidak diikuti dengan penurunan luas lahan karet. Sebaliknya luas lahan karet mengalami peningkatan pada tahun ini dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Hal ini dapat menjadi salah satu indikator bahwa produktivitas karet di Sumatera Selatan mengalami penurunan beberapa tahun terakhir. Produktivitas yang semakin menurun ini dapat dikarenakan banyaknya perkebunan karet yang sudah tua sehingga tidak lagi produktif ataupun penggunaan input yang belum maksimal.

Kabupaten Banyuasin merupakan salah satu kabupaten di Sumatera Selatan yang sangat berpotensi untuk terus berkembang khususnya dalam sektor pertanian. Kabupaten Banyuasin memerioritaskan pengembangan salah satunya pada sektor perkebunan karet. Hal ini dilakukan karena Kabupaten Banyuasin


(6)

6 merupakan salah satu kabupaten di Sumatera selatan yang memiliki wilayah yang paling luas. Jenis tanah yang cocok untuk tanaman perkebunan serta lokasi yang cukup dekat dengan pabrik pengolahan karet, menjadi salah satu faktor pendukung untuk pengembangan perkebunan karet.

Berdasarkan data Pemerintahan Daerah Kabupaten Banyuasin tahun 2011, Kabupaten ini memiliki luas 11.832,99 kilometer persegi . Wilayah ini sangat berpotensi untuk terus berkembang khusunya di sektor perkebunan karet. Namun dengan wilayah yang luas tidak selalu menjamin dapat meningkatkan produksi dan produktivitas karet di Indonesia, khususnya di Kabupaten Banyuasin sendiri.

Berdasarkan data Dinas Perkebunan Sumatera Selatan tahun 2010 pada Tabel 5 diketahui bahwa total luas perkebunan karet di Kabupaten Banyuasin pada tahun 2009 yaitu 82.875 hektar. Dari total lahan tersebut terdapat sekitar 22,6 persen luas lahan perkebunan karet yang sudah rusak dan tua. Luas lahan yang rusak tersebut harus segera dilakukan peremajaan agar dapat kembali menghasilkan. Dengan jumlah luas lahan yang rusak tersebut dapat mengindikasikan bahwa masih terdapat petani yang belum meremajakan kebun karet yang rusak. Hal inilah yang menjadi salah satu alasan untuk memilih Kabupaten Banyuasin sebagai tempat penelitian.

Tabel 5. Luas Perkebunan Karet Kabupaten Banyuasin Tahun 2009

No. Keterangan Luas areal (Ha)

1 Lahan Karet 82.875

2 Lahan Karet Belum Menghasilkan (BM) 20.499 3 Lahan Karet Telah Menghasilkan (TM) 53.680

4 Lahan Karet yang Rusak 18.696

Sumber : Dinas Perkebunan Sumatera Selatan (2011)

1.2. Perumusan Masalah

Perkebunan karet rakyat di Sumatera Selatan merupakan perkebunan yang paling luas dibandingkan dengan perkebunan karet milik negara ataupun swasta. Sebanyak 95 persen perkebunan karet yang ada di Sumatera selatan merupakan


(7)

7 perkebunan karet rakyat2. Namun produktivitas yang dihasilkan paling rendah dibandingkan dengan perkebunan milik negara dan swasta. Permasalahan yang dihadapi terkait dengan komoditi karet rakyat pada umumnya yaitu produktivitas dan mutu karet yang masih rendah. Rendahnya produktivitas karet rakyat ini salah satunya dikarenakan banyaknya perkebunan karet yang sudah tua dan rusak. Pada tahun 2009, diketahui bahwa sebanyak lebih dari 150.000 hektar perkebunan karet rakyat di Sumatera Selatan merupakan perkebunan karet yang sudah tua yang berumur di atas 25 tahun, salah satunya terdapat di Kabupaten Banyuasin.3. Tanaman karet yang tua dapat membuat produksi menjadi turun dan berujung pada menurunnya produktivitas karet pada petani.

Perkebunan karet yang sudah tua dan rusak dapat memberikan kerugian bagi petani yaitu dari sisi biaya yang dikeluarkan dan juga pendapatan yang diterima oleh petani. Biaya yang dikeluarkan petani akan semakin besar dikarenakan adanya perawatan serta pemupukan yang perlu ditingkatkan agar mampu meningkatkan hasil produksi. Petani juga akan menerima pendapatan yang semakin kecil karena produksi yang dihasilkan semakin menurun serta dengan diikuti pengeluaran biaya produksi yang semakin besar. Kemungkinan juga terdapat faktor-faktor lain yang dapat memengaruhi petani untuk melakukan peremajaan, yaitu itu berupa faktor ekonomi, sosial ataupun demografi.

Peremajaan pada perkebunan karet umumnya masih belum banyak dilakukan pada perkebunan rakyat. Peremajaan bila dilihat dari sisi petani dapat mengakibatkan pendapatan petani menjadi berkurang. Pada saat peremajaan dilakukan, petani tidak akan memperoleh pendapatan dari karet karena belum menghasilkan. Apabila mata pencaharian petani hanya bersumber dari karet saja, maka ketika dilakukan peremajaan petani dapat kehilangan sumber pendapatannya.

Peremajaan yang belum dilakukan oleh petani diduga juga karena petani kekurangan modal. Petani harus mengeluarkan modal untuk peremajaan namun juga harus memenuhi kebutuhan selama karet yang diremajakan belum

2

Republika. 2009. Ribuan Hekatare Karet Sumsel Perlu Diremajakan.

http://binaukm.com/2011/09/karet-sebagai-komoditas-perkebunan-unggulan/[12 Juli 2010]

3


(8)

8 berproduksi. Hal inilah salah satunya yang diduga membuat peremajaan masih sedikit yang melakukannya. Petani perlu mencari penghasilan lain selama peremajaan agar kebutuhan rumah tangga dapat terpenuhi.

Perkebunan karet yang sudah berumur di atas 25 tahun seharusnya dilakukan peremajaan. Namun masih masih terdapat petani yang belum melakukannya. Hal tersebut dapat dipengaruhi beberapa faktor yang memengaruhi keputusan petani untuk melakukan peremajaan pada kebun karet mereka. Perkebunan karet yang dilakukan peremajaan diharapkan mampu meningkatkan produktivitas serta pendapatan petani karet. Biaya yang dikeluarkan pada saat peremajaan yaitu berupa investasi pada perkebunan tersebut tidak semahal pada saat melakukan pembukaaan kebun baru. Hal ini dikarenakan petani tidak perlu mengeluarkan biaya investasi baru seperti membeli lahan ataupun peralatan yang sudah dimiliki sebelumnya pada saat perkebunan karet didirikan. Perkebunan karet yang sudah rusak dan tua harus segera dilakukan peremajaan agar dapat meningkatkan produktivitas serta memberikan pendapatan yang lebih kepada petani dimasa mendatang. Manfaat peremajaan juga harus dapat dirasakan oleh petani dengan adanya peningkatan produktivitas dan diikuti dengan meningkatnya pendapatan petani.

Berdasarkan penjelasan dari uraian di atas, maka permasalahan yang dapat dirumuskan yaitu :

1. Berapa umur optimum peremajaan karet pada perkebunan karet rakyat? 2. Faktor-faktor apa yang memengaruhi petani untuk melakukan peremajaan

karet?

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan yang ingin dicapai dengan adanya penelitian ini adalah :

1. Mengetahui umur optimum peremajaan karet pada perkebunan karet rakyat. 2. Menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi petani untuk melakukan

peremajaan karet. 1.4. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada pembaca mengenai peremajaan karet yang dilakukan oleh petani perkebunan karet rakyat. Penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan masukan bagi pemerintah untuk


(9)

9 merumuskan dan merencanakan kebijakan dalam membuat program peremajaan perkebunan karet. Penelitian ini juga diharapkan dapat bermanfaat bagi literatur untuk penelitian selanjutnya.

1.5. Ruang Lingkup penelitian

Penelitian ini hanya membahas dan menganalisis tentang faktor-faktor yang memengaruhi petani perkebunan karet rakyat untuk melakukan peremajaan pada perkebunan mereka serta mengetahui umur optimum peremajaan pada perkebunan karet rakyat. Petani perkebunan karet rakyat yang diteliti yaitu petani perkebunan karet rakyat Kabupaten Banyuasin, Provinsi Sumatera Selatan. Periode pengamatan yang digunakan yaitu produksi rata-rata pada satu tahun terakhir yaitu antara tahun 2011 dan tahun 2012.


(10)

10 II TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Usahatani Karet

Usahatani karet yaitu suatu bentuk usahatani yang dilakukan petani melalui pengusahaan karet. Banyak penelitian yang melakukan penelitian terkait dengan usahatani karet, baik berupa pendapatan petani ataupun dari sisi kelayakan pelaksanaannya ataupun system yang diterapkan pada usahatani. Penelitian yang dilakukan Batubara (2004) terkait dengan usahatani karet yaitu tentang usahatani karet rakyat yang dibina UPP TCSDP. Batubara (2004) meneliti usahatani yang dilakukan dapat memberikan keutungan atau tidak bagi petani. Analisis keuntungan usahatani karet yang dilakukan menggunakan alat analisis Net B/C, NPV, dan IRR. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk melihat kegiatan usahatani dalam pembentukan modal untuk investasikan kembali pada intensifikasi dan perluasan kebun karet. Hasil penelitian menunjukkan pembentukan modal dari usahatani karet layak untuk diinvestasikan jika luas lahan karet mencapai 2 Ha. Nilai NPV yang diperoleh pada saat umur karet berumur 13 tahun yaitu Rp 15.378.976,00 diikuti dengan nilai IRR 15,00 persen dan Net B/C>1. Nilai-nilai tersebut diperoleh pada tingkat harga yang sama yaitu dengan nilai kurs US $ 1 (Rp 9.000,00/Kg).

