Penguatan Nilai Budaya Melalui Gerakan Baku Bae

penyelesaian konflik tidak dipaksakan dan diatur tetapi menjadi kesepakatan bersama kedua warga segandong Sirisori Sarani dan Sirisori Salam. Alasan yang dikemukakan pula oleh Kepala Soa Negeri Kulor, Kepala Dusun Pia, Kepala Soa Sirisori Salam serta Tokoh Adat Sirisori Sarani bahwa konflik terjadi karena hancurnya ikatan budaya yang telah dibuat oleh nenek moyang mereka. Jelasnya terlihat pada penjelasan berikut ini : Ada keinginan dari pihak-pihak tertentu untuk menghancurkan ikatan yang dibangun oleh datuk-datuk sejak jaman dahulu bagi Sirisori Salam dan Sarani. Hal itu sebenarnya merupakan penerapan Bhineka Tunggal Ika yang sangat nyata. Jadi sebenarnya tidak menjadi satu kesalahan jika kemudian kami bersepakat untuk menguatkan kembali ikatan yang dibangun para datuk-datuk leluhur kami. Oleh karena itu, saat ini kami membangun kesepakatan untuk saling toipang menopang, bahu-membahu dalam menghadapi berbagai masalah. Kalau pun konflik terjadi kembali, maka kami tetap berpegang pada adat istiadat untuk tidak terlibat dalam konflik bahkan kami harus saling menjaga dengan menghalau setiap serangan yang diarahkan pada salah satu dari kami tanpa memandang kelompok agama apa yang membangun serangan. Semua Latupati di Saparua sepakat bahwasannya rekonsiliasi di Saparua tidak ada artinya dengan kehadiran para elit, baik di Ambon maupun Jakarta seperti berikut : Jadi proses rekonsiliasi antara negeri berbeda agama, tidak diatur oleh pemerintah, tetapi muncul dari keinginan dasar masing-masing anak negeri. Kerinduan itu muncul, melihat adanya kondisi yang tidak mengenakkan saat konflik kerena seharusnya kami saling bertegur sapa, saling tolong menolong, saling bantu membantu, tetapi konflik menghancurkan segalanya. Oleh karena itu, perlu ada upaya untuk mengembalikan kondisi Sirisori Salam dan Sarani seperti semula. Upayakan pertemuan antara kami dimulai oleh Bapak AS Sirisori Salam dengan bapak MS Sirisori Sarani berupa pertemuan informal, seperti saat bertemu di laut mencari ikan bersam-sama maka kami saling memberikan ikan sebagai umpan jika salah satu kehabisan. Kemudian saling memberikan ikan kepada yang lain, jika tidak mendapat ikan saat melaut. Hal demikian muncul karena ada perasaan saudara dan saling memiliki sebagai saudara segandong. Pertemuan secara resmi terjadi sejak Desember tahun 2004, setelah terpisah kurang lebih empat tahun. Ada kepercayaan bahwa siapa yang melakukan kejahatan atau berhati kotor, dipastikan ia akan menerima balasan saat konflik terjadi seperti, tertembak hingga cacat sampai meninggal.

5.5. Penguatan Nilai Budaya Melalui Gerakan Baku Bae

Gerakan Baku Bae Maluku bekerjasama dengan Universitas Pattimura Unpatti melaksanakan Musyawarah Latupati Maluku, sejak tanggal 9 – 11 Januari 2003 di Kampus Unpatti Ambon. Musyawarah para pemuka adat dan tokoh masyarakat itu merupakan salah satu upaya mengobati luka akibat konflik dan memulihkan sendi kehidupan di Maluku. Berbagai upaya rekonsiliasi untuk Maluku yang dilakukan oleh berbagai pihak secara berangsur-angsur telah memperlihatkan hasil positif, sekalipun belum mampu mengembalikan kondisi kehidupan masyarakat secara utuh seperti pada kondisi sebelum Januari 1999, tetapi paling tidak perasaan menyesal telah hadir dalam lubuk hati masyarakat. Perasaan menyesal merupakan satu kunci adanya harapan untuk menatap masa depan yang lebih baik. Karenanya sebuah gerakan moral Baku Bae Maluku bersama Universitas Patimura Unpatti menyelenggarakan Musyawarah Latupati Maluku di Ambon. Musyawarah yang dihadiri 110 latupati para tokoh masyarakat dan pemuka adat dan kalangan cendikiawan lainnya ini lebih mirip sebuah forum penyesalan para Ketua Adat, Raja maupun Lurah atas peristiwa kelabu di Maluku yang telah menelan korban ribuan jiwa, harta benda dan harga diri dengan kehancuran budaya pela gandong yang selama ini menjadi ikatan batin orang Maluku. Para Latupati diminta memberikan masukan sehingga nantinya bisa dibuat rencana dasar untuk mengoptimalkan peran mereka di Maluku. Selain itu dapat dicari solusinya untuk mensinergikan seluruh komponen masyarakat sipil untuk penghentian kekerasan di Maluku dan menghasilkan rencana dasar untuk pemberdayaan ekonomi rakyat, menata kembali sistem pendidikan dan memfasilitasi perencanaan pemulangan pengungsi ke daerah asalnya pasca penghentian kekerasan di Maluku. Seperti disebutkan Ketua Musyawarah Latupati Maluku. Ny Theresia Maitimu dan disetujui pula oleh Pejabat Pemerintah Pusat, bahwa : Situasi Maluku semakin hari semakin baik. Komunitas Salam dan Sarani telah mulai berkumpul kembali seperti sebelumnya. Suasana inilah yang menggerakkan sejumlah orang yang peduli dengan perdamaian di Maluku untuk mengumpulkan para ketua adat, raja dan lurah di seluruh Maluku agar secara bersama-sama menjaga wilayah ini sehingga tidak ada orang lain yang ingin menghancurkannya kembali. Sementara itu, staf ahli Mendiknas, Drs Hendro Soemaryo MM, yang mewakili Mendiknas Malik Fadjar membuka Musyawarah Latupati tersebut mengatakan, semangat kerjasama seperti ini senantiasa terus dikembangkan dan ditingkatkan kualitasnya untuk membangkitkan kembali budaya pela gandong yang telah berakar di tengah masyarakat. Selama keberadaan masyarakat Maluku yang majemuk yang diikat oleh nilai-nilai budaya pela gandong terbukti mampu hidup berdampingan, kekeluargaan dan persaudaraan sehingga dapat membangun berbagai sendi kehidupan untuk meningkatkan kesejahteraan lahir dan batin. ”Fakta membuktikan akibat konflik sosial berkepanjangan, berbagai fasilitas umum maupun properti pribadi rusak yang membuat kemiskinan, kebodohan dan keterbelakangan peradaban masyarakat. Karena itu kita sadar bahwa konflik apapun bentuknya tidak