Teori Atribusi Penegakan Peraturan

hari yang tidak baik, apakah orang tersebut merasa tertekan atau gembira dan seterusnya Ikhsan dan Ishak ,2005.

2.1.2 Teori Atribusi

Teori atribusi mempelajari proses bagaimana seseorang menginterpretasikan suatu peristiwa, alasan, atau sebab perilakunya. Teori ini dikembangkan oleh Fritz Heider yang berargumentasi bahwa perilaku seseorang ditentukan oleh kombinasi antara kekuatan internal, yaitu faktor-faktor yang berasal dari dalam diri seseorang, seperti faktor kemampuan usaha dan kekuatan eksternal yaitu faktor-faktor yang berasal dari luar,seperti kesulitan dalam pekerjaan atau keberuntungan Ikhsan Ishak ,2005. Menurut Ivancevich et al., 2006, berdasarkan teori atribusi, penyebab yang dipersepsikan dari suatu peristiwalah dan bukan peristiwa aktual itu sendiri yang memengaruhi perilaku seseorang. Secara lebih spesifik, individu akan berusaha menganalisis mengapa peristiwa tertentu muncul dan dari hasil analisis tersebut akan mempengaruhi perilaku mereka di masa mendatang. Proses atribusi juga dapat menjadi hal yng penting dalam memahami perilaku dari orang lain. Perilaku orang lain dapat diperiksa atas dasar keunikan, konsistensi dan konsensus. Keunikan merupakan tingkatan di mana seseorang berperilaku secara serupa dalam situasi yang berbeda. Konsistensi merupakan tingkatan dimana seseorang menunjukkan perilaku yang sama pada waktu yang berbeda. Konsensus merupakan tingkatan dimana orang lain menunjukkan perilaku yang sama. Mengetahui sejauh mana perilaku seseorang menunjukkan kualitas ini dapat sangat bermanfaat dalam membantu memahami perilaku tersebut.

2.1.3 Kecurangan fraud

2.1.3.1 Pengertian kecurangan fraud

Menurut Boynton 1996 kecurangan atau fraud adalah penipuan yang direncanakan misalnya salah saji, menyembunyikan, atau tidak mengungkapkan fakta yang material sehingga merugikan pihak lain. Statement on Auditing Standards No. 99 mendefinisikan fraud sebagai “an intentional act that result in a material misstatement in financial statements tahtare the subject o an audit. Sedangkan menurut Black’s Law Dictionary dalam Kurniawati 2012, fraud didefinisikan sebagai: Mencakup semua macam yang dapat dipikirkan manusia, dan yang dapat diupayakan pleh seseorang untuk mendapatkan keuntungan dari orang lain dengan saran yang salah atau pemaksaan kebenaran, dan mencakup semua cara yang tak terduga, penuh siasat licik atau tersembunyi, dan setiap cara yang tidak wajar yang menyebabkan orang lain tertipu. Kitab Undang-undang Hukum Pidana KUHP dalam Tanuakotta 2007, menyebutkan beberapa pasal yang mencakup pengertian fraud seperti : - Pasal 362 : Pencurian definisi KUHP : mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum. - Pasal 372 : Penggelapan definisi KUHP : dengan sengaja dan melawan hukum memiliki barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain, tetapi yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan. - Pasal 378 : Perbuatan curang definisi KUHP : dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi utang maupun menghapuskan piutang. Definisi fraud juga diungkapkan menurut the Association of Certified Fraud Examiners ACFE dalam Kurniawati 2012: Perbuatan-perbuatan yang melawan hukum yang dilakukan dengan sengaja untuk tujuan tertentu manipulasi atau memberikan laporan keliru terhadap pihak lain dilakukan orang-orang dari dalam atau luar organisasi untuk mendapatkan keuntungan pribadi ataupun kelompok yang secara langsung atau tidak langsung merugikan pihak lain. Jadi, kecurangan merupakan suatu hal yang di sengaja oleh pelaku nya. Hal tersebut lah yang membedakan antara kecurangan dan kesalahan. Selain itu, kecurangan dilakukan dengan melanggar ketentuan yang berlaku untuk mengambil keuntungan demi dirinya sendiri . Menurut Suprajadi 2009, produk akhir dari proses pengolahan data akuntansi adalah informasi akuntansi yang tertuang dalam laporan keuangan. Dalam mengartikan angka-angka yang tercantum dalam laporan keuangan, pengguna laporan keuangan perlu berhati-hati karena kemungkinan terjadinya bias dalam penyampaian informasi. Kemungkinan bahwa laporan keuangan disusun dengan itikad tidak baik sengaja dilakukan dengan tujuan tertentu. Jika faktor kecurangan terjadi dalam penyusunan laporan keuangan dapat dipastikan laporan keuangan disajikan tidak wajar.

