Masa Penjajahan : Pusat Pengaturan Aktivitas

IV. SAPARUA : AJANG KONFLIK SEJAK MASA PENJAJAHAN

4.1. Masa Penjajahan : Pusat Pengaturan Aktivitas

Sejak masa kompeni, Saparua menjadi pusat pengaturan aktivitas ekonomi, terutama untuk pengumpulan hasil-hasil perkebunan cengkeh milik rakyat di Saparua, Nusalaut dan sebagian Pulau Seram. Letaknya yang strategis menyebabkan Saparua dipilih kompeni sebagai pusat pengontrolan dan pengaturan kegiatan perdagangan. Hal tersebut menyebabkan aktivitas kompeni di Saparua didukung oleh pertahanan yang kuat melalui pembangunan Benteng Duursteede. Oleh karena itu, segala kegiatan pihak Kompeni diatur dulu dari Saparua kemudian dilaksanakan oleh pihak-pihak yang telah ditentukan. Termasuk aktivitas penyebaran agama Sarani, berbagai aktivitas politik pecah belah sebagai upaya meredam pemberontakan oleh masyarakat Saparua tahun 1817 di bawah pimpinan Thomas Matulessy Kapitan Pattimura. Saparua pula menjadi salah satu pusat pergerakan masyarakat melawan kepentingan pihak penjajah. Menurut catatan van der Kemp yang merujuk pada catatan harian Van Middelkoop yang kemudian disarikan oleh Idema 1917, terdapat delapan penyebab pemberontakan Saparua, yaitu : 1. Beredarnya uang kertas sebagai alat resmi perdagangan, sementara masyarakat sendiri tidak diberikan kesempatan untuk memperoleh uang kertas dimaksud meskipun dalam proses tukar menukar. 2. Perintah dan paksaan kompeni untuk membuat garam, padahal masyarakat belum memiliki pengetahuan tentang cara membuat garam. 3. Pembukaan perkebunan pala, dimana rakyat dikerahkan tanpa dibayar tetapi hanya sebagai pekerja paksa. 4. Perintah untuk memotong kayu dan membuat atap serta gaba-gaba untuk dinding bangunan secara paksa. 5. Keharusan wajib belajar bagi anak-anak di Saparua terutama di kota Saparua, sementara di negeri-negeri lain tidak diharuskan. 6. Merekrut para pemuda secara paksa dalam dinas militer di Jakarta. 7. Memperdagangkan ikan kering dan dendeng secara paksa. 8. Memperdagangkan kopi secara paksa. Pembentukan formasi negeri yang dilakukan Belanda sebenarnya tidak bermaksud untuk menunjukkan organisasi sosial yang didasarkan atas garis keturunan genealogis. Setiap negeri memiliki sejumlah sukumarga eksogami perkawinan campuran yang bersifat patrilineal. Sukumarga itulah yang disebut sebagai matarumah. Matarumah merupakan sebutan dari bahasa Melayu yang bahasa aslinya tau, dan istilah fam sebenarnya berasal dari bahasa Belanda Cooley, 1962 : 36. Matarumah menjadi penting bagi negeri karena selain refleksi garis keturunan, juga untuk penetapan status kelompok utama dalam famili yaitu hubungan antara dua mata rumah yang menjadi ikatan darah karena suatu pernikahan. Hubungan turun temurun matarumah memberikan dampak terhadap pengorganisasian atas kontrol dan penggunaan tanah dati yang dianggap sebagai warisan yang tidak bisa diserahkan kepada pihak luar. Selain itu, status matarumah tertentu sangat berperan dalam administrasi negeri dan administrasi masjid kasisi di negeri Salam. Soa merupakan bagian penting dalam administrasi negeri di Saparua. Soa terdiri dari sejumlah matarumah yang hubungannya tidak memerlukan ikatan kekeluargaan. Kata soa berasal dari bahasa asli ternate yang berarti bagian geografis dari suatu kota atau desa. Tiap-tiap soa dipimpin oleh kepala soa yang kedudukannya di bawah Raja. Kepala Soa dan Raja pada awalnya ditunjuk pihak Belanda. Beberapa kedudukan lain yang penting dalam administrasi negeri adalah tuan tanah, Mauweng, Kapitan dan Kewang. Tuan tanah adalah representatif dari pendiri keluarga, mauweng yang mengurusi