Jejaring Sosial dan Konflik di Pedesaan Saparua

Tabel 7. Proses Kemunculan konflik di Saparua No Babak Ciri-Ciri Keterangan 1 Januari – Maret 1999 Dimulai dengan pertikaian dua individu berbeda etnis dan agama, menarik anggota kelompok masing-masing untuk terlibat, menjadi konflik terbuka antara dua komunitas berbeda etnis dan berkembang ke arah konflik antara komunitas berbeda agama, pemerintah tidak mampu mengatasi, penggunaan senjata tajam dominan, militer mulai bergerak Ikatan antar etnis masih kuat, ikatan komunitas seagama mulai diperkuat, kemunculan konflik 2 Juli – Nopember 1999 Konflik antar agama menjadi berkepanjangan, terbentuknya kelompok-kelompok kecil pada masing-masing komunitas yang awalnya untuk mempertahankan keamanan pada komunitasnya sendiri, konflik mulai menyebar ke wilayah lain termasuk Saparua, pemerintah belum juga mengatasi sepenuhnya, penggunaan senjata api rakitan, militer semakin bertambah Ikatan antar etnis berbeda agama memudar, ikatan agama semakin kuat, pematangan konflik 3 Desember 1999 – Januari 2000 Konflik antar agama di wilayah lainnya semakin gencar, penggunaan senjata standart diikuti penambahan pasukan militer, suasana semakin tidak terkendali, kelompok-kelompok kecil pada masing-masing komunitas mulai mencari keuntungan-nya sendiri-sendiri Ikatan agama semakin menguat bahkan pihak keamanan turut masuk dalam ikatan, konflik terbuka 4 April – Agustus 2000 Sebagian besar wilayah Maluku berdarah, kekuatan TNI dan POLRI tidak mampu meredam, bahkan makin terlibat secara nyata, aksi ambil untung oleh pengusaha, pemerintah sipil, kelompok-kelompok kecil pada masing- masing komunitas dan pihak TNI-POLRI dalam berbagai bentuk terutama pengawalan keamanan masyarakat, munculnya Laskar Jihad yang mengumpulkan kekuatan dari Jawa untuk membantu komunitas Salam, komunitas Sarani diwarnai dengan pembentukan FKM yang kemudian berubah menjadi RMS versi baru Ikatan agama membentuk jaringan akibat kepercayaan yang sama, ikatan ekonomi muncul antara berbagai pihak yang mencari keuntungan semata, konflik tidak terkendali Sumber : Data Sekunder Diolah Sebagian penduduk di kota Ambon baik yang Salam maupun Sarani berasal dari Pulau Saparua. Hal inilah yang menjadi pokok penyebaran konflik karena, setiap warga negeri-negeri di Pulau Saparua yang menjadi korban konflik Ambon maupun pulau- pulau lain, akan dianggap sebagai alasan untuk melakukan penyerangan warga negeri lain yang dianggap berada dalam posisi berseberangan Gambar 3. Model penyebaran informasi membentuk lingkaran, sehingga berjalan lambat karena tidak ada pemimpin yang mengatur penyebaran informasi. Sejak Bulan Februari 1999 NL dan MS mengungsi ke Saparua, sebagai dampak rusaknya rumah tempat tinggal saat kerusuhan merebak di Ambon Januari 1999. Ternyata hingga bulan September 1999 eskalasi konflik di Saparua mulai meningkat. Gambar 3. Jejaring Penyebaran Informasi yang Memulai Konflik Saparua Keterangan : 1. NL Pengungsi dari Ambon yang berasal dari Negeri Sirisori Sarani 2. LL Kerabat NL di Negeri Ulath 3. TH Tetangga LL di Negeri Ulath 4. YL Kerabat NL di Negeri Tuhaha 5. BL Kerabat NL di Negeri Porto 6. MS Pengungsi dari Ambon yang berasal dari Negeri Sirisori Salam 7. AS Kerabat MS di Negeri Kulor 8. JP Tetangga MS di Negeri Sirisori Salam 9. RS Kerabat di Negeri Iha 10.BS Kerabat di Negeri Kulor Proses pertukaran informasi antar aktor Penyebaran informasi yang dimulai dari kedua aktor di negerinya masing-masing, membentuk pemahaman yang sama antar kerabat satu negeri. Secara perlahan penyebaran informasi ke kerabat di luar negeri, membentuk pemahaman yang sama antar komunitas seagama. Penyebaran informasi yang berisi akibat negatif yang diterima pengungsi tidak dikontrol tetapi terjadi secara alamiah. Penyebaran informasi 1 5 2 3 4 10 7 8 9 6 tidak berjalan cepat, namun berlangsung ketika terjadi interaksi antar kerabat dalam satu negeri maupun berbeda negeri. Oleh karena itu, penyebaran informasi tidak langsung memicu terjadinya konflik antar komunitas berbeda tetapi didahului dengan proses pembentukan persepsi yang sama yang mengarah pada justifikasi bahwa komunitas agama lain yang menyebabkan penderitaan sebagai akibat konflik di Ambon. Sejalan dengan pandangan Rubent 1992 : 337 bahwa, konflik dapat terjadi karena perbedaan sikap, persepsi dan pola orientasi nilai antara mereka yang berkonflik. Penyebaran informasi merupakan proses komunikasi informal antara individu sebagai pengungsi korban konflik dengan kerabat dan tetangga di negeri-nya di Saparua. Proses komunikasi informal yang sering terjadi dan berulang dari waktu ke waktu, kemudian mampu merubah persepsi yang menjadi dasar individu berperilaku. Persepsi bahwa komunitas agama lain sebagai penyebab penderitaan, kemudian membentuk perilaku yang ingin membalaskan dendam. Sebagai pendapat beberapa ahli seperti bahwa komunikasi informal