Penduduk Saparua 1. Pertumbuhan Penduduk dan Migrasi

pengikat yang lebih kuat dibandingkan dengan unsur territorial tanah. Hal ini bukan berarti bahwa, ikatan antara kelompok dengan tanah tidak mempunyai pengaruh yang kuat dalam perpaduannya dengan ikatan genealogis. Dalam hal pemilikan, pewarisan, dapat dilihat adanya saling pengaruh antara ikatan genealogis dan ikatan territorial. Faktor struktural masyarakat saparua memiliki fungsi laten yang merupakan akar dari perkelahian antarnegeri, yang ditandai oleh sikap-sikap mereka yang keras. Selain itu, ikatan genealogis dan tanah memegang peranan penting dalam memelihara nilai kebersamaan serta nilai kesetiaan antara anggota. Rasa kebersamaan karena saling percaya memperkuat mentalitas riligiomagis, yang menguasai seluruh kehidupan individu dan kelompok untuk mewujudkan satu bentuk perkelahian massal. 4.3. Penduduk Saparua 4.3.1. Pertumbuhan Penduduk dan Migrasi Jumlah penduduk Pulau Saparua tahun 2005 sebesar 33.221 jiwa, dengan jumlah penduduk laki-laki sebesar 16.654 jiwa dan Perempuan 16.567 jiwa. Selain itu terdapat 8 warga negara asing yang bertempat tinggal di Negeri Saparua. Bila dibandingkan per negeri maka jumlah penduduk dan kepadatan Negeri Haria lebih besar dibandingkan negeri-negeri lainnya di Pulau Saparua Tabel 5. Tabel 5. Luas, Jumlah Penduduk dan Kepadatan Penduduk Menurut Negeri di Pulau Saparua NO NEGERI LUAS KM 2 JUMLAH PENDUDUK JIWA KEPADATAN ORANG KM 1 OUW 9,50 1.721 181,16 2 ULATH 6,80 1.612 237,06 3 SIRISORI SALAM 8,20 2.059 251,10 4 SIRISORI AMALATU 18,00 2.005 111,39 5 SAPARUA 8,00 2,694 336,75 6 TIOUW 7,90 1,466 185,57 7 PAPERU 9,10 1.343 147,58 8 BOOI 8,20 1.024 124,88 9 HARIA 16,70 6.464 387,07 10 PORTO 23,50 2.513 106,94 11 KULUR 6,50 837 128,77 12 TUHAHA 13,30 2.350 176,69 13 MAHU 6,55 654 99,85 14 IHAMAHU 12,10 1.505 124,83 15 IHA 0,75 - - 16 NOLLOTH 11,20 3.070 247,11 17 ITAWAKA 10,20 1.904 186,67 Sumber : Kecamatan Saparua Dalam Angka Tahun 2006

4.3.2. Keragaman Etnik dan Religi

Secara rinci komposisi penduduk di Saparua terdiri dari beberapa etnis antara lain etnis Maluku keturunan Arab, penduduk asli blasteran Negroid-Melayu, dan etnis pendatang dari Bugis, Buton, Makasar, Sumatera, Jawa, Madura, Bali, Toraja dan Cina. Di antara etnis pendatang tersebut yang paling dominan adalah Buton, Bugis dan Makasar BBM. Etnis Buton merupakan etnis yang paling banyak dan lama menetap di Saparua. Pendatang Buton pertama kali datang ke Saparua sekitar tahun 1800-an. Awal kedatangannya waktu itu, untuk membantu kerajaan Salam Iha mengahadapi Belanda. Kemudian mereka memilih menetap di Saparua karena daerah asal mereka Pulau Binungku – Tukangbesi di Sulawesi Tenggara, merupakan daerah tandus yang tidak berpotensi untuk usaha pertanian. Namun kemudian, ada juga pendatang Buton yang kemudian melakukan kawin campuran dengan penduduk asli dan memeluk agama Sarani. Tidak sedikit juga penduduk asli Sarani yang kawin dengan pendatang Buton kemudian berpindah mengikuti keyakinan agama Salam. Etnik Buton sejak awal kedatangannya mendiami lahan-lahan perkebunan di daerah perbukitan di belakang negeri kawasan Saru dan gunung Panjang di negeri Saparua. Sebagian lain menetap di kawasan pesisir yang belum didiami kawasan Waisisil di negeri Paperu dan kawasan Lawena di negeri Sirisori Sarani. Mereka berjumlah puluhan kepala keluarga, dan hampir seluruhnya menetap di kawasan yang cukup luas di sekitar negeri Sirisori Sarani. Kehadirannya dapat diterima oleh anak negeri Salam maupun Sarani, namun dianggap sebagai kelas rendah, yaitu petani penggarap lahan baik lahan berupa tanah Dati maupun tanah Negeri. Sejak kedatangan etnik ini sampai tahun 1970-an, mereka membentuk komunal yang terpisah dari anak negeri dan hidup dengan tradisi maupun agama yang dianutnya secara bebas. Perkembangan selanjutnya mengarah pada proses interaksi dan perkawinan antara etnik Buton dengan kelompok Salam maupun Sarani, setelah lama tinggal dalam beberapa generasi dan mampu berinteraksi serta menyesuaikan dengan adat setempat. Meskipun demikian, etnik Buton tidak ikut andil dan berpengaruh dalam persoalan politik, namun cukup berperan ketika kita memasuki sektor ekonomi karena mereka umumnya bekerja sebagai buruh kasar di pasar dan pelabuhan, serta pengelola lahan yang kurang subur. Secara berturut-turut kemudian masuk pendatang Bugis, Makasar, Muna, Padang, Toraja, Cina dan kemudian Jawa. Etnis Bugis, Makasar, Muna, Padang dan Toraja datang ke Saparua sekitar tahun 1900-an dengan berdagang sebagai tujuan utama. Sementara ada juga etnis Jawa masuk setelah berlangsungnya program transmigrasi sekitar tahun 1960-an, yang kemudian beberapa kepala keluarga yang tidak tahan di lokasi transmigrasi Desa Waimital dan Waihatu Kecamatan Kairatu, kemudian mulai mencari hidup ke tempat lain termasuk pula ke Saparua sebagai pedagang di sektor informal.

4.4. Perekonomian Rakyat