Perubahan Histopatologis Cerebrum dan Medula Spinalis

pemberian E. sakazakii dengan dosis infeksi yang lebih rendah, infeksi E. sakazakii dengan dosis 10 7 cfuml berbeda nyata dengan kontrol. Dosis infeksi ini lebih rendah dibandingkan dengan dosis yang digunakan Pagotto et al. 2003. Menurut Pagotto et al. 2003, infeksi E. sakazakii pada dosis 10 8 cfuml secara intra peritoneal dan per oral dapat menyebabkan kematian mencit neonatus. Berdasarkan pengamatan histopatologis, pada penelitian ini ditemukan peningkatan jumlah limfosit dan netrofil terutama di lumen dan tunika mukosa usus halus. Netrofil juga ditemukan di sekitar daerah yang mengalami nekrosa. Kehadiran sel radang misalnya neutrofil dalam jumlah banyak merupakan indikator terjadinya inflamasi. Namun, neutrofil tidak selalu ditemukan di mukosa usus karena biasanya masuk ke lumen usus bila ada invasi bakteri Barker et al. 1993. Lisosom neutrofil mengandung banyak enzim lisozim yang berfungsi sebagai faktor antibakteri yang kuat pada jaringan. Lisozim mampu menghancurkan beberapa bakteri gram negatif. Akibatnya, neutrofil cenderung berkumpul di daerah perbarahan akut termasuk tempat invasi bakteri Tizard 1987. Deskuamasi epitel, udema lamina propria, dan infiltrasi sel radang di usus akibat E. sakazakii danatau toksinnya membuktikan bahwa E. sakazakii danatau toksinnya dapat menyebabkan enterokolitis nekrotikan. Enterokolitis nekrotikan menyebabkan gangguan absorbsi nutrisi di usus sehingga inang yang terinfeksi dapat mengalami malnutrisi.

4.3 Perubahan Histopatologis Cerebrum dan Medula Spinalis

Sistem saraf pusat SSP terlindungi dari invasi bakteri melalui adanya meningen, tengkorak otak, dan blood-brain barrier. Ketiga lapisan meningen berfungsi sebagai barier penyebaran infeksi sehingga infeksi dapat terjadi di epidural, subdural, subarachinoid, atau otak Reid dan Fallon 1992. Dalam kondisi normal, sistem saraf pusat SSP steril. Apabila SSP terinfeksi bakteri maka infeksi akan menyebar dengan cepat dan mengakibatkan meningitis Ironside 1994. Hasil pengamatan histopatologi menunjukkan bahwa mencit yang diinfeksikan 10 7 cfuml E. sakazakii mengalami meningitis ringan, dan bukan meningitis purulenta. Hal ini ditandai dengan penebalan arachnoid meningen, infiltrasi sel radang dan udema di sub arachnoid Gambar 16, Gambar 17. Gambar 16 Meningen cerebrum mencit kontrol yang normal kiri, dan meningitis pada mencit yang diberi E. sakazakii dengan dosis infeksi 10 7 cfuml kanan. Keterangan: Gambar kiri: arachinoid dan piamater tipis, tidak ada infiltrasi sel radang di sub arachnoid. Gambar kanan: anak panah penebalan arachnoid, infiltrasi sel radang, udema di sub arachnoid, g gliosis difus. Pewarnaan HE. Pembesaran: 100x. Gambar 17 Medula spinalis mencit neonatus kontrol kiri dan yang diberi E. sakazakii dengan dosis infeksi 10 7 cfuml kanan. Keterangan: Kiri: Sp Substansi putih, CC Canalis centralis, meningen normal. Kanan: Meningitis penebalan arachnoid, kongesti, mi peningkatan microglia, ma malacia, CC canalis centralis. Pewarnaan HE. Pembesaran: 200x. Perubahan histopatologis cerebrum dan medula spinalis menunjang hasil pengamatan perubahan patologi anatomi akibat infeksi E. sakazakii, dimana terjadi penimbunan cairan berwarna kemerahan di sub arachnoid pada kepala mencit yang dinekropsi Gambar 12. Penyebab meningitis dan encephalitis pada mencit yang diinfeksikan E. sakazakii diduga berasal dari toksin E. sakazakii karena infeksi bersifat akut, dan tidak ditemukan koloni bakteri maupun pus di meningen. Toksin memiliki berat molekul yang lebih rendah dibandingkan bakteri sehingga lebih mudah menembus blood brain barrier. Blood-brain barrier sebagai salah satu pelindung otak dibentuk oleh satu lapis sel endotel. Blood-brain barrier berfungsi mengatur perpindahan molekul antara darah dan cairan interstitial otak. Selain itu, blood-brain barrier efektif menangkal berbagai neurotoksin Lu 1995. Gangguan fungsional pada blood- brain barrier