1. Semakin perubahan sosial dibuat oleh segmen dominan untuk merusak keberadaan hubungan di antara segmen subordinat, semakin cenderung mereka menjadi sadar
tentang kepentingan kolektifnya. 2. Semakin segmen dominan menciptakan keterasingan di antara segmen subordinat,
semakin cenderung mereka menjadi sadar tentang kepentingan kolektifnya. 3. Semakin para anggota segmen subordinat dapat mengkomunikasikan keluhan-
keluhan di antara satu dengan yang lain, semakin cenderung mereka menjadi sadar tentang kepentingan kolektifnya.
4. Semakin segmen subordinat dapat mengembangkan ideologi yang mempersatukan unifying ideologies, semakin cenderung mereka menjadi sadar akan kepentingan
kolektifnya.
2. Pandangan Ralf Dahrendorf 1959
Menurut Dahrendorf 1959, terdapat hubungan yang erat antara konflik dengan perubahan sosial. Konflik akan menyebabkan terciptanya perubahan sosial. Aspek
terakhir teori konflik Dahrendorf adalah mata rantai antara konflik dan perubahan sosial. Konflik menurutnya memimpin ke arah perubahan dan pembangunan. Dalam situasi
konflik golongan yang terlibat melakukan tindakan-tindakan untuk mengadakan perubahan dalam struktur sosial. Kalau konflik itu terjadi secara hebat maka perubahan
yang timbul akan bersifat radikal. Begitu pula kalau konflik itu disertai oleh penggunaan kekerasan, maka perubahan struktural akan efektif.
Dalam pandangan Dahrendorf, masyarakat memiliki dua muka, yaitu konsensus dan konflik. Teorinya tentang konflik dialektik ini dianggap masih mendapat pengaruh
dari Marx. Menurutnya setiap organisasi sosial akan menunjukkan realita : •
Setiap sistem sosial akan menampilkan konflik yang berkesinambungan, •
Konflik dimunculkan oleh kepentingan oposisi yang tak terhindarkan, • Kepentingan oposisi tersebut merupakan refleksi dari perbedaan distribusi
kekuasaan di antara kelompok dominan dan kelompok lapisan bawah, • Kepentingan akan selalu membuat polarisasi ke dalam dua kelompok yang
berkonflik. • Konflik selalu bersifat dialektik, karena resolusi terhadap suatu konflik akan
menciptakan serangkaian kepentingan oposisi yang baru, dan dalam kondisi tertentu, akan memunculkan konflik berikutnya.
• Perubahan sosial selalu ada pada setiap sistem sosial, dan hal ini merupakan hasil yang tidak terhindarkan dari konflik dialektik, dan aneka tipe pola institusional.
Konflik berhubungan dengan tumbuhnya kesadaran kelompok subordinat tentang kepentingan obyektifnya. Peningkatan kesadaran tersebut sejalan dengan
bekembangnya kondisi teknik kader kepemimpinan dan kodifikasi dalam sistem ide, berkembangnya kondisi politik diperbolehkannya kelompok oposisi mengorganisir diri;
serta bekembangnya kondisi sosial adanya peluang kelompok laten untuk berkomunikasi dengan yang lain, dan meningkatnya rekruitmen oleh struktur yang ada.
Oleh karena itu, jika suatu kelompok terbentuk secara kebetulan byhance sangat mungkin akan terhindar dari konflik. Sebaliknya apabila kelompok semu yang
pembentukannya ditentukan secara struktur, maka akan memungkinkan untuk terbentuk menjadi suatu kelompok kepentingan yang menjadi sumber konflik atau pertentangan.
