KESIMPULAN DAN IMPLIKASI Jejaring Sosial Dan Konflik Masyarakat Pedesaan (Kasus Di Pulau Saparua Propinsi Maluku)

berbeda agama; sebaliknya, simbol-simbol perbedaan yang ada selalu digunakan mewarnai dan mendukung pola interaksi antar kelompok. Sikap militansi dan reaktif masyarakat asli di pedesaan Saparua, dibentuk oleh lingkungannya yang keras dengan teritorial yang terbatas, disamping adanya tradisi perang yang dimiliki. Sebagai sifat dasar, maka perkembangan baik agama Sarani maupun Salam tidak menghilangkan sikap yang militan, keras dan reaktif tersebut. Pada masa lalu, berbagai lembaga adat termasuk pela dan gandong, dapat berfungsi sesuai keinginan dan harapan warga masyarakat. Arti penting dari peranan lembaga tersebut khususnya lembaga pela dan gandong, disebabkan oleh 3 tiga hal: 1. Adanya potensi konflik antar kelompok yang menguasai dan bermukim pada wilayah-wilayah tertentu yang berbeda-beda. 2. Realita pola segregasi pemukiman konsentrasi penduduk yang mempunyai adat istiadat dan kebudayaan yang sama, dan pemilahan sosial social cleavages yang jelas. 3. Pelestarian hubungan kekerabatan yang bersifat geneologis gandong. Tidak berfungsinya lembaga pela dan gandong merupakan salah satu faktor yang ikut memperbesar peluang terjadinya konflik sosial secara terbuka. Jika dicermati dengan baik, pembentukan lembaga pela disamping mempunyai sejarahnya tersendiri, fungsional pula terhadap pola pengelompokan masyarakat secara teritorial segregasi sub-etnik. Artinya, realitas social grouping di Maluku terutama di Maluku Tengah termasuk Saparua menunjukkan bahwa masyarakat umumnya tersegregasi menurut etnis dan agama dalam negeri masing-masing, yang kemudian disebut negeri Salam dan negeri Sarani produk penjajahan Belanda. Meskipun kelompok masyarakat menganggap bahwa mereka berasal dari keturunan yang sama, tetapi karena perbedaan agama yang dianut, maka salah satu kelompok memisahkan diri dan membangun pemukimannya sendiri. Contohnya Sirisori Salam dan Sirisori Sarani. Selain itu, ada pula pendatang yang menetap pada suatu negeri dan membangun pemukimannya berdasarkan segregasi agama dan membentuk dusun dalam wilayah administrasi negeri tertentu. Pola pemukiman sedemikian menunjukkan bahwa, walaupun terdapat kultur yang sama, tetapi orang Ambon terpecah kedalam dua kelompok yang berbeda, yaitu kelompok Salam dan kelompok Sarani. Disinilah letak pentingnya peran lembaga pela dan gandong sebagai savety valve untuk menjembatani perbedaan yang ada sekaligus meminimalkan kemungkinan konflik antar kelompok sosial. Manajemen konflik yang merupakan ekspresi kearifan pengetahuan lokal ini dengan sendirinya impoten, karena: 1 panas pela sebagai lembaga mitra atau pendukung tidak berfungsi; 2 masuknya ideologi nation state; dan 3 kemerosotan kekuatan adat akibat dominasi pengaruh institusi agama sebagai institusi tandingan dalam sistem kepercayaan masyarakat. Konflik yang berawal di Ambon dapat menyebar ke Saparua, melalui jejaring sosial penyebaran informasi dibawa oleh pengungsi yang kembali ke Saparua karena kondisi ketidakamanan maupun ketidaknyamanan di lokasi pengungsian. Penyebaran informasi yang berisi penderitaan akibat konflik di Ambon, dikomunikasikan kepada kerabat dan tetangga saat mengungsi ke Saparua. Informasi tersebut kemudian menyebar melintas batas negeri namun antar komunitas seagama. Kenyataan demikian terjadi karena konflik Ambon telah bergeser menjadi konflik antar komunitas berbeda agama antara Salam dan Sarani yang ditunjang oleh faktor ekonomi, politik dan budaya. Penyebaran informasi antar komunitas seagama di Saparua membentuk jejaring sosial dengan persepsi yang sama, bahwa komunitass agama lain merupakan peneyebab penderitaan anggota komunitasnya masing-masing. Persepsi tersebut kemudian membentuk keinginan untuk bertindak