pada meningitis menyebabkan peningkatan aktivitas pinositik yang diikuti dengan pemisahan kerapatan hubungan interseluler intercelluler tight junction Reid dan Fallon 1992. Infeksi bakteri terhadap SSP merupakan proses dinamis yang dipengaruhi berbagai faktor, antara lain predisposisi, tingkat virulensi mikroorganisme, dan rute infeksi. Beberapa faktor predisposisi infeksi bakteri ke SSP yaitu 1 bayi prematur karena pertahanan yang kuat pada epitel choroid baru terbentuk pada akhir masa gestasi, 2 kondisi imunosupresi, 3 disfungsi limpa, dan 4 penyakit Acquired Immunodeficiency Syndrom AIDS Reid dan Fallon 1992. Oleh karena itu, infeksi E. sakazakii lebih sering terjadi pada neonatus, bayi immunocompromised , bayi dengan berat badan lahir rendah BBLR, bayi prematur, dan bayi yang lahir dari ibu yang mengidap Human Immunodeficiency Virus HIV Kane 2004. Mencit neonatus yang digunakan pada penelitian secara umum memiliki daya tahan tubuh yang baik dan dilahirkan dari induk mencit yang sehat. Oleh karena itu, meningitis yang terjadi bersifat ringan. Terdapat tiga rute infeksi bakteri ke SSP, yaitu: 1 penyebaran secara langsung akibat infeksi bakteri di lokasi yang berdekatan dengan SSP, misalnya sinus paranasalis, telinga tengah, fraktura pada tulang tengorak Ironside 1994, 2 penyebaran melalui aliran darah yang terjadi bila tubuh mengalami sepsis atau emboli septik Reid dan Fallon 1992, 3 infeksi iatrogenik yang mengikuti infeksi organisme ke dalam cairan cerebrospinal Ironside 1994. Meningitis akibat E. sakazakii danatau toksinnya diduga berasal dari sepsis. Menurut Saez- Liorens dan McCracken 2003, sebanyak 25 neonatus yang menderita sepsis berlanjut menjadi meningitis. Infeksi terhadap SSP sangat berbahaya karena bila organisme patogen berhasil menembus pertahanan otak maka proliferasi organisme tersebut akan paling cepat terjadi di otak dibandingkan organ lain karena keterbatasan sistem pertahanan di otak Reid dan Fallon 1992. Pelepasan mediator inflamasi oleh organisme dapat menstimulasi sel makrofag otak misalnya astrosit dan mikroglia, endotel kapiler cerebral, atau keduanya untuk membentuk sitokin Saez-Liorens dan McCracken 2003. Sel glia seperti astrosit, oligodendroglia, mikroglia dan sel ependim akan berespon ketika terjadi cedera pada SSP. Respon tersebut berupa gliosis dan satelosis. Gliosis merupakan peningkatan jumlah sel glia yang biasanya mencakup respon astrosit yang mencolok . Selain itu, bila terjadi infeksi SSP maka sel glia akan berkumpul di tempat terjadinya lesi atau mengubah bentuk dan fungsinya Damjanov 2000. Kerusakan SSP akibat infeksi mikroorganisme menyebabkan sel mikroglia memfagosit sel-sel mati atau rusak pada SSP melalui pembentukan nodulus glia. Sel mikroglia yang dijumpai di sekitar infark atau abses otak memfagosit myelin kaya lemak sehingga sitoplasmanya bervakuol dan tampak berbusa. Sel ini disebut sel gitter. Adapun rataan jumlah sel mikroglia pada cerebrum dan medula spinal mencit neonatus pada penelitian ini disajikan pada Tabel 8 dan Gambar 18. Tabel 8 Rataan jumlah mikroglia pada cerebrum dan medula spinalis mencit neonatus akibat infeksi E. sakazakii dengan berbagai dosis infeksi secara per oral Kelompok Dosis Infeksi Cerebrum Medula Spinalis Kontrol NaCl fisiologis 34,84 ± 9,76 a 54,02 ± 21,27 a I 10 3 cfuml 40,64 ± 8,13 ab 50,04 ± 7,79 a II 10 4 cfu ml 44,76 ± 6,53 ab 51,76 ± 21,85 a III 10 5 cfu ml 50,15 ± 13,50 ab 73,40 ± 25,20 a IV 10 6 cfu ml 55,08 ± 12,58 b 74,02 ± 12,12 a V 10 7 cfu ml 79,57 ± 15,19 c 71,37 ± 15,95 a Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata P0,05. Gambar 18 Grafik rataan jumlah sel mikroglia pada cerebrum dan medula spinalis mencit neonatus akibat infeksi E. sakazakii dengan berbagai dosis infeksi secara per oral. Berdasarkan Tabel 8, infeksi E. sakazakii dengan berbagai dosis infeksi menyebabkan peningkatan jumlah mikroglia di otak dibandingkan dengan kontrol. Rataan jumlah mikroglia di cerebrum pada dosis