Tujuan lain dari penelitian Batubara (2004) yaitu untuk mengetahui keuntungan yang diperoleh dari usahatani karet binaan UPP TCSDP. Keuntungan yang diterima dari hasil analisis diketahui lebih tinggi dibandingkan dengan upah minimum sektoral sektor pertanian dan perkebunan pada saat itu di Provinsi Sumatera Selatan. Upah standar minimum sektoral diperoleh dengan standar jam kerja 7 jam per hari kerja, sedangkan petani karet rata-rata memiliki jam kerja sekitar 5 jam kerja per hari. Hal ini data menandakan bahwa usahatani karet pada daerah binaan UPP TCSDP menguntungkan bagi petani dan petani masih mengandalkan karet untuk memenuhi kebutuhan mereka.

Berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Batubara, Hendratno dan Amypalupy (2008) menggunakan alat analisis Break Event Point (BEP) dan imbangan penerimaan dan biaya (R/C) sebagai indikator penentuan buka sadap kebun karet dalam penelitiannya terkait dengan usahatani karet. Penelitian ini dilakukan untuk menganalisis kebun karet dengan klon tertentu yang mampu


(11)

11 memberikan pendapatan usahatani karet yang menguntungkan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada saat terjadi kondisi gejolak perekonomian yang ekstrim dilihat dari nilai R/C dan BEP, maka formula buka sadap kebun karet dengan jenis tanaman karet dari klon quick starter (klon PB 260) masih mampu memberikan keuntungan yang signifikan. Keuntungan yang akan diperoleh dari penerapan formula tersebut yaitu berupa pengembalian investasi menjadi lebih awal dan biaya investasi selama masa Tanaman Belum Menghasilkan (TBM) dapat dikurangi. Hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa penggunaan bibit karet yang unggul dapat memberikan keutungan yang lebih bagi petani dalam usahatani karet.

Perkebunan karet yang biasanya dikelola oleh petani rakyat berbentuk perkebunan karet seperti hutan. Hal ini dapat dikarenakan kebiasaaan atau adat petani pada derah tersebut ataupun dikarenakan adanya kelebihan dengan pola penanaman karet yang dibiarkan tumbuh liar seperti di hutan. Pola tanam karet yang seperti itu dinamakan pengembangan karet dengan pola atau sistem wanatani. Penelitian yang dilakukan Suhatini et.al (2003) menyatakan bahwa pengembangan usahtani karet berbasiskan sistem wanatani merupakan salah satu upaya meningkatkan produktivitas karet rakyat dan pendapatan petani karet. Penulis membagi usahatani sistem wanatani karet di Kabupaten Sanggau menjadi tiga pola wanatani berbasis karet atau Rubber Agroforesty System (RAS). Pola pertama yaitu pola RAS 1 berupa hutan karet produktif. Pola ini memiliki tujuan untuk melakukan penghematan biaya sarana produksi dan efisiensi tenaga kerja serta upaya untuk melestarikan keanekaragaman hayati. Pola kedua yaitu pola RAS 2 berupa sistem wanatani kompleks yang memiliki tujuan untuk memanfaatkan tenaga kerja secara optimal serta melakukan diversifikasi komoditi. Pola yang terakhir yaitu pola RAS 3 yang merupakan reklamasi lahan alang-alang. Pola terakhir ini bertujuan untuk menjaga kesuburan tanah dan diversifikasi komoditi.

Analisis data dalam penelitian tentang usahatani karet berbasiskan sistem wanatani dilakukan dengan melakukan analisis pendapatan riil petani. Salah satu tujuan dari penelitian ini diantaranya yaitu untuk mengetahui karakteristik sosial ekonomi petani yang menerapkan sistem wanatani pola RAS 1, 2, dan 3. Hasil


(12)

12 penelitian menunjukkan bahwa melalui analisis pendapatan riil petani, pendapatan yang diperoleh dengan pola RAS lebih tinggi dibandingkan dengan yang di luar RAS. Pendapatan rata-rata yang diperoleh dari pola RAS 1, 2, dan 3 yaitu sebesar Rp5.301.392 per 0,5 ha per tahun, sedangkan pendapatan rata-rata di luar RAS yaitu sebesar Rp1.100.204 per 0,5 ha per tahun.

Berdasrakan studi empiris yang sudah ada dapat disimpulkan, usahatani karet masih menguntungkan bagi petani. Usahatani karet dengan sitem wanatani dan penggunanaan bibit unggul dapat memberikan keuntungan yang lebih bagi petani karet.

2.2. Faktor-Faktor yang Memengaruhi Peremajaan Tanaman Tahunan Berdasarkan studi-studi empiris yang telah ditulis, penentuan peremajaan karet dipengaruhi oleh beberapa faktor. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Boerhendhy dan Amypalupy (2010) diketahui bahwa faktor-faktor yang memengaruhi peremajaan karet yaitu jumlah produksi dan nilai ekonomis. Faktor jumlah produksi dapat diketahui dari nilai produktivitas karet yang dihasilkan. Sedangkan nilai ekonomis dilihat dari harga pokok karet kering yang sedang berlaku.

Boerhendhy dan Amypalupy (2010) dalam penelitiannya juga menjelaskan bahwa petani harus melakukan peremajaan ketika produktivitas karet yang dihasilkan rendah yaitu sekitar 400-500 kg/ha/tahun. Petani juga dianjurkan untuk melakukan peremajaan pada saat harga pokok karet kering saat berada pada harga yang rendah yaitu sekitar Rp 7.000,00/kg, karena dinilai harga tersebut sudah tidak ekonomis lagi bagi petani.

Jenahar (2003) dalam penelitiannya tentang peremajaan optimum karet menjelaskan bahwa terdapat tiga faktor yang dapat menghambat dan memengaruhi peremajan optimum dari karet. Faktor-faktor tersebut yaitu faktor teknik, faktor ekonomi, dan faktor administrasi. Faktor teknik yang dapat memengaruhi dan menghambat pelaksanaan yaitu dari adanya ketersediaan bibit yang terjamin mutunya untuk digunakan petani.

Faktor ekonomi yang dapat memengaruhi peremajaan optimum yaitu dari segi harga faktor produksi yang berfluktuasi. Harga yang berfluktuasi tersebut mengakibatkan biaya yang akan dikeluarkan tidak dapat atau tidak sesuai dengan


(13)

13 yang sudah dianggarkan dan direncanakan. Ketidaksesuaian anggaran biaya yang direncanakan dan dianggarkan dengan realisasi biaya yang dikeluarkan menjadi salah satu hal yang menghambat petani untuk melakukan peremajaan. Hal tersebut dikarenakan petani dapat menjadi kekurangan modal akibat dari biaya yang dikeluarkan lebih besar daripada biaya yang sudah diperhitungkan sebelumnya.

Faktor yang juga mampu memengaruhi dan menghambat peremajaan karet yaitu dari faktor administrasi. Faktor administrasi dapat menghambat dan memengaruhi dari segi perencanaan dan evaluasi dalam melakukan peremajaan kare. karakteristik petani di Indonesia yang masih kurang dalam melakukan pencatatan selama melakukan kegiatan usahatani mengakibatkan sulitnya mencari data serta informasi. Kurangnya data serta informasi yang terkumpul dalam inventarisasi pekerjaan-pekerjaan yang lalu menjadi hambatan dalam melakukan perencanaan dan evaluasi peremajaan.

Sutarna (2000) dalam penelitiannya mengelompokkan faktor peremajaan optimal tanaman teh menjadi faktor internal dan eksternal. Faktor internal yaitu merupakan faktor yang terdapat di dalam perusahaan teh itu sendiri seperti faktor tenaga kerja dan faktor lainnya yang masih mampu dikendalikan oleh perusahaan teh. Faktor eksternal yaitu merupakan faktor yang tidak dapat dikendalikan oleh perusahaan teh tersebut, seperti harga jual, perubahan nilai uang, iklim, serta tingkat suku bunga pinjaman untuk investasi.

Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa dari temuan studi-studi yang telah dilakukan, peremajaan karet lebih dipengaruhi oleh dua kelompok besar yaitu faktor ekonomi dan teknik. Faktor teknik terkait dengan budidaya seperti bibit, luas lahan, dan tenaga kerja. Sedangkan faktor ekonomi berhubungan dengan harga karet dan harga input karet serta perubahan atau flukuasi tingkat suku bunga.

Dalam penelitian ini akan dilakukan analisis faktor-faktor yang memengaruhi keputusan petani untuk melakukan peremajaan karet pada perekebunan karet rakyat. Hanya saja, penelitian sebelumnya yang dilakukan lebih banyak menjelaskan faktor-faktor yang memengaruhi penentuan optimum peremajaan karet. Penelitian yang dilakukan sebelumnya belum melihat kepada keputusan petani dalam melakukan peremajaan. Penelitian yang dilakukan juga


(14)

14 lebih cenderung pada perusahaan perkebunan karet besar. Sehingga untuk melihat faktor-faktor lain yang memengaruhi keputusan petani selain dari faktor teknis dan ekonomi, juga dilihat faktor dari karakteristik petani seperti usia, pendidikan, pengalaman, keluarga petani dan pendapatan petani baik yang dari karet atau pendapatan lain di luar usahatani karet.

2.3. Peranan Tanaman Sela dan Tumpang Sari dalam Peremajaan

Terkait dengan faktor-faktor yang memengaruhi keputusan petani melakukan peremajaan karet, salah satunya yaitu adanya alternatif income atau pendapatan lain bagi petani apada saat karet diremajakan. Tanaman sela dapat menjadi salah satu alternatif income selama peremajaan bagi petani yang tidak mempunyai pendapatan lain selain dari karet. Selain dalam memberikan tambahan pendapatan bagi petani selama peremajaan, tanaman sela juga dapat memberikan manfaat langsung kepada tanaman karet yang diremajakan. Seperti pada penelitian yang dilakukan Rosyid (2007) yaitu tentang pengaruh tanaman sela terhadap pertumbuhan karet pada areal peremajaan di Kabupaten Sarolangun, Jambi. Pada penelitiannya diketahui bahwa tanaman sela dapat berpengaruh positif terhadap pertumbuhan karet yang sedang pada masa peremajaan. Pada penelitian diketahui bahwa rata-rata pertumbuhan tanaman karet klon PB 260 yang menggunakan tanaman sela pada areal peremajaan karet di daerah tersebut sama dengan pertumbuhan klon pada tingkat penelitian.