juga dapat memiliki pola yang dapat diperkirakan dari waktu ke waktu, karena terus berulang dan yang kemudian menjadi relatif stabil Beebe dan Masterson, 1950; Rogers dan Rogers, 1976; Rogers dan Kincaid, 1981; Jahi, 1988. Meskipun demikian, perlu mendapat perhatian, bahwa karena bersifat informal dan seiring dengan perilaku anggota yang mungkin secara spontan berubah, maka jaringan komunikasi ini tetap dapat berubah menurut waktu. Oleh karena itu, ikatan-ikatan budaya dan agama yang sebelum konflik menjadi pembentuk jejaring antar komunitas berbeda agama bergeser menjadi jejaring antar komunitas seagama. Penyebaran informasi juga didukung dengan penyebaran isu yang provokatif. Penyebaran isu yang terjadi pada kedua komunitas setelah ditelusuri bermotif sama. Isu pembunuhan dengan berbagai cara dipukul, dibacok sampai ditembak salah satu anggota komunitas oleh komunitas lain merupakan bentuk provokasi yang dilakukan oleh pihak-pihak yang tidak teridentifikasi. Selain itu isu adanya penyerangan yang didukung oleh bunyi tembakan senjata semakin memperkuat persepsi negatif antar kedua komunitas. Aparat keamanan yang bertugas tidak mampu mempersuasif masyarakat, bahkan cenderung tidak berbuat apa untuk mengantisipasi konflik terbuka akibat isu yang tidak benar. Sehingga tidak mengherankan jika kemudian terjadi konflik terbuka antara kedua komunitas. Penyebaran informasi yang tidak terkontrol menyebabkan kecermatan informasi menjadi lemah. Namun, penyimpangan informasi justru menjadi pemicu yang relevan jika dikaitkan dengan penyebaran isu-isu dan selebaran yang menyesatkan saat konflik mulai muncul di pedesaan Saparua. Penggunaan isu dan selebaran menyesatkan menjadi pilihan, karena media massa Radio yang dikembangkan oleh masing-masing kelompok yang berkonflik berada di Ambon dan tidak menjangkau wilayah Pulau Saparua. Kenyataan demikian menumbuhkan saling ketidakpercayaan antara komunitas berbeda agama. Ketidakpercayaan menyebabkan terhambatnya komunikasi antara kedua komunitas dan berakhir dengan terjadinya konflik terbuka. Samovar, Pooter dan Jain 1985 menjelaskan bahwa, terhambatnya komunikasi akibat perbedaan tujuan komunikasi, etnosentrisme, kurangnya kepercayaan kepada pihak lain dan membuat kesimpulan berdasarkan stereotip mengakibatkan terjadinya konflik. Informasi yang dibawa NL dan MS sebenarnya hanya menjelaskan kerugian yang diderita dari sisi materi. Namun dalam perkembangan konflik di Ambon, banyak korban tewas yang berasal dari negeri-negeri Sarani maupun Salam di Saparua. Fakta tersebut kemudian menjadi pemicu, sekaligus pengobar keinginan membalaskan dendam kepada pihak lain yang dianggap sebagai penyebab. Pandangan Coser 1956 memperkuat penjelasan tersebut bahwa, terjadi ketegangan dengan pihak di luar komunitas sehingga masing-masing komunitas semakin memperkuat solidaritas internal dan bersama-sama menghadapi kekuatan komunitas lain. Seharusnya kenyataan adanya korban konflik dari kerabat warga negeri-negeri Saparua di Pulau Ambon dan pulau-pulau lainnya disikapi dengan arif, sehingga tidak perlu terjadi tindakan penyerangan oleh satu komunitas yang menganggap komunitas lain sebagai penyebab. Pembalasan pihak korban hanya menjadi pemicu konflik baru antara kelompok-kelompok yang pada dasarnya tidak terlibat secara langsung dalam konflik di Ambon. Kenyataan demikian berulang kali terjadi, sehingga penyebaran konflik ke berbagai pulau di luar Ambon lebih cepat terjadi pula. Tabel 8. menjelaskan identifikasi masing-masing aktor yang terlibat dalam jaringan penyebaran informasi. Penyebaran informasi didahului dengan mengungsinya warga yang berasal dari Negeri Salam dan Sarani ke Saparua. Setelah semua harta benda milik pribadi habis terbakar, lokasi pengungsian yang tersedia dianggap tidak memadai, selain kondisi keamanan yang tidak terjamin. Berdasarkan Tabel 8 dapat dilihat bahwa rata-rata aktor berpendidikan sekolah menengah, berarti kemampuan pengetahuan cukup memadai untuk berpikir rasional. Seharusnya para aktor berpikir bahwa penderitaan kerabatnya tidak disebabkan oleh komunitas yang sama di Saparua. Hasil wawancara menunjukkan bahwa, saat pertama kali mendengar informasi tersebut, tidak terpikirkan bahwa komunitas berbeda agama di Saparua sebagai penyebab penderitaan kerabatnya. Namun berkembangnya isu-isu yang memprovokasi kedua komunitas kemudian membentuk persepsi bahwa, penyebab penderitaan adalah komunitas agama lain. Kenyataan ini menjadi dasar bahwasannya tingkat pendidikan tidak menjadikan seseorang berpikir secara rasional saat diperhadapkan oleh perbedaan idiologi sebagai penyebab penderitaan. Tabel 8. Identifikasi Aktor dalam Jejaring Penyebaran Informasi No Aktor Umur tahun Pendidikan Pekerjaan Posisi Fungsi 1 NL 49 SMA Swasta Opinion leder Memberikan informasi awal berdasarkan situasi yang dialaminya 2 LL 52 SMA Tani Cosmo- polite Mengumpulkan