4.2.2 Sel Radang
Menurut Shackelford dan Elwell 1999, pada inflamasi akut terjadi infiltrasi leukosit dalam jumlah yang ringan dan didominasi oleh sel polimorfo
nuklear PMN neutrofil. Dengan demikian, sel radang merupakan indikator terjadinya inflamasi usus. Jumlah sel radang pada usus halus dan usus besar
mencit neonatus akibat infeksi E. sakazakii dengan berbagai dosis infeksi secara per oral disajikan pada Tabel 7 dan Gambar 15. Pengamatan tidak dilakukan pada
setiap lapisan usus karena lapisan usus mencit neonatus belum berkembang secara sempurna sehingga sulit untuk dibedakan.
Tabel 7 Rataan jumlah sel radang pada usus halus dan usus besar mencit neonatus akibat infeksi E. sakazakii dengan berbagai dosis infeksi secara per oral
Kelompok Dosis Infeksi Usus Halus
Usus Besar
Kontrol NaCl fisiologis
14,12 ± 1,33
a
16,29 ± 2,95
a
I 10
3
cfuml 24,92 ± 2,59
ab
16,28 ± 2,10
a
II 10
4
cfuml 29,70 ± 2,57
bc
17,75 ± 1,90
a
III 10
5
cfuml 31,15 ± 3,73
bc
18,92 ± 2,92
a
IV 10
6
cfuml 40,44 ± 11,97
cd
22,40 ± 2,25
a
V 10
7
cfuml 50,84 ± 16,83
d
33,32 ± 19,29
b
Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata P0,05.
Gambar 15 Grafik rataan jumlah sel radang pada usus halus dan usus besar mencit neonatus akibat infeksi E. sakazakii dengan berbagai dosis infeksi
secara per oral.
Berdasarkan Tabel 7 diketahui bahwa terdapat perbedaan nyata P0,05 jumlah sel radang pada usus halus mencit neonatus yang diberi perlakuan
dibandingkan dengan kontrol. Sel radang juga ditemukan pada mencit kontrol
karena secara fisiologis memang terdapat sel radang di usus, misalnya di tunika mukosa dan tunika submukosa Shackelford dan Elwell 1999 Gambar 13. Jenis
sel radang yang dihitung melalui pengamatan preparat histopatologi pada penelitian ini terdiri atas limfosit, makrofag, neutrofil, eosinofil, dan basofil.
Berdasarkan hasil pengamatan, sel radang pada mencit yang mati dalam tiga hari paska infeksi didominasi neutrofil. Sedangkan pada mencit yang
bertahan hidup sel radang didominasi limfosit. Menurut Barker et al. 1993, neutrofil ditemukan pada inflamasi akut akibat infeksi bakteri sedangkan limfosit
ditemukan pada inflamasi kronis. Dengan demikian, mencit yang mati mengalami inflamasi akut sedangkan mencit yang tidak mati mengalami inflamasi kronis.
Pada hewan yang diberi perlakuan, jumlah sel radang di usus halus lebih banyak dibandingkan dengan di usus besar. Hal ini menunjukkan bahwa derajat
keparahan inflamasi yang terjadi di usus halus lebih tinggi dibandingkan dengan usus besar. Iversen dan Forsythe 2003 memperkirakan dosis infeksi awal
E. sakazakii sebesar 10
3
cfu100 mg. Jika dibandingkan dengan kontrol, infeksi E. sakazakii
dengan dosis terendah, yakni 10
3
cfuml menyebabkan peningkatan rata- rata jumlah sel radang yang tidak berbeda nyata P0,05. Namun, terdapat
perbedaan nyata P0,05 pada nilai rataan sel radang usus akibat infeksi E. sakazakii
dengan dosis 10
4
cfuml dan 10
5
cfuml dengan kontrol. Data ini menunjukkan bahwa dosis infeksi awal E. sakazakii terhadap usus halus sebesar
10
4
cfuml. Sedangkan, nilai rataan sel radang pada infeksi E. sakazakii dengan dosis 10
6
cfuml dan 10
7
cfuml sangat berbeda nyata P0,05 dengan kontrol maupun dosis infeksi lain yang lebih rendah. Data di atas membuktikan bahwa
semakin besar dosis infeksi E. sakazakii yang digunakan, maka semakin banyak jumlah sel radang. Semakin tinggi jumlah sel radang menjadi indikator semakin
parahnya inflamasi. Rataan jumlah sel radang usus besar mencit neonatus yang diinfeksikan
E. sakazakii dengan dosis 10
3
, 10
4
, 10
5
, dan 10
6
cfuml tidak berbeda nyata P0,05 dengan kontrol. Walaupun demikian, terjadi peningkatan rata-rata
jumlah sel radang berbanding lurus dengan peningkatan dosis infeksi. Peningkatan sel radang, misalnya limfosit, walaupun hanya dalam jumlah sedikit
merupakan indikasi telah terjadi inflamasi Barker et al. 1993. Berbeda dengan
pemberian E. sakazakii dengan dosis infeksi yang lebih rendah, infeksi E. sakazakii
dengan dosis 10
7
cfuml berbeda nyata dengan kontrol. Dosis infeksi ini lebih rendah dibandingkan dengan dosis yang digunakan Pagotto et al. 2003.
Menurut Pagotto et al. 2003, infeksi E. sakazakii pada dosis 10
8
cfuml secara intra peritoneal dan per oral dapat menyebabkan kematian mencit neonatus.
Berdasarkan pengamatan histopatologis, pada penelitian ini ditemukan peningkatan jumlah limfosit dan netrofil terutama di lumen dan tunika mukosa
usus halus. Netrofil juga ditemukan di sekitar daerah yang mengalami nekrosa. Kehadiran sel radang misalnya neutrofil dalam jumlah banyak merupakan
indikator terjadinya inflamasi. Namun, neutrofil tidak selalu ditemukan di mukosa usus karena biasanya masuk ke lumen usus bila ada invasi bakteri Barker et al.
1993. Lisosom neutrofil mengandung banyak enzim lisozim yang berfungsi sebagai faktor antibakteri yang kuat pada jaringan. Lisozim mampu
menghancurkan beberapa bakteri gram negatif. Akibatnya, neutrofil cenderung berkumpul di daerah perbarahan akut termasuk tempat invasi bakteri Tizard
1987. Deskuamasi epitel, udema lamina propria, dan infiltrasi sel radang di usus
akibat E. sakazakii danatau toksinnya membuktikan bahwa E. sakazakii danatau toksinnya dapat menyebabkan enterokolitis nekrotikan. Enterokolitis nekrotikan
menyebabkan gangguan absorbsi nutrisi di usus sehingga inang yang terinfeksi dapat mengalami malnutrisi.
4.3 Perubahan Histopatologis Cerebrum dan Medula Spinalis