Universitas Sumatera Utara
2.2.4 Semiologi Roland Barthes
Barthes dikenal sebagai salah seorang pemikir strukturalis yang getol mempraktikkan model linguistik dan semiologi Saussurean. Barthes lahir tahun
1915 dari keluarga kelas menengah Protestan di Cherbourg dan dibesarkan di Bayonne, kota kecil dekat pantai Atlantik di sebelah barat daya Perancis. Pada
1976, Barthes diangkat sebagai professor untuk “semiologi literer” di
College de France
. Barthes telah banyak menulis buku, yang beberapa diantaranya telah menjadi bahan rujukan penting untuk studi semiotika di Indonesia. Karya-karya
pokok Barthes antara lain: Le degre zero de l‟ecriture atau “Nol Derajat di Bidang
Menulis” 1953 diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris,
Writing Degree Zero
, 1977;
Michelet
1954;
Mythologies
1957;
Critical Essays
1964;
Elements of Semiology
1964;
The Empire of Sign
1970;
Sade Fourier Loyola
1971;
The Pleasure of the Text
1973; A Lover‟s Discourse: Fragments 1977;
Camera Lucida: Reflections on Photography
1980;
The Gain of the Voice: Interviews 1962-1980
1981;
The Responsibility of Forms
1982; L‟aventure Semiologique
1985; dan masih banyak lagi karya Barthes lainnya Sobur, 2004 : 63-67. Semiologi Barthes pada awalnya didasarkan pada kritik budaya, eksplorasi
tanda-tanda, budaya massa sebagai bentuk mitos yang menandai hadirnya
petit bourgeois
borjuis kecil yang dianggap sebagai representasi
universal
. Pada tulisannya yang berjudul
Systéme de la Mode
Sistem Mode Barthes, 1967, ia menjelaskan bahwa istilah-istilah yang digunakan dalam dunia mode penuh
dengan idealisme kaum borjuis. Seperti konsep mode celana
gentleman
yang dianggap cocok dengan jas dan dasi, diterima oleh masyarakat seakan-akan
sebagai sebuah kebenaran absolut Barthes, 2007: vi. Barthes mengembangkan kajian yang sebelumnya memiliki warna kental
strukturalisme kepada semiotika teks. Barthes melontarkan konsep tentang konotasi dan denotasi sebagai kunci dari analisisnya. Fiske menyebut model ini
sebagai signifikasi dua tahap
two order of signification
. Lewat model ini Barthes menjelaskan bahwa signifikasi tahap pertama merupakan hubungan antara
signifier
penanda dan
signified
petanda di dalam sebuah tanda terhadap tealitas external. Itu yang disebut Barthes sebagai denotasi yaitu makna paling nyata dari
tanda
sign
. Denotasi adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan
Universitas Sumatera Utara
antara penanda dan petanda, atau antara tanda dan rujukannya pada realitas, yang menghasilkan makna yang eksplisit, langsung, dan pasti. Sementara konotasi
adalah istilah yang digunakan Barthes untuk menunjukkan signifikasi tahap kedua yang merupakan tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan antara penanda
dan petanda yang didalamnya beroperasi makna yang tidak eksplisit, tidak langsung dan tidak pasti. Konotasi mempunyai makna yang subjektif atau paling
tidak intersubjektif. Dengan kata lain, denotasi adalah apa yang digambarkan tanda terhadap sebuah objek, sedangkan makna konotasi adalah bagaimana cara
menggambarkannya Wibowo, 2011:17. Dalam bukunya Barthes
S Z
1970, ia menganalisis sebuah novel kecil yang kurang dikenal berjudul
Sarrasine
, ditulis oleh sastrawan Perancis abad ke 19, Honore de Barzac. Barthes berpendapat bahwa teks Sarrasine terangkai dalam
kode-kode rasionalisasi, suatu proses yang mirip dengan yang terlihat dalam retorika tentang tanda mode. Ada lima kode yang ditinjau Barthes Sobur, 2004 :
65-55, yaitu: 1.
Kode hermeneutik
atau kode teka-teki berkisar pada harapan pembaca untuk mendapatkan “kebenaran” bagi pertanyaan yang muncul dalam teks. Kode teka-
teki merupakan unsur struktur yang utama dalam narasi tradisional. Di dalam narasi ada suatu kesinambungan antara pemunculan suatu peristiwa teka-teki dan
penyelesaiannya di dalam cerita. 2.
Kode semik
atau kode konotatif banyak menawarkan banyak sisi. Dalam proses pembacaan, pembaca menyusun tema suatu teks. Ia melihat bahwa konotasi kata
atau frase tertentu dalam teks dapat dikelompokkan dengan konotasi kata atau frase yang mirip. Jika kita melihat suatu kumpulan satuan konotasi, kita
menemukan suatu tema di dalam cerita. 3.
Kode simbolik
merupakan aspek pengkodean fiksi yang paling khas bersifat struktural, atau tepatnya menurut konsep Barthes, pascastruktural. Dalam suatu
teks verbal, perlawanan yang bersifat simbolik seperti ini dapat dikodekan melalui istilah-istilah retoris seperti antitesis, yang merupakan hal yang istimewa dalam
sistem simbol Barthes. 4.
Kode proairetik
atau kode tindakanlakuan dianggapnya sebagai perlengkapan utama teks yang dibaca orang; artinya, antara lain, semua teks yang bersifat
naratif. Secara teoritis Barthes melihat semua lakuan dapat dikodifikasi. Namun pada praktiknya, ia menerapkan beberapa seleksi. Kita mengenal kode lakuan atau
peristiwa karena kita dapat memahaminya. 5.
Kode gnomik
atau kode kultural banyak jumlahnya. Kode ini merupakan acuan teks ke benda-benda yang sudah diketahui dan dikodifikasi oleh budaya. Menurut
Barthes, realisme tradisional didefinisi oleh acuan ke apa yang telah diketahui. Rumusan suatu budaya atau subbudaya adalah hal-hal kecil yang telah
dikodifikasi yang di atasnya para penulis bertumpu.
Universitas Sumatera Utara
Pada dasarnya, ada perbedaan antara denotasi dan konotasi dalam pengertian secara umum serta denotasi dan konotasi yang dimengerti oleh
Barthes. Dalam pengertian umum, denotasi biasanya dimengerti sebagai makna harfiah, makna
yang “sesungguhnya”. Proses signifikasi yang secara tradisional disebut sebagai denotasi ini biasanya mengacu kepada penggunaan bahasa dengan
arti yang sesuai dengan apa yang terucap. Akan tetapi, dalam semiologi Roland Barthes dan para pengikutnya, denotasi justru lebih diasosiasikan dengan
ketertutupan makna. Sebagai reaksi yang paling ekstrem melawan keharfiahan denotasi yang bersifat opresif ini, Barthes mencoba menyingkirkan dan
menolaknya. Baginya, yang ada hanyalah konotasi semata-mata Sobur, 2004 : 70-71.
Dalam kerangka Barthes, konotasi identik dengan operasi ideologi yang disebutnya sebagai „mitos‟, dan berfungsi untuk mengungkapkan dan memberikan
pembernaran bagi nilai-nilai dominan yang berlaku dalam suatu periode tertentu. Mitos dibangun oleh suatu rantai pemaknaan yang telah ada sebelumnya atau,
dengan kata lain, mitos adalah juga suatu sistem pemaknaan tataran ke-dua Sobur, 2004:71.
2.2.5 Representasi