membalaskan dendam kepada komunitas agama lain yang dianggap sebagai penyebab penderitaan. Tindakan yang diambil oleh kelompok yang saling berlawanan di Saparua, merupakan wujud dari tindakan sosial sebagai orientasi rasa kecewa dan dendam yang berkepanjangan. Dalam kondisi demikian, tindakan-tindakan sosial tersebut tidak lagi memperhitungkan rasionalitas kebersamaan sebelum konflik, tetapi rasionalitas yang ada hanyalah rasional berdasarkan kebenaran agama semata. Dengan demikian yang beragama lain, terpaksa harus menjadi korban akibat rasionalitas yang hanya mendasari pada kebenaran sendiri atas agamanya dan harus diterima oleh kelompok lain yang berbeda agama. Seperti diketahui, agama mempunyai salah satu ciri yaitu eksklusivisme. Penyebarluasan isu agama mendorong lahirnya sikap fanatik dan solider di kalangan sesama pemeluk agama. Ciri demikian memudahkan orang untuk mencari dan menyatukan diri ke dalam kelompoknya masing-masing. Penyatuan diri tersebut semakin menguat bilamana isu tersebut dipahami sebagai panggilan suci. Upaya menciptakan kesiagaan dan momentum konflik, ditunjang oleh berbagai isu operasional yang secara tidak langsung muncul dalam dakwah elit agama berupa : 1. Pelecehan terhadap keyakinan atau akidah salah satu agama. 2. Pelecehan terhadap simbol-simbol agama, 3. Intimidasi terhadap komunitas yang menganut salah satu agama tertentu. 4. Penyesatan informasi dis-informasi tentang suatu kejadian tertentu yang sebenarnya mungkin tidak terjadi, termasuk isu persiapan penyerangan suatu kelompok terhadap kelompok lainnya pada waktu tertentu. Tentang kesan keterlibatan oknum aparat keamanan. Sesuai realitas lapangan, masalah ini paling tidak memiliki 2 dua versi : 1. Ada oknum aparat dari kesatuan TNI dan POLRI tertentu yang secara sadar dan sengaja terlibat atau melibatkan diri dalam membantu salah satu kelompok. Meskipun motif yang melatarbelakangi perilaku menyimpang demikian sulit diidentifikasi, tetapi yang pasti ialah cara tersebut sangat bertentangan dengan netralitas sikap dan posisi berdasarkan Sumpah Prajurit dan Sapta Marga. 2. Ada oknum aparat yang dengan setia dan jujur melaksanakan tugasnya secara tegas dan konsisten untuk menghalau massa dari kelompok tertentu, tetapi dinilai sebagai sikap keberpihakan.

7.1.2. Keterkaitan Jejaring Sosial dan Konflik

Masalah perbedaan agama dan etnis cukup memberi peluang akan timbulnya konflik, namun kerentanan dari dalam masyarakat itu sendiri tidak mungkin sampai pada situasi yang menghancurkan diri sendiri tanpa mengalami tekanan yang cukup kuat dari luar. Selain itu, tekanan penyebaran konflik ke wilayah yang lebih luas sangat terasa melalui isu-isu yang menyesatkan juga didukung oleh informasi-informasi mutakhir dari kaum kerabat melalui jaringan komunikasi telepon dan HP, maupun secara langsung ketika harus kembali ke negerinya di Saparua sebagai pengungsi atau sekedar mencari keamanan dari situasi keamanan yang tidak terkendali baik di Ambon maupun lokasi- lokasi sekitarnya. Dalam penyebaran konflik ini pula, tidak dapat dihindari terjadinya penggunaan simbol-simbol agama untuk membangkitkan sentimen agama. Kenyataan-kenyataan demikianlah yang menunjukkan keberadaan jejaring dalam konflik di Saparua. Konflik Saparua sebagai bagian konflik Ambon, sebenarnya tidak akan muncul jika ada upaya untuk menekan atau pun menghambat penyebaran konflik. Penanganan pengungsi juga menjadi sumber konflik baru di Saparua, akibat tidak tertanganinya pengungsi yang ada di kota Ambon menyebabkan mereka kembali ke daerah asal di Saparua. Mereka menjadi penerus informasi yang berakibat pada keinginan untuk membalaskan dendam kepada komunitas lain yang kebetulan berbeda agama di Saparua. Faktor jejaring sosial dengan ikatan agama sebagai dampak konflik Ambon menjadi pendorong terjadinya konflik di