Fokus Penelitian PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

dan formal dan diharapkan tersebar ke seluruh lapisan masyarakat. Pertemuan elit melalui kegiatan bakubae membuka kembali hubungan-hubungan elit Salam dan Sarani melalui ikatan adat atau budaya, sehingga diharpkan menguatkan kembali hubungan- hubungan antar desa negeri 2 yang berbeda agama. Terpilihnya Raja dan Latupati sebagai elit di aras Negeri, menunjukkan kuatnya peran elit dalam kehidupan masyarakat Maluku. Penyebaran konflik dapat dilakukan dengan memanfaatkan Raja dan Latupati sebagai elit negeri dengan menggerakkan warga masyarakatnya untuk terlibat dalam konflik. Elit negeri juga dapat menahan warga masyarakatnya sehingga tidak terlibat dalam konflik berkepanjangan. Oleh karena itu, campur tangan elit menyebabkan terjadinya konflik berkepanjangan atau konflik dapat segera diakhiri.

1.2. Fokus Penelitian

Sejak zaman kolonial, Maluku sebagai sumber rempah-rempah sudah menjadi ajang pertarungan negara-negara Barat Portugis, Spanyol, Inggris dan Belanda. Pada saat itu pula, konflik dimulai antara Negara-negara Barat kolonial, maupun antara kaum kolonial yang mencari rempah-rempah dengan pemilik rempah-rempah. Dalam upaya menguasai rempah-rempah sekaligus menyebarkan agama inilah, bangsa kolonial membelah masyarakat Maluku berdasarkan dua agama besar yaitu Salam dan Sarani Protestan dan Katolik. Kenyataan tersebut dapat ditemui dalam berbagai dokumen baik yang berbahasa Belanda, maupun yang di-Indonesiakan pada berbagai perpustakaan serta Daftar Inventaris Arsip Ambon Arsip Nasional. Orang Belanda tiba di Ambon pada saat sedang terjadi permusuhan hebat antara rakyat Maluku dengan orang-orang Portugis; antara rakyat yang beragama Sarani dengan rakyat yang beragama Salam. Usaha-usaha orang Portugis untuk menguasai gudang rempah-rempah tidak berhasil. Permusuhan dengan Kerajaan Ternate yang saat itu menguasai hampir seluruh wilayah Maluku, disebabkan oleh tindakan-tindakan gubernur dan serdadu-serdadu Portugis yang tidak bijaksana. Monopoli yang dijalankan Poprtugis, menimbulkan permusuhan dengan pedagang- pedagang Ternate, Tidore, Jawa, Makasar dan Melayu. Saat itu yang dimaksud dengan Maluku ialah daerah geografis Propinsi Maluku termasuk Maluku Utara sebelum pemekaran. Daerah asli Maluku hanya meliputi Halmahera Barat Jailolo dan pulau- 2 2 Selanjutnya disebut negeri berdasarkan Perda Pemerintah Kabupaten Maluku Tegah No.1 Tahun 2006 pulau sekitarnya, Ternate, Tidore dan Bacan. Dalam bahasa Ternate disebut Muloko Naidah dalam B.K.I 2de deel 4de volgreeks, hal. 382 dikutip Leirissa, dkk, 1982. Cita-cita perang salib yang dipindahkan dari Eropa ke Asia, menimbulkan permusuhan dengan raja-raja Salam, pedagang-pedagang Salam dan rakyat yang beragama Salam. Dualisme timbul dalam politik mereka, yaitu melaksanakan tugas memerangi orang-orang Salam di mana saja dan menyebarkan agama Sarani Katolik, dihadapkan pada keharusan berdagang dengan pedagang-pedagang Salam dan bersekutu dengan sultan-sultan Salam. Politik mencari untung dicampurbaurkan dengan politik penyebaran agama. Dualisme ini akhirnya melemahkan dan melenyapkan kedudukan mereka dari Ternate dan menimbulkan peperangan dengan Hitu Manusama, 1977 : 15. Setahun kemudian Negeri Hitu dibantu dengan orang-orang Jawa menyerang orang-orang Portugis dan berhasil mengusir mereka dari Jazirah Leihitu. Orang-orang Portugis menuju ke Leitimur jazirah tempat kedudukan pusat kota Ambon saat ini. Di sini mereka diterima dengan baik oleh kepala-kepala negeri desa sekarang ini dan rakyat, karena Leitimur mendapat kawan untuk menyerang dan melawan musuh-musuh lama mereka dari Hitu. Penerimaan yang baik, menimbulkan hal-hal yang baik pula bagi rakyat Leitimur; mereka berkenalan dengan agama Sarani yang membawa perubahan batin dan keyakinan. Tetapi justru penerimaan ini menimbulkan juga hal-hal yang buruk, yaitu pertumpahan darah yang