Migrasi Anak Negeri Saparua 1. Tuntutan Pendidikan dan Pekerjaan

kuat bagi kedua warga negeri Pia dan Kulor untuk bersama-sama menjalani kehidupan ke depan, bahkan perjanjian perdamaian serta kesepakatan dimaksud turut dihadiri oleh Ketua MUI Maluku dan Ketua Sinode GPM Maluku. Konflik dusun Pia dan negeri Kulor tidak melibatkan tokoh-tokoh masyarakat Pia baik yang ada di Ambon, Masohi, Jakarta maupun Belanda. Bahkan mereka yang sangat berperan memberi bantuan berupa makanan, pakaian bekas layak lakai serta uang saat mengungsi ke Saparua selama dua tahun. Jadi selayaknya masyarakat Pia berterimakasih kepada mereka, karena bantuan tersebut sangatlah membantu saat berada di lokasi pengungsian. Selain itu, saat kembali warga Pia di Belanda melalui LSM di Ambon memberikan bantuan air bersih yang menggunakan tenaga matahari. Air bersih tersebut masih berfungsi sampai saat ini dan sangat membantu kekurangan air yang dialami warga. Oleh karena itu, bantuan air bersih diarahkan kepada warga yang berada di perbatasan mengarah ke Kulor dengan dibangunnya dua bak penampung yang dilengkapi keran air yang dapat digunakan secara bergiliran sejak pagi hingga sore hari. 5.2. Migrasi Anak Negeri Saparua 5.2.1. Tuntutan Pendidikan dan Pekerjaan Jauh sebelum konflik merebak di Maluku, orang Saparua telah lama mendiami kota Ambon dengan berbagai tujuan. Orang Saparua lebih mudah memperoleh pendidikan sebagai “hadiah” karena memeluk agama Sarani yang disebarkan oleh Belanda bersamaan dengan politik perdagangan rempah-rempah. Hal ini juga dinikmati sebagian kecil komunitas Salam terutama mereka yang memiliki kedudukan penting dalam masyarakat, seperti keluarga Raja dan Tokoh Adat. Anak negeri Saparua yang telah menyelesaikan pendidikan dasarnya, berpindah ke Ambon untuk melanjutkan pendidikan ke tingkat lebih tinggi. Saat itu tingkat pendidikan lanjutan termasuk Sekolah Guru hanya berada di kota Ambon. Perpindahan ini kemudian menyebabkan mereka menetap di kota Ambon, setelah memperoleh pekerjaan yang layak sebagai pegawai pemerintahan. Arus migrasi ini kemudian membentuk sejumlah besar masyarakat asal Saparua baik Salam maupun Sarani di kota Ambon. Selain itu ada yang menyebar ke wilayah lain di Maluku dan kemudian memilih menetap secara permanen seperti di Pulau Seram, Pulau Banda, Pulau Kei dan Pulau Tanimbar sebagai Guru maupun sebagai Guru Agama dulunya disebut Guru Zending. Penempatan saat bekerja menyebabkan ada yang menetap di wilayah mayoritas Salam atau mayoritas Sarani. Saat konflik merebak akibat perbedaan agama ada yang kembali ke Saparua karena rumah mereka hancur dan mengalami kehilangan harta benda yang telah diupayakan selama puluhan tahun. Selain ke wilayah lain di Maluku ada pula anak negeri Saparua yang menyebar sampai ke Papua. Keturunan mereka tersebar di berbagai wilayah di Papua sampai saat ini. Keberadaan orang Saparua di luar Maluku menjadi sumber ikatan baru ketika konflik merebak di Ambon. Oleh karena itu, Papua merupakan salah satu wilayah tujuan pengungsian komunitas Salam dan Sarani. Selain melanjutkan ke Ambon, orang Saparua juga melanjutkan penidikan ke tingkat Perguruan Tinggi ke Makasar dan Manado. Sebagian dari mereka ada yang kembali untuk mengabdikan diri di daerah asal Maluku. Sebagian lagi menetap di Makasar dan Manado. Keberadaan orang Saparua di Manado dan Makasar juga menjadi sumber ikatan kekerabatan yang menarik arus pengungsian saat konflik. Banyak juga orang Saparua yang merantau sampai ke Pulau Jawa untuk melakukan berbagai pekerjaan. Beberapa orang Saparua kemudian berhasil memperoleh pekerjaan