pedesaan Saparua. Penyebaran informasi sebagai ekspresi jejaring sosial dari Ambon ke Saparua berhasil menggerakkan basis konflik bernuansa agama sehingga terjadi konflik berkepanjangan di Saparua. Ada perbedaan mendasar antara penyebab konflik di Saparua dengan Ambon, yaitu penyebab konflik Ambon tidak dapat dilihat dari satu faktor saja tetapi terutama oleh faktor ekonomi, politik, budaya dan agama sebagaimana hasil-hasil penelitian sebelumnya. Sementara di pedesaan Saparua, keberadaan jejaring sosial sebagai sumber penyebaran informasi menyebabkan masyarakat terbagi menjadi dua kelompok berdasarkan agama. Penyebaran informasi dari korban konflik di luar Saparua ditambah informasi-informasi menyesatkan dari pihak yang tidak dapat diidentifikasi menjadi pendorong utama terjadinya konflik di pedesaan Saparua. Jejaring dengan ikatan ekonomi dan budaya menjadi tidak berfungsi bahkan sepertinya hilang dalam kehidupan masyarakat Saparua. Pela dan gandong serta jual beli komoditas pertanian tidak berjalan saat konflik. Jejaring sosial dengan ikatan agama, mendominasi penyebaran informasi yang mendorong terjadinya konflik terbuka dan berkepanjangan antar komunitas berbeda agama di Saparua. Ditunjang pula mengalirnya informasi secara terus menerus melalui aliran orang yang keluar masuk Saparua saat konflik terjadi di pedesaan Saparua. Kekuatan ikatan adat pela dan gandong seharusnya tetap diusung oleh Lembaga Latupati, sehingga penyebaran informasi yang menyebabkan konflik di pedesaan Saparua dapat diredam. Oleh karena itu penguatan Lembaga Latupati menjadi salah satu jalan penting untuk menguatkan kembali ikatan adat dan budaya yang pada dasarnya tidak memperhatikan perbedaan agama. 7.1.3. Kesimpulan Teoritik Akar kegagalan menjelaskan berbagai konflik yang terjadi, dikarenakan konflik lebih dilihat sebagai masalah yang berakar dari kesenjangan ekonomi, keadilan, atau pengalaman penindasan di masa orde baru. Tema-tema semacam inilah yang terus- menerus dibolak-balik. Secara umum teori-teori demikian cenderung melihat masyarakat sebagai the innocent party yang berhadapan dengan negara yang represif. Masyarakat tidak dianggap sebagai sebuah entitas yang problematik. Kalaupun ada konflik atau persoalan dalam masyarakat, hal itu dipandang sebagai akibat penetrasi negara, atau cerminan dari manipulasi dan pertentangan para elite negara yang mengendalikan negara. Cara pandang demikian sering tidak sesuai dengan fakta yang terjadi. Misalnya, mengapa konflik konflik terjadi di Halmahera dan kepulauan Maluku umumnya termasuk di pedesaan Saparua yang justru basis ekonominya bersifat agraris, mengapa kota atau daerah yang mendapatkan tingkat represi militer justru tidak memperlihatkan gejala konflik daripada daerah-daerah yang selama ini kurang mendapatkan represi militer. Kegagalan mengemukakan masalah karena titik tolak yang tidak memadai ini haruslah diganti dengan titik tolak pada masyarakat itu sendiri. Negara menjadi sumber masalah, karena lemah dan hampir tidak berdaya untuk menjalankan perannya sebagai alat penegak hukum dan tata tertib. Dengan demikian pokok persoalan konflik sosial haruslah dilihat dalam masyarakat itu sendiri. Dengan kata lain, bringing the state back in haruslah digeser kepada bringing the society back in. Oleh karena itu pengungkapan fenomena demikian harus dimulai dengan mempelajari perilaku mikro, yaitu bagaimana perilaku individu bergerak menjadi perilaku kolektif kelompok dan komunitas. Titik tolak ini diyakini bisa menjelaskan dengan lebih terinci mengapa konflik-konflik seperti terjadi di Saparua mengambil bentuk yang begitu keras dan berdarah. Kajian studi ini yang mengarah pada aras pedesaan dengan negeri sebagai basis, menunjukkan bahwa perlu disepakati keterkaitan antar aras mikro dan meso. Mengingat aktor pedesaan dengan berbagai