Manfaat tanaman sela lainnya juga disebutkan oleh Rosyid (2007) bahwa tanaman karet yang ditanami tanaman sela dapat tumbuh dan berkembang lebih baik dibandingkan dengan karet yang tidak ditanami. Tanaman sela yang banyak ditanam oleh petani biasanya yaitu jenis tanaman musiman seperti jagung, padi, cabe, kacang panjang, sayuran dan kacang tanah. Petani lebih cenderung untuk memilih padi gogo sebagai tanaman sela salah satunya dikarenakan petani berpikir padi dapat dimanfaatkan sebagai bahan makanan pokok untuk kebutuhan hidup sehari-hari mereka. Pemenuhan kebutuhan pangan petani diperoleh dari tanaman sela yang ditanaman selama kebun karet diremajakan. Padi gogo hanya dapat ditanam minimal satu tahun sekali sebagai tanaman sela dikarenakan padi gogo hanya dapat ditanam pada saat bulan basah atau musim hujan (Tjasadihardja, et al 1995 : Gozali & Husni 1995). Sehingga dapat disimpulkan


(15)

15 dari uraian sebelumnya bahwa tanaman sela seperti padi dan sayuran lainnya memiliki manfaat dalam pemenuhan kebutuhan pangan petani pada saat kebun karet mereka diremajakan.

Selain itu, tanaman sela kurang dirasakan manfaatnya apabila dilakukan penanaman ubi kayu dan tanaman sejenis lainnya yang satu family dengan tanaman karet. Hal ini dikarenakan tanaman sela tersebut mampu untuk menjadi inang berbagai penyakit karet seperti jamur akar putih, Odium dan lain-lain. Hal ini juga sejalan dengan penelitian Djukri (2006), dimana tanaman sela tidak akan memiliki manfaat lagi pada saat tanaman karet sudah mencapai umur lebih dari 3 tahun setelah penanaman. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tanaman karet dapat membuat bobot basah umbi, bobot kering umbi serta produksi umbi per petak menjadi menurun pada tahun ke 2 dan ke 3 penanaman umbi talas. Tanaman karet dapat membuat intensitas cahaya yang diterima oleh umbi talas menjadi berkurang. Hal ini disebabkan pada tahun ke 2 dan ke 3 penanaman, tanaman karet sudah mulai tumbuh banyak daun sehingga menjadi lebih rindang dari sebelumnya.

Menurut Tjasadihardja et al (1995) manfaat lain yang dapat diperoleh dari tanaman sela selama peremajaan yaitu dengan melakukan fungsi rotasi tanaman dengan pola tanam dari tanaman sela. Hal ini merupakan hal yang sangat penting karena tanaman sela dapat menutup tanah sepanjang tahun dengan tanaman produktif. Tanah yang ditutupi dapat membantu serta mengurangi gulma seperti alang-alang karena dapat dikendalikan bersamaan dengan pemeliharaan tanaman semusim yang ditanam. Hal ini juga dapat menandakan bahwa adanya tanaman sela, dapat membantu untuk mengurangi pertumbuhan gulma pada saat peremajaan dilakukan.

Namun ditemukan pada penelitian yang dilakukan Rinaldi dan Kariada (2006) yang menunjukkan bahwa usahatani tanaman tahunan yang dilakukan dengan sistem tumpang sari membuat usahatani tersebut menjadi tidak layak untuk diusahakan. Hal ini menandakan bahwa penggunaan tanaman sela atau tumpang sari pada tanaman tahunan tidak memberikan manfaat selama tanaman diremajakan. Tanaman tahunan yang yang diteliti yaitu tanaman kakao, jeruk, kelapa, pisang, dan kopi. Hal ini dibuktikan dengan nilai Net B/C yang diperoleh


(16)

16 ketika tanaman tahunan tersebut dilakukan tumpang sari dengan tanaman lain maka nilai Net N/C yang didapat yaitu sebesar 0,96 atau Net B/C <1.

Berdasarkan studi empiris terkait dengan manfaat tanaman sela terhadap peremajaan dan pendapatan yang diterima petani, tanaman sela memiliki pengaruh yang positif pada beberapa penelitian yang telah dilakukan. Tanaman sela tidak mengganggu pertumbuhan tanaman utama dan tanaman utama khususnya karet dapat berkembang lebih baik dibandingkan dengan tanaman yang tidak ditanami tanaman sela. Penerapan tanaman sela juga harus disesuaikan dengan kondisi komoditi dan lingkungan tempat petani melakukan peremajaan. 2.4. Peremajaan Optimum Tanaman Perkebunan

Peremajaan merupakan salah satu hal yang penting dalam usaha untuk mempertahankan kontinuitas produksi tanaman perkebunan. Umur penentuan peremajaan untuk setiap tanaman perkebunan memiliki jumlah tahun yang berbeda-beda tergantung dari komoditinya. Sudah banyak penelitian yang dilakukan untuk menentukan saat optimum peremajaan tanaman perkebunan. Terdapat beberapa metode yang digunakan untuk menghitung umur atau saat optimum peremajaan, salah satunya yaitu metode Faris (Ismail & Mamat 2002; Sutarna 2000; Ernah 2010).

Penentuan umur optimum peremajaan dengan metode Faris dilakukan dengan mencari nilai Marginal Net Revenue (MNR) sama dengan atau mendekati nilai Amortisasi Net Revenue (ANR) pada tahun yang sama. Metode ini dapat digunakan untuk tanaman perkebunan seperti kopi, kakao, teh, karet, atau kelapa sawit. Penelitian yang dilakukan Ismail dan Mamat (2002) yaitu menentukan saat optimum peremajaan tanaman kelapa sawit yang ada di Malaysia. Namun dalam penelitian yang dilakukan Ismail dan Mamat menggunakan metode Faris dengan mencari umur peremajaan optimum ketika nilai MNR sama atau menekati nilai AVNR. Hasil penelitian menunjukkan bahwa saat optimum peremajaan kelapa sawit dipengaruhi oleh harga jual CPO. Saat harga jual CPO mengalami kenaikan maka saat optimum premajaan akan menjadi lebih pendek daripada saat harga jual sebelumnya. Hal ini terbukti ketika harga jual berada pada level RM 180 per ton, saat optimum peremajaan yaitu 27 tahun. Sedangkan pada saat harga naik menjadi


(17)

17 RM 200 dan RM 220 maka saat optimum peremajaan secara berurutan berubah menjadi 26 dan 25 tahun.

Berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan Ernah (2010) yaitu melakukan penentuan saat optimum peremajaan pada tanaman kakao. Penentuan saat optimum tanaman kakao tidak dipengaruhi oleh perubahan harga jual dari kakao. Hasil penelitian yang dilakukan menunjukkan bahwa perubahan harga yang dibuat tidak memengaruhi saat optimum peremajaan namun lebih dipengaruhi dari perubahan nilai tingkat suku bunga yang terjadi. Semakin rendah nilai tingkat suku bunga maka saat optimum peremajaan akan semakin cepat atau pendek.

Hasil penelitian lain tentang saat optimum peremajaan tanaman perkebunan yaitu pada tanaman teh. Pada penelitian ini Sutarnah (2000) tidak melakukan uji sensitivitas seperti yang dilakukan pada kedua penelitian sebelumnya. Sutarnah (2000) hanya melihat saat optimum peremajaan teh melalui dua kondisi yaitu secara finansial dan secara ekonomi. Saat optimum peremajaan tanaman teh secara finansial ataupun ekonomi tidak mengalami perbedaan. Saat optimum peremajaan pada kedua keadaan tersebut didapat pada tahun ke 41 dari tahun nol penanaman teh. Perbedaan antara kondisi finansial dan kondisi ekonomi dari penelitian tersebut yaitu dari penggunaan harga jual teh. Harga jual teh pada perhitungan secara finansial menggunakan harga yang sebenarnya dan perhitungan secara ekonomi mengunakan harga bayangan dari teh.

Berdasarkan hasil penelitian Sutarnah (2000) juga dapat disimpulkan bahwa perubahan harga pada tanaman teh juga tidak memengaruhi saat optimum peremajaan pada tanaman teh. Namun memang belum adaya penelitian lebih lanjut tentang faktor apa yang paling memengaruhi saat optimum dari tanaman perkebunan. Sehingga tidak dapat diketahui secara pasti faktor yang memengaruhi saat optimum peremajaan suatu tanaman perkebunan.

Berbeda dengan ketiga penelitian sebelumnya, Jenahar (2003) mengitung saat optimum peremajaan tanaman karet dengan menggunakan penentuan titik optimal peremajaan Sutardi (1973) dalam Jenahar (2003) dan juga dengan menggunakan metode pengembangan dari metode Sutardi (1973) dalam Jenahar (2003). Metode pengembangan tersebt dikembangkan sendiri oleh Jenahar (2003).


(18)

18 Kedua metode tersebut tidak memiliki perebedaan dalam menentukan saat optimum peremajaan dan luas optimum peremajaan.

Pada penelitiannya Jenahar (2003) menggunakan perubahan keadaan produksi karet yaitu pada keadaan produksi karet normal, pesimis, dan optimis. Kondisi karet pada keadaan normal, pesimis, dan optimis selain dari produksi karet juga dipengaruhi dari harga jual karet dan tingkat inflasi yang terjadi. Keadaan normal dan optimis yang dibuat menggunakan harga jual dan tingkat inflasi yang sama namun pada saat kondisi pesimis menggunakan harga jual dan tingkat inflasi yang lebih rendah dibandingkan dua kondisi sebelumnya.