informasi dari sumber- sumber lain 3 TH 47 SMA Tukang Cosmo- polite Mengumpulkan informasi dari sumber- sumber lain 4 YL 54 SMA Tani Liaison Berhubungan dengan kelompok lain sekaligus mencari informasi tambahan 5 BL 43 SMA Tani Cosmo- polite Mengumpulkan informasi dari sumber- sumber lain 6 MS 49 SMA Swasta Opinion leder Memberikan informasi awal berdasarkan situasi yang dialaminya 7 AS 52 SMP Tani Cosmo- polite Mengumpulkan informasi dari sumber- sumber lain 8 JP 47 SMA Tukang Cosmo- polite Mengumpulkan informasi dari sumber- sumber lain 9 RS 54 SMP Tani Liaison Berhubungan dengan kelompok lain sekaligus mencari informasi tambahan 10 BS 43 SMA Tani Cosmo- polite Mengumpulkan informasi dari sumber- sumber lain Sumber : Data Primer diolah Pekerjaan para aktor di kedua komunitas mirip yaitu sebagai petani dan tukang. Aktivitas pekerjaan menjadi terhambat karena beredarnya isu provokatif menyebabkan rasa keamanan menjadi tidak terjamin. Terutama petani yang kebunnya berbatasan dengan komunitas berbeda tidak berani menjalankan aktivitas karena tidak ada rasa aman. Terhambatnya pekerjaan juga menjadi pendorong untuk membenarkan isu-isu yang beredar, bahwa akan ada penyerangan oleh salah satu komunitas. Terhambatnya aktivitas juga menyebabkan banyak waktu luang yang dimanfaatkan untuk mencari informasi-informasi lain sehubungan dengan isu-isu yang tersebar. Semakin banyak informasi yang diperoleh, semakin bias kebenaran informasi tersebut. Bahkan aktivitas pekerjaan berganti dengan aktivitas berkumpul dalam kelompok-kelompok kecil untuk mempersiapkan keamanan masing-masing komunitas. Aktivitas demikian antara lain belajar membuat senjata rakitan serta membuat bom rakitan yang dapat digunakan untuk mempertahankan diri sebagai bentuk antisipasi terhadap isu yang beredar. Aktivitas kelompok berkembang menjadi tenaga bantuan ke negeri lain yang dianggap rawan kondisi keamanannya. Beberapa aktor menjelaskan bahwa, ada rasa bangga saat mereka membantu keamanan negeri kerabat sekomunitas maupun membantu negeri yang terdesak akibat serangan komunitas berbeda agama. Saat menjalankan aktivitas tidak terpikirkan lagi bahwa sebenarnya masyarakat Saparua memiliki ikatan adat yang tidak memandang perbedaan agama. Perasaan emosi dan amarah mengarahkan terbentuknya rasa dendam pada komunitas berbeda, sehingga ikatan adat seperti hilang oleh kekuatan agama. Penjelasan-penjelasan tersebut menunjukkan bahwa konflik di Saparua tidak muncul serta merta, tetapi merupakan bias berkepanjangannya konflik di kota Ambon. Sehingga warga kota Ambon yang merasakan dampak negatif akibat konflik harus mengungsi ke daerah asalnya termasuk kembali ke Saparua. Mereka yang mengungsi secara tidak sengaja menjadi sumber-sumber penyebaran konflik baru. Hal ini terkadi karena setelah mengungsi ke daerah asal maka, para pengungsi ini akan menceritakan akibat buruk yang harus mereka terima sebelum mengungsi. Akibat buruk tersebut antara lain, hilangnya harta benda termasuk rumah tempat tinggal mereka. Ada yang menjadi korban sehingga cacat seumur hidup, sampai ada yang meninggal. Cerita- cerita demikian menimbulkan trauma dan juga dendam dalam diri saudara-saudara mereka di negeri asal tanpa melihat ikatan adat sebagai perekat perbedaan agama di Saparua. Ikatan kekerabatan dalam masyarakat Saparua seperti pela – gandong yang dianggap bertuah, ternyata kemudian tidak mampu menjadi jembatan penghubung atau sumber peredam konflik di tingkat lokal. Dahulunya ikatan kekerabatan begitu diagung- agungkan sehingga, selalu menjadi acuan dasar bagi setiap anggota masyarakat dalam bertingkah laku. Namun, menjadi hancur sebagaimana munculnya konflik antara komunitas Salam berhadapan dengan komunitas Sarani. Melemahnya ikatan kekerabatan sebenarnya tidak seratus persen tepat karena saat konflik ada kejadian yang berpeluang memperkuat kembali ikatan adat. Fakta berikut ini menggambarkan hal dimaksud : ketika, anak-anak negeri Ulath beragama sarani yang akan ke Saparua menggunakan angkutan laut mengalami kecelakaan di wilayah laut Sirisori Salam, ternyata ikatan kekerabatan masih cukup menonjol sehingga anak-anak negeri Sirisori Salam pun turut membantu menyelamatkan para korban. Padahal dalam suasana konflik yang menegangkan, seharunya apa yang dialami oleh masyarakat Ulath yang tenggelam merupakan kesempatan bagi masyarakat Sirisori Amapati untuk melakukan pembalasan. Namun, dengan berbagai pertimbangan terutama adanya ikatan dan kepercayaan sebagai dasar yang mengawali terbentuknya persekutuan masyarakat Saparua yang kemudian berkembang menjadi Latupati sekarang ini menjadi penghalang proses pembalasan dimaksud. Kenyataan demikian memberikan gambaran bahwa, walaupun terjadi proses melonggarnya ikatan adat akibat menguatnya ikatan agama ternyata ikatan adat masih memungkinkan untuk meredam berkepanjangannya konflik. Hal itu dapat