akan pernah memberikan keuntungan, sebaliknya yang terjadi adalah kerugian mental, sosial dan ekonomi yang besar yang membuat luka pada bangunan Negara Kesatuan Republik Indonesia”. Pengalaman pahit yang sangat berharga, sebagaimana yang dirasakan oleh masyarakat Maluku selama ini harus menjadi modal dan pemacu untuk mendorong dan membangkitkan semangat pela gandong yang merupakan anatomi budaya masyarakat Maluku sehingga segenap aparatur pemerintah, tokoh masyarakat, para latupati, cendekiawan dan anggota masyarakat untuk berpikir, berusaha dan bekerja keras yang dilandasi smangat optimisme dalam menyongsong masa depan yang lebih cerah. Selanjutnya diungkapkan, kebijakan dan strategi yang akan digunakan untuk merehabilitasi sarana dan prasarana pendidikan di Provinsi Maluku dilakukan dengan tiga pendekatan yaitu, pertama, pendekatan percepatan yaitu dilakukan dengan mempertimbangkan kenyataan sarana-prasarana, tenaga dan dana yang jauh berkurang dalam kondisi wilayah yang terisolasi; kedua, pendekatan pemberdayaan dengan memperhatikan potensi dan kekuatan yang telah dimilikinya sehingga perlu optimalisasi penggunaan sarana prasarana, tenaga dan dana yang ada serta, ketiga, pendekatan penguatan yaitu dengan memperhatikan infrastruktur dan kelembagaan yang ada tetapi perlu ditingkatkan kualitas peran dan fungsinya untuk mempercepat terwujudnya target dan tujuan yang hendak dicapai. Baku bae pengertian harafiahnya adalah saling berbaikan, namun dalam konflik Maluku pengertiannya adalah penghentian kekerasan sehingga gerakan Baku Bae adalah gerakan masyarakat sipil untuk menghentikan kekerasan di Maluku. Fasilitator Gerakan Baku Bae Maluku, Ichsan Malik, mengaku selama proses lokakarya Baku Bae maupun dalam interaksi selama tiga tahun Gerakan Baku Bae ada seperangkat nilai- nilai dasar yang dijadikan acuan dalam proses untuk menghentikan kekerasan di Maluku yang dinamakan Spirit Baku Bae. Spirit Baku Bae ini terdiri atas beberapa nilai yaitu pemaafan, keadilan, solidaritas, dan keragaman. Keempat nilai atau spirit Baku Bae baik disadari maupun tidak ternhyata telah menjadi penuntun bagi Gerakan Baku Bae dalam upaya untuk menghentikan kekerasan di Maluku Letaemia Rolly, ed, 2003. Gerakan Baku Bae menempuh strategi yaitu dikembangkan dengan bertitik tolak dari kenyataan yang ada di Maluku yaitu masyarakat Maluku telah terbelah, tercerai berai, luluh lantak secara sosial, politik, ekonomi, budaya maupun agama. Ada beberapa strategi yang dikembangkan yaitu penghentian kekerasan, pemberdayaan ekonomi masyarakat kecil, pembenahan pendidikan, penyediaan sarana kesehatan minimal, penyediaan sarana informasi dan komunikasi rakyat serta penegakan hukum. Menurut Ichan Malik ungkapan kemarahan, rasa dendam, rasa curiga, putus asa, dorongan untuk mengambil jalan pintas merupakan ekspresi umum yang muncul dari masyarakat yang telah mengalami konflik seperti Maluku. Gagasan perdamaian atau penghentian kekerasan yang diusung oleh Gerakan Baku Bae Maluku memang tidak mudah karena itu bacaan terhadap momentum yang tepat serta terus menerus membuka ruang dialog tentang keadilan, pluralisme dan solidaritas korban paling tidak mampu mengurangi dorongan untuk terus melanjutkan konflik. Salah satu fasilitator Gerakan Baku Bae menjelaskan, mantapnya sistem pemerintahan adat dengan sendirinya akan menjamin integritas sosial dan menghindari timbulnya kembali kerusuhan yang luas dan berkepanjangan. Oleh karena itu sudah waktunya para Latupati kini mengkonsolidasikan diri demi kelangsungan dan ketentraman hidup di Maluku. Namun harus dipikirkan juga bagaimana para Latupati dibina secara sistematis agar tidak terpuruk dalam globalisasi yang makin kuat. Mantapnya peranan Latupati sebagai penegak integritas sosial menyebabkan kedamaian dan ketentraman bisa terpelihara. Salah satu kebijakan yang perlu dilakukan yaitu mengusahakan agar para pengungsi dapat kembali ke pemukiman mereka yang asli. Salah satu tokoh Latupati Maluku, Mahfud Nukuhehe menegaskan dalam forum Gerakan Baku Bae bahwa : saat ini yang menjadi agenda mendesak dalam membangun kembali Maluku adalah membuka ruang yang kondusif bagi tertatatanya kembali hubungan antar masyarakat, hubungan antara masyarakat dengan alamnya dan hubungan antara masyarakat dengan struktur lokal-nasionalnya. Hubungan antar manusia perlu ditata kembali atas dasar prinsip-prinsip pluralitas dan kesetaraan. Sikap dapat menerima kehadiran manusia lain dengan apa adanya pada hakikatnya adalah sikap tunduk pada keberasaran Tuhan yang telah menciptakan manusia dengan keragamannya. Situasi dan kondisi keamanan di Provinsi Maluku secara perlahan tetapi pasti mulai berubah ke arah yang semakin menjanjikan semua pihak. Kondisi yang berangsur-angsur membaik ini tetap membutuhkan kewaspadaan dan kehati-hatian semua pihak, sebab bisa saja keadaan ini berubah 180 derajat kalau saja kita semua lengah, teledor dan tak punya gagasan apapun dalam memanfaatkan peluang yang telah terbangun ini. Sehingga, adat menjadi salah satu solusi dalam membangun kembali Maluku sebab pengalaman membuktikan bahwa kekuatan adat dapat berperan dan berkontribusi dalam mendorong kondisi Maluku yang ada dewasa ini. Berperannya adat dalam memberikan solusi berkenaan dengan problematika di Maluku sesungguhnya tidak bisa dilepaskan dari eksistensi adar dimana adat itu sesungguhnya lahir dari haribaan masyarakat itu sendiri. Namun demikian, Mahfud menyadari ketika berbicara tentang adat belum tentu bisa diterima oleh semua pihak dan kemungkinan masih ada pihak-pihak yang khawatir dan berpandangan bahwa dengan menguatnya adat, peran RajaLatupati serta kelembagaan adat lainnya hanya akan membangkitkan kembali romatisme sejarah. Sebenarnya pandangan seperti itu tidak perlu