Analisa Dahrendorf menunjukkan adanya posisi yang dilematis dari kelompok superordinat. Bahwa peningkatan atau perkembangan kondisi teknik, politik, dan sosial
akan meningkatkan kesadaran kelompok semulaten tentang kepentingan obyektifnya. Hal ini dapat membuka peluang tumbuhnya konflik. Di sisi lain, jika ketiga kondisi di
dalam organisasi tersebut dirasa kurang, konflik pun akan berlangsung brutal atau keras. Walaupun demikian, di akhir proposisinya dikatakan bahwa semakin keras suatu
politik, maka akan semakin besar angka perubahan struktural dan reorganisasi. Artinya, bahwa konflik yang terjadi di dalam masyarakat mempunyai fungsi bagi terjadinya
perubahan-perubahan sistem dalam skala tertentu Dahrendorf, 1959. Berdasarkan pemikiran Dahrendorf tersebut, dapat dimaknai bahwa tindakan-
tindakan “improvement” yang dilakukan oleh kelompok superordinat akan menghasilkan dua konsekuensi sekaligus. Pertama, terberdayakannya kelompok subordinat sehingga
kesadaran tumbuh, dan ini juga berarti ancaman bagi keberadaan kelompok superordinat. Kedua, semakin terjauhkannya kelompok subordinat dengan akses-akses
strategis yang ada dalam sistem, dan ini dapat menumbuhkan kekecewaan yang muaranya juga konflik antar segmen. Berdasarkan pemahaman semacam ini, dapat
diduga bahwa konflik memang merupakan keniscayaan kehidupan yang tidak terhindarkan.
3. Pandangan Lewis Coser 1956
Menurut Coser, konflik disebabkan oleh adanya kelompok lapisan bawah yang semakin mempertanyakan legitimasi dari keberadaan distribusi sumber-sumber langka.
Pertanyaan tentang legitimasi tersebut diakibatkan oleh kecilnya saluran untuk menyampaikan keluhan-keluhan yang ada, dan perubahan deprivasi absolut ke relatif
Coser, 1956. Coser 1956 menyampaikan proposisi tentang kekerasan konflik the violence of
conflict sebagai berikut :
1. Semakin suatu kelompok berada pada konflik yang terjadi karena isu-isu yang realistik atau tujuan yang dapat dicapai obtainable goals, semakin cenderung
mereka melihat kompromi sebagai alat untuk merealisasikan kepentingannya, oleh karenanya, kekerasan konflik akan semakin berkurang.
2. Semakin suatu kelompok berada pada konflik yang terjadi karena isu-isu yang tidak realistik atau tujuan yang tidak dapat dicapai unobtainable goals, semakin besar
tingkat emosional akan dapat membangunkan dan terlibat dalam konflik, dan oleh karenanya konflik akan semakin keras.
• Semakin konflik terjadi karena nilai-nilai pokok, semakin cenderung mengarah
pada isu-isu yang nonrealistik. • Semakin konflik yang realistik berlangsung lama, semakin cenderung akan
munculnya atau meningkatnya isu-isu yang nonrealistik. 3. Semakin kurang fungsi hubungan interdependensi di antara unit-unit sosial di dalam
sistem, semakin kurang tersedianya alat-alat institusi untuk menahan konflik dan ketegangan, semakin keras suatu konflik.
• Semakin besar perbedaan kekuasaan di antara super dan subordinat di dalam sistem, semakin kurang fungsi interdependensi.
• Semakin besar tingkat isolasi subpopulasi di dalam sistem, semakin kurang interdependensi.
Pandangan Coser, bahwa konflik sosial dipandang memiliki fungsi secara sosial menjadi penting artinya untuk memahami konflik masyarakat di pedesaan Saparua.