keterbatasannya, walaupun memiliki kemampuan untuk mengambil keputusan sendiri namun biasanya memiliki panutan yang dilihat sebagai dasar pengambilan keputusan tersebut. Kondisi keterpurukan masyarakat secara umum atau kelompoknya secara khusus, mampu memberikan masukan berarti bagi keputusan untuk berkonflik atau tidak. Keterlibatan individu dalam konflik, merupakan keputusan sendiri dan otonom namun tidak lepas dari pengaruh situasional sekitarnya. Keterpurukan kaum kerabatnya yang mengalami konflik dan harus mengungsi, juga meninggalnya salah satu anggota kerabat ternyata menjadi pemicu upaya pembalasan dendam sehingga menjadi konflik berkepanjangan. Hasil penelitian menunjukkan adanya keterkaitan antara jejaring sosial dan konflik sosial. Jejaring sosial berperan meredam dan menumbuhkan konflik sosial. Bahkan jejaring sosial berperan penting dalam manajemen konflik guna menyelesaikan akar permasalahan yang menimbulkan konflik sosial di masyarakat. Jejaring sosial dalam konteks konflik di Saparua, diekspresikan melalui penyebaran informasi yang bergerak antara kerabat dari luar Saparua yang mengalami korban konflik. Keterpurukan akibat konflik di Ambon dan pulau-pulau sekitarnya, kemudian mneyebar ke daerah asal Saparua saat terjadi pengungsian maupun pengamanan diri. Penyebaran informasi mampu membentuk kelompok dengan berpersepsi sama, kemudian melebar menjadi komunitas berpersepsi sama. Persepsi yang terbentuk mengarah pada perbedaan idiologi, bahwa komunitas berbeda yang menjadi penyebab keterpurukan komunitas yang lain. Agama dipakai sepakai simbol untuk membedakan masing-masing komunitas. Fakta bahwa ada perbedaan ekonomi, politik, budaya dan agama tidak mampu menyebarkan konflik, jika informasi dan ditunjang isu-isu yang berkembang di Saparua tidak mengarah pada salah satu komunitas sebagai penyebab kesulitan yang dialami komunitas berbeda. Agama menjadi simbol karena lebih mudah membagi masyarakat dari aspek agama dibandingkan dengan aspek lainnya ekonomi, politik dan budaya, sebab yang pasti hanya ada dua komunitas di Saparua yaitu Salam dan Sarani. 7.2. Implikasi Penelitian Kerangka teori konflik makro yang melihat kejadian konflik di pedesaan Saparua dengan hanya melihat sebagai akibat dari masalah kesenjangan ekonomi, ketidakadilan, atau penindasan oleh negara ternyata tidak terlalu memadai untuk mengidentifikasi akar konflik. Oleh karena penerapan kerangka teori tersebut cenderung melihat masyarakat sebagai the innocent party yang berhadapan dengan negara yang represif. Konflik yang terjadi lebih dipandang sebagai akibat penetrasi negara, atau cerminan dari manipulasi dan pertentangan para elite negara yang mengendalikan negara. Kenyataannya, masyarakat di pedesaan Saparua bukanlah entiti sosial yang bebas dari problematik. Saparua bukan merupakan wilayah yang punya kesenjangan yang tajam sebagaimana kesenjangan yang terjadi di kota-kota besar. Pihak luar masyarakat Saparua dan negara memang tetap menjadi sumber masalah, tetapi bukan karena kuat dan dominan, tetapi justru karena lemah dan hampir tidak berdaya untuk menjalankan perannya sebagai alat penegak tertib sosial. Dengan demikian, dalam memahami konflik Pedesaan Saparua, asumsi dan kerangka dasar teori konflik makro perlu juga disempurnakan dengan teori perilaku. Artinya, persoalan konflik sosial juga perlu dilihat dari sisi masyarakat itu sendiri. Dengan kata lain, bringing the state back in perlu digeser kepada bringing the society back in. Secara nasional, diperlukan adanya itikad baik secara politis untuk mengembangkan berbagai kebijakan publik yang konsisten dengan filosofi kebhinekaan untuk menghindar dari kemungkinan penyalahgunaan kebijakan dimaksud oleh oknum atau kelompok tertentu yang dengan sengaja mengeksploitasi paradigma mayoritas- minoritas yang pada dasarnya