Universitas Sumatera Utara
terhadap fenomena atau peristiwa tersebut. Kedua orang tersebut juga akan menghasilkan penilaian, sikap, tindakan, bahkan pandangan yang berbeda juga.
Perbedaan ini bisa terjadi karena kedua orang tersebut memiliki paradigma yang berbeda, yang secara otomatis mempengaruhi persepsi dan tindakan
komunikasinya.
2.1.1 Perspektif Konstruktivisme
Konstruktivisme menolak pandangan positivisme yang memisahkan subjek dan objek komunikasi. Dalam konstruktivisme, bahasa tidak lagi hanya
dilihat sebagai alat untuk memahami realitas objektif belaka dan dipisahkan dari subjek sebagai penyampai pesan. Konstruktivisme justru menganggap subjek
sebagai faktor sentral dalam kegiatan komunikasi serta hubungan-hubungan sosialnya. Subjek memiliki kemampuan melakukan kontrol terhadap maksud-
maksud tertentu dalam setiap wacana Ardianto Q Anees, 2007:151. Konsep mengenai konstruktivisme diperkenalkan oleh sosiolog interpretif,
Peter L. Berger bersama Thomas Luckman. Paradigma konstruktivisme memandang realitas kehidupan sosial bukanlah sebagai realitas natural, tetapi
hasil dari konstruksi. Konsentrasi analisis pada paradigma konstruktivis adalah menemukan bagaimana peristiwa atau realitas tersebut dikonstruksi dan dengan
cara apa konstruksi tersebut dibentuk Eriyanto, 2001:37. Sejarah konstruktivisme dapat dirunut pada teori Popper yang
membedakan alam semesta ke dalam tiga bagian.
Pertama,
dunia fisik atau keadaan fisik.
Kedua,
dunia kesadaran atau mental atau disposisi tingkah laku.
Ketiga,
dunia dari isi objektif pemikiran manusia, khususnya pengetahuan ilmiah, puitis, dan seni. Bagi Popper, objektivisme tidak dapat dicapai pada dunia fisik,
melainkan selalu melalui dunia pemikiran manusia. Pemikiran ini kemudian berkembang menjadi konstruktivisme yang tidak hanya menyajikan batasan baru
mengenai keobjektifan, melainkan juga batasan baru mengenai kebenaran dan pengetahuan manusia Ardianto Q Anees, 2007:153.
Konstruktivisme berpendapat bahwa semesta secara epistemologi merupakan hasil konstruksi sosial. Pengetahuan manusia adalah konstruksi yang
dibangun dari proses kognitif dengan interaksinya dengan dunia objek material. Pengalaman manusia terdiri dari interpretasi bermakna terhadap kenyataan dan
Universitas Sumatera Utara
bukan reproduksi kenyataan. Konstruktivisme menolak pengertian ilmu sebagai yang “terberi” dari objek pada subjek yang mengetahui. Unsur subjek dan objek
sama-sama berperan dalam mengkonstruksi ilmu pengetahuan. Dengan demikian paradigma konstruktivis mencoba menjembatani dualisme objektivisme-
subjektivisme dengan mengafirmasi peran subjek dan objek dalam konstruksi ilmu pengetahuan Ardianto Q Anees, 2007 : 151-153.
Para konstruktivis percaya bahwa pengetahuan itu ada dalam diri seseorang yang sedang mengetahui. Pada proses komunikasi, pesan tidak dapat
dipindahkan begitu saja dari otak seseorang ke kepala orang lain. Penerima pesan sendirilah yang harus mengartikan apa yang telah diajarkan dengan menyesuaikan
terhadap pengalaman mereka. Konsep penting konstruktivisme adalah bahwa pengetahuan bukanlah tertentu dan deterministik, tetapi suatu proses menjadi tahu
Ardianto Q Anees, 2007:154. Berangkat dari penjelasan teoritik tadi, konstruktivisme merujuk pada
pengetahuan yang dikonstruksi sudah ada di benak subjek. Namun, konstruktivisme juga meyakini bahwa pengetahuan bukanlah hasil sekali jadi
melainkan sebuah proses yang panjang dari sejumlah pengalaman. Ada banyak situasi yang memaksa seseorang untuk mengadakan perubahan. Menurut
Bettencourt, situasi perubahan tersebut meliputi: konteks tindakan, konteks membuat masuk akal, konteks penjelasan, dan konteks pembenaran.
Pentingnya pengalaman dalam proses pengetahuan ini membuat proses konstruksi membutuhkan beberapa kemampuan sebagai berikut:
Pertama
, kemampuan mengingat dan mengungkapkan kembali pengalaman.
Kedua
, kemampuan membandingkan, mengambil keputusan justifikasi mengenai
persamaan dan perbedaan.
Ketiga
, kemampuan untuk lebih menyukai pengalaman yang satu dari yang lain. Bettencourt menyebutkan beberapa hal yang dapat
membatasi proses konstruksi pengetahuan manusia, antara lain
Pertama
, konstruksi kita yang lama.
Kedua
, domain pengalaman kita.
Ketiga
, jaringan struktur kognitif kita.
Paradigma konstruktivis ini, menegaskan bahwa pengetahuan tidak lepas dari subjek yang sedang belajar mengerti. Konstruktivisme menekankan bahwa
pengetahuan kita adalah
konstruksi
bentukan kita sendiri. Pandangan ini
Universitas Sumatera Utara
mendasarkan pada penafsiran teks yang menjadi objek penelitian. Dalam proses penafsiran teks, pengalaman, latar belakang, dan perasaan peneliti dapat
mempengaruhi hasil penelitian. Dalam penelitian ini akan digunakan paradigma konstruktivis, karena seperti yang dijelaskan tadi, konsentrasi analisis pada
paradigma konstruktivis adalah menemukan bagaimana peristiwa atau realitas tersebut dikonstruksi dan dengan cara apa konstruksi tersebut dibentuk.
2.2 Kajian Semiotik dalam Studi Komunikasi Massa