Konflik sebagai proses sosial lebih banyak dilihat dari segi fungsi positif, maka teori konflik yang dikembangkan Coser disebut pula Fungsionalisme Konflik Sosial. Sebuah
pandangan tentang konflik sosial yang menekankan langkah pada mengenal dan mengkaji sebab dan bentuk konflik yang wujud didalam masyarakat serta potensi
akibatnya dengan perubahan sosial. Langkah ini menunjukkan agar konflik dikelola untuk tidak dapat menimbulkan perubahan sosial yang tidak diharapkan. Ada harapan,
bahwa konflik yang dikelola dapat diarahkan pada perubahan sosial yang diharapkan. Pemahaman ini paling memungkinkan dalam menjelaskan fenomena konfflik di
Saparua, sehingga konflik dapat dikelola menjadi kekuatan masyarakat untuk bergerak lebih maju. Berdasarkan pemikiran tersebut, secara teoritik dapat diduga bahwa
kekerasan yang terjadi disebabkan oleh adanya isu-isu yang nonrealistik di dalamnya. Isu yang tidak realistik adalah isu yang tujuan-tujuannya tidak dapat direalisir. Misalnya
isu tentang agama, etnis, dan suku merupakan sesuatu yang tidak realistik. Konflik yang terjadi karena isu tersebut dikonsepsikan akan berlangsung secara keras, seperti
di Saparua. Namun, konflik yang terjadi kemudian dapat dikelola sehingga mengarah pada perubahan sosial yang diharapkan. Dalam pemahaman kami, lama tidaknya suatu
konflik dipengaruhi oleh tiga hal, yaitu luas-sempitnya tujuan konflik, pengetahuan sang pemimpin tentang simbol-simbol kemenangan dan kekalahan dalam konflik, serta peran
pemimpin dalam memahami biaya konflik dan dalam mempersuasi pengikutnya. Pemikiran semacam ini menunjukkan kejelasan, bahwa peran pemimpin begitu besar.
2.2. Keterkaitan Jejaring Sosial dan Konflik
Keterkaitan konflik dan jejaring sosial dapat dipahami dalam jejaring komunikasi.
Jejaring komunikasi menunjukkan bagaimana hubungan antar individu terbangun dalam proses komunikasi melalui pola-pola tertentu.
Jejaring komunikasi communication network adalah suatu hubungan yang relatif stabil antara dua individu atau lebih yang terlibat dalam proses pengiriman dan
penerimaan informasi Rogers dan Kincaid, 1981. Sependapat dengan Lewis 1987 yang mengatakan bahwa jejaring komunikasi adalah sistem yang merupakan garis
komunikasi yang menghubungrkan pengirim pesan dengan penerima pesan. Selanjutnya, DeVito 1992 mendefinisikan jejaring komunikasi sebagai saluran atau
jalan tertentu yang digunakan untuk meneruskan pesan dari satu orang ke orang lain. Rogers 1983 mengemukakan bahwa jejaring komunikasi adalah suatu jejaring yang
terdiri dari individu-individu yang saling berhubungan oleh arus komunikasi yang terpola. Pernyataan ini diperkuat oleh Berger dan Chaffe yang diacu dalam Purnomo 2002
menyatakan bahwa jejaring komunikasi sebagai suatu pola yang teratur dari kontak- kontak antara individu yang dapat diidentifikasi sebagai pertukaran informasi yang
dialami seseorang di dalam sistem sosialnya. Robins
yang diacu dalam Mislini 2006 berpendapat bahwa jejaring komunikasi adalah dimensi vertikal dan horisontal dalam komunikasi organisasi yang dibangunkan
dalam bermacam-macam pola. Jejaring komunikasi dibagi dalam lima macam jejaring, yaitu; jejaring rantai, jaringan Y, roda, lingkaran dan jejaring semua saluran, seperti
terlihat pada Gambar 1 berikut ini :
Rantai Y RodaStar Semua saluran Lingkaran
Gambar 1 Jejaring Komunikasi Umum Robbins, 1984
Berdasarkan kriteria tersebut bahwa tidak ada satupun jejaring yang akan menjadi terbaik untuk semua kejadian. Apabila kecepatan yang penting, maka jejaring
roda dan semua saluran yang lebih disukai. Jejaring rantai, jejaring Y dan jejaring roda mendapat nilai tinggi untuk kecermatannya. Susunan jejaring semua saluran adalah
yang terbaik apabila tujuannya adalah untuk mencapai kepuasan yang tinggi bagi penerima pesan. Tabel 1 menunjukkan bahwa untuk mengukur efektifitas jejaring
komunikasi maka dapat menggunakan empat kriteria.
