dan formal dan diharapkan tersebar ke seluruh lapisan masyarakat. Pertemuan elit melalui kegiatan bakubae membuka kembali hubungan-hubungan elit Salam dan Sarani
melalui ikatan adat atau budaya, sehingga diharpkan menguatkan kembali hubungan- hubungan antar desa negeri
2
yang berbeda agama. Terpilihnya Raja dan Latupati sebagai elit di aras Negeri, menunjukkan kuatnya peran elit dalam kehidupan
masyarakat Maluku. Penyebaran konflik dapat dilakukan dengan memanfaatkan Raja dan Latupati
sebagai elit negeri dengan menggerakkan warga masyarakatnya untuk terlibat dalam konflik. Elit negeri juga dapat menahan warga masyarakatnya sehingga tidak terlibat
dalam konflik berkepanjangan. Oleh karena itu, campur tangan elit menyebabkan terjadinya konflik berkepanjangan atau konflik dapat segera diakhiri.
1.2. Fokus Penelitian
Sejak zaman kolonial, Maluku sebagai sumber rempah-rempah sudah menjadi ajang pertarungan negara-negara Barat Portugis, Spanyol, Inggris dan Belanda. Pada
saat itu pula, konflik dimulai antara Negara-negara Barat kolonial, maupun antara kaum kolonial yang mencari rempah-rempah dengan pemilik rempah-rempah. Dalam
upaya menguasai rempah-rempah sekaligus menyebarkan agama inilah, bangsa kolonial membelah masyarakat Maluku berdasarkan dua agama besar yaitu Salam dan
Sarani Protestan dan Katolik. Kenyataan tersebut dapat ditemui dalam berbagai dokumen baik yang berbahasa Belanda, maupun yang di-Indonesiakan pada berbagai
perpustakaan serta Daftar Inventaris Arsip Ambon Arsip Nasional. Orang Belanda tiba di Ambon pada saat sedang terjadi permusuhan hebat
antara rakyat Maluku dengan orang-orang Portugis; antara rakyat yang beragama Sarani dengan rakyat yang beragama Salam. Usaha-usaha orang Portugis untuk
menguasai gudang rempah-rempah tidak berhasil. Permusuhan dengan Kerajaan Ternate yang saat itu menguasai hampir seluruh wilayah Maluku, disebabkan oleh
tindakan-tindakan gubernur dan serdadu-serdadu Portugis yang tidak bijaksana. Monopoli yang dijalankan Poprtugis, menimbulkan permusuhan dengan pedagang-
pedagang Ternate, Tidore, Jawa, Makasar dan Melayu. Saat itu yang dimaksud dengan Maluku ialah daerah geografis Propinsi Maluku termasuk Maluku Utara sebelum
pemekaran. Daerah asli Maluku hanya meliputi Halmahera Barat Jailolo dan pulau-
2
2 Selanjutnya disebut negeri berdasarkan Perda Pemerintah Kabupaten Maluku Tegah No.1 Tahun 2006
pulau sekitarnya, Ternate, Tidore dan Bacan. Dalam bahasa Ternate disebut Muloko Naidah dalam B.K.I 2de deel 4de volgreeks, hal. 382 dikutip Leirissa, dkk, 1982.