kegiatan kepercayaan ritualisme, kapitan merupakan pemimpin perang, dan kewang yang dipercaya untuk memelihara keamanan negeri Cooley, 1962. Kedudukan Raja saat masa kolonial mengalami perubahan fungsi yang mengarah tanggungjawab yang dilematis. Raja harus mengayomi negeri dari ancaman pihak luar, sementara Raja harus tunduk kepada keinginan Belanda. Menurut catatan Van der Kemp yang merujuk pada catatan harian Van Middelkoop yang dikutip oleh Idema 1917 dalam terminologi kolonial Belanda, Raja dianggap memiliki kekuatan sentral yang bisa dipakai untuk mengkooptasi berbagai elemen penting dalam kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, sebagai representasi kewenangan tertinggi Negara Belanda dengan asumsi penunjukkan langsung oleh House of Orange, Raja memiliki kewajiban sebagai berikut : a. Menyediakan dan mengkoordinir tenaga kerja yang dipakai dalam pengolahan cengkeh. b. Sebagai agen untuk mendapatkan permintaan pasar atas hasil monopoli cengkeh. Peran Raja kembali memgalami perubahan setelah monopoli cengkeh dihapuskan pada tahun 1863. Pada masa ini peran raja berfungsi sebagai penjaga hukum dan peraturan, mengumpulkan pajak dan mengurus dan mengorganisir penebangan pohon cengkeh. Perubahan monopoli dan perubahan administratif mempengaruhi pula hubungan kekuatan dalam negeri secara signifikan. Pitisgeld dan hasil geld persentase hasil panenan cengkeh yang dibayarkan untuk Raja dihapuskan bersamaan dengan penghapusan monopoli tersebut. Sebagai gantinya, Raja diberi kompensasi secara finansial yang didasarkan pada rata-rata cengkeh per tahun pada suatu negeri di awal tahun. Raja juga menerima 8 dari pajak per kepala 5 guilders per rumahtangga per tahun, dan sepertiganya didistribusikan kepada kepala soa. Dalam hal ini Raja Sarani lebih diuntungkan karena dari tahun 1875 – 1932 mereka mendapatkan 50 guilders untuk setiap warganya yang bergabung menjadi tentara colonial Menurut catatan van der Kemp yang merujuk pada catatan harian Van Middelkoop yang dikutip oleh Idema, 1917. Hal terpenting dalam masa itu yaitu dihapuskannya tenaga kerja pelayanan seperti kardja trop dan kwartodienst pekerja pribadi untuk raja. Pemuka negeri sengaja diatur untuk menyediakan tenaga kerja dalam pengolahan cengkeh. Hal tersebut bergantung dari ukuran dan luas negeri. Tenaga kerja biasanya dibagi menjadi empat kelompok, di mana laki-laki dewasa menjai alternatif dalam penyediaan tenaga kerja yang dibutuhkan. Beberapa Raja memang sengaja mengambil keuntungan dari tenaga kerjanya sendiri secara langsung saat pengolahan cengkeh ke pemerintah. Raja-raja di Saparua umumnya memiliki 70 orang kwartodienst yang bekerja padanya setiap hari secara sah dan legal. Beberapa Raja bahkan menyewakan pekerja trop mereka ke orang-orang Eropa dan Arab di Ambon. Mereka juga dipakai dan tidak dibayar sebagai manusia perahu untuk mengantarkan para pejabat keliling pulau. Penghapusan kewajiban pengelolaan dan pemesanan membuat keuntungan besar bagi Raja tetapi sangat merugikan bagi warganya. Kenyataan tersebut berlangsung hingga tahun 1881, ketika Resident J.G.F. Riedel mengeluarkan suatu nota instruksi baru bagi Raja untuk menghentikan permintaan pelayanan kerja trop dari rakyatnya. Nota tersebut juga secara mendetail menjelaskan batasan kekuasaan judicial seorang Raja. Hal ini memunculkan protes dari para Raja. Banyak Raja yang tetap menginginkan kompensasi peningkatan pelayanan pribadinya kwartodienst. Namun, kenyataan membuktikan bahwa reformasi yang dicetuskan Riedel tersebut ternyata efektif dalam meredam kekuasaan Raja atas rakyatnya, dan juga kontrol atas