berlarut-larut karena perang agama Salam dan Sarani. Lembaran sejarah yang digambarkan tersebut, termasuk lembaran sejarah terhitam dalam perkembangan agama Salam dan Sarani di Maluku. Tidak kalah kejamnya dengan kekejaman yang dilakukan di daerah-daerah lain, misalnya sekitar antara Islam dan Kristen di Laut Tengah semasa Perang Salib. Mungkin sekali keadaan yang buruk itu lambat laun menyadarkan rakyat di berbagai negeri. Kepala-kepala adat, orang-orang kaya, raja-raja mencari jalan untuk berdamai. Kemungkinan besar persekutuan pela saudara yang dikenal sampai sekarang ini, timbul sebagai hasil kesadaran akan masa yang gelap itu. Pela mula-mula timbul dalam Patasiwa, yang kemudian bercampur dan tersebar ke seluruh Maluku tengah. Persekutuan Pela itu adalah suatu jalan untuk mengakhiri permusuhan antara Salam dan Sarani, suatu jalan yang sangat efektif untuk menghentikan pertikaian. Walau pun ternyata saat pecah konflik Januari 1999, adanya ikatan pela tidak mampu meredamnya. Bahkan desa-desa Salam dan Sarani yang memiliki ikatan pela, justru tidak mampu menahan keinginan sesama agamanya untuk menyerang dan menghancurkan desa lain yang berbeda agama tetapi masih memiliki ikatan pela. Penjelasan tersebut di atas merupakan benang merah dari beberapa studi oleh peneliti asing terutama Belanda yang sudah berupaya mengakomodir kondisi konflik masa lampau pada zaman penjajahan, walau pun lebih terarah pada aras meso dan makro. Di antaranya Jansen 1929, Fraassen 1972, Bartels 1977, Van Klinken 1999 dan Bartels 2000. Walau pun pada aras mikro sulit ditemui, namun disertasi Hikayat Tanah Hitu Manusama, 1977 sampai saat ini cukup mewakali ajang konflik di aras mikro. Setelah konflik bernuansa Agama mulai terjadi sejak Januari 1999, muncul berbagai tulisan dari masing-masing pihak yang berkonflik berupa pembelaan diri maupun saling menyalahkan – bahkan sampai melibatkan lembaga resmi dari kedua kelompok agama yang bertikai, sehingga upaya memahami konflik dari para pelaku atau aktor sulit ditelusuri karena sudah terkooptasi dengan suasana konflik. Selain itu, ada pula tulisan dari berbagai penulis lain yang lebih terfokus pada upaya menggali akar konflik kronologis kejadian sejak 19 Januari 1999 serta mengaitkannya dengan aras meso pertikaian elit politik daerah antara elit – pejabatbirokrat yang Salam dan Sarani dalam memperebutkan kedudukan tertentu dalam pemerintahan. Tulisan-tulisan tersebut antara lain melalui studi Kastor 2000, Nanere 2000, serta laporan evaluasi jalannya konflik Ambon-Maluku oleh Tim Pengacara Muslim dan Tim Pengacara Gereja. Selain itu, ada juga yang mengaitkan dengan aras makro konflik Indonesia saat jatuhnya pemerintah Orde Baru – Soeharto, kemudian berusaha menyusun berbagai strategi pemecahan konflik. Ternyata, berbagai tulisan tersebut tidak sampai menelusuri fenomena masa lalu sejarah secara rinci sampai pada aras mikro, walaupun ada juga yang menelusuri sejarah konflik pada aras meso dan makro. Seperti studi Ecip 1999 yang juga mengkaji akar permasalahan pada aras meso dan mengupayakan pemecahan sekaligus sebagai dasar pada upaya manajemen konflik yang marak di berbagai daerah di Indonesia. Studi Salampessy, dkk 2001 sebagai kumpulan tulisan bernuansa sosiologi yang mengkaji akar permasalahan pada aras meso dan menghubungkan dengan aras makro. Akhirnya, studi Eriyanto 2003 tentang konflik media yang dijalankan masing-masing komunitas. Perlu diingat, bahwa studi-studi tersebut lebih netral dan tidak mengandung unsur keberpihakan pada salah satu komunitas. Di luar ajang konflik Ambon – Maluku pada aras mikro, meso dan makro terdapat beberapa tulisan yang juga memusatkan pada penelusuran akar permasalahan ajang konflik di berbagai daerah yang terpumpun pada kekuatan sosiologis. Beberapa tulisan tersebut antara lain, Sihbudi dan Nurhasim 2001 yang memfokuskan pada kasus Kupang, Mataram dan Sambas sebagai keterkaitan kasus konflik yang dipicu