Pengertian Masalah Kelas 12 SMA Pendidikan Agama Buddha dan Budi Pekerti Siswa

108 Kelas XII Semester 1 Misalnya masalah kemiskinan. Kemiskinan diartikan sebagai suatu keadaan yang menyebabkan seseorang tidak sanggup memelihara dirinya sendiri sesuai dengan taraf kehidupan kelompok dan juga tidak mampu memanfaatkan tenaga mental maupun isiknya dalam kelompok tersebut. Pada masyarakat modern, kemiskinan menjadi suatu masalah sosial karena sikap yang membenci kemiskinan tadi. Seseorang dikatakan miskin bukan karena kekurangan makan, pakaian atau perumahan, tetapi karena harta miliknya dianggap tidak cukup untuk memenuhi taraf kehidupan yang ada. Sumber: https:www.google.comsearch?q=gambar+masalah-masalah+sosial Gambar 5.2 Masalah Pengemis Sumber: https:www.google.comsearch?q=gambar+masalah-masalah+sosial Gambar 5.1 Masalah Kemacetan di Jalan Raya Pendidikan Agama Buddha 109

B. Masalah dan Cara Mengatasinya

Pada hakikatnya kehidupan manusia tidak lepas dari masalah. Terkait dengan hal tersebut, Buddha menguraikan ajaran-Nya yang pertama kepada lima petapa yang dikenal dengan khotbah Pemutaran Roda Dharma. Khotbah pertama Buddha berisi Empat Kebenaran Mulia, yaitu: 1. Kebenaran Mulia tentang Dukkha; 2. Kebenaran Mulia tentang Sebab Dukkha; 3. Kebenaran Mulia tentang Terhentinya Dukkha; dan 4. Kebenaran Mulia tentang Jalan Menuju Terhentinya Dukkha. Dengan demikian secara ringkas apa yang diajarkan oleh Buddha mengacu pada masalah dan cara mengatasinya. Terkait dengan masalah- masalah tersebut dapat berupa masalah isik maupun batin, masalah pribadi maupun sosial, dan lain-lain. Bukti bahwa kehidupan manusia selalu diliputi masalahpenderitaanketidakpuasan dukkha: lahir, usia tua, sakit, mati, berkumpul dengan yang dibenci, berpisah dengan yang dicintai, tidak tercapai yang diinginkan, dan lain-lain. Adapun cara mengatasi segala masalah adalah dengan menerapkan pola pikir dari Hukum Empat Kebenaran Mulia tersebut, pertama memahami setiap masalah yang dihadapi; kedua melenyapkan sebab yang menimbulkan masalah; ketiga merealisasi terhentinya masalah; dan keempat mengembangkan jalan menuju terhentinya masalah, yaitu Pandangan Benar, Pikiran Benar, Ucapan Benar, Perbuatan Benar, Penghidupan Benar, Usaha Benar, Perhatian Benar, dan Konsentrasi Benar.

C. Peranan Agama

Kata agama berasal dari kata dalam bahasa Pali atau bisa juga dari kata dalam bahasa Sansekerta, yaitu dari akar kata gacc, yang artinya adalah pergi ke, menuju, atau datang, kepada suatu tujuan, yang dalam hal ini yaitu untuk menemukan suatu kebenaran. Adapun penjelasan maknanya di antaranya sebagai berikut: a. Dari kehidupan tanpa arah, tanpa pedoman, kita datang mencari pegangan hidup yang benar, untuk menuju kehidupan yang sejahtera dan kebahagiaan yang tertinggi. b. Dari biasa melakukan perbuatan rendah di masa lalu, kita beralih menuju hakikat ketuhanan, yaitu melakukan perbuatan benar yang sesuai dengan hakikat ketuhanan tersebut, sehingga kita dapat hidup sejahtera dan bahagia. 110 Kelas XII Semester 1 c. Dari kehidupan tanpa mengetahui hukum Kebenaran Mutlak, dari kegelapan batin, kita berusaha menemukan sampai mendapat atau sampai mengetahui dan mengerti suatu hukum kebenaran yang belum kita ketahui. Jadi, dapat disimpulkan bahwa timbulnya agama di dunia ini adalah untuk menghindari terjadinya segala macam masalah, misalnya kekacauan, pandangan hidup yang salah, dan sejenisnya, yang terjadi pada waktu dan tempat yang berbeda; guna mendapatkan suatu kehidupan yang sejahtera dan kebahagiaan yang tertinggi. Setiap orang di dunia ini pasti menginginkan adanya kebahagiaan dan kedamaian dalam hidupnya. Inilah alasan mengapa orang mau mencari jalan yang benar, yang dapat membawa mereka kepada suatu tujuan, yaitu suatu kebahagiaan mutlak terbebas dari semua bentuk penderitaan. Semua agama di dunia ini muncul karena adanya alasan ini. Jika ajaran dari suatu agama tidak dapat diaplikasikan dalam kehidupan bermasyarakat, maka agama tersebut tentu tidak dapat berkembang. Agar bisa diterima dalam masyarakat, ajaran-ajaran dasar dari suatu agama harus bisa diterapkan ke dalam nilai-nilai sosial, tujuan-tujuan sosial, dan urusan-urusan kemasyarakatan yang lain bersifat keduniawian. Lantas, bagaimanakah dengan ajaran agama Buddha? Apakah ajaran-ajaran dasar dari agama Buddha yang terdapat dalam kitab suci Tipitaka bisa diaplikasikan dan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, terutama dalam kehidupan bermasyarakat? Beberapa penulis yang membahas ajaran-ajaran Buddha telah memberikan pendapat mereka tentang hubungannya antara agama Buddha dengan ilmu-ilmu kemasyarakatan. Sebagian dari mereka berpendapat bahwa agama Buddha tidak mengajarkan tentang hal-hal yang berhubungan dengan kemasyarakatan dan sebagian lagi berpendapat sebaliknya. Salah satu contoh adalah pendapat Max Weber yang mengatakan bahwa agama Buddha tidak mengajarkan hal-hal yang berhubungan dengan politik dan kemasyarakatan. Tetapi jika kita mempelajari agama Buddha secara mendalam, kita akan mendapatkan beberapa bukti kuat berdasarkan pada kitab suci Tipitaka, untuk membuktikan bahwa pendapat Max Weber adalah salah. Dalam kaitannya dengan aspek-aspek sosial, perlu diingat bahwa Buddha tidak pernah mengklaim diri-Nya sebagai pelopor perubahan kemasyarakatan di India. Menurut kitab suci Tipitaka, Buddha disebut sebagai Pembabar Dhamma yang tiada bandingnya. Oleh karena itu Dhamma yang telah diputar oleh Buddha dijadikan sebagai patokan, kriteria, penuntun masyarakat Buddhis dalam menjalankan kehidupan mereka sehari-hari. Dengan demikian sejak