4. Perokok ringan, yaitu seseorang yang menghabiskan rokok sekitar 10
batang dengan selang waktu 60 menit dari bangun pagi.
2.4.3 Alasan Merokok
Menurut Amstrong 1991 ada beberapa alasan mengapa orang dewasa merokok, yaitu:
1. Seorang perokok merasa benar-benar menikmati rokok ketika
menghisapnya. Mereka bahkan tidak dapat menahan diri meskipun menyadari bahwa kesehatannya dipertaruhkan untuk kesenangan tersebut.
2. Seorang perokok menjadi ketagihan terhadap nikotin yang terdapat dalam
rokok sehingga mereka merasa hampa tanpa mengkonsumsinya. Inilah efek samping dari nikotin yang ada pada rokok yaitu membuat orang
menjadi kecanduan. 3.
Seorang perokok terbiasa menghisap rokok untuk dapat merasakan relaksasi santai setelah melakukan berbagai aktivitas.
4. Persepsi bahwa merokok merupakan penopang dalam bermasyarakat. Hal
inilah yang kemudian menimbulkan kesan jantan dalam perilaku merokok karena diterima dalam lingkungan bermasyarakat.
2.4.4 Perilaku Merokok dan Kemiskinan
Setiap negara termasuk Indonesia memiliki definisi tersendiri terhadap kategori miskin bagi seseorang. Hal ini dikarenakan kondisi miskin tersebut
bersifat relatif untuk setiap negara misalnya kondisi perekonomian, standar kesejahteraan, dan kondisi sosial. Setiap definisi ditentukan menurut kriteria atau
Universitas Sumatera Utara
ukuran- ukuran berdasarkan kondisi tertentu seperti pendapatan rata- rata, status kependidikan, dan kondisi kesehatan.
Berdasarkan Undang- Undang Nomor 24 tahun 2004, kemiskinan adalah kondisi sosial ekonomi seseorang atau sekelompok orang yang tidak terpenuhinya
hak- hak dasarnya untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan yang bermartabat. Kebutuhan dasar yang menjadi hak seseorang atau sekelompok
orang meliputi kebutuhan pangan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, perumahan, air bersih, pertanahan,sumber daya alam, lingkungan hidup, rasa aman dari
perlakuan atau ancaman tindak kekerasan, dan hak untuk berpartisipasi dalam penyelenggaraan kehidupan sosial dan politik.
Definisi kemiskinan yang dikemukakan oleh Chambers dalam Aisyah 2014 menerangkan bahwa kemiskinan adalah suatu kesatuan konsep integrated
concept yang memiliki lima dimensi, yaitu: 1.
Kemiskinan proper Permasalahan kemiskinan adalah kondisi ketidakmampuan pendapatan
untuk mencukupi kebutuhan- kebutuhan pokok. Konsep atau pandangan ini berlaku tidak hanya pada kelompok yang tidak memiliki pendapatan akan
tetapi dapat berlaku pula pada kelompok yang telah memiliki pendapatan. 2.
Ketidakberdayaan powerless Pada umumnya, rendahnya kemampuan pendapatan akan berdampak pada
kekuatan sosial dari seseorang atau sekelompok orang terutama dalam memperoleh keadilan persamaan hak untuk mendapatkan penghidupan yang
layak bagi kemanusiaan.
Universitas Sumatera Utara
3. Kerentanan menghadapi situasi darurat state of emergency
Seseorang sekelompok orang yang disebut miskin tidak memiliki kemampuan untuk menghadapi situasi yang tidak terduga dimana situasi ini
membutuhkan alokasi pendapatan untuk menyelesaikannya. Misalnya, situasi rentan berupa kondisi kesehatan yang membutuhkan biaya pengobatan yang
relatif mahal. 4.
Ketergantungan dependency Keterbatasan kemampuan pendapatan ataupun kekuatan sosial dari
seseorang sekelompok orang yang disebut miskin menyebabkan tingkat ketergantungan terhadap pihak lain sangat tinggi. Mereka tidak memiliki
kemampuan atau kekuatan untuk menciptakan solusi penyelesaian masalah terutama yang berkaitan dengan penciptaan pendapatan baru. Bantuan pihak
lain sangat diperlukan. 5.