Perbedaan yang ada pada setiap kondisi menyebabkan perbedaan pada saat optimum peremajaan karet. Saat optimum peremajaan karet pada kondisi normal dicapai pada umur ekonomi 25 tahun. Sedangkan pada saat kondisi pesimis, saat optimum peremajaan karet berada pada umur ekonomis 24 tahun. Keadaan terakhir yaitu pada keadaan optimis, saat optimum peremajaan karet berada pada umur ekonomi 27 tahun. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Jenahar (2003) dapat disimpulkan bahwa saat optimum peremajaan karet dipengaruhi oleh perubahan harga jual, tingkat inflasi, dan perubahan produksi karet di setiap kondisi. Namun tidak dapat diketahui secara jelas perubahan apa yang paling memengaruhi saat optimum peremajaan dikarenakan perubahan tersebut dilakukan secara bersamaan dalam satu kondisi.


(19)

19 III KERANGKA PEMIKIRAN

3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis

Kerangka pemikiran teoritis yang diugunakan dalam penelitian ini yaitu menggunakan konsep peremajaan, hipotesis faktor-faktor yang memengaruhi petani melakukan peremajaan dan konsep peremajaan optimum.

3.1.1. Konsep Umur Optimum Peremajaan

Umur optimum peremajaan tahun dimana sebaiknya peremajaan dilakukan dan apabila melewati tahun tersebut maka akan terjadi kerugian. Penentuanan saat atau umur optimum peremajaan merupakan kegiatan yang dilakukan untk menentukan batas umur ekonomis dengan mempertahankan kontinuitas atau keberlanjutan produksi agar tercapai kondisi yang optimal sepanjang kegiatan produksi berlangsung.

Banyak metode yang dapat digunakan dalam melakukan penentuan umur optimum peremajaan. Salah satu metode yang dapat digunakan yaitu metode yang digunakan Faris. Faris (1960) dalam Sutarna (2002) membahas penentuan optimum peremajaan dengan tiga tipe atau konsep dari asset produksi yang dimiliki. Terdapat tiga konsep peramajaan yang dikemukan oleh Faris dalam Ernah (2010) dan Ismail dan Mamat (2002) yaitu :

1. Produksi jangka pendek dengan penerimaan yang diwujudkan dengan cara penjualan asset. Konsep pertama ini biasanya digunakan pada produksi jangka pendek yaitu kira-kira mencapai waktu enam bulan. Penerimaan usaha yang berproduksi pada jangka pendek akan diperoleh dengan cara menjual asetnya yaitu tanaman itu sendiri. Peremajaan optimum pada konsep pertama ini ditentukan dengan mengetahui nilai tambahan penerimaan bersih (marginal net revenue (MNR)) sama dengan penerimaan bersih rata-rata (average net revenue).

2. Produksi jangka panjang dengan penerimaan yang diwujudkan dengan cara menjual asset yang dimiliki. Produksi jangka panjang ini merupakan kegiata produksi yang kira-kira mencapai umur usaha 50 tahun. Konsep kedua dimaksudkan dengan peneriman usaha jangka panjang diperoleh dengan cara menjual asset di akhir pengusahaan asset tersebut. Konsep kedua ini biasanya digunakan pada tanaman tahunan yang hasil kebunnya hanya satu kali


(20)

20 produksi seperti jati atau gaharu. Pengusahaan kebun jati untuk mendaptkan penerimaan dari penjualan kayu diperoleh pada saat tanaman jati ditebang. Selama jati belum ditebang maka tidak akan penerimaan yang akan diperoleh. Prinsip yang digunakan pada konsep kedua Faris (1960) yaitu peremajan optimum dapat ditentukan pada saat tambahan penerimaan bersih (MNR) dari kegiatan ini sama atau mendekati dengan nilai amortisai tertinggi dari pendapatan bersih dari kegiatan selanjutnya (anticipated of net revenue). 3. Produksi jangka panjang yang diwujudkan dengan cara penjualan hasil

sepanjang hidup asset. Maksud dari konsep ketiga mnejelaskan bahwa suatu usaha jangka panjang dimana penerimaan diperoleh dari hasil produksi sepanjang umur asset. Konsep ini biasanya digunakan untuk menentukan umur optimum peremajaan pada tanaman perkebunan seperti kopi, karet, teh, kelapa sawit, dan kakao. Prinsip peremajaan optimum pada konsep ketiga yaitu penerimaan bersih (net revenue) tahunan tahunan merupakan tambahan penerimaan bersih (marginal net revenue), sehingga saat peremajaan optimum terjadi pada saat keuntungan bersih per tahun sama dengan amortisasi dari nilai kini keuntungan selama masa pengusahaan (amortisasi of net revenue (ANR)). Mengingat tanaman karet termasuk tanaman tahunan dan perkebunan yang memiliki silkus hidup yang cukup panjang, maka konsep yang sesuai sebagai penentuan umur optimum peremajaan pada penelitian ini yaitu konsep ketiga.


(21)

21 Gambar 1. Grafik hubungan antara umur dengan MR, MC, MNR dan ANR

Sumber : Sutarna (2000)

Penentuan saat atau umur optimum peremajaan dengan menggunakan metode Faris berbeda dengan penentuan optimum dengan cara pendekatan break event point. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 1 yaitu grafik hubungan antara umur dengan Marginal Revenue (MR), Marginal Cost (MC), Marginal Net Revenue (MNR), dan Amortised Net Revenue (ANR). Dari Gambar dapat dilihat bahwa penentuan umur optimum peremajaan dengan pendekatan break event point terjadi pada saat MC sama dengan MR yaitu pada titik O2 dan berada pada umur di titik X2. Sedangkan penentuan umur optimum peremajaan dengan metode Faris (1960) dalam Sutarna (2000) terjadi pada saat grafik MNR memotong grafik ANR yaitu pada titik O1 yang berada pada umur di titik X1. Penentuan umur optimum peremajaan dengan metode Faris terjadi lebih cepat dibandingkan dengan penentuan umur optimum berdasarkan pendekkatan break event point. Prinsip penentuan saat optimum peremajaan dengan metode Faris diterapkan pada usaha yang sifatnya jangka panjang dan faktor bunga juga ikut diperhitungkan.

MNR

ANR

MR MC

Umur Rp/Hektar


(22)

22 3.1.2. Faktor-Faktor yang Memengaruhi Keputusan Petani Melakukan

Peremajaan

Peremajaan dalam bahasa lain dapat digunakan dengan istilah replacement, replanting, rejuvenation, atau bahkan renovation. Dalam artian luas peremajaan adalah suatu kegiatan untuk memperbarui dari kondisi lama yang sudah mulai turun fungsi atau tidak memiliki lagi nilai fungsinya. Peremajaan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu menggunakan istilah replanting atau penggantian tanaman. Peremajaaan (replanting) dilakukan pada kebun-kebun yang memiliki tanaman sudah tidak berproduksi lagi.

Dalam penelitian ini terdapat beberapa hipotesis faktor-faktor yang memengaruhi keputusan petani melakukan peremajaan karet. Faktor-faktor yang diduga memengaruhi keputusan petani dalam melakukan peremajaan dibagi menjadi dua faktor utama yaitu faktor social ekonomi dan faktor teknis. Faktor sosial ekonomi terdiri dari faktor pengalaman petani, pendidikan, proporsi penghasilan lain dan jumlah tanggunagn anggota keluarga. Sedangakn faktor teknis yang digunakan dalam penentuan faktor-faktor hanya luas lahan petani. 1. Usia Petani

Usia petani adalah salah satu variabel independen yang diduga memengaruhi keputusan petani dalam melakukan peremajaan. Usia dan pendidikan merupakan faktor yang mampu memengaruhi cara pikir dan keputusan seseorang, Usia petani yang digunakan adalah usia petani responden secara keseluruhan yaitu petani responden yang meremajakan dan tidak meremajakan. Hipotesis yang digunakan pada variable ini adalah semakin tinggi usia petani maka diduga sementara peluang petani untuk melakukan peremajaan akan semakin rendah. Hal ini berdasarkan pernyataan dari Suratiyah (2009) usia seseorang menentukan prestasi kerja atau kinerja dari orang tersebut. Semakin tuanya usia petani maka prestasi atau tingkat produktivitas kerjanya akan semkain menurun. Begitu juga seperti yang dijelaskan oleh soekartawi (2005) bahwa petani yang memiliki usia lebih tua cenderung tidak melakukan penerapan inovasi pada pertanian mereka. Petani yang berusia tua akan lebih cenderung untuk tidak melakukan peremajaan pada kebun karet mereka.


(23)

23 2. Pendidikan

Pendidikan sangat berhubungan terhadap pola pikir petani. Variabel pendidikan diharapkan nanti dapat berpengaruh positif terhadap peluang petani dalam melakukan peremajaan. Seperti yang dijelaskan Soekartawi (2005) bahwa petani yang memeiliki pendidikan lebih tinggi akan relatif lebih cepat melakukan adopsi dalam inovasi teknologi. Hal ini dikarenakan petani yang berpendidikan cenderung akan memiliki pola pikir untuk mendapatkan hasil yang lebih maksimal dengan tindakan yang efisien. Sehingga apabila dikaitkan ke peremajaan maka petani yang berpendidikan diduga akan melakukan peremajaan pada kebun mereka untuk mendapatkan hasil yang maksimal dibandingkan tetap melakukan penyadapan dengan produksi yang rendah, atau secara ekonomi tidak menguntungkan lagi.