Tabel 1 Jejaring Komunikasi dan Kriteria Evaluasi Jenis Jejaring Komunikasi
Kriteria Rantai Y Roda
Lingkaran Semua
Saluran
Kecepatan Sedang Sedang
Cepat Lamban
Cepat Kecermatan Tinggi
Tinggi Tinggi
Rendah Sedang
Timbulnya Pemimpin
Sedang Sedang
Tinggi Tidak ada
Tidak ada Ada Moril
Sedang Sedang
Rendah Tinggi
Tinggi
Sumber: Robins, SP 1984
Berkaitan dengan perspektif jejaring, terdapat beberapa konsep yang perlu dipahami, sehingga dapat mempertajam analisis terhadap jejaring komunikasi, yaitu
konsep jejaring sentralisasi versus desentralisasi. Konsep ini kemudian dikenal dengan jejaring komunikasi model Y, bintang, all channel, rantai, konsep independen di mana
anggota bebas dari pemilihan terhadap posisinya untuk menjadi apa kemudian informasi berkomunikasi lebih dapat terpuaskan Beebe dan Masterson yang diacu dalam
Mislini, 2006. Berdasarkan beberapa pengertian tersebut dapat disimpulkan pengertian jejaring
komunikasi secara lebih khusus sesuai dengan penelitian ini, yaitu suatu rangkaian hubungan di antara individu-individu, sehingga membentuk pola-pola atau model-model
jejaring komunikasi tertentu. Model jejaring komunikasi tersebut, menjadi jalan bagi penyebaran informasi antar individu sehingga terbentuk sekelompok individu dengan
persepsi yang sama. Berkaitan dengan konflik maka, penyebaran informasi berupa pandangan negatif terhadap komunitas lain menyebabkan terbentuknya sekelompok
individu yang berpandangan negatif. Hal yang sama terjadi juga pada komunitas yang menjadi lawan, maka terbentuk pula persepsi negatif dalam komunitas yang menjadi
lawan. Pertemuan persepsi negatif berujung pada konflik antar kedua komunitas,
Rogers dan Kincaid 1981, menegaskan bahwa analisis jejaring komunikasi merupakan metode penelitian untuk mengidentifikasi struktur komunikasi dalam suatu
sistem, di mana data hubungan mengenai arus komunikasi dianalisis dengan menggunakan beberapa tipe hubungan interpersonal sebagai unit analisis. Tabel 2
menunjukkan bahwa terdapat perbedaan antara efek komunikasi dengan jejaring komunikasi.
Tabel 2 Perbedaan Efek Komunikasi dengan Jaringan Komunikasi Keterangan
Pendekatan Efek Komunikasi
Analisa Jaringan Komunikasi
Model yang digunakan pada
pendekatan ini Model linier
Model konvergen Unit analisis
Individual Beberapa tipe hubungan interpersonal
Tujuan variabel- variabel
independen Karakteristik individu
Indeks dari struktur komunikasi contoh: indek keterkaitan dan indek integrasi
Tujuan variabel- variabel
dependen Efek dari komunikasi
pengetahuan, sikap, dan atau perilaku yang nyata
1. Siapa berkomunikasi dengan siapa 2. Persetujuan dan pengertian individu
dalam jaringan
Sumber: Rogers 1986
Inti dari perbedaan di atas adalah bahwa komunikasi konvergen sebagai proses pertukaran informasi dengan satu atau lebih individu lainnya, sementara komunikasi
linier adalah sebagai proses komunikasi satu arah. Analisis jaringan komunikasi menggambarkan jaringan hubungan interpersonal yang dihasilkan lewat pertukaran
informasi dalam struktur komunikasi interpersonal. Rogers 1986 mendefinisikan bahwa jaringan komunikasi terdiri dari saling keterkaitan antara individu-individu yang
dihubungkan oleh arus atau alur komunikasi yang terpola. Dikaitkan dengan kemunculan konflik maka, struktur komunikasi turut menentukan cepat tidaknya konflik
terjadi. Semakin kuat keterikatan antar individu, maka arus komunikasi bergerak semakin lancar. Proses komunikasi linier memperbesar peluang konflik, karena tidak
ada pertukaran informasi yang terjadi, sehingga arus informasi mengalir searah tanpa ada konflirmasi kebenaran informasi.
