Peran Elit Agama Dalam Konflik di Pedesaan Saparua

Saat konflik banyak yang bermigrasi ke luar Maluku untuk mencari suasana aman sekaligus melanjutkan pendidikan. Anggota komunitas Sarani lebih memilih Manado sebagai tempat tujuan perpindahan pendidikan anak-anak mereka, karena mayoritas penduduk di Manado beragama Sarani. Kebalikannya dengan yang Salam lebih memilih Makasar maupun Kendari sebagai tujuan perpindahan pendidikan anak- anak mereka, karena kedua kota tersebut pendudukanya mayoritas beragama Salam. Fakta ini memperkuat bahwasannya dampak konflik yang bernuansa agama memunculkan pemikaran bahwa, keamanan itu lebih terjamin jika tinggal dengan komunitas yang seagama. Hal tersebut mempersulit tercapainya resolusi konflik di Saparua pada tataran mikro, serta di Ambon pada tataran meso.

5.3. Peran Elit Agama Dalam Konflik di Pedesaan Saparua

Ciri SARA dalam masyarakat saat kolonial Belanda berkuasa, selalu diperkuat dengan kebijakan penguasa yang hanya merekrut tentara dari golongan etnis tertentu yaitu Ambon dan Manado. Jelas ini adalah bagian dari kebijakan penguasa kolonial yang dikenal sebagai “devide et impera”. Agama juga menjadi perhatian besar pemerintah kolonial. Banyak perlawanan terhadap pemerintah kolonial yang diilhami oleh ajaran agama dan dipimpin oleh tokoh-tokoh agama. Ekonomi dan politik kolonial yang menempatkan golongan pedagangpengusaha Tionghoa bersaing dengan pedagang pribumi yang umumnya Salam, membuat konflik ekonomi ini berdimensi ras dan agama. Dengan demikian, conflict of interest yang umumnya berada pada lapisan strategic elite, tampak berlangsung terutama dengan memanfaatkan kekuatan massa umat. Aspek kognitif dan afektif rakyat umat yang sebelumnya sudah terkondisi dengan ideologi aliran dan kemudian ideologi kelompok, dimanipulasi sebagai kekuatan pendukung yang efektif. Sosialisasi berbagai isu yang merangsang menguatnya sentimen dan solidaritas kelompok pada grassroot level, terutama yang bernuansa agama dimainkan oleh orang atau kelompok tertentu, sehingga suasana batin kelompok masyarakat lapisan bawah terkondisi dalam format yang sangat eksklusif. Akibatnya, bukan budaya politik partisipatif atau demokratis yang menonjol; sebaliknya budaya politik yang sarat dengan muatan nilai-nilai parokial dan subjektif. Pada prinsipnya, pandangan bahwa agama sebagai bagian dari konflik di pedesaan Saparua tidak bisa dielakkan. Motif utama konflik di pedesaan Saparua haruslah dipandang bahwa agama-agama di Saparua telah dieksploitasi dan dipolitisasi untuk melahirkan dan melegitimasi konflik kekerasan massa. Dengan demikian, sumber konflik tidak terletak pada pluralitas agama di Saparua melainkan pada design kerusuhan yang memperalat 1 sensitivitas dan sikap fanatik masyarakat Saparua terhadap agama sebagai motor aksi kekerasan 2 kecemasan dan ketidak-berdayaan masyarakat membendung eskalasi pertikaian. Kelanggengan konflik terpelihara oleh adanya sikap bias elit agama saat melakukan dakwah yang cenderung menjelek- jelekkan agama lain sehingga memelihara rasa persaingan antar umat beragama di Saparua. Selain tindakan aparat keamanan yang seringkali bias dalam pelaksanaan prosedur pengamanan, juga diikuti dengan beredarnya senjata dan amunisi ilegal di kalangan masyarakat, provokasi-provokasi dari dalam dan luar masyarakat, serta adanya ketidak-mampuan pemerintah