terjadi sebab adat bukanlah sesuatu yang statis dan kaku namun sebaliknya luwes dan dinamis sehingga bisa bertahan hingga saat ini. Oleh karena itu, berkenaan dengan peran adat, Raja dan Latupati serta kelembagaan adat lainnya dalam membangun Maluku, maka nilai-nilai adat akan sangat terbuka untuk berinteraksi dan membangun dialog. Sebab melalui dialoglah kita akan mengantarkan masyarakat menuju masa depan Maluku yang lebih baik. Saat konflik terjadi banyak warga Sarani yang sedang berkunjung ke kerabatnya warga Salam yang merayakan Idul Fitri. Jika awal konflik telah terbentuk dua kelompok berdasarkan agama, maka dipastikan banyak warga Sarani yang mati karena saat yang sama berada di rumah wagma Salam. Kondisi yang sama terjadi di pedesaan Saparua ternyata masih ada warga Sarani yang menyelamatkan begitu banyak warga Salam Bugis, Padang dan Buton. Penjelasan tersebut menjadi dasar bahwa, ikatan adat- istiadat di Saparua harus diitingkatkan lagi sehingga dapat dipertahankan sebagai suatu kekuatan penahan terjadinya konflik. Salah satu cara untuk menekan terjadinya konflik di pedesaan Saparua yaitu berpatokan pada peraturan adat mengingat Saparua merupakan negeri-negeri adat yang memiliki peraturan adat tersendiri. Hal itu pula ditunjang oleh kesepakatan Latupati Saparua untuk tetap mendukung proses rekonsialiasi. Selain itu, jika ada informasi yang mengarah pada perpecahan agama haruslah didiskusikan dan diselesaikan dahulu. Apabila negeri Salam dan Sarani di Saparua dapat menyatukan barisannya, mustahil mereka terpuruk seperti yang dialami sekarang ini. Kedua komunitas dapat bekerjasama dalam beberapa hal berikut ini : 1. Bekerjasama mengontrol mekanisme pasar jika berada dalam ikatan ekonomi, 2. Bekerjasama untuk menolak arahan dan hembusan isu-isu yang bersifat memanasi dengan memunculkan dan memprovokasi perbedaan-perbedaan mendasar antara kedua idiologi baik melalui aktor-aktor yang menyusup maupun aktor-aktor resmi tanpa disadari oleh kedua penganut idiologi, 3. Bekerjasama memperkuat ikatan adat seperti halnya Pela-Gandong sebagai simbol agama suku yang menjadi asal mula keyakinan masyarakat Saparua sebelum masuknya agama Salam dan Sarani. DAFTAR PUSTAKA Blood, Robert. O. Jr., 1972. The Family. The Free Press, New York Burton, J. 1991. Conflict: Resolution and Provention. New York St. Martin’s Press. Beebe, S.A. dan J.T. Masterson., 1950. The Process of Communication : An Introduction to Theory and Practice. Holt, Rinehart and Winston Inc., New York. Cooley, F.L., 1962. Ambonese Adat, A General Description. New Haven, Yale University, Connecticut. Coser, Lewis, A., 1956. The Functions of Social Conflict. New York : Free Press. Creswell, John, 1994. Research Design, Qualitative and Quantitative Approach. London : Sage Publications. Dahrendorf, Ralf., 1959. Class and Class Conflict In Industrial Society. Stanford, Calif. : Stanford University Press. Dasgupta, P. dan Ismail Serageldin ed. 2000. Social Capital : A Multifaceted Perspective. The World Bank, Washington DC. DeVito, J.A., 1992. The Interpersonal Communication Book Sixth Edition. Harper Collins Publishers, New York. Denzin, Norman, K., 1970. The Research Act : A Theoritical Introduction to Sociological Methods. Aldine Publishing Company, Chicago. Eriyanto., 2003. Media dan Konflik Ambon. Kantor Berita Radio 68H, Majalah Pantau dan Media Development Loan Fund, Jakarta. Geertz, Clifford., 1978. Peddlera and Princes : Social Development and Economic Change in Two Indonesians Towns. The University of Chicago, Chicago Granovetter, M. 1985. Economic Action and Social Structure: The Problem of Embeddedness. Dalam: M. Granovetter and R. Swedberg. 1992. The Sociology of Economic Life. Westview Press, San Fransisco. Hjelle, Larry A. Ziegler, Daniel J. 1992. Personality Theory. McGraw-Hill International: NY. Idema, H.A., 1917. De Oorzaken van den Opstand van Saparoea in 1817. Arsiap Nasional, Jakarta. Jahi, Amri ed., 1988. Komunikasi Massa dan Pembangunan Pedesaan di Negara- Negara Dunia Ketiga : Suatu Pengantar. PT Nasional, Surabaya Jansen, H.J., 1929. Inheemsche Groepen-Systemen in de Ambonsche Molukken, Adatrechtbundels XXXVI : Borneo, Zuid-Celebes, Ambon, Enz. 1933, Serie R, No. 77 Kastor, Rustam., 2000. Fakta dan Data, dan Analisa Komparatif Politik RMS dan Kristen Menghancurkan Umat Islam di Ambon-Maluku. Wihdah Press, Jogyakarta. Kusnadi., 2000. Nelayan Strategi Adaptasi dan Jaringan Sosial. Humaniora Utama Press, Bandung Leatemia, Rolly editor. 2003. Mematahkan Kekerasan dengan Semangat Bakubae. Aliansi Masyarakat Sipil dan Gerakan Bakubae Maluku, Jakarta. 225 hlm Leirissa, R.Z., Z.J. Manusama, A.B. Lapian, Paramita Abdurachman., 1982. Maluku Tengah di Masa Lampau Gambaran Sekilas Lewat Arsip Abad Sembilan Belas. Arsip Nasional Republik Indonesia, Jakarta. Marx, Karl., 1967. Capital, 3 volumes, translated by Samuel Moore and Edward Aveling. New York : International Publishers. Miles, Matthew, B dan A.M. Huberman., 1992. Analisis Data Kualitatif : Buku Sember Tentang Metode-Metode Baru. UI Press, Jakarta. Mitchell, J.C., 1969. The Concept and Use of Social Networks. Manchester University Press, England. Moleong, Lexy, J., 1989. Metodologi Penelitian Kualitatif. Remaja Rosdakarya, Bandung. Nanere, Jan., 2000. Kerusuhan Maluku Seri Pertama : Halmahera Berdarah. Yayasan Bimaspela, Ambon Noveria, Mita dan Haning, Romdiati., 2002. Pengungsi di Maluku Utara dan Sulawesi Utara : Penanganan Melalui Pola Pemulangan dan Relokasi. Pusat Penelitian Kependudukan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia LIPI, Jakarta. Noveria, Mita; Haning, Romdiati; Aswatini, Raharto; Ade, Latifa; Bayu, Setiawan; Suko, Bandiyono dan Fitranita., 2002. Pengungsi di Maluku Utara dan Sulawesi Utara : Upaya Penanganan Menuju Kehidupan Mandiri. Pusat Penelitian Kependudukan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia LIPI, Jakarta. Polanyi, Karl., 1968. Societies and Economic System dalam George Dalton ed, Primitive, Archaic and Modern Economies, Essay of Karl Polanyi. Beacon Press, Boston Powell, W.W dan L. Smith-Doerr., 1994. Networks and Economic Life dalam N.J. Smelser and R. Swedberg eds The Handbook of Economic Sociology. Princeton University Press, Princeton Purawana dan Bambang Hendarta Suta., 2003. Konflik Antar Komunitas Etnis di Sambas 1999 Suatu Tinjauan Sosial Budaya. Romeo Grafika, Pontinak Robbin, S. 1984. Management: Concept and Practice. Newjersey: Prentice Hall Inc Rogers, E.M dan R.A. Rogers., 1976. Communication in Organization. The Free Press, New York. Rogers, E.M and D.L. Kincaid. 