sumberdaya ekonomi negerinya. Tahun 1920 pelayanan kwarto dan hakikil dihapuskan karena menyebarnya penyalahgunaan kekuasaan oleh Raja terhadap mereka. Selanjutnya diganti dengan kontribusi pemerintah toelage yang berupa pemberian secara adil lima guilders setiap orang dewasa per tahun. Penghapusan ini kemudian menimbulkan protes para Raja. Para Raja beranggapan bahwa pelayanan tersebut merupakan bagian integral dari sistem penggunaan tanah dati. Hak untuk menggunakan dati makan dati juga termasuk kewajiban untuk memberikan pelayanan kepada Raja dan rumahtangganya. Jika kwarto ditarik maka sistem dati juga akan punah. Hal tersebut dilakukan oleh orang-orang Eropa untuk mengurangi pengaruh Raja terhadap lingkungannya sebagai patron. Akibatnya, secara ekonomi Raja menjadi terpuruk jika dibandingkan dengan pegawai pemerintah dalam negeri, para guru, dan pendeta. Sistem ini juga menurunkan pamor Raja dan mengarah pada rendahnya legitimasi rakyat kepada Raja-nya. Menurut catatan van der Kemp yang merujuk pada catatan harian Van Middelkoop yang dikutip oleh Idema 1917, sisa sejarah kolonial di Saparua dapat diklasifikasikan atas empat permasalahan, yaitu : 1. Masalah kekuasaan dan perdagangan, 2. Masalah penyebaran agama Katolik dan Protestan, 3. Masalah penganakemaskan kelompok Sarani, yang mana di satu sisi terkait dengan misi penyebaran agama tetapi di sisi lain terkait dengan upaya pengukuhan kekuasaan dan monopoli perdagangan. 4. Politik pecah belah, sesuatu yang mirip dengan politik menganakemaskan, tetapi dalam cakupan yang lebih luas dan cara-cara yang lebih kompleks. Masalah kekuasaan dan perdagangan sangat terkait dengan sistem penjajahan yang diterapkan bangsa Belanda. Lewat usaha dagangnya VOC, Belanda menyebarkan kekuasaannya ke seluruh kepulauan Nusantara termasuk Maluku. Dalam mengukuhkan kekuasaannya ini Belanda menerapkan sistem monopoli dan tanam paksa yang dilindungi dengan kekuatan militer yang besar. Orientasi kekuasaan menimbulkan perseturuan dengan para penguasa dan pedagang lokal. Misi Agama juga dijalankan oleh orang-orang Portugis yang sambil berdagang menyebarkan agama Katolik. Orang-orang Portugis ini cukup luwes dalam perdagangan, tetapi misi penyebaran agamanya menimbulkan banyak reaksi. Tetapi ketika orang Belanda juga mulai memasukkan unsur penyebaran agama, dengan segala kaitan masalah kekuasaan dan perdagangan di dalamnya, maka keberadaan bangsa Portugis terasa lebih lunak. Penganakemaskan penduduk yang mau memeluk agama Sarani dan melakukan politik pecah belah, ditambah dengan dukungan kekuatan militer yang besar menyebabkan Belanda menguasai Maluku termasuk Pulau Saparua. Oleh karena itu dapat disimpulkan, Belanda menjadikan agama sebagai salah satu komoditas politik sehingga menjadi bagian penting yaitu sebagai sumber konflik yang bersifat laten. Sebagai alat politik maka Belanda menganakemaskan kelompok Sarani dalam hal pendidikan, birokrasi, militer, dan polisi. Kesempatan dalam pendidikan hanya diberikan pada kelompok Sarani dan raja-raja negeri Salam. Sehingga kesempatan kelompok Sarani untuk memperoleh pendidikan, dan seterusnya memasuki birokrasi, militer dan Polisi lebih terbuka dibandingkan kelompok Salam yang hanya diwakili para Raja. Sementara pemberian kesempatan kepada Raja negeri Salam, sebenarnya menimbulkan kecemburuan bagi rakyatnya sendiri, sehingga menjadi sumber konflik terpendam. Inilah salah satu bentuk politik pecahbelah antar kerajaan atau antar negeri, internal kerajaan atau pun negeri, maupun bentuk-bentuk perpecahan lain yang didorong dengan iming-iming harta dan kekuasaan.