yang layak dan digolongkan sebagai tokoh masyarakat Saparua di perantauan. Orang Saparua yang di perantauan turut berperan penting meringankan beban pengungsi saat konflik melalui bantuan baik moril maupun materiil tanpa melihat perbedaan agama yang dianut. Bahkan mereka cenderung menyalahkan kondisi masyarakat Saparua yang harus terpecah menjadi kelompok Salam dan Sarani. Selain aliran migrasi anak negeri ke luar Saparua ada pula etnis lain yang masuk ke Saparua. Etnis Buton datang ke Saparua untuk menjadi petani penggarap tanah. Etnis Bugis dan Padang menjadi pedagang sekaligus pedagang pengumpul kecamatan dan jejaring perdagangan rempah-rempah dengan etnis Cina sebagai pedagang besar di Ambon. Etnis Jawa sebagai pedagang keliling maupun pekerjaan jasa di sektor informal lainnya. Keberadaan etnis Cina di Saparua mendominasi perdagangan sebagai pedagang pengecer bagi pedagang kecil di pedesaan Saparua. 5.2.2. Arus Migrasi Sebagai Pengungsi di Saparua Konflik Ambon menyebabkan orang Saparua yang menetap di Ambon maupun wilayah lain di Maluku kembali ke Saparua. Aliran migrasi sebagai pengungsi menjadi sumber-sumber informasi yang akurat bagi masyarakat Saparua. Informasi tentang konflik terbaru beserta akibat-akibatnya menjadi bahan pembicaraan dan membentuk persepsi yang sama di aras negeri. Penyebaran informasi meluas ke negeri-negeri lain dan membentuk persepsi antara komunitas seagama. Persepsi dimaksud kemudian berubah menjadi keinginan untuk membalaskan kehancuran terhadap komunitas yang berbeda agama. Padahal komunitas berbeda agama di luar Saparua yang menyebabkan kerugian bahkan kematian anggota komunitas tertentu di Saparua. Kenyataan demikian disebut sebagai rasionalitas idiologi. Rasionalitas idiologi yaitu rasional yang hanya didasarkan pada kebenaran idiologinya sendiri. Idiologi pihak lain tidak pernah diperhitungkan apalagi dibenarkan. Kondisi demikian menyebabkan terjadinya konflik antara Salam dan Sarani di pedesaan Saparua. Konflik yang terjadi memutuskan jejaring ekonomi hubungan dagang, jejaring politik aliansi separtai politik, jejaring adatbudaya kekerabatan pela dan gandong. Jejaring yang tetap dipertahankan hanyalah ikatan seagama. Oleh karena itu sesama Sarani membentuk komunitas negeri-negeri Sarani, sedangkan sesama Salam membentuk komunitas negeri-negeri Salam. Intensitas konflik meningkat saat anak-anak negeri yang tersebar di luar Saparua dilibatkan sebagai upaya mempertahankan negeri. Upaya mempertahankan negeri dilakukan dengan dua cara yaitu, membentuk pertahanan untuk mengantisipasi serangan pihak lain dan melakukan penyerangan ke negeri yang berbeda agama. Keterlibatan dimaksud berupa bantuan tenaga yang disertai peralatan senjata rakitan maupun standart yang diperoleh dengan berbagai cara. Pemilikan senjata standart terbukti melalui penyerahan senjata oleh anak negeri di Saparua seperti di Ulath, Sirisori Sarani, Sirisori Salam, Noloth dan Itawaka kepada pihak berwenang Kepolisian dan TNI. Ikut sertanya anak negeri dari luar Saparua memperparah situasi dan kondisi konflik di Saparua. Keterlibatan anak negeri Saparua di kota Ambon dan sekitarnya saat konflik berlangsung, menjadi ikatan dalam jejaring sosial seagama sebagai sumber- sumber bantuan utama untuk menjaga kondisi keamanan negeri maupun mengupayakan serangan ke negeri yang berbeda idiologi. Saat konflik terjadi di Saparua, etnis Buton, Bugis dan Padang mengungsi ke luar Saparua karena tempat tinggal mereka berada di antara mayoritas Sarani. Keberadaan etnis-etnis tersebut semakin terdesak saat terjadi penyerangan pihak Salam