menyelesaikan konflik. Pengendapan dan eskalasi aksi kekerasan dalam kehidupan masyarakat semakin menyulitkan posisi dan peran masyarakat Saparua untuk mengatasi konflik kekerasan dalam dirinya. Padahal sejarah masa silam Saparua menunjukkan bahwa tatanan sosial-budaya Saparua cukup menghormati pluralitas dan toleran. Adanya jurang kenyataan antara suasana kehidupan masyarakat Saparua masa lalu dan masa kini menunjukkan bahwa dua kelompok masyarakat Saparua yang bertikai terkondisikan untuk tidak mampu menyelesaikan konfliknya sendiri. Perangkat budaya dan agama yang semestinya mampu menjembatani kembali konflik dan perbedaan ternyata lumpuh. Berbagai proses penanganan konflik yang terjadi selama ini baik oleh pihak pemerintah, aparat keamanan hingga media massa, tidak menghasilkan kemampuan masyarakat untuk mengendalikan kerusuhan dan mengkondisikan diri dalam perdamaian. Justru yang terjadi yaitu semua pendekatan yang telah dilakukan, entah itu pendekatan keamanan, pendekatan dialogis maupun penanganan korban dan pengungsi kerusuhan, berakhir dengan peruncingan emosi dan suasana konflik itu sendiri. Keterlibatan Institusi Agama jelas dengan membeli amunisi yang digunakan untuk mempertahankan masing-masing kawasan yang diserang, sehingga tidak lagi berfungsi mendamaikan tetapi justru memperparah situasi dan kondisi keamanan. Secara tidak langsung dapat dikatakan pihak Lembaga Agama terlibat mengobarkan konflik walau mungkin bermaksud untuk mempertahankan entitas masing-masing kelompok saat tertekan. Tindakan demikian menunjukkan kekerdilan penguasaan pengetahuan beragama, sehingga terlibat mengarahkan konflik melalui upaya mempertahankan masing-masing wilayah yang diserang. Kuatnya pengaruh agama dalam konflik Saparua sebenarnya tidak sekuat berkembangnya isu-isu kelompok penghancur dari masing-masing pihak. Faktanya hasil wawancara dengan responden di negeri-negeri Jazirah Hatawano Saparua berikut ini : Diawali dengan adanya informasi bahwa, di Iha sudah masuk Jihad yang dipimpin oleh Jihad dari luar negeri Geser, Sepa, Tamilou dan Hatuhaha yang dipimpin kapitan Negeri Geser “Mukadar”. Hari jumat tanggal 6 Oktober 2000, mulailah Iha melakukan penyerangan ke Noloth dan membakar 12 rumah pendudukan serta satu negeri muhabeth, sementara akibat bunyi tembakan seorang tua kena serangan jantung dan meninggal. Saat itu juga Raja Noloth sempat berdialog dengan Kapolda Firman Gani, dan meyakinkan bahwa masyarakat Negeri Noloth dapat mempertahankan kondisi keamanan, karena masyarakat Noloth sendiri tidak mempersiapkan apapun juga selain berjaga- jaga. Justru masyarakat negeri Iha melakukan penyerangan dan pembakaran terhadap beberapa rumah milik negeri Noloth akibat hasutan orang dari luar, sehingga konflik pecah di jazirah Hatawano. Masyarakat mulai dikumpulkan untuk berupaya mempertahankan negerinya. Saat itu Noloth diserang dengan senjata otomatis didukung oleh tembakan dari kapal perang. Oleh karena itu, Raja Noloth berkesimpulan bahwa ada keterlibatan aparat TNI dalam berbagai bentuk, karena mungkin saja secara tidak langsung tetapi dengan meminjamkan senjata dan amunisi bagi mereka. Namun dengan bersusah payah akhirnya masyarakat Noloth mampu mempertahankan keberadaan negerinya dengan bantuan dari negeri-negeri sekitar Itawaka, Ihamahu, Mahu dan Tuhaha.

5.4. Pergeseran Budaya Masyarakat di Pedesaan Saparua