dilakukan jika isu-isu menyesatkan dapat ditangkal dan diselesaikan oleh pemimpin masing-masing komunitas. Selain itu masing-masing komunitas seharusnya memiliki kemampuan menyaring setiap isu serta masukan informasi dari anggota komunitasnya di luar Saparua. Biasanya isu-isu tersebut melegalkan masuknya tenaga bantuan dari luar Saparua sebagai upaya mempertahankan kondisi keamanan masing-masing komunitas. Masuknya tenaga bantuan dari negeri lain di Saparua maupun dari luar Saparua membentuk jejaring sosial antar komunitas seagama. Jejaring yang terbentuk tidak selamanya berdampak positif tetapi justru menjadi penyebab hancurnya tempat tinggal serta penderitaan yang berkepanjangan. Fakta pembentukan jaringan dalam konflik terlihat melalui bantuan “pasukan” dari Ambon oleh AW sebagai pimpinan grass root dan kelompoknya. Bantuan tersebut dapat diterjemahkan sebagai ikatan yang kuat dari sisi idiologi agama, karena pihak pemberi bantuan dengan penerima bantuan memiliki keyakinan idiologi yang sama yaitu Sarani. Terbentuknya jejaring sosial seperti ini menjadi lumrah karena kesamaan keyakinan antara penerima bantuan dan pemberi bantuan Gambar 4, serta adanya perbedaan idiologi dengan lawan mereka kelompok penyerang. Gambar 4. Jejaring Sosial Konflik di Saparua Keterangan : 1. Pemimpin Grassroot dari Ambon AW 2. Anggota Grassroot dari Negeri Porto BT 3. Anggota Grassroot dari Negeri Ulath LP 4. Anggota Grassroot dari Negeri Sirisori Sarani MK 5. Anggota Grassroot dari Negeri Haria AL Permintaan bantuan dilakukan oleh pimpinan Gereja Protestan Maluku GPM Sirisori Sarani ke Negeri-negeri lain di Saparua. Jika situasi keamanan semakin tidak dapat dijamin, maka Pimpinan Klasis Saparua menyampaikan permintaan bantuan ke Ambon melalui Posko Maranatha. Setelah itu, Posko Maranatha menugaskan pimpinan grass root yang mengkoordinir pasukan bantuan ke Saparua. Beberapa pimpinan grass root yang bernaung di Posko Maranatha antara lain, AW dan HN. Berdasarkan permintaan dari Klasis Saparua, maka AW ditugaskan Posko Maranatha untuk memimpin pasukan bantuan ke Saparua. Kalaupun situasi negeri Sarani semakin terdesak, maka pimpinan Gereja setempat dapat melakukan permintaan bantuan ke negeri Sarani yang dapat dihubungi dengan cepat kemudian dilaporkan ke Posko Maranatha. Sementara dari pihak Salam, permintaan bantuan langsung dilakukan ke Posko Al Fatah. Berdasarkan permintaan bantuan ini, maka pimpinan Posko segera mengkoordinasikan dengan kelompok bantuan yang berdiam di sekitar Pulau Saparua seperti di Masohi Pulau Seram maupun di Pelau Pulau Haruku. Jika kondisi semakin tidak terkendali, maka pasukan bantuan kemudian dibawa langsung dari Ambon melalui pelabuhan Hitu Jazirah Leihitu juga pelabuhan Tulehu Kecamatan Salahutu. Kedua pelabuhan tersebut termasuk wilayah administrasi Kabupaten Maluku Tengah, namun berlokasi di Pulau Ambon. Berdasarkan gambar jejaring sosial konflik tersebut di atas 1 4 5 2 3 maka digambarkan identifikasi aktor-aktor yang terlibat dalam jaringan tersebut Tabel 9. Fakta menunjukkan bahwa, kelompok grass root Salam dan Sarani selalu menyertakan oknum anggota TNI dan POLRI dari masing-masing negeri yang mengalami situasi terdesak. Oknum TNI dan POLRI tersebut tidak berada di bawah komando pimpinan iunstitusi masing-masing, namun tergerak untuk membantu karena ikatan satu negeri serta ikatan satu agama. Kenyataan ini telah diakui oleh Pimpinan POLDA Maluku maupun KODAM Pattimura, dalam berbagai pemberitaan media massa baik media cetak maupun media elektronik. Bahkan dalam Laporan Krisis Centre Keuskupan Amboina, Panglima KODAM Pattimura memperkirakan sekitar sepuluh persen anggota TNI terlibat secara langsung dalam konflik di Maluku. Tabel 9. Identifikasi Aktor dalam Jejaring Konflik No Aktor Umur tahun Pendidikan Pekerjaan Posisi Fungsi 1 AW 51 PGSD PNS Gate Keepers Mengontrol penyebaran informasi ke aktor lain 2 BT 29 SMA - Cosmopolite Mengumpulkan informasi dari sumber-sumber lain 3 LP 27 SMA - Cosmopolite Mengumpulkan informasi dari sumber-sumber lain 4 MK 24 SMA - Cosmopolite Mengumpulkan informasi dari sumber-sumber lain 5 AL 26 SMA - Cosmopolite Mengumpulkan informasi dari sumber-sumber lain Bantuan dari kelompok grass root ini, menunjukkan terbentuknya jejaring sosial horizontal dimana pihak pemberi bantuan dan penerima bantuan dapat dikatakan setara karena tidak ada perbedaan posisi dalam masyarakat. Perbedaan mendasar antara keduanya yaitu, pemberi bantuan memiliki kelebihan dari segi kepemilikan peralatan berupa senjata standart, serta dilengkapi pula dengan granat standart serta bom rakitan dan pelontar rakitan. Saat itu yang dipikirkan oleh masyarakat penerima bantuan hanyalah keamanan diri dan keamanan harta benda. Padahal kelompok penyerang sangat kuat dan dibekali dengan persenjataan yang memadai, seperti dijelaskan oleh Informan berikut ini : Dalam penyerangan