Universitas Sumatera Utara
Perempuan di Senca Falls. Pergerakan perempuan pada tahun 1960-an dengan cepat menjadi suatu kekuatan politik yang menyebar di Eropa dan Amerika.
“Landasan-landasan teoritis yang dipakai dalam gelombang feminisme ini adalah feminisme liberal, feminisme radikal, dan feminisme Marxis atau Sosialis”
Arivia, 2003:85. Seiring dengan perkembangan zaman, kurang lebih seratus tahun sejak
kelahirannya, feminisme memasuki gelombang kedua. Gerakan ini ditandai dengan lahirnya sebuah pemahaman bahwa perempuan memang berbeda dengan
laki-laki, tetapi yang menjadi penyebab perlakuan yang tidak adil terhadap perempuan adalah konstruksi sosial yang dibentuk oleh masyarakat patriarkal.
Maka dari itu, isu pertama yang diusung feminisme gelombang kedua adalah perlawanan terhadap legalitas budaya patriarki Nugroho, 2004.
2.2.6.2 Aliran-aliran Feminisme
Sejauh ini ada sejumlah aliran besar feminisme.
Pertama, feminisme liberal
. Feminisme liberal cenderung membatasi diri pada studi-studi tingkat mikro yang selalu berusaha melihat berbagai bentuk pembagian kerja seksual dan
membongkar ketersembunyian sekaligus ketidaknampakan perempuan yang selama ini ada. Menurut Bryson diantara kelompok feminis lain, kelompok ini
termasuk paling moderat, karena membenarkan perempuan bekerja bersama laki- laki di dalam semua peran tanpa ada kelompok jenis keamin yang lebih dominan
Umar dalam Ardianto Q Anees, 2007: 186-187. Meskipun dikatakan feminisme liberal, menurut Nasarudin Umar 1999 kelompok ini menolak
persamaan secara menyeluruh antara laki-laki dan perempuan, kelompok ini beranggapan bahwa tidak mesti dilakukan perubahan struktural secara
menyeluruh.
Kedua adalah feminisme radikal.
Meskipun banyak meminjam jargon Marxisme, feminisme radikal, menurut Jaggar 1997, tidak menggunakannya
secara sungguh-sungguh. Bagi mereka dasar penindasan perempuan sejak awal adalah dominasi laki-laki, dimana penguasaan fisik perempuan oleh laki-laki
dianggap sebagai bentuk dasar penindasan Fakih dalam Ardianto Q Anees, 2007:187. Dalam menjelaskan penyebab penindasan perempuan, feminisme
Universitas Sumatera Utara
radikal menggunakan pendekatan ahistoris, dimana patriarki dianggap sebagai masalah universal dan mendahului segala bentuk penindasan.
Ketiga, feminisme Marxis
. Teori marxis merupakan antitesis dari sistem kapitalisme yang dibangun masyarakat Eropa. Kapitalisme melahirkan kelas-kelas
sosial yang pada akhirnya menciptakan eksploitasi kelas masyarakat tertentu terhadap kelas sosial lainnya. Tidak hanya sampai disitu, sistem kapitalis juga
menempatkan perempuan sebagai masyarakat kelas dua yang harus menerima perlakuan diskriminatif kaum laki-laki sebagai pemilik modal. Bahkan dalam
sebuah keluarga, sistem kapitalis berperan besar mengeksploitasi perempuan sehingga perempuan berfungsi sebagai miniatur kelompok pekerja yang harus
tunduk terhadap kehendak kaum laki-laki sebagai kepala keluarga atau pemilik “modal” keluarga. Untuk itu, muncul gerakan feminisme yang mereduksi
kesadaran kaum Marxian untuk merombak sistem kapitalis yang sudah jelas-jelas menempatkan perempuan sebagai masyarakat kelas dua karena pada umumnya
laki-laki sebagai pemilik modal termasuk dalam keluarga Ardianto Q Anees, 2007:188.
Keempat, feminisme sosialis.
Feminisme sosialis dan feminisme Marxis adalah dua bentuk gerakan penyadaran perempuan yang bersumber dari satu
penolakan terhadap terhadap sistem kelas yang diciptakan oleh sistem kapitalis.
Perbedaan keduanya menurut Mansour Fakih 1997 terletak pada kesadaran bahwa kesalahan yang diskriminatif ini ada pada sistem yang jelas-jelas
menguntungkan laki-laki, yang oleh feminisme sosialis ditekankan pada kesadaran masing-masing perempuan untuk melakukan restrukturisasi sosial
kemasyarakatan agar tercapai kesetaraan gender. Hal ini disebabkan oleh perbedaan cara pandang dalam melihat ketertindasan perempuan. Feminisme
sosialis lebih berdimensi pada penyadaran peran bahwa sistem kapitalis dibangun masyarakat Barat telah memperlakukan perempuan secara diskriminatif Ardianto
Q Anees, 2007:189.
Universitas Sumatera Utara
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Metode Penelitian
Metode penelitian ialah suatu prosedur atau cara untuk mengetahui dan menyelidiki permasalahan dalam memperoleh suatu jawaban melalui langkah-
langkah sistematis Ardial, 2014:517. Sedangkan metodologi ialah suatu pengkajian dalam mempelajari peraturan-peraturan suatu metode. Jadi,
metodologi penelitian adalah suatu pengkajian dalam mempelajari peraturan- peraturan yang terdapat dalam penelitian Usman Setiady, 2009:41. Metode
yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif yang didasarkan pada penafsiran, dengan konsep-konsep yang umumnya tidak
memberikan angka numerik, seperti etnometodologi dan jenis wawancara tertentu. Penelitian kualitatif bertujuan untuk menjelaskan fenomena yang terjadi secara
mendalam. Menurut Taylor dan Bogdan 1984, Penelitian kualitatif diartikan sebagai penelitian yang menghasilkan data deskriptif mengenai kata-kata lisan
maupun tertulis, dan tingkah laku yang dapat diamati dari orang-orang yang diteliti Suyanto Sutinah, 2005:166.
Pada pendekatan ini, peneliti membuat suatu gambaran kompleks, meneliti kata-kata dan melakukan studi pada situasi yang alami Ardial, 2014:249. Dalam
penelitian kualitatif ada dua hal yang ingin dicapai, yaitu: 1 menganalisis proses berlangsungnya suatu fenomena sosial dan memperoleh suatu gambaran yang
tuntas terhadap proses tersebut; dan 2 menganalisis makna yang ada di balik informasi, data, dan proses suatu fenomena sosial itu. Berdasarkan tujuan yang
kedua, peneliti menggunakan analisis semiotika untuk metode penelitian yang sifatnya memaparkan situasi ataupun peristiwa dengan melukiskan variable satu
per satu Rakhmat, 2006:25. Dalam kajian komunikasi, teknik penelitian dengan menggunakan analisis
semiotika ini cenderung lebih banyak mengarah pada sumber penerimaan pesan. Penelitian dengan menggunakan teknik analisis semiotika selalu melibatkan dan
menuntut daya pikir, pengalaman, budaya, dan emosi setiap manusia dalam