infeksi 10 3 cfuml, 10 4 cfuml, dan 10 5 cfuml tidak berbeda nyata P0,05 dengan kontrol. Pada cerebrum, rataan jumlah mikroglia dengan dosis infeksi 10 6 cfuml berbeda nyata P0,05 dengan kontrol, sedangkan rataan jumlah mikroglia dengan dosis infeksi 10 7 cfuml sangat berbeda nyata P0,05 dengan kontrol. Dengan demikian, dosis infeksi terendah E. sakazakii terhadap SSP yaitu 10 6 cfuml. Selain itu, peningkatan dosis infeksi berbanding lurus dengan peningkatan jumlah mikroglia otak. Peningkatan mikroglia di otak menunjukkan bahwa E. sakzakii danatau toksinnya dapat menyebabkan encephalitis. Pada gambaran histopatologis diidentifikasi terjadi gliosis difus di cerebrum Gambar 16 dan medula spinalis Gambar 17. Berbeda halnya dengan cerebrum, rataan jumlah mikroglia di medula spinalis mencit neonatus akibat pemberian E. sakazakii secara per oral pada berbagai dosis infeksi tidak berbeda nyata P0,05 dengan kontrol. Walaupun demikian, terdapat perbedaan mencolok antara mencit kontrol, kelompok I dosis infeksi 10 3 cfuml, dan kelompok II dosis infeksi 10 4 cfuml dengan kelompok III dosis infeksi 10 5 cfuml, IV dosis infeksi 10 6 cfuml, dan V dosis infeksi 10 7 cfuml. Rataan jumlah mikroglia medula spinalis kontrol, kelompok I, dan kelompok II berjumlah lima puluhan, yakni secara berturut-turut 54,02, 50,04, dan 51,76 sel. Sedangkan rataan jumlah mikroglia medula spinalis kelompok III, kelompok IV, dan kelompok V lebih banyak, yakni secara berturut-turut 73,40, 74,02, dan 71,37. Selain meningitis dan peningkatan mikroglia, pada medula spinalis mencit neonatus yang diinfeksikan E. sakazakii terjadi malacia myelomalacia Gambar 17. Malacia yang paling parah terjadi pada mencit di kelompok V, yakni yang diinfeksi E. sakazakii dengan dosis 10 7 cfuml. Malacia merupakan pelunakan atau pengempukan bagian atau jaringan. Di sistem saraf pusat, malacia merupakan tanda terjadi nekrosa jaringan saraf. Nekrosa pada otak biasanya bersifat nekrosa kolikuasi karena otak mengandung banyak lipoid yang mudah mengalami autolisis Koestner dan Jones 2006. Menurut Koestner dan Jones 2006, gambaran histopatologi malacia susunan saraf pusat ditandai dengan adanya massa tanpa struktur yang di dalamnya masih ada pembuluh-pembuluh darah yang belum rusak. Selain itu, di luar daerah nekrosa terlihat edema, perdarahan, gliosis, dan degenerasi neuron. Hal ini sesuai dengan temuan histopatologi pada medula spinalis mencit perlakuan di penelitian ini. Pada medula spinalis mencit perlakuan terjadi edema, gliosis difus, dan perdarahan Gambar 17. Malacia dapat disebabkan oleh gangguan vaskularisasi, radang bernanah, infeksi jamur, toksin, dan defisiensi gizi Jubb et al . 1993; Koestner dan Jones 2006. Hasil penelitian ini yang menunjukkan terjadinya meningitis dan peningkatan sel mikroglia di cerebrum, serta meningitis, malacia dan peningkatan sel mikroglia di medula spinalis pada mencit neonatus sebagai hewan coba mendukung data bahwa E. sakazakii danatau toksinnya berpotensi menyerang SSP dan menyebabkan meningoencephalitis. Menurut Bar-Oz et al. 2001, E. sakazakii memiliki kecenderungan menyerang SSP sehingga menyebabkan gangguan saraf dan penderitaan pasien. Selain itu, ventrikulitis, hidrosephalus, kiste, dan abses akibat E. sakazakii juga pernah dilaporkan Lai 2001; Bar-Oz et al . 2001. Hingga kini belum ada data mengenai tempat masuknya E. sakazakii ke otak. Plexus choroid merupakan tempat masuknya infeksi bakteri ke otak yang menurut Reid dan Fallon 1992 paling sering terjadi. Dosis infeksi E. sakazakii terhadap SSP lebih tinggi dibandingkan dengan usus karena sebelum menyerang SSP tubuh berupaya mengeleminir bakteri ini melalui sistem kekebalan tubuh. Infeksi E. sakazakii danatau toksinnya terhadap usus terjadi secara langsung, sedangkan infeksi E. sakazakii danatau toksinnya terhadap SSP merupakan lanjutan infeksi di usus akibat mengalirnya bakteri danatau toksinnya dalam darah bakterimiasepsis.

4.4 Perubahan Histopatologis Limpa