Cita-cita perang salib yang dipindahkan dari Eropa ke Asia, menimbulkan permusuhan dengan raja-raja Salam, pedagang-pedagang Salam dan rakyat yang
beragama Salam. Dualisme timbul dalam politik mereka, yaitu melaksanakan tugas memerangi orang-orang Salam di mana saja dan menyebarkan agama Sarani Katolik,
dihadapkan pada keharusan berdagang dengan pedagang-pedagang Salam dan bersekutu dengan sultan-sultan Salam. Politik mencari untung dicampurbaurkan
dengan politik penyebaran agama. Dualisme ini akhirnya melemahkan dan melenyapkan kedudukan mereka dari Ternate dan menimbulkan peperangan dengan
Hitu Manusama, 1977 : 15. Setahun kemudian Negeri Hitu dibantu dengan orang-orang Jawa menyerang
orang-orang Portugis dan berhasil mengusir mereka dari Jazirah Leihitu. Orang-orang Portugis menuju ke Leitimur jazirah tempat kedudukan pusat kota Ambon saat ini. Di
sini mereka diterima dengan baik oleh kepala-kepala negeri desa sekarang ini dan rakyat, karena Leitimur mendapat kawan untuk menyerang dan melawan musuh-musuh
lama mereka dari Hitu. Penerimaan yang baik, menimbulkan hal-hal yang baik pula bagi rakyat Leitimur; mereka berkenalan dengan agama Sarani yang membawa perubahan
batin dan keyakinan. Tetapi justru penerimaan ini menimbulkan juga hal-hal yang buruk, yaitu pertumpahan darah yang berlarut-larut karena perang agama Salam dan Sarani.
Lembaran sejarah yang digambarkan tersebut, termasuk lembaran sejarah terhitam dalam perkembangan agama Salam dan Sarani di Maluku. Tidak kalah
kejamnya dengan kekejaman yang dilakukan di daerah-daerah lain, misalnya sekitar antara Islam dan Kristen di Laut Tengah semasa Perang Salib. Mungkin sekali keadaan
yang buruk itu lambat laun menyadarkan rakyat di berbagai negeri. Kepala-kepala adat, orang-orang kaya, raja-raja mencari jalan untuk berdamai. Kemungkinan besar
persekutuan pela saudara yang dikenal sampai sekarang ini, timbul sebagai hasil kesadaran akan masa yang gelap itu.
Pela mula-mula timbul dalam Patasiwa, yang kemudian bercampur dan tersebar ke seluruh Maluku tengah. Persekutuan Pela itu adalah suatu jalan untuk mengakhiri
permusuhan antara Salam dan Sarani, suatu jalan yang sangat efektif untuk menghentikan pertikaian. Walau pun ternyata saat pecah konflik Januari 1999, adanya
ikatan pela tidak mampu meredamnya. Bahkan desa-desa Salam dan Sarani yang memiliki ikatan pela, justru tidak mampu menahan keinginan sesama agamanya untuk
menyerang dan menghancurkan desa lain yang berbeda agama tetapi masih memiliki ikatan pela.
Penjelasan tersebut di atas merupakan benang merah dari beberapa studi oleh peneliti asing terutama Belanda yang sudah berupaya mengakomodir kondisi konflik
masa lampau pada zaman penjajahan, walau pun lebih terarah pada aras meso dan makro. Di antaranya Jansen 1929, Fraassen 1972, Bartels 1977, Van Klinken
1999 dan Bartels 2000. Walau pun pada aras mikro sulit ditemui, namun disertasi Hikayat Tanah Hitu Manusama, 1977 sampai saat ini cukup mewakali ajang konflik di
aras mikro. Setelah konflik bernuansa Agama mulai terjadi sejak Januari 1999, muncul
berbagai tulisan dari masing-masing pihak yang berkonflik berupa pembelaan diri maupun saling menyalahkan – bahkan sampai melibatkan lembaga resmi dari kedua
kelompok agama yang bertikai, sehingga upaya memahami konflik dari para pelaku atau aktor sulit ditelusuri karena sudah terkooptasi dengan suasana konflik. Selain itu,
ada pula tulisan dari berbagai penulis lain yang lebih terfokus pada upaya menggali akar konflik kronologis kejadian sejak 19 Januari 1999 serta mengaitkannya dengan aras
meso pertikaian elit politik daerah antara elit – pejabatbirokrat yang Salam dan Sarani dalam memperebutkan kedudukan tertentu dalam pemerintahan. Tulisan-tulisan
tersebut antara lain melalui studi Kastor 2000, Nanere 2000, serta laporan evaluasi jalannya konflik Ambon-Maluku oleh Tim Pengacara Muslim dan Tim Pengacara Gereja.