4.1.1. Konflik Agraria di Pedesaan Saparua

Proses perubahan di pedesaan tidak terjadi secara otomatis, melainkan lebih diakibatkan oleh berlakunya berbagai faktor yang secara garis besar dapat dibedakan menjadi dua, yaitu faktor internal dan eksternal. Interaksi antara faktor internal dan eksternal demikian kompleks sehingga memungkinkan berbagai interpretasi terhadap proses perubahan di pedesaan. Sebagian cendekiawan menekankan pada peranan faktor internal yang dipandang sebagai faktor yang dapat menentukan sekaligus menghambat proses perubahan di pedesaan. Sedangkan cendekiawan lain menekankan pada hubungan penguasaan sumber-sumber ekonomi oleh pelapisan atas di kota-kota sehingga menimbulkan perubahan di desa, yang kadang-kadang perubahan tersebut bias menimbulkan hubungan yang bersifat eksploitatif. Menurut pendekatan neoklasik, di antara faktor-faktor internal yang penting yang mendorong pertumbuhan di desa itu adalah pertumbuhan pendudukan yang cepat yang kemudian mengakibatkan manwomen-land ratio yang semakin menyempit dan menyempitnya pemilikan tanah, dan mulai tidak mampunya sumber-sumber di pedesaan untuk mencukupi kebutuhan masyarakat desa. Sementara faktor-faktor eksternal yang dianggap memiliki kontribusi cukup berarti dalam mendorong perubahan di pedesaan pada dasarnya mencakup aspek teknologis dan perluasan kapitalisme. Penganut pendekatan neo-populis percaya bahwa penyebaran teknologi merupakan faktor penting yang menjadikan daerah pedesaan berubah dari kondisi semula. Sedangkan penganut neomarxis cenderung lebih menekankan ekspansi kapitalisme sebagai penyebab terjadinya perubahan di pedesaan. Selain itu, dewasa ini banyak cendekiawan yang menaruh perhatian pada peran negara state centered yang diwujudkan dalam ekspansi birokrasi sebagai faktor eksternal penting yang menyebabkan perubahan di pedesaan. Hart 1986 misalnya, mengatakan bahwa perubahan program-program pembangunan pemerintah dan perubahan posisi pemerintah desa dari lembaga kepemimpinan masyarakat otonom menjadi ujung tombak struktur birokrasi. Hal itu tergambar dari perubahan pranata pedesaan lainnya sebagai akibat berlangsungnya modernisasi pertanian dalam hubungannya dengan pertananahan adalah adanya dinamika penguasaan tanah. Modernisasi pertanian yang berkembang pesat dalam sepuluh tahun terakhir ini kemudian memacu sekurang-kurangnya tiga jenis aktivitas yang ada hubungan dengan pertanahan di pedesaan, yaitu jual beli tanah, gadai menggadai tanah dan sewa tanah secara kontan Sediono Tjondronegoro dan Gunawan Wiradi, 1984. Membahas masalah pertanahan menurut Gunawan Wiradi 1984 lebih baik menggunakan pendekatan lintas disiplin karena hubungan penguasaan tanah bukan saja menyangkut hubungan antara manusia dengan tanahnya, yang di negara-negara agraris dipandang bersifat “religio-magis”, melainkan juga menyangkut hubungan antara manusia dengan manusia. Hubungan manusia dengan tanah ialah aktivitas manusia dalam menggarapmenguasahakan tanah, sehingga orang lain tidak boleh memakainya, atau boleh tetapi dengan syarat-syarat tertentu. Kemudian terlihat adanya hubungan antara pemilik tanah dengan buruhnya, antara sesama buruh tani atau antara orang yang langsung maupun tidak langsung terlibat dalam proses produksi di atas tanah tersebut. Dari sinilah aspek utama sengketa-sengketa tanah harus dilihat, karena masalah tanah sebenarnya merupakan masalah pembagian dan penyebaran sekaligus menyangkut hubungan kerja dalam proses produksi. Secara makro, hubungan tanah dan manusia tidak dapat dipisakan. Antara satu kebudayaan ke kebudayaan yang lain semuanya menunjukkan adanya hubungan antara tanah manusia walau pun, di tingkat mikro erat tidaknya hubungan tersebut menjadi relatif tidak sama. Namun, secara makro tidak dapat dilepaskan pula dari pengertian identitas suatu bangsa atau kelompok manusia sekaligus merepesentasikan totalitasnya. Dalam tingkat ini, manusia dengan segala kekuatan dan kemampuannya sanggup berkorban untuk mempertahankan tanahnya dari penguasaan orang lain walau pun luas tanah yang dimilikinya hanya sejengkal saja. Kenyataan demikian semakin memperjelas bahwasannya, tanah memilki nilai-nilai yang penting dalam kehidupan manusia. Konflik atau peperangan yang terjadi antara negeri serta antara manusia bukan saja memperebutkan tanah-tanah yang subur semata, tetapi ada nilai lain yang melekat dalam hubungan antara tanah dan manusia. Di Maluku Tengah terutama di Saparua perbedaan-perbedaan interpretasi manusia terhadap tanah ditentukan oleh kebudayaan yang dianut oleh pendukungnya manusia sendiri. Pandangan terhadap tanah dan relasi antara manusia dan tanah untuk orang-orang Maluku Utara akan berbeda dengan orang di Maluku Tengah, demikian pula keduanya akan berbeda dengan orang di Maluku Tenggara. Masing-masing daerah mempunyai konsep tanah yang berbeda, akibat perbedaan pemahaman atau pun interpretasi terhadap lingkungan yang berbeda sehingga melahirkan adat-istiadat tanah yang berbeda pula.