oleh suatu jaringan yang terorganisir dengan baik. Studi Surata dan Taufiq 2001 yang memfokuskan pada menggali akar permasalahan konflik etnis di Sambas dan Sampit serta Kalimantan pada aras meso yang menunjukkan keterpinggiran etnis lokal akibat kemampuan yang ditunjukkan etnis pendatang yang akhirnya menguasai hampir seluruh kekuatan ekonomi informal, diikuti dengan cara mengatasinya. Studi Soemardjan dan Yayasan Ilmu-Ilmu Sosial 2001 yang juga menggali dan mengidentifikasi akar permasalahan konflik yang marak di Indonesia aras makro berdasarkan kasus pada aras meso yang kelihatannya dapat menjadi kesimpulan dari berbagai studi sebelumnya, serta menyusun upaya penyelesaiannya. Demikian pula studi Simanjuntak 2002 yang mefokuskan pada konflik status dan kekuasaan masyarakat Batak Toba, sebagai studi sosiologis yang paling serius dengan ajang konflik yang terstruktur secara tegas dan mantap dimulai dari aras mikro pedesaan, kemudian menunjukkan keterkaitannya dengan aras meso kabupaten dan propinsi, serta keterkaitannya dengan aras makro peran elit etnis Batak Toba yang berada di Jakarta. Studi ini pula secara tidak langsung, menggambarkan jaringan sosial yang dibangun dari mikro sampai makro atau pun sebaliknya, walau pun untuk tataran teoritik tidak memberikan sumbangan yang signifikan karena lebih menunjukkan tataran praktis. Kesimpulan yang dapat ditarik berdasarkan hasil studi bernuansa konflik yaitu, akar konflik di Maluku bersumber pada lebih mampunya penduduk pendatang migran memasuki dan menguasai sektor informal yang selama ini tidak digarap oleh penduduk lokal kemudian mulai menyebar ke sektor formal yang memunculkan persaingan dengan penduduk lokal; pertarungan elit politik lokal salam dan sarani dalam menduduki kekuasaan di bidang pemerintahan birokrat sekaligus mengarahkan persaingan ke aspek agama; kekecewaan masyarakat terhadap pemerintah terutama dengan penetrasi kebijakan yang diikuti peraturan yang turut menghancurkan pengetahuan lokal seperti UU 5 tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa yang menggeser kedudukan Pemerintahan Adat, sekaligus menggusur kedudukan elit adat, serta secara tidak langsung menghancurkan budaya lokal yang hidup dan berkembang dalam masyarakat misalnya sistem pela dan gandong. Dengan demikian akar konflik dimaksud dapat disimpulkan merupakan masalah penguasaan yang tidak seimbang pada aspek ekonomi dan politik dilihat dari segi perbedaan agama dan budaya. Selain itu dapat dikatakan pula bahwasannya, studi-studi tersebut belum secara jelas menggambarkan keterkaitan jejaring sosial dan konflik sebagai bagian penting untuk memahami fenomena konflik yang muncul di masyarakat. Studi tentang jaringan sosial di Indonesia, ditemui pada studi Saefuddin 1992 yang berhasil mengidentifikasi hubungan sosial yang kontinu di antara anggota rumahtangga miskin; atau antara mereka dan pihak lain yang memiliki tingkat sosial ekonomi lebih tinggi, baik yang berasal dari dalam maupun dari luar masyarakat yang bersangkutan. Kemampuan penduduk miskin melakukan seleksi atas potensi sosial budaya untuk menghadapi lingkungan hidup di perkotaan, mendorong mereka untuk kreatif guna menciptakan dan memelihara penggunaan jaringan sosial baik untuk kelompok pemilik status ekonomi setara maupun berbeda. Sarana terpenting untuk hal tersebut adalah jaringan kekerabatan, ketetanggaan, pertemanan dan kesamaan tempat asal-usul. Selain itu ditemukan adanya bentuk pola jaringan vertikal dan horizontal rumahtangga miskin di perkotaan. Dalam membentuk jaringan sosial tersebut khususnya jaringan horizontal faktor kekerabatan merupakan salah satu unsur pengikat yang penting. Dalam hal ini jaringan merupakan sarana untuk memenuhi atau mengatasi tekanan kehidupan sosial-ekonomi di perkotaan. Agusyanto 1996 : 18 -19 menjelaskan, bahwa jaringan kepentingan terbentuk oleh hubungan yang bermuara pada tujuan tertentu atau tujuan khusus sehingga bila