Selain itu, ada juga yang mengaitkan dengan aras makro konflik Indonesia saat jatuhnya pemerintah Orde Baru – Soeharto, kemudian berusaha menyusun berbagai
strategi pemecahan konflik. Ternyata, berbagai tulisan tersebut tidak sampai menelusuri fenomena masa lalu sejarah secara rinci sampai pada aras mikro, walaupun ada juga
yang menelusuri sejarah konflik pada aras meso dan makro. Seperti studi Ecip 1999 yang juga mengkaji akar permasalahan pada aras meso dan mengupayakan
pemecahan sekaligus sebagai dasar pada upaya manajemen konflik yang marak di berbagai daerah di Indonesia. Studi Salampessy, dkk 2001 sebagai kumpulan tulisan
bernuansa sosiologi yang mengkaji akar permasalahan pada aras meso dan menghubungkan dengan aras makro. Akhirnya, studi Eriyanto 2003 tentang konflik
media yang dijalankan masing-masing komunitas. Perlu diingat, bahwa studi-studi tersebut lebih netral dan tidak mengandung unsur keberpihakan pada salah satu
komunitas.
Di luar ajang konflik Ambon – Maluku pada aras mikro, meso dan makro terdapat beberapa tulisan yang juga memusatkan pada penelusuran akar permasalahan ajang
konflik di berbagai daerah yang terpumpun pada kekuatan sosiologis. Beberapa tulisan tersebut antara lain, Sihbudi dan Nurhasim 2001 yang memfokuskan pada kasus
Kupang, Mataram dan Sambas sebagai keterkaitan kasus konflik yang dipicu oleh suatu jaringan yang terorganisir dengan baik. Studi Surata dan Taufiq 2001 yang
memfokuskan pada menggali akar permasalahan konflik etnis di Sambas dan Sampit serta Kalimantan pada aras meso yang menunjukkan keterpinggiran etnis lokal akibat
kemampuan yang ditunjukkan etnis pendatang yang akhirnya menguasai hampir seluruh kekuatan ekonomi informal, diikuti dengan cara mengatasinya. Studi Soemardjan dan
Yayasan Ilmu-Ilmu Sosial 2001 yang juga menggali dan mengidentifikasi akar permasalahan konflik yang marak di Indonesia aras makro berdasarkan kasus pada
aras meso yang kelihatannya dapat menjadi kesimpulan dari berbagai studi sebelumnya, serta menyusun upaya penyelesaiannya.
Demikian pula studi Simanjuntak 2002 yang mefokuskan pada konflik status dan kekuasaan masyarakat Batak Toba, sebagai studi sosiologis yang paling serius
dengan ajang konflik yang terstruktur secara tegas dan mantap dimulai dari aras mikro pedesaan, kemudian menunjukkan keterkaitannya dengan aras meso kabupaten dan
propinsi, serta keterkaitannya dengan aras makro peran elit etnis Batak Toba yang berada di Jakarta. Studi ini pula secara tidak langsung, menggambarkan jaringan
sosial yang dibangun dari mikro sampai makro atau pun sebaliknya, walau pun untuk tataran teoritik tidak memberikan sumbangan yang signifikan karena lebih menunjukkan
tataran praktis. Kesimpulan yang dapat ditarik berdasarkan hasil studi bernuansa konflik yaitu,
akar konflik di Maluku bersumber pada lebih mampunya penduduk pendatang migran memasuki dan menguasai sektor informal yang selama ini tidak digarap oleh penduduk
lokal kemudian mulai menyebar ke sektor formal yang memunculkan persaingan dengan penduduk lokal; pertarungan elit politik lokal salam dan sarani dalam menduduki
kekuasaan di bidang pemerintahan birokrat sekaligus mengarahkan persaingan ke aspek agama; kekecewaan masyarakat terhadap pemerintah terutama dengan
penetrasi kebijakan yang diikuti peraturan yang turut menghancurkan pengetahuan lokal seperti UU 5 tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa yang menggeser kedudukan
Pemerintahan Adat, sekaligus menggusur kedudukan elit adat, serta secara tidak langsung menghancurkan budaya lokal yang hidup dan berkembang dalam masyarakat
misalnya sistem pela dan gandong. Dengan demikian akar konflik dimaksud dapat disimpulkan merupakan masalah penguasaan yang tidak seimbang pada aspek
ekonomi dan politik dilihat dari segi perbedaan agama dan budaya. Selain itu dapat dikatakan pula bahwasannya, studi-studi tersebut belum secara jelas menggambarkan
keterkaitan jejaring sosial dan konflik sebagai bagian penting untuk memahami fenomena konflik yang muncul di masyarakat.
