Patologi Limpa Peradangan limpa disebut splenitis. Patologi limpa akibat inflamasi dapat

disebut pulpa yang terdiri atas pulpa merah dan pulpa putih Gambar 10. Pulpa merah berwarna merah gelap pada potongan limpa segar. Pulpa merah terdiri atas sinusoid limpa Genesser 1994. Pulpa putih tersebar dalam pulpa merah, berbentuk oval dan berwarna putih kelabu. Pulpa putih terdiri atas pariarteriolar limphoid sheats PALS, folikel limfoid, dan zona marginal. Folikel limfoid umumnya tersusun atas sel limfosit B, makrofag, dan sel debri Ward et al. 1999.

2.5.2 Patologi Limpa Peradangan limpa disebut splenitis. Patologi limpa akibat inflamasi dapat

bersifat akut, kronis, granulomatous, atau abses. Hal ini biasanya dapat diamati di pulpa merah. Selain itu, inflamasi limpa sekunder dapat terjadi akibat tumor. Hemoragi dapat terjadi akibat paparan bahan kimia atau iradiasi. Metode euthanasi dapat menyebabkan kongesti. Secara histologis, terdapat kesulitan untuk membedakan hemoragi, kongesti, atau angiektasis dari kondisi fisiologis limpa karena organ ini memiliki banyak sel eritrosit Ward et al. 1999. Peradangan yang sistemik akan menimbulkan respon limpa. Pada kondisi sepsis dan injeksi endotoksin atau bakteri gram negatif akan terjadi peningkatan akumulasi neutrofil di zona mantel dan sinus limpa. Pada area ini terjadi destruksi bakteri dan pengolahan antigen. Splenitis dan sepsis ditandai dengan pembesaran limpa, hiperemi akut, degenerasi dan aktivasi folikel limfoid, hiperplasia dan mobilisasi sel retikulum Valli dan Parry 1993. Pada hewan muda, histopatologi splenitis akibat toksin yang akut yaitu adanya pusat germinal epiteloid. Selain itu, infeksi bakteri gram negative yang parah di saluran pencernaan pada hewan muda dapat menyebabkan terbentuknya fokus kolonisasi bakteri di limpa Valli dan Parry 1993. Pada hewan yang lebih tua, histopatologi splenitis yaitu terjadi infiltrasi neutrofil pada zona mantel sinus dan penurunan populasi sel pada sentra germinativum. Selain itu terjadi transudasi cairan plasma protein ke dalam sentra germinativum, yang dikenal dengan hialinisasi intrafolikular Valli dan Parry 1993. Menurut Cheville 1999, pada inflamasi akut, terjadi peningkatan permeabilitas endotel pembuluh darah. Hal ini terjadi karena efek kompleks dari sitokin dan mediator inflamasi lainnya yang secara langsung mengaktivasi endotel dan leukosit. Endotel yang teraktivasi meningkatkan permeabilitas vaskuler sehingga terjadi aliran protein plasma dan eksudat dari leukosit dari lumen pembuluh darah ke jaringan interstisial. Albumin, fibrinogen, dan protein plasma lainnya mengalir ke dalam jaringan dan dikenal dengan deposisi protein radang. Splenitis dapat berkembang menjadi sepsis, yaitu kondisi terjadinya inflamasi yang sistemik. Sepsis dapat dibedakan menjadi sepsis mikriptogenik dan sepsis hemoragik. Sepsis mikriptogenik adalah sepsis yang fokus infeksinya tidak nyata pada waktu masih hidup. Sedangkan sepsis hemoragik adalah sepsis yang ditandai dengan perdarahan pada berbagai organ dan jaringan tubuh. Salah satu penyebab septikemia hemoragik adalah Pasteurella multocoida. Selain itu, infeksi Streptococcus zooepidemicus pada hamster dewasa dapat menyebabkan limfadenitis dan septikemia Percy dan Barthold 2001.

3. METODE PENELITIAN

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Bagian Patologi, Departemen Klinik, Reproduksi dan Patologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor IPB pada bulan Januari 2007 sampai Mei 2008. 3.2 Materi 3.2.1 Hewan Coba Penelitian ini bersifat eksperimental menggunakan hewan coba sebagai model. Hewan coba yang digunakan dalam penelitian ini yaitu tiga puluh mencit neonatus Mus musculus albinus berumur satu minggu dengan bobot awal 3-4,5 gram. Mencit neonatus tersebut diperoleh dari hasil perkawinan mencit parental F1 dengan anak mencit F1 in breeding.

3.2.2 Isolat Enterobacter sakazakii

Penelitian ini menggunakan suspensi bakteri Enterobacter sakazakii koleksi Sri Estuningsih dari Bagian Patologi Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Isolat Enterobacter sakazakii tersebut telah teruji melalui penelitian sebelumnya sebagai isolat yang dapat menghasilkan enterotoksin tahan panas melalui uji in vitro untuk sitotoksik mengikuti Pagotto et al. 2003 Grecilia 2008. Suspensi bakteri Enterobacter sakazakii yang digunakan diencerkan menggunakan Phosphate Buffer Saline PBS secara bertingkat sehingga diperoleh dosis 10 3 colony forming unit cfuml, 10 4 cfuml, 10 5 cfuml, 10 6 cfuml, dan 10 7 cfuml mengikuti metode Mc Farlane.

3.2.3 Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan untuk membuat suspensi bakteri E. sakazakii terdiri atas Tripsic Soy Agar TSA, Brain Heart Infusion Broth BHI Broth, Phosphate Buffer Saline PBS, dan larutan standar Mc Farlane I. Bahan yang digunakan dalam pemeliharaan mencit pada penelitian ini yaitu pelet pakan