Keterasingan isolation Dimensi keterasingan yang dimaksudkan adalah faktor lokasi yang
menyebabkan seseorang atau sekelompok orang menjadi miskin. Pada umumnya, masyarakat yang disebut miskin ini berada pada daerah yang jauh
dari pusat- pusat pertumbuhan ekonomi. Hal ini dikarenakan sebagian besar fasilitas kesejahteraan lebih banyak terkonsentrasi di pusat- pusat
pertumbuhan ekonomi. Masyarakat yang tinggal di daerah terpencil sulit dijangkau oleh fasilitas- fasilitas kesejahteraan sehingga relatif memiliki taraf
hidup yang rendah yang menyebabkan adanya kemiskinan.
Universitas Sumatera Utara
Jumlah perokok di Indonesia sangatlah besar sesuai dengan jumlah penduduknya yang besar pula. Selain itu rokok juga menjadi pengeluaran terbesar
kedua bagi para rakyat di Indonesia. Pada data di Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia tahun 2006 dalam Aisyah 2014 tercatat bahwa
pengeluaran rokok sebesar 11,89, setengahnya dari pengeluaran terhadap padi- padian yang mencapai 22,10, namun lebih tinggi dari listrik, telepon dan BBM
yang sebesar 10,95 serta lebih tinggi dari pada sewa dan kontrak yang mencapai 8,82.
Berdasarkan jenis pekerjaan, petaninelayanburuh adalah perokok aktif setiap hari yang mempunyai proporsi terbesar 44,5 dibandingkan kelompok
pekerjaan lainnya. Dari hasil data tersebut tampak bahwa kelompok keluarga termiskin justru mempunyai prevalensi merokok lebih tinggi dari pada kelompok
terkaya. Selain itu berdasarkan data BPS pada bulan Maret 2014, komoditi makanan yang memberikan sumbangan terbesar pada Garis Kemiskinan yaitu
beras, rokok kretek filter, telur ayam ras, mie instan, dll. Rokok kretek filter merupakan salah satu komoditi makanan yang memberikan sumbangan terbesar
kedua terhadap Garis Kemiskinan Menurut hasil BPS tersebut banyak penduduk miskin yang membelanjakan pendapatannya untuk hal-hal yang berdampak buruk
bagi kesehatan diantaranya pengeluaran untuk rokok. Porsi belanja rokok yang semakin besar tersebut tentunya akan mengurangi kemampuan keluarga untuk
mencukupi kebutuhan lain, seperti makanan, biaya pendidikan anak, biaya kesehatan dan upaya meningkatkan gizi anak- anak dan keluarga. Hal inilah yang
Universitas Sumatera Utara
dapat mengakibatkan kemiskinan dan secara signifikan dapat menurunkan standar hidup keluarga miskin,
Menurut Kosen yang dikutip Surjono,dkk 2013 dalam Jurnal Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan Kementerian Keuangan Republik Indonesia
BPPK, pengeluaran tembakau di Indonesia secara makro pada tahun 2010 menyebabkan pengeluaran yang tidak perlu sebesar 231,27 trilyun rupiah, yang
terdiri dari 138 trilyun rupiah untuk pembelian rokok, 2,11 trilyun rupiah untuk biaya perawatan medis rawat inap dan rawat jalan, dan 91,16 trilyun rupiah
kerugian akibat kehilangan produktivitas karena kematian premature dan morbiditas-disabilitas. Sementara realisasi penerimaan cukai hasil tembakau pada
tahun 2010 hanya sebesar 63 trilyun rupiah. Jika dinilai dengan uang, kerugian ekonomi akibat penggunaan tembakau mengalami kenaikan dari 245,41 trilyun
rupiah tahun 2010 menjadi 378,75 trilyun rupiah pada tahun 2013.
2.5 Jaminan Kesehatan Nasional JKN