1981. Communication Networks ; Toward a New Paradigma for Research. The Free Press, New York Rogers, E.M. 1983. Diffusion of Innovations. Third Edition. New York: The Free Press Rogers, E.M. 1986. Communication Technology. The new media in society. The Free Press. A Division of Macmillan, Inc. New York Rubent, Brent, D., 1992. Communication in Human Behaviour. Third Edition. Prentice Hill Inc. Salampessy, Zairin dan Thamrin, Husain Ed., 2001. Ketika Semerbak Cengkeh Tergusur Asap Mesiu. Tapak Ambon, Jakarta Samovar, Larry, A; Pooter Richard E., dan Jain Nemi C.C., 1985. Interculture Communication : A Reader. Fifth Edition. Belmonth Wadsworth Publish Company. Santosa, S. 2004. Dinamika Kelompok. Jakarta: PT Bumi Aksara Sihbudi, Risa dan Moch. Nurhasim., 2001. Kerusuhan Sosial di Indonesia Studi Kasus Kupang, Mataram dan Sambas. PT Grasindo, Jakarta. Simanjuntak, Bungaran, A., 2002. Konflik Status dan Kekuasaan Orang Batak Toba. Jendela, Jogyakarta. Sinansari, Ecip., 1999. Menyulut Ambon : Kronologi Merambatnya Berbagai Kerusuhan di Indonesia. Mizan, Bandung. Sumardjan, Selo dan YIIS., 2001. Identifikasi Penyebab Konflik di Indonesia. Jurnal Sosiologi Indonesia, No. 022001 Surata, Agus dan Tuhana, Taufig., 2001. Atasi Konflik Etnis. Jogyakarta : Penerbit UPN Van Klinken, Gerry., 1999. What Caused The Ambon Violence ? Perhaps not religious hatred, but a corrupt civil service sparked the bloodletting. Inside Indonesia, No. 60, Oktober-Desember, hal 15-16. Yin, Robert. K., 1996. Studi Kasus Desain dan Metode, Alih Bahasa : M.D. Mudzakir. Raja Grafindo Persada, Jakarta. Acuan dari Thesis dan Disertasi : Agusyanto, Ruddy. 1996. Dampak Jaringan-jaringan Sosial dalam Organisasi : Kasus PAM Jaya DKI Jakarta Tesis Tidak Dipublikasikan. Program Pascasarjana Universitas Indonesia, Jakarta. Arbi, 2002, Sumber dan Persaingan Ekonomi Dagang Antara Etnik Cina dan Etnik Melayu : Kasus Sungai Pakning Bengkalis Riau. Bartels, Dieter., 1977. Guarding the Invicible Mountain : Intervillage Alliances, Religious Syncretism, and Ethnic Identity Among Amboneese Christians and Moslems in the Mollucas. Cornell : Disertasi Cornell University. Boer, Ambiar, 1989, Perbedaan Tingkat Sosial Ekonomi Nelayan Tradisional dan Non- Tradisional : Studi Kasus di Kecamatan Bangko Kabupaten Bengkalis Propinsi Riau. Budiono, Machfuddin, 1981, Pola Penguasaan Tanah dan Pengembangan Sapi Perah di Pedesaan : Studi Kasus Di Dukuh Pandesari, Pujon, Malang, Jawa Timur Dundawa, 1981, Perbedaan Status Petani Karet dan Penyadap : Studi Kasus di Kecamatan Sagaranten, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat Fraassen, Ch. F van., 1972. Ambon Rapport. Thesis MA, Leiden Girsang, Wardis, 1996, Pola Penguasaan Tanah dan Strategi Hidup Rumah Tangga di Desa Transmigrasi Studi Kasus Desa Transmigrasi Marga Sakti, Kecamatan Padang Jaya, Kabupatan Bengkulu Utara, Propinsi Bengkulu Hidayat, Hamid, 1981, Masalah Struktur Agraria dan Kedudukan Sosial Ekonomi Masyarakat di Desa Pujon Kidul Wilayah Daerah Aliran Sungai Konto, Kabupaten Malang Hidayat, Kliwon, 1985. Struktur Penguasaan Tanah dan Hubungan Kerja Agraria di Desa Jatisari, Lumajang, Jawa Timur Iberamsjah, 1988, Peranan Elite Informal Desa dalam Proses Pembuatan Keputusan Pembangunan Desa : Studi Kasus di Kecamatan Beji, Kabupaten Bogor, Propinsi Jawa Barat Manusama., 1977. Hikayat Tanah Hitu Disertasi. Belanda : Leiden Universiteit Mislini, 2006. Analisis Jaringan Komunikasi Pada Kelompok Swadaya Masyarakat. Kasus KSM di Desa Taman Sari, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat. Bogor: Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Muksin, 2002. Jaringan Komunikasi dan Kohesivitas. Kajian Iklim Kelompok dan Aplikasi Pengendalian Organisme Pengganggu Tanaman Ramah Lingkungan di Desa Purwasari Bogor, Jawa Barat. Bogor: Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor Murdianto, Eko, 2002, Remitan Migrasi Sirkuler dan Gejala Perubahan Struktur Sosial di Pedesaan Jawa Kasus di Desa Trukan, Desa Nglegi, Kecamatan Patuk Kabupaten Gunung Kidul, Yogyakarta Ngabalin, Ali, Muchtar., 2001. Pemuka Pendapat dan Konflik Masyarakat Studi tentang Peran Pemuka Pendapat dalam Konflik di Maluku. PPS Bidang Ilmu Sosial Universitas Indonesia, Jakarta. Pranadji, Tri, 1995, Gejala Modernisasi dan Kelembagaan Bagi Hasil : Kajian Perubahan Sosial Atas Kasus Pada Kelompok-Kelompok Kerja Nelayan Tangkap di Kabupaten Lamongan, Jawa Timur Purnomo, A. 2002. Hubungan Tipe Diri Dengan Jaringan Komunikasi. Kasus Taruna Pesantren Wirausaha Agribisnis Abdurrahman bin Auf di Desa Bulan, Kecamatan Wonosari, Kabupaten Klaten, Provinsi Jawa Tengah. Bogor: Jurusan Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian. Institut Pertanian Bogor Saad, Mohammad, 1984, Masalah Integrasi Sosial di Daerah Transmigrasi Kempas Jaya di Propinsi Riau Saefuddin. 