dari Sirisori Salam, banyak terlibat pihak militer yang saat itu menjadi pasukan pengamanan yang ditugaskan secara resmi di Sirisori Sarani dan Sirisori Salam. Bahkan aparat keamanan yang betugas di Sirisori Sarani turut bergabung dengan dengan pihak militer dari Sirisori Salam untuk melakukan penyerangan bahkan kemudian menjarah dan membakar sarana dan prasarana di Sirisori Salam. Bukti keterlibatan pihak militer terlihat dari adanya penggunaan senjata standart TNI dari selongsong peluru, serta dari bekas mortir yang ditembakkan. Berdasarkan pada kenyataan demikian maka dapat dikatakan, ada jejaring yang dibangun kelompok grass root sebagai pemberi bantuan dengan pihak penyerang. Hal mana dibuktikan dengan fakta bahwa, setelah kelompok grass root masuk, maka serangan segera dihentikan. Jadi kelompok pemberi bantuan secara nyata, sebenarnya tidak memiliki fungsi apa-apa dalam konteks memberikan bantuan keamanan bagi negeri yang diserang. Jejaring yang terbentuk antara kelompok penyerang dengan kelompok grass root, mengarah pada ikatan ekonomi dalam arti luas yaitu masing- masing kelompok dibayar untuk mengobarkan konflik menjadi konflik berkepanjangan Gambar 5. Gambar 5. Jejaring Kerjasama Antar Kelompok Berbeda Agama Keterangan : 1. Pemimpin Grassroot Sarani dari Ambon AW 2-5 Anggota Grassroot dari Negeri Sirisori Sarani,Ulath, Porto dan Haria 6. Pemimpin Kelompok Salam dari Ambon ML 7-10. Anggota Kelompok Salam dari Negeri Sirisori Salam Bridge 1 4 5 2 3 6 10 8 9 7 Saat konflik terjadi di Saparua yang melibatkan bantuan dari Ambon ke masing- masing komunitas, hubungan antara kedua pemimpin grass root belum diketahui oleh penerima bantuan. Bahkan pemimpin kelompok Salam ML, tidak diketahui dengan jelas identittasnya. Adanya hubungan antara pemimpin kedua kelompok diketahui setelah AW meninggal. Fenomena AW sebagai penyelamat bagi komunitas Sarani yang diserang ternyata tidak sesuai dengan fakta yang kemudian terungkap. Sebagai pemimpin grass root, awalnya AW mampu menjalankan fungsinya dengan baik untuk membantu mempertahankan keamanan negeri-negeri Sarani yang diserang. Perkembangan selanjutnya menunjukkan jutsru kehancuran selalu dialami oleh negeri yang menerima bantuan AW dan kelompoknya. Bahkan untuk mendapat bantuan, negeri-negeri yang akan dibantu harus membayar sejumlah biaya kepada AW dan kelompoknya. Sementara AW sendiri direkomendasikan oleh Posko Maranatha Sarani untuk memberikan bantuan apabila diminta oleh komunitas Sarani di Ambon dan sekitarnya termasuk Saparua. Ternyata kelompok ini lebih mementingkan kepentingan sendiri, sehingga proses pemberian bantuan disesuaikan dengan kemampuan masing- masing negeri membayarkan sejumlah uang sesuai permintaan. Fakta-fakta tersebut mengindikasikan bahwa, dalam perjalanan konflik AW diduga disusupi oleh pihak lain yang tidak teridentifikasi dari penelitian ini. Pihak tersebut kemudian memberikan imbalan agar AW dan kelompoknya bukan menjadi penjaga keamanan justru menjadi penghancur dari dalam komunitas Sarani. Oleh karena itu, setiap gerakan bantuan AW di setiap negeri sepertinya dilindungi oleh aparat keamanan yang bertugas. Tujuan pemanfaatan AW sebagai penghancur dalam komunitas Sarani sebenarnya merupakan upaya melanggengkan konflik di Maluku dan Saparua khususnya. Setiap ada korban jiwa dan harta benda dari satu komunitas akan diikuti dengan upaya pembalasan terhadap komunitas yang dianggap sebagai penyebab. Posisi AW yang beragama Sarani sengaja dipakai untuk membakar emosi dan dendam komunitas Sarani terhadap komunitas Salam. Faktanya selama kelompok AW bermain dalam konflik ternyata eskalasi konflik semakin meluas dan meningkatkan korban jiwa dan harta benda. Justru kondisi keamanan negeri Sarani yang diserang lebih dijamin tanpa kehadiran AW dan kelompoknya. Selain itu, aktivitas AW dan kelompoknya sering meminta bantuan dana dari pedagang etnis Cina yang digunakan untuk membiaya bantuan bagi negeri Sarani yang diserang, bahkan permintaan bantuan sering menggunakan cara-cara kekerasan yang tidak sesuai dengan ajaran agama seperti menodongkan senjata api. Selanjutnya terungkap pula bahwa, dana bantuan tersebut lebih sering digunakan oleh AW dan kelompoknya untuk berfoya-foya demi kepentingan pribadi. Namun, penelitian ini tidak dapat menjawab apakah aktivitas AW dan kelompoknya seperti demikian diketahui oleh pimpinan Posko Maranatha Sarani yang memberi rekomendasi saat permohonan bantuan dari negeri-negeri Sarani di berbagai wilayah Ambon dan sekitarnya. Berdasarkan berbagai penjelasan tersebut di atas, maka kemunculan jejaring dalam konflik dapat disarikan pada tabel 10. berikut ini : Tabel 10. Jenis dan Ciri-ciri Jejaring Sosial dalam Konflik NO Jenis Jejaring Yang Muncul Ciri-Ciri Keterangan 1 Horizontal Kesetaraan antara pemberi bantuan dan penerima bantuan, ikatan didasarkan pada agama, pemberi bantuan