yang menghancurkan negeri Kariu di Pulau Haruku yang beragama Sarani. Penghancuran tersebut menimbulkan emosional komunitas Sarani di Saparua yang dimanifestasikan dengan keinginan membalaskan dendam melalui pembakaran dan penghancuran rumah komunitas Salam dari etnis Buton, Bugis dan Padang yang tinggal dalam wilayah mayoritas komunitas Sarani. Padahal etnis Buton, Bugis dan Padang di Saparua bukan penyebab hancurnya negeri Kariu. Kesamaan agama menjadi alasan pembenaran tindakan pembalasan tersebut. Hal yang sama dialami anak negeri Saparua yang bertempat tinggal di antara mayoritas komunitas Salam di Saparua. Berbeda dengan komunitas Salam dan Sarani asal Saparua di luar Maluku yang tetap mempertahankan keberagaman kehidupan bermasyarakat. Keberadaan anak-anak negeri Saparua di luar Maluku seperti di Papua, Makasar, Manado dan Pulau Jawa menjadi sumber-sumber bantuan untuk memenuhi kebutuhan hidup saudaranya di Saparua. Para perantau asal Saparua memberikan bantuan baik makanan, pakaian dan uang tunai kepada anak negerinya yang seagama maupun berbeda agama. Hal ini dimungkinkan karena di perantauan tidak ada konflik antara sesama anak negeri Saparua yang berbeda agama. Masing-masing pihak saling meminta dan menerima bantuan, jika ada permintaan bantuan untuk pembangunan rumah ibadah di Saparua. Bahkan saat konflik, bantuan dari tokoh masyarakat negeri Ihamahu di Pulau Jawa banyak disalurkan ke negeri Iha yang menjadi korban konflik. Sementara mereka yang bermukim di Belanda, banyak memberikan bantuan dana untuk membeli senjata standart guna mempertahankan keberadaan negeri asal di Saparua. Namun ada yang tidak menyetujui hal dimaksud dan menyarankan untuk dilakukan rekonsiliasi secara merata di wilayah Saparua. Setelah konflik mulai mereda rekonsiliasi tersebut dikonkritkan dengan terbentuknya Panitia Pembangunan Gereja Sirisori Sarani yang didukung oleh Sirisori Salam. Juga membentuk Panitia Pembangunan Gereja Pia yang didukung oleh negeri Kulor. Hal-hal tersebut kemudian menjadi dasar dalam proses keberlanjutan resolusi konflik di Saparua.

5.2.3. Arus Migrasi Ke Luar Maluku Untuk Mencari Ikatan Kekerabatan

Selain kembali ke Saparua, banyak pula anak negeri Saparua yang memilih ke luar Maluku dengan alasan keamanan. Umumnya lokasi yang dipilih lebih didasarkan adanya ikatan kekerabatan. Misalnya, jika ada kerabat yang berdiam di Papua maka dipastikan Papua menjadi tujuan mereka menyelamatkan diri karena Papua menjadi lokasi yang lebih aman dibandingkan Maluku. Selain itu peluang kerja lebih terasa lebih mudah didapatkan di Papua dibandingkan wilayah lain seperti di Sulawesi maupun Pulau Jawa. Pemilihan Papua juga terkait dengan jejaring ekonomi khususnya pemasaran sagu dengan produk turunannya oleh kaum perempuan papalele. Saat konflik banyak yang bermigrasi ke luar Maluku untuk mencari suasana aman sekaligus melanjutkan pendidikan. Anggota komunitas Sarani lebih memilih Manado sebagai tempat tujuan perpindahan pendidikan anak-anak mereka, karena mayoritas penduduk di Manado beragama Sarani. Kebalikannya dengan yang Salam lebih memilih Makasar maupun Kendari sebagai tujuan perpindahan pendidikan anak- anak mereka, karena kedua kota tersebut pendudukanya mayoritas beragama Salam. Fakta ini memperkuat bahwasannya dampak konflik yang bernuansa agama memunculkan pemikaran bahwa, keamanan itu lebih terjamin jika tinggal dengan komunitas yang seagama. Hal tersebut mempersulit tercapainya resolusi konflik di Saparua pada tataran mikro, serta di Ambon pada tataran meso.

5.3. Peran Elit Agama Dalam Konflik di Pedesaan Saparua