bersumber dari nilai-nilai politik aliran bagi kepentingan elit tertentu. Hal ini perlu dilakukan mengingat saat konflik terjadi di Saparua, pihak- pihak yang berkompeten di bidang agama pemimpin umat ternyata kemudian secara tidak sengaja dapat menjadi sumber informasi saat memberikan khotbah atau dakwah di hadapan kelompok masing-masing. Fakta demikian tidak dapat dipungkiri mengingat, terbelahnya masyarakat Saparua menjadi dua kelompok Agama membuka peluang bagi upaya masing-masing kelompok Agama untuk memperkuat kelompoknya. Upaya memperkuat solidaritas anggota kelompok melalui dakwah ternyata menjadi solidaritas berlebihan dan berubah menjadi kebenaran kelompoknya sendiri, tanpa memikirkan bahwa kelompok lain juga merasakan kebenaran yang sama. Oleh karena itu, perlu diperhatikan lagi sebaiknya isi dakwah berisi cara-cara masing-masing Agama menjalankan Ibadahnya. Berkaitan dengan penyelesaian konflik, ternyata program yang dilakukan pemerintah tidak memperhatikan kehendak masyarakat yang berkonflik. Belum lagi, prosesnya cenderung bukan melakukan resolusi konflik, tetapi lebih berupa penanganan konflik yang bersifat instrumental semata. Oleh karenanya dalam resolusi konflik di pedesaan Saparua yang diperlukan adalah dua langkah yang berjalan sekaligus, yaitu penggunaan penyelesaian berasaskan penguatan budaya lokal yang sekaligus menguatkan kembali hubungan-hubungan agraris dalam konteks reforma agraria. Dengan langkah awal melakukan analisis keberadaan hak-hak atas sumberdaya alam dan lahan dari negeri dan batas-batasnya melalui pembicaraan adat Solusi konflik di tingkat lokal seharusnya tidak menyamaratakan perlakuan bagi kelompok masyarakat yang bermukim di desa dan di kota. Sebab, struktur sosial budaya, ekonomi dan politik wilayah pedesaan sangat berbeda dengan perkotaan. Bagi wilayah pedesaan Saparua, dapat dilakukan penguatan kembali lembaga-lembaga adat seperti Pela dan Gandong serta berbagai hubungan kekerabatan lainnya untuk menciptakan jejaring komunikasi dan interaksi yang intensif antar kelompok masyarakat di aras negeri. Upaya penguatan ini harus dilakukan secara menyeluruh, dalam arti menghidupkan pula berbagai lembaga pendukung lainnya seperti penyesuaian atas eksistensi sistim pemerintahan adat dan lembaga adat.

VI. KETERKAITAN JEJARING SOSIAL DAN KONFLIK

Masyarakat pedesaan Saparua melakukan pemasaran komoditas pertanian khususnya sagu sebagai makanan pokok melalui berbagai cara. Salah satu cara pemasaran yang memanfaatkan ikatan kekerabatan dikenal dengan istilah papalele. Papalele berkembang melalui ikatan kekerabatan satu negeri di aras Saparua, kemudian bergeser ke kota Ambon hingga ke luar Maluku. Ikatan antar papalele membentuk jejaring ekonomi dan budaya di masyarakat pedesaan Saparua. Sejak awal ikatan papalele tidak memandang perbedaan agama, sehingga aktivitas titip menitip komoditas berlangsung antar warga yang berbeda agama. Proses ke luar Saparua dilakukan secara bersama oleh pelaku papalele berbeda agama. Sejak konflik menyebar ke Saparua, pelaku papalele berbeda agama tidak dapat melakukan aktivitasnya secara bersama. Secara perlahan hubungan antara papalele berbeda agama tidak berjalan seperti sebelumnya. Kondisi keamanan yang tidak terjamin menghambat aktvitas papalele. Seiring eskalasi konflik yang semakin menguat, membentuk pula ikatan komunitas seagama sebagai upaya mempertahankan keamanan komunitas masing- masing. Ikatan tersebut berkembang menjadi jejaring sosial yang melintasi negeri, bahkan ke luar Saparua. Jejaring tersebut tergambar melalui pengerahan bantuan tenaga untuk membantu menjaga kemanan satu komunitas di Saparua, juga ke luar Saparua jika dibutuhkan. Bab ini menggambarkan terbentuknya jejaring ekonomi dan budaya, serta jejaring yang terbentuk saat konflik menyebar ke pedesaan Saparua.