3. Pengalaman Petani

Pengalaman petani adalah salah satu variabel independen yang diduga memengaruhi keputusan petani dalam melakukan peremajaan. Usia, pengalaman dan pendidikan merupakan faktor yang mampu memengaruhi cara pikir dan keputusan seseorang, Peengalaman petani yang digunakan adalah pengalaman petani responden dalam usahatani karet secara keseluruhan yaitu petani responden yang meremajakan dan tidak meremajakan. Hipotesis yang digunakan pada variable ini adalah semakin lama pengalaman petani maka diduga sementara peluang petani untuk melakukan peremajaan akan semakin tinggi.

4. Jumlah Tanggungan Anggota Keluarga

Jumlah tanggungan anggota keluarga merupakan jumlah anggota keluarga yang masih dalam tanggungan petani responden. Soekartawi (2005) menjelaskan bahwa jumlah keluarga sering dijadikan pertimbangan dalam pengambilan keputusan oleh petani untuk melakukan inovasi atau teknologi baru. Jumlah tanggungan diduga memiliki diduga pengaruh yang negatif dalam model dikarenakan semakin banyak anggota keluarga maka peluang petani untuk tidak melakukan peremajaan akan semakin besar. Junlah tanggungan akan menjadi salah satu faktor yang dapat menghambat petani untuk melakukan peremajaan. Semakin banyak anggota keluarga yang ditanggung, maka petani akan semain banyak membutuhkan biaya untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. biaya


(24)

24 hidup yang banyak akan cenderung membuat petani untuk menunda untuk melakukan peremajaan.

5. Proporsi Penghasilan lain

Proporsi penghasilan lain petani yaitu berupa persentase penghasilan lain dalam pendapatan total yang dimiliki petani. Faktor ini memiliki hubungan dengan jumlah pendapatan yang diperoleh petani. Faktor ini ikut diperhitungkan karena diduga memiliki pengaruh yang positif terhadap keputusan petani dalam melakukan peremajaan karet. Semakin tinggi atau besar proporsi penghasilan lain dibandingkan dengan pendapatan karet dalam pendapatan total petani maka tingkat kesejahteraan petani akan semakin meningkat. Hal ini dapat menyebabkan petani cenderung untuk melakukan peremajan pada kebun karet mereka.

6. Luas lahan yang Dimiliki

Luas lahan merupakan luas lahan total yang dimiliki dan dikelola oleh petani petani karet responden. Luas lahan dapat menjadi salah satu tolok ukur dari ukuran usahatani. Semakin luas lahan yang dimiliki maka semakin besar ukuran usahatani yang dimiliki. Secara teoritis, luas lahan diduga akan memiliki pengaruh positif terhadap keputusan melakukan peremajaan. Soekartawi (2005) menjelaskan bahwa ukuran usahatani selalu memiliki hubungan yang positif dalam pengambilan keputusan petani untuk menerapkan teknologi baru. Hal ini dilihat dalam hubungan pada keputusan petani untuk melakukan peremajaan yaitu dapat dikarenakan semakin luas lahan yang dimiliki petani, maka petani akan semakin mudah untuk mengatur pola tanam karet. Luas lahan diduga juga salah satu faktor yang akan menentukan keputusan petani dalam melakukan peremajaan.

3.2. Kerangka Pemikiran Operasional

Penelitian ini bertujuan untuk melakukan analisis umur optimum peremajaan karet di Kabupaten Banyuasin dan faktor-faktor yang memengaruhi keputusan petani melakukan peremajaaan karet. Analisis ini diawali dengan pengidentifikasian terhadap perkebunan karet milik rakyat di Kabupaten Banyuasin. Perkebunan karet rakyat dibagi menjadi dua kelompok yaitu yang melakukan peremajaan dan yang tidak melakukan peremajaan. Identifikasi


(25)

25 perkebunan tersebut dilakukan dengan cara melihat daerah penelitian secara langsung di Kabupaten Banyuasin. Kemudian dilanjutkan dengan memilih beberapa desa dan petani yang memiliki kebun karet yang sudah melakukan peremajan dalam kurun 5 tahun terakhir dan petani yang memiliki kebun karet yang sudah tua dan rusak . Perkebunan karet milik rakyat yang tidak meremajakan merupakan perkebunan peremajaan kebun karet yang umur karetya sudah mencapai atau melebihi umur optimum peremajaan karet.

Analisis peremajaan optimum yang dilakukan yaitu dengan menggunakan data yang diperoleh dari petani karet rakyat. Data yang digunakan dalam analisis ini berupa faktor teknis dari petani karet yaitu berupa penerimaan tunai dari karet dan pengeluaran yang dilakukan berupa biaya-biaya yang digunakan selama pengusahaan karet. Menurut (Soekartawi et al, 1986), penerimaan tunai adalah nilai uang yang diterima dari penjualan produk usahatani sedangkan Pegeluaran tunai usaha tani (farm payment) adalah jumlah uang yang dikeluarkan untuk pembelian barang dan jasa bagi usahatani. Penerimaan tunai karet diperoleh dari hasil produksi getah karet yang dijual petani. Penerimaan dan pengeluaran diperlukan untuk menghitung cashflow karet. Hasil perhitungan cashflow kemudian digunakan sebagai perhitungan dalam menentukan umur optimum peremjaan karet.

Analisis penentuan umur atau saat optimum peremajaan menggunakan metode Faris (1960). Terdapat tiga konsep peremajaan dalam metode Faris (1960). Namun konsep yang digunakan dalam metode tersebut yaitu hanya salah satu konsep dari ketiga konsep yang ada. Konsep yang digunakan adalah konsep peremajaan optimum dengan adanya produksi jangka panjang yang diwujudkan dengan cara penjualan hasil sepanjang hidup asset. Maksud dari konsep ini yaitu menjelaskan bahwa suatu usaha jangka panjang dimana penerimaan diperoleh dari hasil produksi sepanjang umur asset. Konsep ini biasanya digunakan untuk menentukan umur optimum peremajaan pada tanaman perkebunan seperti kopi, karet, teh, kelapa sawit, dan kakao.

Prinsip peremajaan optimum pada konsep ini adalah penerimaan bersih (net revenue) tahunan merupakan tambahan penerimaan bersih (marginal net revenue), sehingga saat peremajaan optimum terjadi pada saat keuntungan bersih


(26)

26 per tahun sama dengan amortisasi dari nilai kini keuntungan selama masa pengusahaan (amortisasi of net revenue). Mengingat tanaman karet termasuk tanaman tahunan dan perkebunan yang memiliki silkus hidup yang cukup panjang, maka konsep yang sesuai sebagai penentuan umur optimum peremajaan yaitu konsep ketiga.

Hasil analisis dari peremajaan optimum karet rakyat selanjutnya dianalisis secara deskriptif melalui hasil dari observasi lapang dan wawancara ke petani karet.. Penggunaan data karakteristik kebun yang diperoleh juga digunakan untuk mengitung cash flow dan selanjutnya digunakan juga dalam perhitungan penentuan saat atau umur optimum peremajaan karet. Hasil analisis ini berupa umur optimum dari peremajaan karet. umur optimum ini dgunakan sebagai umur penentu atau pembatas bagi kelompok petani yang meremajakan, tidak meremajakan dan belum meremajakan. Namun yang digunakan dalam analisis faktor-faktor penentu keputusan petani hanya menggunakan kelompok petani yang meremajakan dan tidak meremajakan.

Identifikasi faktor-faktor yang memengaruhi keputusan petani untuk melakukan peremajaan dilakukan dengan teknik wawancara, kuisioner, survey langsung ke perkebunan karet milik rakyat di Kabupaten Banyuasin dan juga berdasarkan studi lietratur dari penelitian sebelumnya. Faktor-faktor yang memengaruhi keputusan petani melakukan peremajaan dibagi menjadi dua yaitu faktor teknis yang diperoleh dari karakteristik kebun dan faktor sosial ekonomi yang diperoleh dari karakteristik petani. Hasil wawancaara, kuesioner serta survey kemudian dilakukan analisis dalam bentuk tabulasi dan kuntifikasi. Selanjutnya dilakukan perhitungan pendapatan petani karet yang diperoleh dari karakteristik kebun milik petani.

Terdapat beberapa faktor yang diduga dapat memengaruhi petani dalam meremajakan kebun karet mereka. Faktor-faktor yang memengaruhi petani melakukan peremajaan karet yaitu dibagi dalam dua kelompok yaitu faktor teknis dan faktor sosial ekonomi. Faktor teknis yang digunakan merupakan luas lahan total yang dimiliki petani. sedangkan faktor sosial ekonomi yang digunakan yaitu usia petani, pendidikan, penghasilan utama petani, penghasilan lain yang dimiliki petani serta jumlah tanggungan anggota keluarga. Analisis faktor-faktor dilakukan


(27)

27 dengan menggunakan regresi logistik binomial. Analisis ini dilakukan untuk mengetahui dan menetukan faktor yang mampu meningkatkan atau menurunkan peluang petani untuk melakukan peremajaan karet. Pada analisis regresi logistik binomial dilakukan pendugaan koefisien, pengujian signifikansi dan intepretasi variable bebas yang digunakan. Hasil analisis faktor-faktor dan peremajaan optimum yang diperoleh dapat menjawab tujuan dari penelitian Secara singkat kerangka pemikiran operasional dapat dilihat pada Gambar 2.