1992. Stability and Change : A Case Study of The Social Networks and Household Flexibility Among The Poor of Jakarta, Indonesia Disertasi. Pittsburgh : University of Pittsburgh Sahab, Kurnadi, 2002, Perubahan Nilai-Nilai Sosial Budaya, Kajian Kasus Perubahan Fungsi Lahan Pertanian ke Non Pertanian Pada Masyarakat Bengkulu Sarman, Mukhtar, 1994, Perubahan Status Sosial dan Moral Ekonomi Petani : Kajian pada Komunitas Petani Plasma PIR Karet Danau Salak, Kalimantan Selatan Satria, Arif, 2000, Modernisasi Nelayan dan Mobilitas Sosial Nelayan Studi Kasus Kelurahan Krapayak Lor Kodya Pekalongan Jawa Tengah Setyanto, A. 1993. Hubungan Karakteristik Petani dan Keterkaitannya dalam Jaringan Komunikasi dengan Adopsi Paket Teknologi Supra Insus di Desa Pandeyan, Kecamatan Grogol, Kabupaten Sukaharjo, Jawa Tengah. [Tesis]. Bogor: Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Siagian, Baginda, 2002, Perubahan Struktur Masyarakat dan Sistem Lapisan Masyarakat Pedesaan di Sekitar Danau Toba. Singarasa, Henry, 1988, Pemukiman Kembali Penduduk di Desa Kereng Bangkirai, Propinsi Kalimantan Tengah Sjamsuddin, 1984, Pola Penguasaan Tanah dan Hubungan dalam Pertanian di Sawah : Kasus di Dua Daerah Pedesaan Sulawesi Selatan Soemartono, Tjipto, 1981, Konflik dan Loyalitas antar-Elite dari Suatu Komunitas Kecil, Studi tentang Perubahan Sosial di Wulan, Jawa Tengah Suharjito, Didik, 1992, Dinamika Komunitas Pedesaan Sekitar Hutan dalam Usahatani Tumpangsari Program Perhutanan Sosial : Studi Kasus di KPH Saradan dan KPH Malang Sumitro, Bambang, 1986, Pola-Pola Pencarian Nafkah di Pedesaan : Studi Kasus Perubahan Pola Pencarian Nafkah Pada Suatu Desa di Jawa Barat Susetyo, Heru., 2003. Implementasi dan Dampak Kebijakan Relokasi terhadap Pengungsi Internal Korban Kerusuhan Sambas 1999 Studi Kasus Pengungsi madura di Satuan Pemukiman SP I Parit Madani Dusun Martapura Desa Tebang Kacang Kecamatan Sungai Raya Kabupaten Pontianak Kalimantan Barat Thesis. Jakarta : Program Pascasarjana Universitas Indonesia Susilowati, Tuti, 1986, Hubungan Ekonomi dan Kekuasaan Antara Rumahtangga Nelayan Berbeda Status dalam Pengembangan Usaha Perikanan : Studi Kasus di Desa Mertasinga, Cirebon Sutisna, Entis, 2002, Perubahan Kelembagaan Penguasaan Lahan dan Hubungan Kerja Agraria Berkaitan Masuknya Perusahaan Industri pada Masyarakat Petani di Pedesaan Sutrisna, Dedi, 1996, Struktur Sosial Rekayasa di Lingkungan Perumahan Pola Hunian Berimbang Kasus di Perumnas Rancaekek Kencana di Kabupaten Bandung Syahyuti, 2002, Pembentukan Struktur Agraria pada Masyarakat Pinggiran Hutan : Studi Kasus di Desa Sintuwu dan Desa Berdikari Kecamatan Palolo Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah Warsito, Rukmadi, 1981, Aspek Penguasaan Tanah dan Hubungan Kerja Agraria : Studi Kasus Tentang Perubahan Sosial di Grumbul Kalicacing, Desa Kalimandi, Banjarnegara, Jawa Tengah Yosep, Sombuk, Musa, 1996, Pengaruh Program Transmigrasi dan Perkebunan Inti Rakyat Terhadap Struktur Keluarga dan Tingkat Kesejahteraan Masyarakat Tradisional Irian Jaya Kasus Suku Arfak di di Kabupaten Manokwari Zulkarnaen, Harun, 1998, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Terjadinya Konflik tanah di Minangkabau Studi Kasus di Nagaragi Simawang, Kecamatan Rambatan, Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat Acuan dari Situs Web : Allen, John., 1998. Community Resolution : The Development of Social Capital Within An Interaction Field. Lincoln, NE 68583-0922. E-mail : jallen1uni.edu Bartels, Dieter., 2000. Your God is No Longer Mine : Moslem-Christian Fracticide in The Central Moluccas Indonesia After a Half Millennium Old Tolerant Co- existence and Ethnic Unity. http:www.google.comindex.html disalurkan melalui kontak_salawakuyahoo,com. 9 September. Graham, Jeniffer., 2004. Rethinking Governance, Social Capital and Livelihood Choices : Stories from Philippines. http:dlc.dlib.indiana.eduarchive 0000140300Graham_Rethinking_040511_paper. Keong, Tan, Tay., 2000. Social Capital and The Traveling of Civil Society in Singapore. mpptantknus.edu.sg Acuan dari Laporan Organisasi Keagamaan : Laporan Gereja Protestan Maluku GPM Klasis Pulau-pulau Lease, Saparua tahun 1999 – 2003. Laporan Crisis Centre Gereja Protestan Maluku Ambon, tahun 1999 – 2004. Laporan Lintas Kerusuhan Maluku oleh Crisis Centre Keuskupan Amboina Ambon, idex tahun 1999 – 2003. Laporan Crisis Centre MUI Maluku, tahun 1999 – 2004. LAMPIRAN TEMUAN METODOLOGI Penelitian ini memiliki beberapa kelemahan karena konflik sebagai tema penelitian masih meninggalkan trauma yang mendalam bagi individu, kelompok maupun komunitas yang menerima dampak langsung akibat konflik. Perbedaan agama sebagai salah satu basis konflik, masih membekas dan menimbulkan persepsi yang lain terhadap orang yang berbeda agama. Kaitannya dalam pelaksanaan penelitian khususnya saat pengumpulan data dilakukan, penulis awalnya kesulitan memperoleh data-data yang faktual terlebih untuk data keterlibatan individu, kelompok bahkan komunitas dalam konflik. Data-data keterlibatan kelompok tertentu pada masing-masing komunitas terasa sulit ditemui saat peneliti melakukan pengumpulan data di negeri Sirisori Salam. Penulis memahami bahwa dengan latar belakang agama Sarani maka penulis berpeluang tidak dipercaya sebagai kerabat oleh informan negeri Sirisori Salam yang dapat berdampak pada terhambatnya proses pengumpulan data. Oleh karena itu, sebelum penelitian dilakukan penulis terlebih dulu mendiskusikannya dengan Ketua MUI Maluku kebetulan merupakan salah satu murid dari kakek penulis yang juga berasal dari Negeri Iha dan saat menempuh pendidikan Sekolah Dasar di Saparua berdiam di Sirisori Salam sebagai negeri asal ibunya. Hasil diskusi mejadi acuan penulis terutama sangat membantu menemukan informan yang tepat di Sirisori Salam. Kedekatan kekerabatan