Beberapa hal yang dapat dilakukan dalam jejaring komunikasi, yaitu: 1 mengidentifikasi klik dalam suatu sistim; 2 mengidentifikasi peranan khusus seseorang
dalam jaringan, misalnya; sebagai liaisons, bridges dan isolated; dan 3 mengukur
berbagai indikator indeks struktur komunikasi seperti keterhubungan klik, keterbukaan klik, keintegrasian klik dan lain sebagainya. Klik adalah bagian dari sistem sub sistem
di mana anggota-anggotanya relatif lebih sering berinteraksi satu sama lain dibandingkan dengan anggota-anggota lainnya dalam sistem komunikasi Rogers dan
Kincaid,1981. Identifikasi klik membantu menentukan kedudukan aktor dalam penyebaran
informasi. Berkaitan dengan konflik yang terjadi, maka kedudukan dan kemampuan aktor menjalankan fungsi penyebaran informasi semakin memperbesar peluang
pecahnya konflik. Persepsi negatif tentang kelompok lain yang semakin menguat, memudahkan terbentuknya perilaku yang mendukung persepsi tersebut. Keinginan
menghancurkan kelompok lain merupakan wujud perilaku, akibat persepsi negatif terhadap kelompok lain. Pembentukan persepsi merupakan gambaran proses
terbentuknya jejaring sebagai rangkaian hubungan di antara individu-individu dalam suatu sistem sosial sebagai akibat dari terjadinya pertukaran informasi di antara
individu-individu tersebut. Pertukaran informasi membentuk pola-pola atau model-model jaringan komunikasi tertentu. Dengan demikian model jejaring dalam konflik merupakan
model jaringan komunikasi antara anggota masing-masing komunitas yang terbentuk karena terjadinya komunikasi pertukaran informasi di antara anggota komunitas dalam
membicarakan akibat konflik yang sedang terjadi. Pendekatan komunikasi menjadi penting untuk memahami fenomena jejaring
sosial dalam konflik karena, membangun jejaring tidak lepas dari peran komunikasi dalam arti sempit yaitu interaksi antara orang. Tanpa interaksi maka jejaring tidak
mungkin terbentuk. Namun, pendekatan komunikasi di sini lebih ditekankan pada pandangan terhadap jejaring sosial sebagai suatu hubungan antara orang yang akhirnya
membentuk rangkaian hubungan dengan tujuan-tujuan tertentu. Tujuan-tujuan inilah yang sebenarnya menjadi penting, karena kesamaan tujuan pada dasarnya merupakan
prinsip utama dibangunnya interaksi. Dalam hal ini, tujuan diarahkan pada penyebaran konflik atau penghentian konflik. Walaupun semakin sesuai tujuan antara individu yang
berinteraksi maka semakin mudah tujuan tercapai, namun peran pemimpin dalam masyarakat sebenarnya menempati posisi yang penting dan dominan untuk
menentukan tujuan apa yang ingin dicapai. Proses interaksi tersebut menggambarkan kekuatan ikatan antar individu dari berbagai aspek, termasuk pula ikatan se-agama.
Ikatan demikian menunjukkan adanya modal sosial yang berkembang dalam masyarakat yang tergambarkan melalui jejaring antar individu.