(28)

28 Gambar 2. Kerangka Pemikiran Operasional

Optimum Peremajaan PV.MNR=PV.ANR

Perkebunan Karet milik Rakyat

Peremajaan Karet

Melakukan peremajaan Tidak melakukan

peremajaan

Faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan petani melakukan

peremajaan karet: 1. Usia 2. Pendidikan 3. Pengalaman

4. Jumlah Tanggungan Anggota Keluarga

5. Proporsi Penghasilan Lain 6. Luas Lahan

Faktor Teknis

Faktor Sosial ekonomi

Faktor Teknis Faktor

Sosial ekonomi

Saran Kesimpulan


(29)

29 IV METODE PENELITIAN

4.1. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di tiga Desa pada dua Kecamatan di Kabupaten Banyuasin. Pemilihan lokasi dilakukan secara sengaja (purposive) berdasarkan pertimbangan bahwa Kabupaten Banyuasin merupakan salah satu kabupaten di Sumatera Selatan yang sebagian besar penduduknya berprofesi sebagai petani karet, khususnya karet rakyat. Dengan pengembangan komoditi utama adalah karet yang merupakan salah satu komoditas unggulan nasional menjadi hal yang menarik untuk dijadikan tempat penelitian. Pengambilan data dilaksanakan pada bulan Februari-Maret 2012.

4.2. Pengumpulan Data

Data yang digunakan merupakan data primer dan data sekunder. Data primer yang digunakan bersumber dari data hasil wawancara langsung terhadap kegiatan yang dilakukan petani karet rakyat dengan menggunakan kuisioner yang telah disiapkan sebelumnya dan observasi langsung ke kebun karet rakyat. Data wawancara diperoleh dengan melakukan wawancara kepada petani perkebunan karet rakyat yang ada di setiap desa yang sudah ditentukan. Wawancara dengan petani bertujuan untuk memperoleh informasi mengenai alasan serta faktor-faktor yang menentukan petani dalam melakukan peremajaan terhadap perkebunan karet mereka yang sudah tua. Pencarian informasi meliputi karakteristik petani karet rakyat, jumlah modal yang dimiliki petani, kegiatan budidaya, penggunaan input produksi, pendapatan petani, kendala-kendala yang dihadapi dilapangan serta faktor-faktor produksi yang digunakan.

Data sekunder sebagai data penunjang diperoleh dari catatan yang terdapat di berbagai dari instansi pemerintah yang berkaitan dengan masalah penelitian seperti Dinas Perkebunan Sumatera Selatan, Balai Penelitian Sumbawa, Badan Pusat Statistik, Pusat penelitian karet, penelitian terdahulu, studi literatur di perpustakaan IPB yang mencakup skripsi, jurnal, buku-buku, dan artikel yang berhubungan dengan karet.


(30)

30 4.3. Jumlah dan Teknik Pengambilan Sampel

Penelitian ini menggunakan teknik purposive sampling yaitu penentuan sampling dengan cara sengaja atau dengan tujuan tertentu sesuai dengan kebutuhan dari penelitian. Teknik ini digunakan dalam menentukan daerah penelitian.

Stratified simple random sampling digunakan dalam menentukan lokasi sampel petani karet rakyat di Kabupaten Banyuasin. Teknik Stratified Simple Random digunakan untuk menentukan kecamatan yang dipilih dari Kabupaten Banyuasin dan selanjutnya dari setiap kecamatan akan dipilih lagi desa dengan teknik pengambilan sampel yang sama dalam menentukan kecamatan. Kecamatan yang dipilih yaitu kecamatan yang memiliki potensi dalam pengembangan perekebunan karet. Kecamatan yang terpilih yaitu Kecamatan Sembawa dan Kecamatan Talang Kelapa. Selanjutnya dari kecamatan yang terpilih, dari Kecamatan Talang Kelapa dipilh satu desa yaitu Desa Talang Buluh, sedangkan dari Kecamatan Sembawa dipilih dua desa, yaitu Desa Sembawa dan Mainan.

Pemilihan lokasi desa dilakukan berdasarkan jumlah penduduk yang sebagian besar bekerja sebagai petani karet bukan sebagai buruh karet. Desa Talang Buluh, Sembawa, dan Mainan merupakan beberapa desa di Kecamatan Talang Kelapa dan Sembawa yang sebagian besar penduduknya bermatapencaharian sebagai petani, khususnya petani karet.

Pemilihan petani responden karet meremajakan dilakukan secara purposive sampling. Hal ini dikarenakan sulitnya untuk menemukan petani yang melakukan peremajaan pada kebun karet mereka. Teknik purposive dapat membantu untuk langsung memilih petani yang melakukan peremajaan. Jumlah petani yang meremajakan berjumlah 16 orang petani. Perbedaan jumlah petani dikarenakan sulitnya menemukan petani yang melakukan peremajaan dalam batas waktu 5 tahun terakhir. Sedangkan untuk petani yang tidak dan belum meremajakan yaitu berjumlah 54 petani, sehingga jumlah total sampel petani yang diteliti yaitu berjumlah 70 responden petani.

Penentuan petani responden yang tidak meremajakan juga dilakukan melalui teknik purposive sampling. Hal ini dikarenakan tidak tersedianya data petani yang memiliki kebun karet yang sudah tua (> 25 tahun) dan rusak. Teknik penentuan


(31)

31 sampel tersebut digunakan untuk mendapatkan 54 petani responden dari masing-masing desa yang dipilih dengan cara mengetetahui dari petani lain yang juga memiliki kebun karet yang yang memiliki kebun karet yang sudah tua dan rusak. 4.4. Metode Pengolahan dan Analisis Data

Metode Pengolahan data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah secara kuantitatif dan kualitatif. Tahap-tahap yang dilakukan dalam pengolahan dan analisis data meliputi pentransferan data. Analisis kualitatif dilakukan untuk mengetahui karakteristik petani karet .

Pengolahan data secara kuantitatif dengan menggunakan kriteria-kriteria investasi, yaitu Net Present Value (NPV) dan pententuan saat optimum peremajan dengan metode Faris (1960). Data dan informasi yang diperoleh diolah secara manual dengan menggunakan kalkulator dan dibantu dengan program komputer Microsoft Excel dan Minitab 14. Kemudian hasilnya diintepretasikan secara deskriptif. Analisis data primer dan sekunder menggunakan metode analisis kualitatif dan kuantitatif.

4.4.1. Penerimaan Petani Karet

Penerimaan petani karet merupakan hasil kali dari getah karet yang dihasilkan dengan harga jual karet. Harga jual karet yang digunakan untuk menghitung pendapatan yaitu harga jual karet pada saat penjualan dua minggu sekali. Penentuan penggunaan harga jual karet tersebut didasarkan pada rata-rata penjualan karet yang dilakukan petani pada daerah penelitian. Jumlah produksi getah karet yang di jual petani juga akan di konversi ke jumlah getah karet dalam waktu dua mingguan. Perubahan tersebut berdasarkan penyusutan berat getah karet yang biasanya terjadi. Petani yang menjual produksi getah karet dalam waktu satu bulan sekali akan ditambahkan penyusutan sebesar 20 persen dari jumlah getah karetnya, sedangkan untuk petani yang menjual dalam waktu satu minggu sekali maka jumlah produksi getah karetnya akan dikurangi sebesar 10 persen dari jumlah produksi getah karetnya.

Secara matematis, penerimaan petani karet dapat dirumuskan sebagai berikut :


(32)

32 4.4.2. Analisis Biaya

Biaya tunai (farm payment) didefinisikan sebagai jumlah biaya yang dikeluarkan untuk pembelian barang dan jasa usahatani secara tunai (Soekartawi et al. 1986). Biaya tidak tunai usahatani yaitu dengan memperhitungkan sumberdaya yang digunakan tetapi tidak dihitung atau dibayar secara tunai sebagai biaya yang dikeluarkan. Biaya tidak tunai yang dihitung yaitu penyusutan dan tenaga kerja dalam keluarga. Tenaga kerja dalam keluarga yaitu tenaga kerja yang menggunakan anggota keluarga sebagai tenaga kerja untuk pengelolaan usahatani karet. Namun untuk perhitungan penyusutan dalam penelitian ini tidak dihitung karena peralatan yang digunakan petani pada kenyataannya tidak terlalu diperhitungkan oleh petani.

4.4.3. Analisis NPV

Net present value adalah selisih antara total Present value manfaat bersih total dengan total present value biaya. Perhitungan nilai sekarang dapat dilakukan dengan menggunakan tingkat suku bunga yang relevan. Rumus untuk menghitung NPV adalah sebagai berikut.

=

1+ − =0/1 1+

=0/1 =

1+

=0/1 (2)

Dimana : Bt : Manfaat bersih pada tahun t : Biaya pada tahun ke-t

t : Tahun kegiatan bisnis ( t=0,1,2,3,……..,n), tahun awal bisa menggunakan tahun 0 atau tahun 1 tergantung dengan kareakteristik usaha yang dijalankan.

i : Suku bunga (discount rate) (%) Sumber : Nurmalina, Sarianti, Karyadi (2009) 4.4.4. Umur Optimum Peremajaan

Kriteria peremajaan optimum bagi tanaman karet adalah saat umur teknis tanaman karet dapat mencapai lebih lama daripada umur ekonomisnya. Penentuan titik optimum menurut Faris(1960) adalah bahwa titik optimum peremajaan dapat dicapai pada saat pendapatan marjinal pada tahun n sama dengan taksiran nilai kini amortisasi pendapatan bersih (Amortisasi Net Revenue(ANR)) di tahun n. Secara matematis dapat dituliskan :


(33)

33 PV MNR = PV ANR (3) Dimana :

PV : Nilai kini

MNR : Keuntungan Marginal

ANR : Nilai Amortis Pendapatan bersih

Nilai ANR merupakan rata-rata dari penerimaan bersih dalam nilai amortis atau penurunan. Nilai amortisasi dapat dicari dengan menggunakan rumus :

ANR =

r (1+r) n

r (1+r)n−1

x PV

n (4)

Dimana :

ANR : rata-rata pendapatan bersih (dalam nilai amortis) PVn : nilai kini pendapatan bersih pada tahun n

r : nilai diskonto (discount rate) n : Umur Tanaman

Hasil perhitungan ini selanjutnya akan digunakan sebagai umur penentu atau pembatas yang digunakan untuk mengelompokkan petani menjadi kelompok petani yang meremajakan, tidak meremajakan dan belum meremajakan. Pengelompokkan tersebut akan digunakan dalam analisis faktor yang memengaruhi keputusan petani untuk melakukan peremajaan karet.