Studi tentang jaringan sosial di Indonesia, ditemui pada studi Saefuddin 1992 yang berhasil mengidentifikasi hubungan sosial yang kontinu di antara anggota
rumahtangga miskin; atau antara mereka dan pihak lain yang memiliki tingkat sosial ekonomi lebih tinggi, baik yang berasal dari dalam maupun dari luar masyarakat yang
bersangkutan. Kemampuan penduduk miskin melakukan seleksi atas potensi sosial budaya untuk menghadapi lingkungan hidup di perkotaan, mendorong mereka untuk
kreatif guna menciptakan dan memelihara penggunaan jaringan sosial baik untuk kelompok pemilik status ekonomi setara maupun berbeda. Sarana terpenting untuk hal
tersebut adalah jaringan kekerabatan, ketetanggaan, pertemanan dan kesamaan tempat asal-usul. Selain itu ditemukan adanya bentuk pola jaringan vertikal dan horizontal
rumahtangga miskin di perkotaan. Dalam membentuk jaringan sosial tersebut khususnya jaringan horizontal faktor kekerabatan merupakan salah satu unsur
pengikat yang penting. Dalam hal ini jaringan merupakan sarana untuk memenuhi atau mengatasi tekanan kehidupan sosial-ekonomi di perkotaan.
Agusyanto 1996 : 18 -19 menjelaskan, bahwa jaringan kepentingan terbentuk oleh hubungan yang bermuara pada tujuan tertentu atau tujuan khusus sehingga bila
tujuan telah tercapai maka pelaku hubungan kepentingan tidak dilanjutkan lagi. Oleh karena itu, sturuktur sosial yang muncul dalam jaringan sosial seperti ini bersifat
sementara dan terus berubah-ubah. Ruang bagi tindakan dan interaksi pun lebih didasarkan pada tujuan relasional. Sebaiknya, jika tujuan tersebut tidak konkret dan
spesifik, atau hampir berulang setiap saat, struktur yang terbentuk relatif stabil dan permanen. Diikuti dengan studi Kusnadi 2000 : 206-207 yang menyimpulkan bahwa,
jaringan sosial ikatan kerabat dan tetangga merupakan satu-satunya strategi adaptasi yang paling utama dan efektif bagi rumahtangga pandhiga di Pesisir untuk mengatasi
kesulitan ekonomi dalam upaya memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Jika strategi ini tidak berhasil, maka mereka yang memiliki barang-barang berharga akan menggadaikan
barang-barang tersebut. Namun bagi yang tidak memiliki barang berharga, jaringan sosial merupakan satu-satunya strategi.