antara penulis beberapa tokoh Salam seperti Ketua MUI Maluku dan juga mantan Ketua DPR Kabupaten Maluku Tengah berasal dari Iha Seram Barat, menjadi jalan bagi penulis untuk memperoleh data-data yang akurat dari informan yang tepat. Saat memulai pengumpulan data di Sirisori Salam, penulis berhadapan dengan situasi dimana informan tidak sepenuh mempercayai penulis sehingga beberapa infromasi penting tidak diungkapkan. Menghadapi situasi demikian demikian, maka penulis kemudian mengallihkan pembicaraan ke topik sejarah Sirisori Salam sekaligus keterkaitan dengan Kerajaan Iha yang pernah ada di Saparua. Strategi ini menjadi pintu masuk bagi penulis, mengingat penulis sama halnya dengan informan Kepala Soa yang juga berasal dari keturunan Kerajaan Iha. Selain itu, kakek penulis sebagai seorang guru yang bertugas di Saparua juga merupakan guru dari Kepala Soa tersebut. Hal-hal demikian kemudian menjadi aspek-aspek penting yang menimbulkan keterbukaan dari informan dalam memberikan data sesuai dengan fakta saat konflik. Selain itu, pada pertemuan kedua dan selanjutnya penulis juga menyertakan Kepala Soa sekaligus Tokoh Pemuda Sirisori Sarani sebagai saudara “gandong” dan “teman baik” dari Kepala Soa Sirisori Salam. Sementara pengumpulan data di Negeri Kulor semua warganya beragama Salam, penulis juga mengalami kendala karena perbedaan agama antara penulis dengan informan. Penulis kembali mempertanyakan aspek-aspek historis Negeri Kulor yang ternyata punya kaitan erat dengan Kerajaan Iha. Selain itu, proses pengumpulan data menjadi lebih lancar ketika penulis berhasil mengidentifikasi salah satu Kepala Soa yang ibunya berasal dari Kabupaten Maluku Tenggara Barat dan beragama Sarani. Kepala Soa inilah yang sangat membantu dan memberikan informasi dengan sangat terbuka. Selain semakin sering penulis berdiskusi dengan informan, maka kedekatan yang terjalin menumbuhkan kepercayaan bagi informan sehingga informasi-informasi tentang konflik terlebih proses penyerangan ke Dusun Pia terungkap dengan transparan. Pengumpulan data di Negeri Iha penulis lakukan bersama-sama dengan salah satu warga Negeri Ihamahu AK yang kawin dengan perempuan Salam dan sampai menetap di negeri Tulehu Pulau Ambon. Sebagaimana diketahui negeri Iha dan Ihamahu memiliki ikatan “gandong”. Sementara negeri Tulehu merupakan pilihan warga Iha ketika harus mengungsi dari Pulau Saparua. Selain warga Negeri Iha sangat mengenal keluarga penulis sebagai satu keturunan dari Kerajaan Iha. Strategi tersebut memudahkan penulis saat proses pengumpulan data dari informasi Negeri Iha di pengungsian negeri Tulehu dan Liang di Pulau Ambon. Bahkan Tuan Tanah Iha AT, menjelaskan dengan gamblang apa yang sebenarnya terjadi saat sebelum Negeri Iha diserang dan dihancurkan. Berdasar penjelasan-penjelasan tersebut di atas maka pengumpulan data dalam penelitian dengan pendekatan kualitatif terlebih dengan topik yang rentan seperti konflik bernuansa agama dan mengharuskan kekuatan peneliti dalam pengumpulan informasi, dapat dilakukan dengan baik melalui beberapa strategi berikut ini : 1. Pengetahuan peneliti tentang budaya setempat harus kuat, bukan sekedar tinggal bersama-sama dan mendiskusikan masalah secara bersama pula. 2. Peneliti sebaiknya berasal dari ikatan kekerabatan yang sama jika menghadapi informan dengan perbedaan agama terlebih untuk fokus penelitian konflik bernuansa agama. 3. Peneliti harus mengetahui tokoh-tokoh kunci yang biasanya bertempat tinggal di luar lokasi penelitian, sebab mereka menjadi jalan masuk bagi penelitian karena rekomendasi mereka menjadi kepercayaan bagi informan di lokasi penelitian. 4. Menggunakan tenaga peneliti dengan latar belakang agama yang sama dengan agama yang dianut informan, sehingga menimbulkan kepercayaan bagi informan bahwa antara informan dengan peneliti merupakan komunitas yang sama. 5. Mengintensifkan diskusi-diskusi informal dengan informan baik secara individual, maupun secara kelompok dengan beberapa kerabat informan sehingga peneliti tidak lagi dianggap sebagai orang luar tetapi menjadi bagian dari komunitas yang sama. Jika hal-hal tersebut mampu dilakukan oleh peneliti, maka pengumpulan data dari informan-informan yang berbeda agama dapat dilakukan dengan lancar. Akhirnya data-data penting sehubungan dengan tema penelitian dapat diperoleh sekaligus memperlancar proses penelitian. LAMPIRAN INSTRUMEN PENELITIAN Untuk kepentingan penelitian ini, maka Pedoman Wawancara ini dibagi dalam 4 empat bagian : Bagian Pertama. Bagian ini yang dipertanyakan adalah persepsi informan tentang Elit seperti : Siapa saja yang dapat disebut elit ?; Bagaimana perannya baik terhadap kelompoknya atau terhadap masyarakat kebanyakan, khususnya dalam konflik sejak munculnya sampai upaya penyelesaian ?; Faktor-faktor apa yang berpengaruh dalam hal pelaksanaan peran elit tersebut ?; Bagaimana kredibilitas Elit sebelum konflik, saat konflik dan kemungkinan ke depan nanti ?; Apakah ke-Elit-an mereka berkenan dengan satu aspek atau beberapa aspek, misalnya ekonomi, politik, agama dan budaya ?. Orang yang diwawancarai informan diharapkan akan memberi informasi terhadap semua hal ini. Selain itu, wawancara ini diusahakan diberi warna secara keseluruhan berkenan dengan tujuan yang ingin dicapai. Tujuannya adalah mendapatkan informasi yang lengkap tentang Elit dan perannya, baik dalam kelompoknya maupun terhadap masyarakat umumnya. Pertanyaan bersifat terbuka open ended, sehingga diharapkan akan mendapat informasi yang lengkap. Bagian Kedua. Bagian ini yang dipertanyakan adalah berbagai hal menyangkut konflik di Saparua pada khususnya maupun di Ambon Maluku pada umumnya, seperti : Bagaimana gambaran umum konflik ?; Apakah akibat konflik bagi masyarakat saat ini dan masa nanti ?. Diikuti pula dengan berbagai pertanyaan lain yang mungkin akan dikembangkan sejalan dengan penemuan di lapangan, Informan diharapkan akan mampu memberikan jawaban atas apa yang ia rasakan dan ia alami. Bagian Ketiga. Bagian ini mempertanyakan hubungan yang dibangun oleh elit seperti : Bagaimanan pola hubungan antara elit dengan massanya dan sebaliknya ?; Bagaimana pola hubungan antara Elit dengan Elit kelompok lain dan sebaliknya ?; Faktor-faktor apakah yang menjadi penghambat atau pun pendukung di antara mereka ?; Bagaimana sikap dan perilaku Elit saat melakukan hubungan tersebut ?; Diharapkan bagian ini juga akan mempertanyakan sikap dan perilaku sosial masyarakat secara umum melintasi tingkat-tingkat pembangunan sosial ekonomi dan perbedaan-perbedaan karena pengaruh berbagai sistem kultural dan politik. Bagian Keempat. Bagian ini berkaitan dengan jangkauan solidaritas yang terjadi baik sebelum konflik, saat konflik dan kemungkinan ke depannya seperti : Adakah masalah loyalitas dalam konteks homogen dan heterogen ?; Adakah tingkat kesenjangan hubungan sosial yang dirasakan melintasi garis-garis kelas, agama, dan etnis ?; Bagaimana pola perilaku pribadi yang terbentuk ?. Tujuannya adalah untuk mendeteksi pola-pola yang mencirikan proses-proses asosiatif dan disosiatif, yang berhubungan dengan berbagai tingkat konflik dan perubahan masyarakat pedesaan. Beberapa hal yang perlu diperhatikan : a Untuk mengetahui tentang elit dan konflik terutama pola hubungannya, maka pendekatan yang perlu dilakukan dalam penelitian ini merupakan pendekatan integral. Artinya, sebelum mengajukan pertanyaan-pertanyaan penelitian, perlu juga memahami persepsi responden dan masyarakat tentang permasalahan keseluruhan dari penelitian yang hendak dilakukan, demi mendapat respons yang lebih positif dari responden. b Tidak semua responden memiliki pengetahuan yang cukup sehingga mereka sulit dalam menyatakan diferensiasi yang memadai atas persepsi-persepsi mengenai elit berkenan dengan konflik yang terjadi. c Istilah elit perlu didefinisikan secara jelas sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai, yang dengannya mudah untuk diarahkan demi mencapai apa yang diinginkan. Kita diharapkan tidak berupaya untuk menyodorkan konsep kita pada informan dalam kesadaran kita tentang adanya perbedaan perspektif kita dan informan baik tentang elilt, jejaring sosial maupun konflik, sebab hal ini akan menyulitkan kita untuk mengukurnya. Dengan lain kata, berilah informan kesempatan untuk mengemukakan pendapatnya terlebih dulu tentang hal-hal yang menjadi tujuan penelitian, kemudian dibuat pertanyaan sektoral sekitar tanggapan-tanggapan mereka. PEDOMAN WAWANCARA ELIT DAN NON ELIT IDENTITAS PRIBADI : 1. Nama : 2. Tempat Tgl Lahir : 3. Pendidikan : 4. Nama istri : 5. Jumlah Anak : 6. Pekerjaan : 7. Alamat : 8. Kedudukan dlm negeri : SEKITAR KONFLIK : 9. Bagaimana kehidupan dengan pihak lain sebelum konflik : 10. Kronologis konflik : 11. Mengapa konflik terjadi : 12. Peran dalam konflik : 13. Adakah bantuan yang masuk dari negeri lain : 14. Apa saja bentuk bantuan tersebut : 15. Apa maksud pemberian bantuan tersebut : 16. Adakah keterlibatan pihak militer dari masing-masing pihak yang berkonflik : 17. Adakah keterlibatan pihak lain pada masing-masing pihak yang berkonflik : 18. Adakah keterlibatan tokoh-tokoh negeri yang berada di luar di Ambon atau Jakarta : 19. Bagaimana bentuk keterlibatan mereka : 20. Adakah keterlibatan pemerintah kecamatankabupatenpropinsi : 21. Setelah konflik pecah dan meminta korban dari kelompok anda, adakah upaya untuk membalaskan akibat tersebut : 22. Bagaimana cara pembalasan dilakukan : 23. Adakah keterlibatan orang di luar negeri baik di Saparua-Haruku-Nusalaut-Seram, Ambon dan Jakarta dalam pembalasan tersebut : 24. Bagaimana bentuk keterlibatan mereka : SEKITAR AKIBAT KONFLIK : 24. Adakah upaya yang dilakukan untuk meredam konflik yang terjadi : 25. Siapa saja yang terlibat dalam upaya tersebut : 26. Bagaimana tanggapan anda terhadap upaya tersebut : 27. Apa saja akibat konflik yang dapat dirasakan sampai saat ini : 28. Bagaimana cara menangani akibat konflik tersebut : 29. Adakah keterlibatan pihak lain dalam menangani dampak tersebut : 30. Bagaimana bentuk keterlibatan pihak-pihak tersebut : 31. Secara umum hikmah apa yang dapat dipetik dari konflik yang terjadi : INSTANSI PEMERINTAH APARAT MENANGANI KONFLIK 1. Dasar hukum penanganan konflik Maluku baik di tingkat Pusat maupun daerah. 2. Mengenai peristilahan, mengapa konflik Maluku 1999 disebut sebagai “konflik agama”, bukan “konflik etnis”, “konflik internal” dan sebagainya. 3. Bagaimana kronologis terjadinya konflik di Saparua ? Negeri-negeri Desa-desa mana saja yang dominan terlibat dalam konflik ? Bagaimana bentuk keterlibatan negeri-negeri tersebut ? Adakah individu yang dominan dalam menggerakkan keterlibatan negeri-negeri tersebut ? Bagaimana kedudukan individu dalam negeri- nya maupun di Saparua secara umum ? Adakah hubungan yang dibangun oleh individu tersebut dengan negeri-negeri lain di sekitar Saparua Haruku, Nusalaut, Seram ? Adakah hubungan yang dibangun oleh individu tersebut dengan kelompok atau komunitas di Ambon dan Jakarta ? 4. Proses penanganan konflik Saparua dan Maluku secara umum : a. tahap-tahap penanganan konflik secara umum b. apa saja yang dilakukan dalam proses penanganan konflik di Saparua c. adakah perbedaan antara penanganan konflik di Saparua dengan di tempat lain di Maluku 5. Proses Implementasi Kebijakan Penanganan Konflik di Saparua : a. Apa saja yang dilakukan dalam proses implementasi kebijakan konflik b. Apa saja pilihan-pilihan dalam kebijakan yang dilaksanakan c. Siapa lembaga atau instansi yang berperan dalam pelaksanaan kebijakan d. Bagaimana kesesuaian antara rencana dengan implementasi penanganan konflik e. Bagaimana teknis penanganan implementasi sejak perencanaan hingga realisasi. 