memiliki senjata yang memadai dan standart TNI Bantuan grass root kelompok Sarani dari Ambon ke Saparua 2 Horizontal Ikatan yang didasarkan pada keuntungan ekonomi sehingga memunculkan kerjasama yang saling menguntungkan antara kelompok bebantuan ke pihak Sarani dengan kelompok penyerang dari pihak Salam, ikatan agama tidak mempengaruhi jaringan Bantuan grass root kelompok Sarani dari Ambon dengan kelompok penyerang dari Sirisori Salam 3 Horizontal Bantuan untuk pemenuhan kebutuhan makanan baik saat mempertahankan diri dari serangan maupun saat pengungsian terpaksa harus dilakukan, ikatan agama lebih dominan karena yang terjadi yaitu saling membantu antara pemeluk agama yang sama Bantuan makanan dari negeri Sarani ke Pia dan Sirisori Sarani, bantuan makanan dari negeri Salam ke Iha Sumber : Data Primer Diolah Selain itu terdapat pula jejaring vertikal dan horizontal secara bersamaan. Jejaring tersebut melalui pemberian bantuan yang diperoleh dari instansi pemerintah bersifat vertikal maupun sesama masyarakat yang tidak mengalami dampak langsung konflik. Bantuan- bantuan yang masuk antara lain : 1. Bantuan Indomie dan Beras dari pedagang Cina di Saparua 2. Bantuan beras dan selimut dan pemuda-pemuda Masohi 3. Bantuan beras dari LSM Salawaku 4. Bantuan sarimie, beras dan 10 karton pakaian baru 5. Bantuan beras, selimut, kacang, indomie, sabun mandi dan odol gigi dari ACF LSM asing yang beraktivitas di Maluku 6. Bantuan selimut dan pakaian layak pakai dari LSM Christina M Tiahahu 7. Bantuan ember, tikar dan lentera dari Sinode GPM Maluku 8. Bantuan gula pasir, beras dan uang Rp. 5 juta dari pela-gandong 9. Bantuan uang sebesar Rp. 45.000 per orang dari pemerintah 10. Bantuan uang Rp. 1.200.000 per orang dari Pemerintah Pemetaan jejaring dalam konflik dimaksudkan untuk menggambarkan mekanisme pembentukan jejaring dalam kaitannya dengan berkembangnya konflik sebagai konflik yang berkepanjangan. Hal ini perlu dipahami mengingat, ada peluang bahwa jejaring yang sama juga berperan dalam menghentikan bahkan kemudian menjadi titik tolak resolusi konflik yang berkepanjangan. Merujuk pada konflik Saparua, maka pemetaan jejaring dalam konflik tabel 11. Tabel 11. Tipe dan Ciri-ciri Jejaring Sosial dalam Konflik No Tipe Jejaring Ciri-Ciri Keterangan 1 Individu Penyebaran isu dan informasi menyesatakan, penggunaan selebaran dari individu ke individu, bergerak secara individu untuk membalaskan kematian dari kerabat atau saudaranya, ikatan kekerabatan masih dominan Sebagai titik awal terjadinya konflik, sekaligus proses pematangan konflik 2 Kelompok Penyebaran informasi dari individu ke kelompoknya, pengaturan strategi secara matang, melibatkan keseluruhan anggota kelompok, memudahkan meluasnya konflik karena keterlibatan banyak orang Proses keberlanjutan konflik dari individu ke kelompok 3 Komunitas Koordinasi dilakukan oleh elit agama karena ikatan idiologi agama sangat dominan, ikatan adat-istiadat antara komunitas yang berbeda agama menjadi pudar, upaya memanaskan situasi didukung oleh keterlibatan TNI- POLRI secara langsung maupun tidak langsung jual beli amunisi – peluru Proses menjadi konflik terbuka dan meluas ke tingkat komunitas, sehingga konflik semakin sulilt untuk diatasi Sumber : Data Primer Diolah Proses penularan sosial dapat dicontohkan oleh merebaknya konflik di seantero wilayah Maluku. Secara sadar atau tidak, keputusan yang diambil individu dipengaruhi oleh lingkungan sosial dan tindakan yang diambil menjalarkan dan memperkuat efek yang ada secara kolektif. Karena informasi mengalir dalam jaringan sosial, maka dalam proses pengambilan keputusan sosial, struktur jaringan penting dalam menentukan seberapa jauh efek kolektif tersebar. Sehingga bukan tidak mungkin pula, jika konflik di pedesaan Saparua muncul sebagai ungkapan keinginan membalaskan dendam dari sanak saudara dan kerabat yang meninggal saat konflik pecah di wilayah lain di luar Saparua. Dengan demikian, keputusan untuk berkonflik merupakan keputusan independen yang bebas dari pengaruh. Perkembangan konflik selanjutnya menunjukkan keputusan independen untuk berkonflik masih diragukan karena konflik kemudian melebar dan melibatkan warga Saparua di luar Saparua di pulau Lease dan pulau Seram misalnya. Bahkan diindikasikan ada keinginan dari pihak-pihak tertentu yang tidak teridentifikasi, untuk melibatkan Saparua dalam konflik berkepanjangan. Salah satu pendorong peluang konflik berkepanjngan yaitu sifat temperamen orang Saparua yang mudah terpancing emosinya. Karakter seperti ini menjadi incaran dari pihak yang ingin memperluas konflik melalui isu-isu. Isu-isu tersebut antara lain akan ada penyerangan dari satu negeri ke negeri lain yang berbeda adama, juga memberikan informasi yang tidak benar tentang kematian warga salah satu kelompok agama di wilayah lain di luar Saparua. Oleh karena itu, keputusan untuk berkonflik bagi