Struktur Sosial Masyarakat Saparua 1. Latar Belakang Sejarah

Kerajaan Iha. Hal mana juga diakui oleh negeri Ihamahu sebagai gandongnya. Memang antara Iha dan Ihamahu sama-sama merupakan generasi selanjutnya dari pendiri Kerajaan Iha, namun kemudian terpecah akibat perbedaan agama. Negeri Iha penduduknya tetap memeluk agama Salam yang dibawa dari Kerajaan Iha, sementara negeri Ihamahu mengikuti agama Sarani yang dianjurkan oleh penjajah Belanda. Hal ini juga meneyebabkan negeri Ihamahu memiliki tanah warisan yang jauh lebih besar, dibandingkan dengan negeri Iha. Bahkan jika ditelusuri lagi, pada dasarnya tanah negeri Iha harus meliputi sepanjang jalur jazirah Hatawano sejak dari negeri Itawaka sampai negeri Tuhaha. Fakta sejarah menunjukkan bahwa, negeri Itawaka juga terbentuk karena adanya tugas oleh pemerintahan Kerajaan Iha untuk menjaga keamanan di ujung jazirah Hatawano. Hal tersebut dibuktikan dari keberadaan air potang-potang sebagai sumber air penting, yang digunakan oleh keturunan Kerajaan Iha Iha dan Ihamahu saat berperang melawan musuh. Demikian pula dengan Ihamahu, yang memiliki tanah warisan yang cukup luas dari Kerajaan Iha karena mengikuti keinginan Belanda untuk menetap di pesisir dan memeluk agama Sarani. Keadaan ini terjadi setelah Kerajaan Iha diserang dan dihancurkan oleh armada laut Belanda. Saat Belanda menginjakkan kakinya di bumi Saparua, mereka mulai berupaya untuk menghancurkan kerajaa Iha yang dianggap sebagai musuh karena tidak mau mengikuti peraturan dagang yang dibuat Belanda. Selain itu, perbedaan agama menyebabkan Belanda sulit untuk menyebarkan agama Sarani yang menjadi strategi politik saat itu. Mengingat setelah memeluk Sarani maka, pemimpin negeri-negeri di Saparua dapat dibujuk untuk melakukan apa saja bagi kepentingan Belanda dengan iming-iming kedudukan dan hadiah termasuk pemberian tanah warisan. 4.2. Struktur Sosial Masyarakat Saparua 4.2.1. Latar Belakang Sejarah Masyarakat Saparua umumnya berasal dari daerah pedalaman Pulau Seram yang sering disebut sebagai Nusa Ina atau Pulau Ibu. Karena sifatnya nomaden, menyebabkan mereka berpindah-pindah sampai pada akhirnya mendiami suatu daerah tertentu sampai akhirnya menetap di Pulau Saparua. Sebelum sampai di Saparua nenek moyang sebagai pendahulu Pulau Saparua harua melalui berbagai tahapan waktu yang berbeda antara satu negeri dengan negeri yang lain. Sebagai gambaran, masih dipertentangkan antara negeri mana yang pertama mendiami Saparua. Namun beberapa catatan sejarah menunjukkan bahwa, jauh sebelum kedatangan Portugis dan Belanda ternyata di Saparua sudah berdiri Kerajaan Iha sebagai pusat agama Salam sebelumnya masyarakat Saparua memeluk agama suku atau sering disebut agama Nunusaku yang dibawa oleh mereka dari negeri asal mereka di Pulau Seram, dimana agama Nunusaku tersebut cenderung dekat dengan agama Hindu jika dilihat dari nama- nama atau marga pemimpin negeri waktu dulu. Pada mulanya, tempat asal usul masyarakat Saparua di Pulau Seram yang sering disebut Nunusaku aman dan damai. Sampai suatu saat terjadilah peperangan antara orang-orang di daerah Nunusaku antara Patasiwa dan Patalima. Peperangan menyebabkan masyarakat yang berdiam di daerah Nunusaku berpindah tempat, dan membentuk kelompoknya sendiri. Adapula yang langsung menyebar ke berbagai tempat lain, sebagian ke utara dan sebagian lagi menuju ke selatan. Mereka yang menuju ke selatan inilah yang kemudian menamakan diri sebagai orang Noaulu atau suku Noaulu. Setelah suasana aman, sebagian orang asli Pulau Seram yang kemudian disebut orang Noaulu yang tadinya berpencar kembali besatu di suatu tempat yang bernama Aipura daerah pedalaman. Di Aipura inilah mereka membentuk kesatuan sosial yang tetap mempertahankan identitas dirinya, sebagai orang Noaulu atau suku Noaulu. Sementara sebagian yang lain kemudian mencari daerah baru di sekitar Pulau Seram seperti Pulau Haruku, Nusalaut dan termasuk pula Saparua. Bahkan ada dugaan pula bahwasannya penyebaran ini sampai ke Pulau Ambon.