4.4.5. Analisis Faktor-Faktor yang Memengaruhi Keputusan Petani Melakukan Peremajaan Karet

Metode kuantitatif dan deskriptif yang dilakukan dalam penelitian ini digunakan untuk mencari faktor yang memengaruhi keputusan petani karet melakukan peremajaan Analisis faktor-faktor yang memengaruhi petani melakukan peremajaan dilakukan dengan melakukan perhitungan regresi binomial berdasarkan data yang sudah ada. Model yang dibangun berdasarkan data dari petani karet yang meremajakan dan yang tidak meremajakan. Petani yang meremajakan apabila petani melakukan peremajaan dalam waktu lima tahun terakhir dan yang termasuk ke dalam kelompok tidak meremajakan yaitu petani yang belum melakukan peremajaan pada kebun karet mereka padahal kebun karetnya sudah mencapai atau melebihi umur peremajaan optimal karet yang dihitung sebelumnya.


(34)

34 4.4.5.1. Analisis regresi logistik binomial

Analisis faktor-faktor yang memengaruhi keputusan petani akan dilakukan dengan menggunakan data dari keseluruhan petani responden, maka didapatkan model faktor peremajaan. Model yang digunakan adalah regresi logistik binomial. Regresi logistik dapat dimanfaatkan untuk memprediksi suatu variabel tidak bebas (independen) berdasarkan variabel bebas (dependen) yang bersifat kontinu atau kategorik. Regresi logistik juga dapat digunakan untuk menentukan persentase varian di dalam variabel independen dijelaskan oleh variabel dependen dan untuk dilibatkan dalam model.

Tingkat signifikansi yang digunakan adalah 15 persen karena variabel yang digunakan adalah sosial ekonomi. Bentuk spesifik dari model regresi logistik adalah :

( ) =

0+ 1 1+ 2 2+

1+ 0+ 1 1+ 2 2+ (5) Dimana (x) dapat ditransformasikan dalam logit , menjadi :

= ln[ � ( )

1−� ( )] (6)

Berdasarkan data yang tersedia, model persamaannya dapat dituliskan sebagai berikut :

= 0+ 1 1 + 2 2 + 3 3 + 4 4 + 5 5 + 6 6 (7)

Dimana :

Y = 0 : Petani melakukan peremajaan 1 : Petani tidak melakukan peremajaan X1 = Usia petani (tahun)

X2 = Pendidikan (dummy) X3 = Pengalaman (tahun)

X4 = Jumlah tanggungan anggota keluarga (orang) X5 = Proporsi Penghasilan lain (Persentase) X6 = Luas lahan (ha)

0, = Konstanta


(35)

35 Analisis dimulai dengan melakukan wawancara berdasarkan kuesioner yang dibuat kepada responden.

1. Peremajaan (Y)

Peremajaan yaitu variabel dependant atau variabel tidak bebas yang dipengaruhi oleh variabel-variabel independen atau dugaan yang lain. Peremajaan menggunakan nilai dummy dimana 1 merupakan petani yang melakukan peremajaan pada kebun karet mereka pada batas waktu 5 tahun terkahir dan nilai 0 untuk petani yang tidak melakukan peremajaan pada kebun karet mereka dan umur kebun karetnya sama atau lebih dari umur optimum peremajaan karet yang diperoleh.

2. Usia Petani (X1)

Usia petani adalah salah satu variabel independen atau variabel bebas yang dimasukkan ke dalam model. Usia petani yang digunakan adalah usia petani responden secara keseluruhan yaitu petani responden yang meremajakan dan tidak meremajakan. Data usia petani yang digunakan saat petani diwawancara.

3. Pendidikan (X2)

Pendidikan yang digunakan dibagi dalam lima kategori, dimana petani yang memiliki nilai 1 = tidak lulus SD, 2 = Lulus SD, 3 = Lulus SMP, 4 = Lulus SMA, 5 = Lulus Perguruan tinggi.

4. Pengalaman (X3)

Pengalaman merupakan variabel independen yang diperoleh berdasarkan pengalaman petani selama usahatani karet. Pengalaman petani yang digunakan berdasarkan berapa tahun petani menggeluti usahatani karet.

5. Jumlah Tanggungan Anggota Keluarga (X4)

Jumlah tanggungan anggota keluarga merupakan jumlah anggota keluarga yang masih dalam tanggungan petani responden. Jumlah tanggungan menggambarkan ukuran keluarga, sehingga petani sebagai kepala keluarga juga dimasukkan atau dihitung dalam jumlah tersebut.

6. Proporsi Penghasilan lain (X5)

Proporsi Penghasilan lain merupakan variabel independen yang berbentuk persentase. Persentase tersebut diperoleh dari jumlah penghasilan lain petani baik


(36)

36 dari usahatani non karet ataupun non usahatani dibagi dengan junlah total pendapatan petani. Pendapatan total petani diperoleh dari penjumlahan penghasilan lain diluar penghasilan petani dari karet dan penghasilan petani dari karet.

7. Luas lahan yang Dimiliki (X6)

Luas lahan merupakan luas lahan total yang dimiliki dan dikelola oleh petani petani karet responden.

Analisis data kuantitatif dilakukan dengan menggunakan data-data hasil dari identifikasi faktor-faktor yang memengaruhi peremajaan dihasilkan pada kegiatan peremajaan karet. Pengolahan data untuk menganalisis pendapatan, penentuan faktor-faktor yang memengaruhi serta umur optimum peremajaan karet menggunakan bantuan program Microsoft Excel dan Minitab 14.

Pendugaan Koefisien

Pendugaan koefisien atau parameter model ( 0, 1, 2,…. . ,) dalam model regresi logistik biner dilakukan dengan menggunakan Maximum Likelihood Estimation (MLE). Hosmer dan Lemeshow (2000) menuliskan fungsi likelihood:

� = =1� [1− � ]1− (8)

Prinsip Maximum Likelihood Estimation (MLE) nilai β yang digunakan di dalam model regresi logistik biner yaitu β yang dapat memaksimalkan nilai L(β). Hasil output Minitab 14 yang menunjukkan koefisien atau parameter model terdapat didalam tampilan Logistik Regression Table pada kolom Coef. Berdasarkan output Minitab 14 pada kolom Coef. tersebut ditunjukkan besarnya nilai koefisien berdasrkan prinsip Maximum Likelihood Estimation (MLE) dan tanda koefisien berupa tanda positif atau negatif.

Uji Signifikansi

Pengujian ini dilakukan untuk menilai kelayakan model regresi logistik biner yang dibuat dalam memprediksi faktor-faktor secara keseluruhan. Uji kelayakan model dilakukan dengan menggunakan uji likelihood ratio. Uji likelihood ratio pada uji kelayakan model digambarkan dalam nilai G statistik. Rumus untuk mendapatkan nilai G statistik dinyatakan dengan :


(1)

3

Lampiran 4. Lanjutan

Keterangan Tahun

INFLOW 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18

Penjualan Karet

60,000,000

52,000,000

54,025,000

60,000,000

72,000,000

67,500,000

68,000,000

87,000,000

84,000,000

80,000,000 80,000,000

69,000,000 66,000,000

TOTAL INFLOW

60,000,000

52,000,000

54,025,000

60,000,000

72,000,000

67,500,000

68,000,000

87,000,000

84,000,000

80,000,000 80,000,000

69,000,000 66,000,000 OUTFLOW

1. BIAYA INVESTASI

A. TANAH B. BIBIT TOTAL INVESTASI

2. BIAYA PRODUKSI A.Peralatan Pisau Sadap

50,000

50,000

50,000

50,000

50,000

50,000

50,000

50,000

50,000

50,000

50,000

50,000 50,000 Cangkul

Arit Parang

Handsprayer

180,000 Pisau wiwil

Mangkok

378,000

189,000

189,000

189,000

189,000

189,000

189,000

189,000

189,000

189,000

189,000

189,000 189,000

Bak pembeku

80,000

Total biaya peralatan

508,000

239,000

239,000

239,000

239,000

239,000

239,000

239,000

239,000

419,000

239,000

239,000 239,000 B. Sarana Produksi

Pupuk Urea (karung)

340,000

524,167

724,074

382,500

991,667

340,000

340,000

743,750

340,000

170,000

-


(2)

4

TSP (karung) 120,000 360,000 510,000 - 600,000 - - - 360,000 - - - - KCL (karung) 287,500 - - - - - - - 345,000 - - - - NPK (karung) - 128,333 220,000 355,208 - - 110,000 220,000 - 119,167 -

220,000 -

Herbisida (liter) 275,000 371,250 280,602 268,125 302,500 550,000 484,000 343,750 110,000 - -

238,333 -

Asam Semut 120,000 120,000 120,000 120,000 120,000 120,000 120,000 120,000 120,000 120,000 120,000

120,000 120,000 Total biaya sarana

produksi 1,142,500 1,503,750 1,854,676 1,125,833 2,014,167 1,010,000 1,054,000 1,427,500 1,275,000 409,167 120,000

1,145,000 120,000

C.Tenaga Kerja Penebangan (HOK) Pembersihan (HOK) Pengajiran&Pelobangan (HOK) Penanaman (HOK) pemupukan (HOK) 30,952 28,274 36,905 32,143 17,857 28,571 33,333 14,286 14,286 13,095 -

35,714 -

penyadapan (HOK) 3,771,429 3,728,571 3,766,071 3,685,714 3,428,571 3,428,571 4,285,714 3,342,857 4,114,286

3,542,857 3,542,857

6,171,429 6,171,429

pemeliharaan (HOK) 53,571 97,619 72,857 57,143 64,286 42,857 76,190 71,429 14,286 24,762 -