masyarakat Saparua bukan karena perbedaan idiologi agama maupun keinginan untuk merdeka. Keputusan untuk terlibat dalam konflik didorong keinginan membalaskan dendam dan amarah semata- mata. Kebetulan yang menjadi korban anggota salah satu kelompok agama, sehingga walaupun kejadian berlangsung di luar Saparua di Ambon misalnya maka kelompok agama yang warganya menjadi korban akan membalaskan dendam kepada kelompok agama yang dianggap sebagai penyebab. Padahal, pelakunya tidak memiliki keterkaitan dengan warga di Saparua yang kebetulan beragama sama. Hal yang menarik yaitu bagaimana perselisihan antardua orang di batu Merah Ambon dapat bereskalasi menjadi konflik di aras mikro antara salam dan sarani di pedesaan Saparua. Pemetaan jejaring dan kerjasama, dirasa perlu untuk menunjukkan kemampuan jejaring yang bukan saja berkaitan dengan konflik Tabel 12. Sebelum konflik hubungan Negeri Kulor dengan Pia sangatlah harmonis. Bahkan terdapat ikatan ekonomi yang saling menguntungkan. Biasanya masyarakat Kulor menanam ubi kayu yang kemudian dibeli oleh warga Dusun Pia yang mengolahnya menjadi “sagu singkong”. Hal ini sudah berlangsung sejak tahun 1994, yang diawali oleh ikatan antara individu. Seorang warga Pia yang memerlukan ubi kayu sebagai bahan baku sagu kemudian membelinya dari seorang warga Kulor. Pertemuan awal antara kedua individu berlanjut menjadi ikatan ekonomi yang menguntungkan. Bahkan kemudian berkembang bukan hanya individu saja, tetapi menjadi ikatan ekonomi antara komunitas Pia yang beragama Sarani dengan komunitas Kulor yang beragama Salam. Bahkan sampai ke aras negeri, menyebabkan hubungan antara negeri Pia dengan Kulor sangatlah harmonis. Tabel 12. Tipe dan Ciri-ciri Jejaring Sosial dan Kerjasama No Tipe Jejaring Ciri-Ciri Keterangan 1 Individu Ikatan lebih ke arah ekonomi juga adat istiadat, saling mengutungkan, tidak memperhatikan perbedaan agama, keputusan membentuk ikatan merupakan keputusan individu tanpa campur tangan siapa pun juga, memungkinkan untuk mengarah pada perluasan ikatan Ikatan jual belil hasil kebun ubi kayu antara seorang warga Pia dengan seorang warga Kulor, saling meminjam antara individu warga Iha dengan Ihamahu 2 Kelompok Ikatan ekonomi masih dominan, keputusan secara kolektif karena berkenan dengan proses kerja serta hasil yang harus dirasakan bersama, sulit untuk berkembang lebih luas lagi karena keterbatasan bahan baku yang mampu disiapkan oleh warga Kulor Ikatan jual beli dimana kelompok pembuat sagu “kasbi-ubi kayu” dari Pia membeli bahan baku ubi kayu dari kelompok warga Kulor yang berusahatani ubi kayu 3 Komunitas Ikatan ekonomi semakin dominan karena saling mengutungkan, seharusnya lebih tahan dari berbagai upaya pemutusan ikatan dengan alasan apa pun termasuk alasan perbedaan agama namun ternyata ikatan tersebut putus akibat konflik yang bernuansa agama Ikatan antara komunitas Kulor sebagai penyedia ubi kayu dengan Pia sebagai pembeli yang mengolahnya menjadi sagu kasbi Sumber : Data Primer Diolah Jejaring sosial yang ditemukan saat konflik terbentuk karena masyarakat menginginkan rasa aman serta untuk memenuhi kesulitan pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari. Jejaring social tersebut berupa jejaring sosial horizontal dan vertikal. Dalam jejaring sosial horizontal, anggota-anggotanya memiliki status sosial ekonomi yang relatif setara, sedangkan dalam jejaring sosial vertikal, anggota-anggotanya tidak memiliki status sosial ekonomi yang setara. Jejaring sosial horizontal terdiri atas a jejaring seagama, b jejaring campuran kerabat dan seagama . Jejaring sosial bersifat vertikal terdiri dari a jejaring seagama, b jejaring kerabat, c jejaring campuran kerabat dan seagama. Jejaring horizontal Gambar 6 terbentuk berdasarkan fakta bahwa, negeri yang mengalami serangan baik yang salam maupun sarani, akan segera mendapatkan bantuan baik bantuan tenaga untuk membantu menjaga keamanan negeri, maupun bantuan makanan untuk memelihara keamanan pangan masyarakat. Bantuan tersebut sering diberikan oleh masyarakat negeri lain di Saparua yang memiliki ikatan idiologi agama yang sama. Selain ikatan seagama, terdapat bantuan yang diberikan oleh mereka yang memiliki ikatan kekerabatan yang berbeda agama. Gambar 6 . Jejaring Sosial Horizontal dalam Konflik Saparua Jejaring vertikal Gambar 7 juga didominasi oleh jejaring seagama, baik dari lembaga resmi pada tingkat yang lebih tinggi seperti Sinode Gereja Protestan Maluku GPM, Keuskupan Amboina maupun Majelis Ulama Indonesia Maluku MUI. Bantuan yang diberikan berapa penyegaran rohani maupun bantuan makanan. Sementara ada juga bantuan keamanan pangan dalam bentuk uang tunai, pakaian layak pakai maupun makanan yang diberikan oleh masyarakat Maluku maupun Saparua yang berada di luar Maluku, dimana pemberi bantuan tidak memandang ikatan agama tetapi lebih karena ikatan kekerabatan yang