4.2.2. Sistem Pemerintahan Adat

Badan Saniri Negeri atau Dewan Desa merupakan lembaga pemerintahan negeri yang utama di Saparua. Namanya sendiri merujuk pada sejarah pembentukannya. Kata “Badan berarti sekumpulan orang yang merupakan kesatuan untuk mengerjakan sesuatu”; Saniri merupakan istilah bahasa Seram untuk Dewan yang dulu memerintah deerah tiga batang air tiga sungai Eti, Tala dan Sapalewa; sedangkan Negeri adalah bentuk melayu dari bahasa sansekerta nagara yang berarti daerah, kota atau kerajaan menunjuk pada suatu wilayah pemerintahan. Badan Saniri Negeri di waktu lampau sedikitnya mengandung empat jenis jabatan. Kekuasaan politik masing-masing jabatan berkurang menurut urutannya. Golongan pertama mencakup jabatan-jabatan tradisional yang masih berfungsi penuh, seperti Raja kepala desa dan kepala soa sekumpulan matarumah. Golongan kedua terdiri dari petugas-petugas tradisional yang memangku hanya sebagian dari tugas-tugas sejenis seperti tuan tanah. Golongan ketiga ialah petugas-petugas tradisional yang fungsi aslinya hampir hilang, seperti malesi dan kapitan panglima perang. Golongan keempat ialah jabatan-jabatan tertentu yang tidak diisi lagi, seperti mauweng pendeta adat. Satuan politik yang paling pertama adalah persekutuan-persekutuan hidup yang agak sederhana, terdiri dari kelompok-kelompok kecil keluarga yang berpindah-pindah kemudian menetap di suatu tempat mungkin terjadi sebelum tahun 1450. Setiap pemukiman dikepalai oleh seorang upu yang bertanggungjawab atas semua urusan keduniaan. Dalam urusan perang, ia dibantu oleh malessi. Sementara untuk urusan agama dan hubungan dengan dunia seberang dilakukan oleh mauweng dan pembantunya malimu dan maitele. Upu merupakan keturunan pemimpin suatu soa sebagai kelompok matarumah pendatang yang pertama. Kemudian dua atau lebih kelompok semacam itu bergabung untuk membentuk pemukiman kecil yang disebut aman. Soa saat dahulu juga lebih kecil dari soa sekarang ini karena hanya mencakup matarumah asli, keluarga patrilineal yang datang pada perpindahan pertama. Pendatang berikutnya kemudian dimasukkan pula ke dalam soa. Kemudian muncul seorang pemimpin tunggal yang bergelar latu dari antara pemimpin upu soa-soa itu. Pemimpin-pemimpin yang lain menjadi pembantunya, namun tetap bertanggungjawab atas kelompok asalnya. Matarumah yang datang pertama, tetap diistimewakan dengan berbagai cara yang khas dan pemimpinnya kemudian dikenal dengan gelar tuantanah, walau pun kemudian digantikan oleh matarumah yang lain dalam kedudukan sebagai pemimpin utama. Selagi penduduk terus bertambah dan negeri-negeri meluas, aman mulai bergabung ke dalam federasi- federasi yang disebut uli. Aman-aman ini bertempat di pegunungan, dua atau tiga kilometer dari pantai. Aman yang berpengaruh dalam masing-masing uli akhirnya sampai saat ini disebut sebagai “negeri lama”. Negeri-negeri lama adalah Negeri di mana matarumah raja kepala Negeri dan matarumah tuan tanah bermukim. Biasanya uli itu terdiri dari lima atau sembilan aman. Penguasa dan aman yang terkuat menduduki tempat utama dan menyediakan pemimpin federasi sebaga raja kepala desa. Negeri- negeri anggota uli lainnya dipimpin