6. Adakah individu yang berperan dalam penanganan konflik selain lembaga atau instansi ? a. Mengapa individu tersebut terlibat secara pribadi ? b. Apa saja yang dilakukannya dalam penanganankonflik ? b. Bagaimana tingkat keberhasilannya dibandingkan dengan penanganan yang dilakukan instansi atau lembaga ? 7. Masalah koordinasi dalam penanganan konflik : a. Bagaimana koordinasi antara negeri dengan Saparua ? b. Bagaimana koordinasi antara Saparua dengan Kabupaten ? c. Bagaimana koordinasi antara Kabupaten dengan Propinsi ? d. Bagaimana koordinasi antara Propinsi dan Pusat ? e. Adakah peran instansi lain dalam pelaksanaan fungsi koordinasi tersebut ? f. Adakah peran LSM dalam proses penanganan konflik baik di tingkat Saparua, Kabupaten, Propinsi maupun Pusat ? LAMPIRAN PETA LOKASI PENELITIAN

VII. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI

Kesimpulan penelitian meliputi sumber konflik serta keterkaitan jejaring sosial dan konflik di pedesaan Saparua, diikuti dengan kesimpulan teoritik. Kesimpulan kemudian dilanjutkan dengan implikasi hasil penelitian secara teori dan praktis. 7.1. Kesimpulan

7.1.1. Sumber Konflik di Saparua

Konflik hak atas tanah antara negeri maupun batas-batas tanah antara sesama anak negeri berpeluang diarahkan menjadi konflik yang meluas dan berkepanjangan. Berbagai contoh telah diuraikan, bagaimana negeri Ulath dan Ouw mengalami konflik berkepanjangan sejak dahulu hingga saat ini akibat silang sengketa menyangkut batas tanah yang sebenarnya antara kedua negeri. Demikian pula bagaimana negeri Porto dan Haria yang juga sama-sama beragama Sarani, namun harus selalu dibayangi oleh kemungkinan konflik akibat perselisihan batas tanah. Bahkan saat konflik bernuansa agama telah berjalan dan berkepanjangan di Pulau Saparua, ternyata konflik tanah antara Porto dan Haria pun turut meramaikan suasana konflik di Saparua. Justru konflik tanah ini, lebih khas karena tidak terjadi antara negeri yang berbeda Agama, tetapi lebih sering terjadi antara negeri yang agamanya sama. Oleh karena itu, peran Lembaga Latupati sebagai Lembaga Adat di Saparua haruslah mendapat legitimasi lebih kuat apalagi dengan diterapkan Perda Nomor 128 Tahun 2006 tentang Pemerintah Negeri. Dengan demikian Lembaga Latupati diharapkan memberikan kontribusi-nya bagi upaya penyelesaian sengketa agrarian tanah antar negeri maupun memfasilitasi sengketa antara masing-masing anak negeri. Merujuk berbagai sumber sejarah, dapat disimpulkan bahwa masyarakat di pedesaan Saparua memiliki sikap militansi yang tinggi, tetapi tetap agamis, penuh toleransi dan selalu mengedepankan hubungan kemanusiaan. Beberapa institusi adat seperti pela dan gandong misalnya, merupakan bukti betapa masyarakat Maluku sebelumnya memiliki sejumlah kearifan pengetahuan lokal untuk memelihara tertib sosial dalam kehidupan bermasyarakat yang majemuk. Institusi yang dibentuk berdasarkan hubungan-hubungan kekerabatan baik geneologis maupun teritorial tersebut, mengandung makna aliansi yang memadukan perbedaan-perbedaan dalam suatu wadah persatuan. Maksudnya, persatuan yang terwujud secara tradisional, tidak menghilangkan identitas diri masing-masing kelompok sub-suku yang umumnya berbeda agama; sebaliknya, simbol-simbol perbedaan yang ada selalu digunakan mewarnai dan mendukung pola interaksi antar kelompok. Sikap militansi dan reaktif masyarakat asli di pedesaan Saparua, dibentuk oleh lingkungannya yang keras dengan teritorial yang terbatas, disamping adanya tradisi perang yang dimiliki. Sebagai sifat dasar, maka perkembangan baik agama Sarani maupun Salam tidak menghilangkan sikap yang militan, keras dan reaktif tersebut. Pada masa lalu, berbagai lembaga adat termasuk pela dan gandong, dapat berfungsi sesuai keinginan dan harapan warga masyarakat. Arti penting dari peranan lembaga tersebut khususnya lembaga pela dan gandong, disebabkan oleh 3 tiga hal: 1. Adanya potensi konflik antar kelompok yang menguasai dan bermukim pada wilayah-wilayah tertentu yang berbeda-beda. 2. Realita pola segregasi pemukiman konsentrasi penduduk yang mempunyai adat istiadat dan kebudayaan yang sama, dan pemilahan sosial social cleavages yang jelas. 3. Pelestarian hubungan kekerabatan yang bersifat geneologis gandong. Tidak berfungsinya lembaga pela dan gandong merupakan salah satu faktor yang ikut memperbesar peluang terjadinya konflik sosial secara terbuka. Jika dicermati dengan baik, pembentukan lembaga pela disamping mempunyai sejarahnya tersendiri, fungsional pula terhadap pola pengelompokan masyarakat secara teritorial segregasi sub-etnik. Artinya, realitas social grouping di Maluku terutama di Maluku Tengah termasuk Saparua menunjukkan bahwa masyarakat umumnya tersegregasi menurut etnis dan agama dalam negeri masing-masing, yang kemudian disebut negeri Salam dan negeri Sarani produk penjajahan Belanda. Meskipun kelompok masyarakat menganggap bahwa mereka berasal dari keturunan yang sama, tetapi karena perbedaan agama yang dianut, maka salah satu kelompok memisahkan diri dan membangun pemukimannya sendiri. Contohnya Sirisori Salam dan Sirisori Sarani. Selain itu, ada pula pendatang yang menetap pada suatu negeri dan membangun pemukimannya berdasarkan segregasi agama dan membentuk dusun dalam wilayah administrasi negeri tertentu. Pola pemukiman sedemikian menunjukkan bahwa, walaupun terdapat kultur yang sama, tetapi orang Ambon terpecah kedalam dua kelompok yang berbeda, yaitu kelompok Salam dan kelompok Sarani. Disinilah letak pentingnya peran lembaga pela dan gandong sebagai savety valve untuk menjembatani perbedaan yang ada sekaligus meminimalkan kemungkinan