telah ada sejak dulu. Misalnya bantuan dari Tokoh Masyarakat Ihamahu di Jakarta kepada masyarakat Iha yang telah mengungsi ke Liang Pulau Ambon. Jika dilihat dari aspek agama, jelas ada perbedaan mendasar keyakinan MASYARAKAT SAPARUA SALAM BERKONFLIK MASYARAKAT SAPARUA SARANI BERKONFLIK KERABAT YANG SALAM DI SAPARUA NEGARA PEMERINTAH KECAMATAN SAPARUA KERABAT YANG SARANI DI SAPARUA agama antara negeri Iha yang beragama Salam dengan negeri Ihamahu yang beragama Sarani. Namun ikatan kekerabatan gandong antara kedua negeri menjadi perekat sehingga bantuan tetap diberikan, tanpa memandang perbedaan agama. Selain itu, orang Maluku di Belanda baik Salam maupun Sarani terutama yang berasal dari Saparua turut memberikan bantuan dalam bentuk uang tunai untuk keamanan pangan, maupun untuk memulihkan kondisi tempat tinggal rumah serta sarana ibadah mesjid dan gereja yang rusak. Hal ini menunjukkan bahwa, adanya jejaring campuran yang terbentuk karena aspek kesamaan agama sekaligus karena memiliki ikatan kekerabatan. Gambar 7. Jejaring Sosial Vertikal dalam Konflik Saparua

6.3. Keterlibatan Pihak-pihak dalam Konflik di Pedesaan Saparua

6.3.1. Sipil dan Militer : Membangun Jejaring dan Kepentingan Konflik Ambon yang menyebar ke wilayah lain di Maluku menyebabkan pemerintah berketetapan untuk menerapkan Darurat Militer. Penerapan darurat militer kemudian menajdi perdebatan di tingkat masyarakat. Konflik Maluku sesungguhnya tidak berasal dari masyarakat. Paling tidak ada empat indikasi yang bisa dijadikan parameter. Pertama, kultur masyarakat Ambon atau Maluku sendiri yang sebenarnya tidak pernah bergejolak horizontal secara berarti. Konflik-konflik yang terjadi di Maluku dan mungkin di daerah-daerah lain sebenarnya adalah konflik vertikal yang ditularkan kepada masyarakat, termasuk konflik perihal Republik Maluku Selatan RMS. Karena itu, sebenarnya konflik Maluku tidak memiliki akar historis dan sosiologis, melainkan MASYARAKAT SAPARUA SALAM BERKONFLIK MASYARAKAT SAPARUA SARANI BERKONFLIK LEMBAGA AGAMA SALAM DI LUAR SAPARUA IKATAN PELA DAN GANDONG DI LUAR SAPARUA LEMBAGA AGAMA SARANI DI LUAR SAPARUA politis. Kedua, konflik di Maluku yang pecah pasca jatuhnya Soeharto, beberapa kali diberitakan terjadi hanya karena suatu perselisihan kecil yang kemudian diperluas oleh sekelompok orang yang sampai saat ini tidak teridentifikasi oleh aparat keamanan. Entah mengapa aparat keamanan dan intelijen sangat sulit untuk mencari siapa sebenarnya kelompok dan atau aktor intelektual yang berada dibalik meluasnya konflik-konflik tersebut. Faktor ini menguatkan indikasi yang pertama, bahwa konflik Maluku tidaklah konflik horizontal yang genuine, melainkan konflik politis yang sifatnya vertikal. Ketiga, beberapa peristiwa yang terjadi, entah langsung atau tidak langsung korelasinya berkaitan dengan peristiwa politik di Jakarta. Beberapa peneliti, antara lain Thamrin A. Tomagola yang dikutip oleh Salampaessy dan Zairin 2001 mengatakan bahwa setiap pecahnya peristiwa kekerasan di Maluku selalu terjadi berdekatan dengan peristiwa-peristiwa politik yang berkaitan dengan pengusutan atau terganggunya kepentingan orang-orang yang berkoneksi dengan keluarga Cendana dan pejabat Orde Baru lainnya. Karena itu, akar konflik di Maluku justru terletak pada elite baik pusat maupun daerah dan bukan pada masyarakat. Keempat, dalam beberapa peristiwa yang terjadi di Maluku terlihat bahwa aparat militer dan kepolisian yang bertugas justru mengambil posisi untuk involve dalam konflik. Hal itu juga sempat menjadi perhatian beberapa kalangan dan juga dialog di Malino perihal keterlibatan satuan dan oknum militer dalam konflik. Sehingga pada masa Presiden Abdurrahman Wahid telah dilakukan rotasi satuan yang bertugas dengan tujuan menghindari keterlibatan aparat dalam konflik. Hal lain yang penting adalah mempertegas penyikapan dan penindakan terhadap gerombolan sipil bersenjata dari pihak manapun. Bagaimana mungkin menerapkan status darurat militer, bila ternyata banyak kelompok para-militer yang mungkin terstruktur dan memiliki garis komando tersendiri. Gerombolan sipil bersenjata itu harus ditindak tegas untuk menghindari perluasan konflik dan mengakhiri kekerasan. Keterlibatan pihak sipil bersenjata terjadi pada semua situasi konflik baik di Ambon maupun di pedesaan Saparua. Anggota komunitas Salam dan Sarani memiliki senjata standart yang digunakan saat konflik terjadi. Selain itu, bantuan tenaga saat konflik di pedesaan Saparua menunjukkan pemilikan senjata standart yang digunakan saat konflik terjadi. Kepemilikan senjata standart harusnya hanya berada di tangan institusi resmi Negara seperti TNI dan Polri. Oleh karena itu kepemilikan senjata standart di luar kedua institusi tersebut merupakan pelanggaran hukum sehingga perlu diberikan sanksi sesuai peraturan yang berlaku. Ternyata kemudian penduduk sipil yang memiliki senjata