tujuan telah tercapai maka pelaku hubungan kepentingan tidak dilanjutkan lagi. Oleh karena itu, sturuktur sosial yang muncul dalam jaringan sosial seperti ini bersifat sementara dan terus berubah-ubah. Ruang bagi tindakan dan interaksi pun lebih didasarkan pada tujuan relasional. Sebaiknya, jika tujuan tersebut tidak konkret dan spesifik, atau hampir berulang setiap saat, struktur yang terbentuk relatif stabil dan permanen. Diikuti dengan studi Kusnadi 2000 : 206-207 yang menyimpulkan bahwa, jaringan sosial ikatan kerabat dan tetangga merupakan satu-satunya strategi adaptasi yang paling utama dan efektif bagi rumahtangga pandhiga di Pesisir untuk mengatasi kesulitan ekonomi dalam upaya memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Jika strategi ini tidak berhasil, maka mereka yang memiliki barang-barang berharga akan menggadaikan barang-barang tersebut. Namun bagi yang tidak memiliki barang berharga, jaringan sosial merupakan satu-satunya strategi. Beberapa studi jaringan sosial tersebut menghasilkan kesimpulan yaitu, jejaring sosial merupakan satu-satunya strategi adaptasi yang tepat untuk mengatasi masalah keterpurukkan ekonomi sebagai dampak rendahnya penguasaan terhadap sumberdaya. Jejaring sosial ini lebih kuat dengan adanya ikatan budaya kekerabatan, walau pun dapat terputus kapan saja jika tujuan tercapai. Studi-studi terrsebut juga lebih menunjukkan pada pentingnya jejaring dalam mempertahankan kehidupan untuk tetap eksis, sehingga lebih mengarah pada kerjasama antara individu ataupun antara kelompok masyarakat. Analisis fenomena kerjasama tersebut hanya berujung pada putusnya hubungan jika tujuan tercapai, tanpa melihat peluang konflik akibat putusnya hubungan tersebut. Selain itu terdapat studi yang terfokus pada penanganan pengungsi seperti studi Noveria dan Romdiati 2002, Noveria, dkk 2002 khusus untuk penanganan pengungsi Maluku Utara yang mengungsi ke Sulawesi Utara. Kemudian studi Purawana dan Bambang Hendarta Suta 2003 yang membahas kebijaksanaan penanganan pengungsi akibat konflik antar etnis di Sambas Kalimantan Barat. Studi Susetyo 2003 yang membahas dampak kebijakan relokasi terhadap pengungsi internal Sambas. Keempat studi ini menghasilkan serangkaian kesimpulan yaitu, terdapat tiga model pengungsian yang dilakukan pengungsi di kedua lokasi penelitian kembali ke desa asal, ke luar daerah dan mengungsi ke tempat yang aman di kota yang sama. Sementara itu, terdapat dua pola penanganan pengungsi yaitu, dengan melakukan relokasi dan pemulangan ke daerah asal. Kebijakan dalam penanganan pengungsi harus diikuti dengan proses pemberdayaan menuju kehidupan mandiri di tempatnya berada tempat sebelum konflik maupun tempat baru. Studi-studi tersebut lebih terarah pada kritik atas kebijakan pemerintah dalam penanganan pengungsi, sekaligus memberikan masukan guna penangan pengungsi yang lebih baik. Studi-studi ini juga sebenarnya menunjukkan berperannya jejaring sosial dalam penanganan pengungsi, walau pun tidak disebutkan secara tegas. Peran jejaring tersebut terlihat pada pemilihan model pengungsian serta pola penanganan, mengingat adanya ikatan antara pengungsi dengan tempat tujuan pengungsian menjadi unsur penting dalam pemilihan tersebut. Sehingga, secara tidak langsung ada jejaring yang terbangun dalam fenomena pengungsian tersebut. Berdasarkan pada gambaran sebelumnya, dapat dilihat bahwa isu agama di Maluku bukanlah masalah baru. Perbedaan agama menjadi salah satu sumber konflik di Maluku sejak masa penjajahan Belanda, ditunjang dengan lemahnya peran Negara dalam mengantisipasi kebebasan yang muncul setelah jatuhnya Orde Baru sehingga agama kembali digunakan untuk menyulut konflik Ambon tahun 1999. Dengan demikian penelusuran sejarah untuk memahami ajang konflik bernuansa agama di Ambon Maluku pada aras meso, serta di pedesaan Pulau Saparua 3 pada aras mikro ini merupakan dasar yang penting untuk menggali akar konflik yang