diperkenalkan konsep pembangunan dan pemberdayaan jender untuk meihat ketidaksetaraan pencapaian antara laki- laki dan perempuan BPS-Bappenas-
UNDP. Konsep tersebut memfokuskan pada peranan, hubungan dan tanggung jawab sistem sosial ekonomi jender pada tingkat makro nasional dan
internasional, tingkat intermediate sektor, dan tingkat mikro masyarakat atau keluarga rumah tangga.
Upaya pengarusutamaan jender akan mempengaruhi IPM, dengan asumsi bahwa perubahan intervensi pembangunan yang tidak bias jender akan
meningkatkan nilai kesejahteraan manusia secara keseluruhan. Dengan pengukuran ini dapat dilihat peran dan tanggung jawab perempuan pada kualitas
hidupnya sendiri karena beban dan perannya sebagai pemelihara kesehatan keluarga, pengatur keuangan rumah tangga, kebebasan mengembangkan diri
karena dibebani tanggung jawab pengasuhan anak, serta rasa aman dari kekerasan dalam rumah tangga.
Indeks pemberdayaan jender IDJ mengukur partisipasi perempuan di bidang ekonomi perempuan dalam angkatan kerja dan rata-rata upah di sektor
non-pertanian, politik perempuan di parlemen dan pengambil keputusan perempuan pekerja profesional, pejabat tinggi, dan manajer. Adanya
ketimpangan IDJ memperlihatkan masih rendahnya partisipasi perempuan dalam pengambilan keputusan di ranah publik.
3.1.5 Pengeluaran Sosial Pemerintah
Pengeluaran pemerintah merupakan salah satu kebijakan fiskal untuk mencapai keseimbangan dan stabilitas dalam perekonomian negara secara makro
yang dinamis dan berkembang. Dalam tinjauan ekonomi publik, belanja publik public expenditure
merupakan instrumen untuk penyelenggaraan aktivitas pemerintahan dan pengadaan barang dan jasa publik. APBD merupakan belanja
publik yang berfungsi untuk mengatasi kegagalan pasar dalam penyediaan barang dan jasa publik Stiglitz dalam Riyanto, 2005.
Menurut Jhingan 2003, investasi pembangunan manusia pada overhead sosial dapat dikategorikan sebagai pengeluaran sosial oleh pemerintah. Oleh
karena inti dari pembangunan manusia adalah pendidikan dan kesehatan, maka alokasi pengeluaran pemerintah seharusnya difokuskan pada pembangunan sosial
kedua sektor tersebut. Berdasarkan UUD 1945 dan UU 202003 tentang Sisdiknas, dana
pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan mendapat alokasi minimal 20 persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara dan daerah
APBN dan APBD. Sedangkan berdasar GBHN Tahun 2002, diamanatkan bahwa alokasi anggaran untuk sektor kesehatan sebesar 15 persen dari APBN.
Bahkan organisasi kesehatan dunia WHO menganjurkan besarnya alokasi pengeluaran pemerintah untuk sektor kesehatan 5 persen dari Produk Domestik
Bruto
4
. Selain itu, dalam Inisiatif 20:20 di Kopenhagen tahun 1995, mewajibkan semua negara kaya dan berkembang menggunakan 20 persen dari bantuan
pembangunan atau anggaran belanja negara bagi kebutuhan pendidikan dan kesehatan
5
. Permasalahan dalam pengalokasian anggaran, selain tidak berimbangnya
alokasi antara bela nja rutin dan belanja pembangunan, juga ketidaktepatan dalam
4
www.kompas.com Pelayanan Kesehatan, Advokasi, dan Governance Reform 6 Mei 2007
5
www.kompas.com Pajak Sosial Pendidikan, Mengapa Tidak 5 Agustus 2004
alokasi anggaran terhadap sektor-sektor yang seharusnya mendapatkan prioritas dalam pembangunan. Dari sisi kepentingan publik, pengalokasian tersebut
dirasakan kurang adil dan kurang memihak pada kepentingan masyarakat. Hal tersebut akan menyebabkan inefisiensi sehingga tujuan pembangunan yang
diharapkan tidak tercapai. Kebijakan pemerintah yang tepat dalam pengalokasian anggaran adalah lebih menitikberatkan pada belanja pembangunan investasi
publik yang dapat menciptakan nilai tambah di dalam perekonomian wilayah.
3.1.6 Otonomi Daerah