Beberapa studi jaringan sosial tersebut menghasilkan kesimpulan yaitu, jejaring sosial merupakan satu-satunya strategi adaptasi yang tepat untuk mengatasi masalah
keterpurukkan ekonomi sebagai dampak rendahnya penguasaan terhadap sumberdaya. Jejaring sosial ini lebih kuat dengan adanya ikatan budaya kekerabatan, walau pun
dapat terputus kapan saja jika tujuan tercapai. Studi-studi terrsebut juga lebih menunjukkan pada pentingnya jejaring dalam mempertahankan kehidupan untuk tetap
eksis, sehingga lebih mengarah pada kerjasama antara individu ataupun antara kelompok masyarakat. Analisis fenomena kerjasama tersebut hanya berujung pada
putusnya hubungan jika tujuan tercapai, tanpa melihat peluang konflik akibat putusnya hubungan tersebut.
Selain itu terdapat studi yang terfokus pada penanganan pengungsi seperti studi Noveria dan Romdiati 2002, Noveria, dkk 2002 khusus untuk penanganan pengungsi
Maluku Utara yang mengungsi ke Sulawesi Utara. Kemudian studi Purawana dan Bambang Hendarta Suta 2003 yang membahas kebijaksanaan penanganan pengungsi
akibat konflik antar etnis di Sambas Kalimantan Barat. Studi Susetyo 2003 yang membahas dampak kebijakan relokasi terhadap pengungsi internal Sambas. Keempat
studi ini menghasilkan serangkaian kesimpulan yaitu, terdapat tiga model pengungsian yang dilakukan pengungsi di kedua lokasi penelitian kembali ke desa asal, ke luar
daerah dan mengungsi ke tempat yang aman di kota yang sama. Sementara itu, terdapat dua pola penanganan pengungsi yaitu, dengan melakukan relokasi dan
pemulangan ke daerah asal. Kebijakan dalam penanganan pengungsi harus diikuti dengan proses pemberdayaan menuju kehidupan mandiri di tempatnya berada tempat
sebelum konflik maupun tempat baru. Studi-studi tersebut lebih terarah pada kritik atas kebijakan pemerintah dalam penanganan pengungsi, sekaligus memberikan masukan
guna penangan pengungsi yang lebih baik. Studi-studi ini juga sebenarnya menunjukkan berperannya jejaring sosial dalam penanganan pengungsi, walau pun
tidak disebutkan secara tegas. Peran jejaring tersebut terlihat pada pemilihan model pengungsian serta pola penanganan, mengingat adanya ikatan antara pengungsi
dengan tempat tujuan pengungsian menjadi unsur penting dalam pemilihan tersebut. Sehingga, secara tidak langsung ada jejaring yang terbangun dalam fenomena
pengungsian tersebut. Berdasarkan pada gambaran sebelumnya, dapat dilihat bahwa isu agama di
Maluku bukanlah masalah baru. Perbedaan agama menjadi salah satu sumber konflik di Maluku sejak masa penjajahan Belanda, ditunjang dengan lemahnya peran Negara
dalam mengantisipasi kebebasan yang muncul setelah jatuhnya Orde Baru sehingga agama kembali digunakan untuk menyulut konflik Ambon tahun 1999. Dengan demikian
penelusuran sejarah untuk memahami ajang konflik bernuansa agama di Ambon Maluku pada aras meso, serta di pedesaan Pulau Saparua
3
pada aras mikro ini merupakan dasar yang penting untuk menggali akar konflik yang sebenarnya, sekaligus
menelusuri keterkaitan antara jejaring sosial dan konflik sebagai jalan untuk menentukan strategi manajemen konflik. Fokus penelitian ditentukan demikian mengingat,
berdasarkan penelusuran studi-studi tersebut di atas khususnya untuk Maluku belum ada satu studi pun yang menjelaskan jejaring sosial dalam konflik sampai pada resolusi
konflik sebagai bagian yang saling melengkapi karena kalau tidak ada konflik maka tidak ada implikasinya demikian pula akar konflik harus diselesaikan agar konflik yang sama
tidak terulang lagi. Dengan demikian struktur sosial masyarakat studi dari aspek konflik sampai pada implikasinya dapat ditelusuri dengan tepat.