Bagi sosiolog studi tentang jejaring sosial telah dikenal sejak tahun 1960-an, yang dihubungkan dengan bagaimana individu terkait antara satu dengan lainnya dan
bagaimana ikatan afiliasi melayani baik sebagai pelicin untuk memperoleh sesuatu yang dikerjakan maupun sebagai perekat yang memberikan tatanan dan makna bagi
kehidupan sosial Powell dan Smith-Doerr, 1994. Mitchell 1969 menegaskan, pada tingkatan antar individu, jejaring sosial dapat didefinisikan sebagai rangkaian hubungan
yang khas di antara sejumlah orang dengan sifat tambahan, yang ciri-ciri dari hubungan ini sebagai keseluruhan, yang digunakan untuk menginterpretasikan tingkah laku sosial
dari individu-individu yang terlibat. Sedangkan pada tingkatan struktur memperlihatkan bahwa pola atau struktur hubungan sosial meningkatkan danatau menghambat perilaku
orang untuk terlibat dalam bermacam arena dari kehidupan sosial. Oleh karena itu tingkatan ini memberikan suatu dasar untuk memahami bagaimana perilaku individu
dipengaruhi oleh struktur sosial. Studi yang membahas keterkaitan antara jejaring sosial dan konflik sosial masih
jarang dilakukan. Jejaring sosial merupakan ekspresi modal sosial, sehingga studi jejaring sosial dan konflik dapat ditelusuri dari studi modal sosial dan konflik.
Uphoff dalam Dasgupta dan Ismail Seregeldin [ed] 2000 : 215 – 243
mengatakan bahwa, modal sosial sangat membantu jika dipahami dalam dua kategori, yaitu struktural dan kognitif. Kategori pertama diasosiasikan dengan berbagai bentuk
organisasi sosial, khususnya peran roles, aturan rules, preseden precedents, prosedur procedure dan networks yang memberikan kontribusi terhadap perilaku
kerjasama cooperative behavior, serta terutama sekali terhadap tindakan kolektif yang memberi manfaat timbal-balik, “mutually benefit collective action” MBCA. Sedangkan
kategori yang kedua berasal dari proses mental dan hasil gagasan-gagasan yang diperkuat oleh budaya dan ideologi, khususnya norma-norma norms, nilai-nilai
values, sikap perilaku attitudes, dan keyakinan beliefs yang memberikan kontribusi terhadap perilaku kerjasama. Kedua kategori tersebut tidak dapat berdiri sendiri, tetapi
saling mempengaruhi dan saling melengkapi satu sama lain. Dalam pandangan Uphoff, modal sosial dapat ditelusuri bentuknya, dari yang
paling minimum, elementer, substansial hingga maksimum. Hal ini karena karakteristik modal sosial itu sendiri mengandung makna “some degree of mutuality, some degree of
common identity, some degree of cooperation for mutual, not just personal, benefit Dasgupta dan Ismail Seregeldin ed 2000 : 222. Modal sosial dapat dianalisa melalui
fenomena-fenomena perilaku sebagaimana digambarkan dalam tabel 3.
Mengacu pada konsep-konsep di Tabel 3., yang dimaksud dengan modal sosial yaitu, pertama, institusi-institusi, relasi-relasi, nilai-nilai dan norma-norma yang
membentuk perilaku kerjasama cooperative behavior dan koordinasi tindakan-tindakan bersama collective action untuk suatu tujuan yang manfaatnya dapat dirasakan secara
bersama-sama mutual benefit; kedua, kapablitas yang muncul dari prevalensi kepercayaan dalam suatu masyarakat atau di dalam bagian-bagian tertentu dari
masyarakat.
Tabel 3. Kategori komplementer Modal Sosial Aspek
Struktural Kognitif
Sumber dan Manifestasi
Roles and Rules, Networks dan relasi personal lainnya,
Prosedur dan Preseden Norma-norma, nilai-nilai,
sikaptingkah laku, kelayakan
Domain Organisasi Sosial
Civil Culture
Faktor Dinamis Linkage horizintal Linkage
Vertikal Trust, solidaritas,
kerjasama, derma generosity
Common Elements
Ekspektasi-ekspetasi yang melahirkan peilaku kerjasama yang kemudianmenghasilkan manfaat timba-balik mutual benefit
Sumber : Uphoff dikutip oleh Dasgupta dan Ismail Seregeldin [ed], 2000 : 215 – 243 Dalam kasus konflik, modal sosial merupakan dasar utama dalam jejaring sosial
yang dapat diamati pada dua tingkat : vertikal dan horizontal. Pada tingkat vertikal, dilihat bagaimana masyarakat membangun hubungan dengan pemerintah setempat,
policy maker, dari waktu ke waktu sehingga menghasilkan sinergi. Pada tingkat horizontal akan dilihat, pertama, bagaimana kerekatan dan keterikatan orang-orang satu
sama lain dalam kelompok yang sama solidaritas kelompok yang melahirkan tindakan bersama dan perilaku kerjasama; dan kedua, bagaimana hubungan antara anggota satu
kelompok dengan anggota kelompok yang lain solidaritas sosial yang kemudian melahirkan kepercayaan sosial social trust. Dalam hal ini, melalui modal sosial dapat
dianalisa jaringan sosial sebagai tindakan bersama dalam konflik sebagaimana digambarkan dalam Tabel 4.