sebenarnya, sekaligus menelusuri keterkaitan antara jejaring sosial dan konflik sebagai jalan untuk menentukan strategi manajemen konflik. Fokus penelitian ditentukan demikian mengingat, berdasarkan penelusuran studi-studi tersebut di atas khususnya untuk Maluku belum ada satu studi pun yang menjelaskan jejaring sosial dalam konflik sampai pada resolusi konflik sebagai bagian yang saling melengkapi karena kalau tidak ada konflik maka tidak ada implikasinya demikian pula akar konflik harus diselesaikan agar konflik yang sama tidak terulang lagi. Dengan demikian struktur sosial masyarakat studi dari aspek konflik sampai pada implikasinya dapat ditelusuri dengan tepat. Berdasarkan uraian sebelumnya, isu agama sebagai sumber konflik di Maluku khususnya kota Ambon bukanlah masalah baru. Perbedaan agama menjadi salah satu sumber konflik di Maluku sejak masa penjajahan Belanda, ditunjang dengan lemahnya peran Negara dalam mengantisipasi kebebasan yang muncul setelah jatuhnya Orde Baru sehingga agama kembali digunakan untuk menyulut konflik Ambon tahun 1999. Namun, belum ada kajian khusus tentang isu agama sebagai sumber konflik di pedesaan Maluku. Dengan demikian penelusuran sejarah untuk memahami ajang konflik bernuansa agama di Ambon Maluku pada aras meso, serta di pedesaan Pulau Saparua 4 pada aras mikro menjadi langkah, sekaligus menelusuri keterkaitan antara jejaring sosial dan konflik sebagai jalan untuk menentukan strategi resolusi konflik. Implikasi konflik yang perlu ditangani seperti penanganan pengungsi yang tidak kunjung selesai berpotensi menjadi sumber konflik baru. Padahal penanganan pengungsi sudah dilakukan sejak konflik pertama meletus tahun 1999. Berdasarkan pada latar belakang dan penelusuran studi-studi yang dilakukan sebelumnya seperti telah dikemukakan maka, dikembangkan tiga asumsi dasar yaitu : a. Konflik yang dimulai di Ambon sejak Januari 1999 berakar pada masalah ekonomi, politik, agama dan budaya ternyata dalam hitungan hari begitu cepat menyebar ke seluruh pulau Ambon, bahkan kemudian beberapa bulan kemudian menyebar ke wilayah administrasi atau Kabupaten lain Maluku Tengah, Maluku Tenggara dan 3 3 Dalam uraian selanjutnya Pulau Saparua hanya disebut Saparua akhirnya Maluku Utara – saat itu belum menjadi Propinsi sendiri, sehingga dapat dikatakan bahwa akar konflik ekonomi, politik, agama dan budaya menjadi ikatan penting dalam jejaring sosial yang terbentuk antar wilayah, mengingat penyebaran konflik dengan melintasi wilayah laut secara logis bukanlah sesuatu hal yang mudah dilaksanakan. b. Jejaring sosial yang diasumsikan menggerakkan akar konflik pada dasarnya pula bergantung pada elit yang berada di dalamnya mengingat elit-lah yang memiliki basis masa setiap anggota masyarakat pasti memiliki ikatan dengan elit-nya sehingga lebih mudah menggunakan elit sebagai motor dalam menggerakkan jejaring dibandingkan non-elit, sehingga dengan kekuatan yang dimilikinya elit dapat menggerakkan jejaring sosial ke arah konflik atau ke arah kerjasama. Asumsi ini mengarahkan pula pada peluang elit untuk menggunakan paling tidak dua jejaring sosial yaitu, jejaring sosial yang mengarah pada proses disosiatif konflik dan mengarah pada proses asosiatif kerjasama. c. Jika jejaring sosial ini mampu digunakan untuk memunculkan dan menyebarkan konflik jejaring sosial konflik, maka bukan tidak mungkin kalau dengan menggunakan jejaring sosial pula konflik dapat diredam dan diselesaikan dengan tepat. Dalam upaya meredam dan menyelesaikan konflik ini, jejaring sosial mengarah pada kerjasama jejaring sosial kerjasama. Dalam hal ini konflik dan kerjasama dillihat sebagai dua sisi mata uang, sehingga suatu saat yang muncul adalah konflik dan saat yang lain yang muncul adalah kerjasama. Dengan demikian, peluang munculnya konflik dan kerjasama pada saat yang sama menjadi mungkin mengingat elit mampu memanfaatkan lebih dari satu jejaring sosial.

1.3. Perumusan Masalah