40,476 - Total Biaya Tenaga

Kerja 3,855,952 3,854,464 3,875,833 3,775,000 3,510,714 3,500,000 4,395,238 3,428,571 4,142,857

3,580,714 3,542,857

6,247,619 6,171,429

TOTAL OUTFLOW 5,506,452 5,597,214 5,969,509 5,139,833 5,763,881 4,749,000 5,688,238 5,095,071 5,656,857

4,408,881 3,901,857

7,631,619 6,530,429 NET BENEFIT 54,493,548 46,402,786 48,055,491 54,860,167 66,236,119 62,751,000 62,311,762 81,904,929 78,343,143

75,591,119 76,098,143

61,368,381 59,469,571 DF 5.75% 0.715 0.676 0.639 0.605 0.572 0.541 0.511 0.483 0.457 0.432 0.409 0.387 0.366 PV/TAHUN 38,963,936 31,374,833 30,725,574 33,169,104 37,869,635 33,926,301 31,857,047 39,597,261 35,815,888

32,678,727 31,109,143


(3)

5

Lampiran 4. Lanjutan

Keterangan Tahun

INFLOW 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31

Penjualan Karet 66,000,000

64,050,000

52,440,000

52,000,000

54,000,000

44,000,000

34,020,000

24,500,000

28,800,000

32,250,000

25,000,000

25,000,000

60,000,000

TOTAL INFLOW 66,000,000

64,050,000

52,440,000

52,000,000

54,000,000

44,000,000

34,020,000

24,500,000

28,800,000

32,250,000

25,000,000

25,000,000

60,000,000

OUTFLOW

1. BIAYA

INVESTASI

A. TANAH

B. BIBIT

TOTAL

INVESTASI

2. BIAYA

PRODUKSI

A.Peralatan

Pisau Sadap

50,000

50,000

50,000

50,000

50,000

50,000

50,000

50,000

50,000

50,000

50,000

50,000

50,000

Cangkul

Arit

Parang

Handsprayer

-

180,000

Pisau wiwil

Mangkok

189,000

189,000

189,000

189,000

189,000

189,000

189,000

189,000

189,000

189,000

189,000

189,000

189,000

Bak pembeku

Total biaya peralatan

239,000

239,000

239,000

239,000

239,000

239,000

239,000

239,000

239,000

239,000

239,000

419,000

239,000

B. Sarana Produksi

Pupuk

Urea (karung)

-

188,889

141,667

155,833

-

-

85,000

56,667

-

85,000

-

226,667

170,000


(4)

6

TSP (karung) - 120,000 - 120,000 - - - - - - - - - KCL (karung) - 115,000 - - - - - - - - - - - NPK (karung) - 110,000 80,667 55,000 110,000 220,000 55,000 - 55,000 110,000 - - - Herbisida (liter) - 195,556 - 82,500 110,000 220,000 55,000 - - - - - - Asam Semut 120,000 120,000 120,000 120,000 120,000 120,000 120,000 120,000 120,000 120,000 120,000 120,000 120,000 Total biaya sarana

produksi 120,000 849,444 342,333 533,333 340,000 560,000 315,000 176,667 175,000 315,000 120,000 346,667 290,000 C.Tenaga Kerja Penebangan (HOK) Pembersihan (HOK) Pengajiran&Pelobang an (HOK) Penanaman (HOK) pemupukan (HOK) - 23,810 8,857 10,714 14,286 14,286 21,429 21,429 21,429 12,500 - 9,524 28,571

penyadapan (HOK) 6,171,429

5,042,857 4,457,143 4,114,286 4,285,714 5,833,333 4,714,286 4,392,857 6,428,571 6,621,429 5,714,286 8,228,571 6,171,429 pemeliharaan (HOK) - 38,095 90,833 10,714 14,286 28,571 7,143 - - - - - 57,143 Total Biaya Tenaga

Kerja 6,171,429

5,104,762 4,556,833 4,135,714 4,314,286 5,876,190 4,742,857 4,414,286 6,450,000 6,633,929 5,714,286 8,238,095 6,257,143

TOTAL OUTFLOW 6,530,429

6,193,206 5,138,167 4,908,048 4,893,286 6,675,190 5,296,857 4,829,952 6,864,000 7,187,929 6,073,286 9,003,762 6,786,143 NET BENEFIT 59,469,571

57,856,794 47,301,833 47,091,952 49,106,714 37,324,810 28,723,143 19,670,048 21,936,000 25,062,071 18,926,714 15,996,238 53,213,857 DF 5.75% 0.346 0.327 0.309 0.292 0.276 0.261 0.247 0.234 0.221 0.209 0.198 0.187 0.177 PV/TAHUN 20,557,375

18,912,409 14,621,438 13,765,070 13,573,512 9,755,928 7,099,415 4,597,435 4,848,275 5,238,011 3,740,626 2,989,555 9,404,443


(5)

2

RINGKASAN

RARA JUNE AZNI. Analisis Peremajaan Optimum dan Faktor-Faktor yang

Memengaruhi Keputusan Petani Melakukan Peremajaan Karet : Studi

Kasus Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan. Skripsi. Departemen

Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor (Di

bawah bimbingan NUNUNG KUSNADI).

Kementerian Pertanian Indonesia tahun 2010 menyebutkan bahwa

Indonesia memiliki luas lahan perkebunan karet yang paling luas di dunia, yaitu

sekitar 3,4 juta hekar. Luas lahan perkebunan karet tersebut tersebut terdiri dari

perkebunan rakyat (PR), perkebunan besar negara (PBN), dan perkebunan besar

swasta (PBS). Perkebunan karet rakyat mencapai 85 persen dari total luas

perkebunan karet yang ada di Indonesia dan hanya delapan persen perkebunan

besar milik negara serta tujuh persen perkebunan besar milik swasta.Namun

produktivitas karet dari PR paling rendah dibandingkan PBN dan PBS. Bahkan

pada tahun 2008 dan 2009, produktivitas karet cenderung menurun. Produktivitas

karet yang lebih rendah dapat dikarenakan kualitas dari klon karet yang ditanam,

teknologi budidaya yang belum diterapkan petani seperti penggunaan pupuk, dan

umur karet yang sudah tua dan rusak

Banyaknya perkebunan karet yang sudah tua, rusak, dan kurang produktif

pada perkebunan karet rakyat karena petani telat melakukan peremajaan dapat

menjadi salah satu penyebab rendahnya produktivitas karet. Direktorat Jenderal

Perkebunan melalui program revitalisasi perkebunan tahun 2009 merencanakan

pengembangan perkebunan dengan melakukan peremajaan pada tanaman

perkebunan seperti kelapa sawit, karet, dan kakao. Luas perkebunan karet yang

diremajakan pada program tersebut mencapai 217.000 Ha. Luas karet yang akan

diremajakan tersebut mencapai sekitar 6,8 persen dari total luas lahan karet yang

ada dan merupakan nilai tertinggi jika dibandingkan dengan luas peremajaan

perkebunan kelapa sawit maupun kakao.

Produktivitas karet yang semakin menurun dapat ditingkatkan dengan cara

memperbaiki penggunaan faktor input yang digunakan, seperti penggunaan bibit

unggul dan penggunaan pupuk. Permasalahan umur produksi atau karet yang

sudah tua dapat dilakukan dengan peremajaan dari karet itu sendiri. Peremajaan

memiliki peran yang penting dalam pengelolaan suatu perkebunan. Perkebunan

yang diremajakan dapat diperbaiki dan ditingkatkan tingkat produktivitas dengan

cara penggunaan bibit unggul pada saat peremajaan dilakukan. Bibit unggul yang

digunakan pada perkebunan dapat menghasilkan getah karet lebih banyak

dibandingkan dengan bibit karet sebelumnya yang sudah tua.

Kabupaten Banyuasin merupakan salah satu kabupaten di Sumatera

Selatan yang sangat berpotensi untuk dikembangkan menjadi perkebunan karet.

Sebagian penduduk di Kabupaten Banyuasin, Sumatera selatan pada umumnya

bekerja sebagai petani karet. Berdasarkan data dinas perkebunan Sumatera Selatan

tahun 2010 diketahui bahwa total luas perkebunan karet di Kabupaten Banyuasin

pada tahun 2009 yaitu 82.875 ha. Dari total lahan tersebut terdapat sekitar 22,6

persen luas lahan perkebunan karet yang sudah rusak dan tua. Perkebunan karet

yang sudah rusak dan tua harus segera dilakukan peremajaan agar dapat

meningkatkan produktivitas serta memberikan pendapatan yang lebih kepada


(6)

3

petani dimasa mendatang. Manfaat peremajaan juga harus dapat dirasakan oleh

petani dengan adanya peningkatan produktivitas dan diikuti dengan meningkatnya

pendapatan petani

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk 1) Menentukan umur optimum peremajaan

karet pada perkebunan karet milik rakyat, dan 2) Menganalisis faktor-faktor yang

memengaruhi petani untuk melakukan peremajaan karet. Dengan menggunakan

metode Faris (1960) diperoleh umur optimum peremajaan karet terjadi pada umur

23 tahun. Hasil analisis kepekaan terhadap perubahan produktivitas, biaya sarana

produksi, harga jual karet, dan suku bunga, diketahui bahwa umur optimum

peremajaan karet paling peka terhadap perubahan produktivitas karet. Semakin

rendah produktivitas karet maka umur optimum peremajaan akan menjadi lebih

lama. Dengan menggunakan model regresi logistik biner maka diketahui faktor

yang berpengaruh terhadap keputusan petani melakukan peremajaan karet adalah

proporsi penghasilan lain dan luas lahan. Keputusan petani melakukan peremajaan

karet lebih banyak ditentukan dari banyaknya pendapatan yang hilang selama

karet belum menghasilkan. Faktor lain seperti usia, pendidikan, pengalaman, dan

jumlah tanggungan anggota keluarga tidak berpengaruh terhadap keputusan petani

melakukan peremajaan.