Tabel 4. Kontinum Modal Sosial Minimum Modal
Sosial Elementer Modal
Sosial Substansial
Modal Sosial Maksimum Modal
Sosial
Tidak da kerjasama, sangat
mementingkan diri sendiri seek self-
interested Ada kerjasama,
tetapi hanya terjadi jika kerjasama itu
sangat menguntungkan
untuk dirinya sendiri Kerjasama terjadi
atas dasar komitmen pada usaha bersama
dan diharapkan bermanfaat juga
untuk orang lain Komit pada
kesejahteraan orang lain, kerjasama tidak
dibatasi pada pencarian
keuntungan utuk diri sendiri, konsen pada
public good.
Nilai-nilai : hanya menghargai diri
sendiri self- aggrandizement
Isu-isu : selfishness, bagaimana menjaga
selfishness dari destruksi sosial ?
Efisiensi kerjasama
Transaction cost, bagaimana biaya
transaksi dikurangi untuk meningkatkan
jaringan keuntungan masing-masing ?
Efektivitas kerjasama
Collective action, bagaimana
kerjasama disukseskan dan
dipertahankan ? Altruisme, dipandang
sebagai sesuatu yang baik dalam
dirinya sendiri
Self-sacrifie, berkorban atas dasar
patriotisme atau fanatisme agama ?
Strategy Otonom Kerjasama taktis Kerjasama
strategis Meleburkan
kepentingan- kepentingan
individual merger of individual interest
Mutual benefit, tidak dihitung
Isntrumental Intitutionalizad Transenden
Sumber : Uphoff dikutip oleh Dasgupta dan Ismail Seregeldin ed, 2000 : 215-243 Beberapa studi yang terfokus pada konflik sumberdaya alam telah berusaha
menunjukkan keterkaitan antara jejaring sosial dan konflik sosial melalui modal sosial social capital. Seperti halnya studi Allen 1998 pada komunitas Nebraska yang
terfokus pada interaksi dalam membangun modal sosial dengan kesimpulan bahwa, pembentukan modal sosial merupakan unsur penting yang menjadi dasar penyelesaian
konflik lokal karena jejaring, norma dan kepercayaan dibangun sebagai dasar tindakan kolektif komunitas. Sehingga modal sosial dianggap relevan sebagai strategi dasar
dalam resolusi konflik. Demikian pula studi Keong 2000 yang terfokus pada modal sosial dan masyarakat sipil di Singapura, menyimpulkan bahwa modal sosial dibangun
dengan mengembangkan tiga strategi penting yaitu, membangun jembatan penghubung inisiatif dan proses pelembagaan melalui kerjasama dan pemecahan masalah secara
bersama-sama; memperluas batas-batas menyusun kembali batas-batas politik untuk
diskusi dan pengambilan keputusan bersama; dan menghancurkan penghalang mereformasi wewenang dalam hubungan antara pemerintah dan masyarakat yang
berkaitan dengan pelayanan publik dan implementasi kebijakan. Ditunjang oleh studi Graham 2004 yang terfokus pada pemerintahan, konflik sosial dan pilihan aktivitas
kerja di Philipina yang menyimpulkan bahwa, adanya peran jejaring sosial termasuk hubungan antara kekuatan ekonomi dan nelayan tradisional dimana tradisi pemerintah
selama ini ternyata hanya menghasilkan modal sosial negatif sehingga diperlukan pemerintah yang bersih.
2.3. Ikhtisar