Berdasarkan uraian sebelumnya, isu agama sebagai sumber konflik di Maluku khususnya kota Ambon bukanlah masalah baru. Perbedaan agama menjadi salah satu
sumber konflik di Maluku sejak masa penjajahan Belanda, ditunjang dengan lemahnya peran Negara dalam mengantisipasi kebebasan yang muncul setelah jatuhnya Orde
Baru sehingga agama kembali digunakan untuk menyulut konflik Ambon tahun 1999. Namun, belum ada kajian khusus tentang isu agama sebagai sumber konflik di
pedesaan Maluku. Dengan demikian penelusuran sejarah untuk memahami ajang konflik bernuansa agama di Ambon Maluku pada aras meso, serta di pedesaan Pulau
Saparua
4
pada aras mikro menjadi langkah, sekaligus menelusuri keterkaitan antara jejaring sosial dan konflik sebagai jalan untuk menentukan strategi resolusi konflik.
Implikasi konflik yang perlu ditangani seperti penanganan pengungsi yang tidak kunjung selesai berpotensi menjadi sumber konflik baru. Padahal penanganan
pengungsi sudah dilakukan sejak konflik pertama meletus tahun 1999. Berdasarkan pada latar belakang dan penelusuran studi-studi yang dilakukan
sebelumnya seperti telah dikemukakan maka, dikembangkan tiga asumsi dasar yaitu : a.
Konflik yang dimulai di Ambon sejak Januari 1999 berakar pada masalah ekonomi, politik, agama dan budaya ternyata dalam hitungan hari begitu cepat menyebar ke
seluruh pulau Ambon, bahkan kemudian beberapa bulan kemudian menyebar ke wilayah administrasi atau Kabupaten lain Maluku Tengah, Maluku Tenggara dan
3 3
Dalam uraian selanjutnya Pulau Saparua hanya disebut Saparua
akhirnya Maluku Utara – saat itu belum menjadi Propinsi sendiri, sehingga dapat dikatakan bahwa akar konflik ekonomi, politik, agama dan budaya menjadi ikatan
penting dalam jejaring sosial yang terbentuk antar wilayah, mengingat penyebaran konflik dengan melintasi wilayah laut secara logis bukanlah sesuatu hal yang
mudah dilaksanakan. b.
Jejaring sosial yang diasumsikan menggerakkan akar konflik pada dasarnya pula bergantung pada elit yang berada di dalamnya mengingat elit-lah yang memiliki
basis masa setiap anggota masyarakat pasti memiliki ikatan dengan elit-nya sehingga lebih mudah menggunakan elit sebagai motor dalam menggerakkan
jejaring dibandingkan non-elit, sehingga dengan kekuatan yang dimilikinya elit dapat menggerakkan jejaring sosial ke arah konflik atau ke arah kerjasama.
Asumsi ini mengarahkan pula pada peluang elit untuk menggunakan paling tidak dua jejaring sosial yaitu, jejaring sosial yang mengarah pada proses disosiatif
konflik dan mengarah pada proses asosiatif kerjasama. c.
Jika jejaring sosial ini mampu digunakan untuk memunculkan dan menyebarkan konflik jejaring sosial konflik, maka bukan tidak mungkin kalau dengan
menggunakan jejaring sosial pula konflik dapat diredam dan diselesaikan dengan tepat. Dalam upaya meredam dan menyelesaikan konflik ini, jejaring sosial
mengarah pada kerjasama jejaring sosial kerjasama. Dalam hal ini konflik dan kerjasama dillihat sebagai dua sisi mata uang, sehingga suatu saat yang muncul
adalah konflik dan saat yang lain yang muncul adalah kerjasama. Dengan demikian, peluang munculnya konflik dan kerjasama pada saat yang sama menjadi
mungkin mengingat elit mampu memanfaatkan lebih dari satu jejaring sosial.
1.3. Perumusan Masalah