4.1.2. Merujuk Konflik Agraria di Masa Lampau

Memang secara faktual dan berdasarkan penelusuran data-data, dapat dilihat bahwa konflik yang berkembang di Saparua selalu didasari oleh dua hal yaitu permasalahan batas tanah batas dusun antar sesama anak negeri maupun berbeda negeri. Bahkan bukan saja pertikaian biasa yang terjadi, tetapi sudah merembes menjadi pertikaian antar negeri dan memakan korban baik harta benda maupun korban jiwa. Bukti yang dapat disebutkan yaitu, pertikaian antara Noloth dan Iha yang dibantu gandongnya Ihamahu akibat permasalahan batas tanah. Konflik dimaksud tidak terjadi sekali saja, tetapi dapat muncul kapan saja dengan pokok persoalan yang sama yaitu batas tanah antara kedua negeri. Kelemahan yang paling besar dari terbengkalainya penyelesaian konflik tersebut disebabkan oleh tidak adanya dasar hukum yang dapat dipakai untuk membuktikan kebenaran argumen masing-masing pihak. Negeri Iha misalnya, menganggap bahwa seluruh wilayah Hatawano sebagai tanah milik mereka yang merupakan warisan dari nenek moyang mereka pendiri Kerajaan Iha. Hal mana juga diakui oleh negeri Ihamahu sebagai gandongnya. Memang antara Iha dan Ihamahu sama-sama merupakan generasi selanjutnya dari pendiri Kerajaan Iha, namun kemudian terpecah akibat perbedaan agama. Negeri Iha penduduknya tetap memeluk agama Salam yang dibawa dari Kerajaan Iha, sementara negeri Ihamahu mengikuti agama Sarani yang dianjurkan oleh penjajah Belanda. Hal ini juga meneyebabkan negeri Ihamahu memiliki tanah warisan yang jauh lebih besar, dibandingkan dengan negeri Iha. Bahkan jika ditelusuri lagi, pada dasarnya tanah negeri Iha harus meliputi sepanjang jalur jazirah Hatawano sejak dari negeri Itawaka sampai negeri Tuhaha. Fakta sejarah menunjukkan bahwa, negeri Itawaka juga terbentuk karena adanya tugas oleh pemerintahan Kerajaan Iha untuk menjaga keamanan di ujung jazirah Hatawano. Hal tersebut dibuktikan dari keberadaan air potang-potang sebagai sumber air penting, yang digunakan oleh keturunan Kerajaan Iha Iha dan Ihamahu saat berperang melawan musuh. Demikian pula dengan Ihamahu, yang memiliki tanah warisan yang cukup luas dari Kerajaan Iha karena mengikuti keinginan Belanda untuk menetap di pesisir dan memeluk agama Sarani. Keadaan ini terjadi setelah Kerajaan Iha diserang dan dihancurkan oleh armada laut Belanda. Saat Belanda menginjakkan kakinya di bumi Saparua, mereka mulai berupaya untuk menghancurkan kerajaa Iha yang dianggap sebagai musuh karena tidak mau mengikuti peraturan dagang yang dibuat Belanda. Selain itu, perbedaan agama menyebabkan Belanda sulit untuk menyebarkan agama Sarani yang menjadi strategi politik saat itu. Mengingat setelah memeluk Sarani maka, pemimpin negeri-negeri di Saparua dapat dibujuk untuk melakukan apa saja bagi kepentingan Belanda dengan iming-iming kedudukan dan hadiah termasuk pemberian tanah warisan. 4.2. Struktur Sosial Masyarakat Saparua 4.2.1. Latar Belakang Sejarah