6.1. Jejaring Ekonomi dan Budaya Masyarakat di Pedesaan Saparua

Sejak masa penjajahan Belanda perekonomian masyarakat Saparua berbasis pada pertanian, dengan tanaman perkebunan sebagai komoditas utama. Tanaman yang banyak diusahakan, antara lain kelapa, cengkih, pala dan cokelat. Komoditas lain didominasi oleh tanaman pangan seperti jagung, umbi-umbian dan kacang-kacangan Tanaman sayuran mulai diusahakan secara meluas setelah konflik, karena masyarakat mengalami kesulitan untuk memperoleh sayuran. Jenis sayuran yang diusahakan seperti, bayam, kubis, kacang panjang, terong, ketimun, kangkung. Selain mengandalkan pertanian, usaha-usaha perikanan juga menjadi andalan masyarakat karena semua negeri di Saparua berkedudukan di pesisir pantai. Sagu sebagai makanan pokok masyarakat menjadi tanaman keseharian yang secara mudah ditemui di hampir seluruh Saparua. Sagu biasanya diolah menjadi sagu mentah untuk diolah lagi menjadi berbagai jenis produk turunan, seperti bagea, sagu lempeng, sarut dan sagu gula. Perdagangan hasil pertanian semakin berkembang setelah uang dikenal sebagai alat pertukaran. Masyarakat petani semula berfungsi juga sebagai pedagang yang langsung memasarkan hasil pertaniannya ke pusat pasar yang berada di ibukota kecamatan dengan cara berjalan kaki. Perkembangan selanjutnya, tumbuh kelembagaan titip-menitip hasil pertanian yang akan dijual ke pasar tersebut. Proses ini pada akhirnya menjadi jejaring sosial yang menjadi landasan perekonomian masyarakat Saparua. Dalam konteks ini, yang menarik adalah menjelaskan aktivitas jual beli baik dalam skala besar maupun kecil yang disebut masyarakat sebagai papalele. Papalele sebagaimana disebutkan sebelumnya tentang perdagangan hasil-hasil pertanian masyarakat dapat ditempuh dengan cara menjual secara langsung hasil kebun atau produk sendiri, baik masyarakat sebagai petani maupun nelayan yang sekaligus berperan sebagai pedagang. Aktivitasnya papalele berkembang sama dengan pedagang pengumpul desa yaitu, membeli produk dari petani atau nelayan, kemudian menjualnya kembali secara eceran. Sebagian besar papalele adalah perempuan karena laki-laki setelah melakukan aktivitas usahanya kemudian beristirahat. Aktivitas penjualan yang dilakukan isteri cukup menyita waktu, karena selain menjual di pasar desa ada juga yang melakukan dengan berjalan keliling desa bahkan sampai ke desa-desa sekitar. Hal itu dilakukan terutama jika barang yang dijajakan berjumlah banyak dan sering terjadi pada komoditas perikanan. Penjualan di pasar tidak terbatas dalam pasar desa sendiri, khususnya saat hari pasar dimana aktivitas penjualan dilakukan juga di pusat kecamatan Saparua hari Rabu dan Sabtu. Pihak laki-laki ada yang menjadi papalele, khususnya mereka yang tidak beraktivitas sebagai petani atau nelayan. Setelah itu muncul pula pedagang pengecer yang langsung berhubungan dengan petani atau nelayan untuk membeli produk mereka, kemudian menjualnya kepada konsumen di pasar. Perkembangan ini membuka jalan makin munculnya papalele. Petani atau nelayan dengan hasil pertaniantangkapannya, serta pedagang pengumpul desa dan pedagang pengecer merupakan bentuk papalele awal. Keberadaan papalele yang khusus menjual produknya sendiri semakin nyata. Selain membeli produk dari sesama petani atau nelayan untuk dijual, serta orang luar desa yang memang bertujuan membeli produk di satu negeri kemudian menjualnya ke konsumen di tempat lain. Aktivitas perdagangan papalele ini sampai ke Ambon, bahkan ke Papua menggunakan kapal penumpang Pelni. Proses berjualan diawali sejak berada