oleh penguasa bawahan yang disebut “patih” atau “orangkaya”. Sangat mungkin penggabungan ke dalam federasi dilakukan jauh sebelum kedatangan Portugis, serta dilakukan untuk melawan serangan dari kelompok-kelompok yang kuat persenjataan dan keterampilannya yang berasal dari Jawa, Sulawesi dan Maluku Utara Cooley, 1962. Sistem Kekerabatan Masyarakat. Pada umumnya di Maluku sistem kekerabatan yang berlaku dalam kehidupan masyarakat ialah sistem kekerabatan yang berdasarkan hubungan patrilineal diiringi dengan pola menetap matrilokal. Sistem kekerabatan yang berdasarkan hubungan patrilineal ini menyangkut kelangsungan hidup suatu matarumah. Oleh karena itu, matarumah memegang peranan utama dalam kehidupan keluarga. Matarumah ialah suatu kesatuan hidup dari laki-laki dan perempuan yang belum kawin dan para istri yang sudah kawin dengan anak laki-laki suatu keluarga. Sesuai dengan garis keturunan patrilineal ini, maka perkawinan antara satu fam marga dilarang dan menghendaki suatu perkawinan ke luar yaitu dengan keluarga lain exogami. Seorang wanita yang telah menikah akan keluar dari garis keturunan ayahnya, kemudian ia berpindah fam marga mengikuti garis nama keluarga suaminya. Dengan demikian sekaligus dia akan kehilangan hak-haknya selaku seorang anak di dalam keluarga ayahnya. Sebagaimana dijelaskan Blood 1972 : 167 bahwa, sistem kekerabatan merupakan suatu perluasan sistem keluarga dan memiliki pengaruh yang kuat terhadap keluarga. Sistem kekerabatan cenderung untuk mempertahankan keberadaan keluarga melalui pola teladan interaksi informal. Sistem kekerabatan ini meliputi pula keluarga inti nuclear family dan keluarga diperluas extended family. Keluarga Inti. Unit terkecil di dalam sistem kekerabatan ialah keluarga batih nuclear family. Keluarga batih terdiri dari ayah, ibu, dan anak-anak yang dikenal dengan sebutan rumahtangga. Mula-mula terbentuk suatu keluarga. Dari keluarga, meningkat menjadi matarumah yang merupakan gabungan dari beberapa rumahtangga. Beberapa matarumah kemudian membentuk soa dan kumpulan soa membentuk negeri atau desa. Bentuk-bentuk ini merupakan bentuk keluarga dari suatu masyarakat yang memiliki hubungan genealogis. Sebutan keluarga batih ayah, ibu, anak, menunjuk pada ayah yang mempunyai peranan utama. Ayah selaku kepala keluarga sekaligus bertanggungjawab kepada seluruh anggota keluarga. Anak-anak yang dilahirkan akan dikelompokkan pada kelompok ayah. Demikian juga pemeliharaan hak, wewenang dan kewajiban kerabat adalah menurut garis ayah. Keluarga Luas. Keluarga luas biasanya dijumpai di daerah Maluku. Adapun fungsi dari keluarga luas ini ialah untuk mewujudkan suatu tanggungjawab sang anak dalam memelihara orangtuanya. Di samping itu pula, untuk membiasakan anak menjaga hubungan dengan pihak orangtua. Namun, belum dapat dipastikan bahwa matarumah ialah istilah yang tepat untuk keluarga luas extended family. Apabila seorang anak perempuan menikah, ia akan tinggal dengan keluarga suaminya sehingga kelihatannya merupakan sebuah keluarga batih besar. Mereka akan tetap menetap dalam rumah, tidur bersama-sama demikian pula dalam hal memenuhi kebutuhan sehari-hari. Ayah dan suami akan bersama-sama bekerja mencari makan, untuk seluruh anggota keluarga. Apabila mereka ingin membangun rumah, maka akan diusahakan agar rumah baru tersebut letaknya tidak jauh dari rumah batihnya viriolokal. Meskipun sudah pindah rumah, namun biasanya tanggungjawab untuk mencari makan tetap diusahakan secara bersama-sama, walaupun tidak merupakan suatu kewajiban sehingga ada juga keluarga yang mengurus dirinya sendiri. Itulah sebabnya tidaklah pasti, ungkapan matarumah dipakai untuk penyebutan keluarga luas, sebab masalah tempat tinggal dan se-dapur bukan merupakan ukuran untuk penyebutan keluarga luas. Menurut Blood 1972 : 177, peraturan kekerabatan dalam masyarakat tradisional masih sangat kuat, dimana keluarga baru sangat jarang untuk diijinkan tinggal sesuai dengan pilihan mereka. Sistem kekerabatanlah extended family yang menentukan dimana keluarga baru itu akan menetap. Biasanya tempat tinggal mereka terpisah, namun masih dekat dengan keluarga salah satu pihak, apakah dari pihak suami ataukah dari pihak isteri. Keturunan dan Status. Kehidupan orang-orang Saparua menunjukkan bahwa,, ukuran tinggi rendahnya status seseorang tergantung dari matarumah tempat ia berasal. Biasanya yang menjadi warga utama yang dihormati oleh warga lainnya ialah keturunan atau matarumah yang menghasilkan Raja pemimpin negeridesa, kapitan atau panglima perang, kepala adat atau keluarga lain yang duduk di badan pemerintahan. Penghormatan ini terlihat dari cara warga desa lainnya berbicara dengan mereka, seperti disapa dengan panggilan-panggilan khas dan diikuti dengan membungkukkan badan sebagai ciri kedudukan status sosial yang lebih rendah. Atau pun saat bertemu, maka yang berstatus rendah akan menyapa sambil membungkuk terlebih dahulu. Demikian pula saat pertemuan dengan Raja, maka masyarakat akan bersila di atas tanah sedangkan Raja duduk di tempat yang lebih tinggi. Sistem Patrilineal. Struktur masyarakat Saparua didasarkan pada ikatan genealogis territorial yang tersusun menurut garis bapak atau patrilineal. Masyarakat demikian berarti masyarakat hukum adat yang anggotanya merasa terikat dalam suatu ketertiban berdasarkan kepercayaan berasal dari satu keturunan menurut garis laki-laki dan terikat pada tanah atau daerah tertentu. Unsur genealogis merupakan unsur pengikat yang lebih kuat dibandingkan dengan unsur territorial tanah. Hal ini bukan berarti bahwa, ikatan antara kelompok dengan tanah tidak mempunyai pengaruh yang kuat dalam perpaduannya dengan ikatan genealogis. Dalam hal pemilikan, pewarisan, dapat dilihat adanya saling pengaruh antara ikatan genealogis dan ikatan territorial. Faktor struktural masyarakat saparua memiliki fungsi laten yang merupakan akar dari perkelahian antarnegeri, yang ditandai oleh sikap-sikap mereka yang keras. Selain itu, ikatan genealogis dan tanah memegang peranan penting dalam memelihara nilai kebersamaan serta nilai kesetiaan antara anggota. Rasa kebersamaan karena saling percaya memperkuat mentalitas riligiomagis, yang menguasai seluruh kehidupan individu dan kelompok untuk mewujudkan satu bentuk perkelahian massal. 4.3. Penduduk Saparua 4.3.1. Pertumbuhan Penduduk dan Migrasi