2.1.3.2 Jenis dan pelaku kecurangan fraud

Menurut the Association of Certified Fraud Examiners ACFE dalam Kurniawati 2012 fraud diklasifikasikan menjadi 5 jenis. Tabel 2.1 Jenis-jenis Fraud Sumber : the Association of Certified Fraud Examiners ACFE dalam Kurniawati 2012 Jenis Kecurangan Korban Pelaku Penjelasan Penggelapan uang atau kecurangan pekerjaan Pegawai Pemberi Kerja Pemberi kerja secara langsung atau tidak langsung mengambil hak dari pekerjaannya Kecurangan manajemen Pemegang saham Manajemen tingkat atas Manajemen tingkat atas memberikan penyajian yang salah, pada informasi keuangan Kecurangan investasi Investor Individu Individu menipu investor Kecurangan Penyediaan logistik Pembeli barang atau jasa Penjual barang atau jasa Mengenakan biaya yang berlebih atas barang atau jasa kepada pembeli Kecurangan pelanggan Penjual barang atau jasa Pelanggan Pelanggan meminta harga yang lebih kecil dari seharusnya The Association of Certified Fraud Examiners ACFE juga mengklasifikasikan fraud kecurangan dalam beberapa klasifikasi, dan dikenal dengan istilah ”Fraud Tree” Sumber : The Association of Certified Fraud Examiners 2004 dalam Tuanakotta 2007 Gambar 2.2 Fraud Tree Berdasarkan bagan tersebut, fraud diklasifikasikan menjadi tiga jenis berdasarkan jenis perbuatannya antara lain Corruption, Asset Missapropriation, dan Fraudulent Statements. 1. Corruption Korupsi Jenis fraud ini paling sulit dideteksi karena menyangkut kerja sama dengan pihak lain seperti suap dan korupsi. Cabang dan ranting yang menggambarkan fraud yang diberi label “corruption” dapat dilihat di sisi kiri dari fraud tree. Istilah korupsi menurut undang-undang nomor 31 tahun 1999 meliputi 30 tindak pidana korupsi dan bukan empat bentuk seperti yang digambarkan dalam ranting-ranting : conflict of interest, bribery, ilegal gratuities, dan economic extortion. Conflict of interest atau benturan kepentingan sering kita jumpai dalam berbagai bentuk, diantaranya bisnis pelat merah atau bisnis pejabat penguasa dan keluarga serta kroni mereka yang menjadi pemasok atau rekanan di lembaga- lembaga pemerintah dan di dunia bisnis sekalipun. Ciri-ciri atau indikasinya, mereka menjadi pemasok :  Selama bertahun-tahun. Bukan hanya pejabat tersebut berkuasa. Melalui kontrak jangka panjang, bisnis berjalan terus meskipun pejabat tersebut sudah lengser.  Nilai kontrak-kontrak itu relatif mahal ketimbang kontrak yang dibuat at arm’s lenght. Dalam bahasa sehari-hari praktek ini dikenal sebagai mark up atau penggelembungan. Istilah mark up sendiri sebenarnya kurang tepat, karena baik mark up maupun mark down merupakan bagian dari praktik bisnis yang sehat.  Para rekanan ini keluar sebagai pemenang dalam proses tender yang resmi, namun kemenangannya dicapai dengan cara-cara tidak wajar.  Hubungan antara penjual dan pembeli lebih dari hubungan bisnis. Pejabat atau penguasa bisa menggunakan sanak saudaranya nepotisme sebagai “orang depan”. Atau ada persekongkolan “kolusi” yang melibatkan penyuapan bribery. Benturan kepentingan bisa terjadi dalam skema permainana pembelian purchases schemes maupun penjualan sales schemes. Lembaga pemerintah atau bisnis selaku pembeli baik barang dan jasa ber- KKN dengan “penjual”. Indikasi mengenai hal ini terlihat dalam hal pembeli merupakan lembaga besar, nilai pembeliannya tinggi, dan penjual merupakan supplier terkenal tingkat dunia. Jadi seharusnya jual beli dapat dan lazimnya dilakukan secara langsung dan bukan melalui “penjual” perantara. Lembaga pemerintah atau bisnis selaku penjual baik barang dan jasa dapat juga ber- KKN dengan “pembeli”. Praktik ini sangat mencolok dalam hal pembeli akhir pembeli sebenarnya merupakan captive market dari penjual. Namun penjual tetap memberikan marketing fee atau sejenisnya, yang tidak lain dari penyuapan. Dari paparan tersebut merupakan contoh pertautan antara benturan kepentingan dengan bribery, illegal gratuities dan economic extortion. Kickback secara harfiah berarti “tendangan balik” merupakan salah satu bentuk penyuapan, di mana si penjual meng- “ikhlaskan” sebagian dari hasil penjualannya. Prosentase yang diikhlaskannya itu bisa di atur di muka atau diikhlaskan sepenuhnya kepada “keikhlasan” penjual. Dalam hal terakhir, apabila penerima kickback menganggap kickback yang diterimanya terlalu kecil maka ia akan mengalihkan ke rekanan yang lebih “ikhlas” memberi kickback yang lebih tinggi. Kickback berbeda dengan bribery. Dalam hal bribery pemberinya tidak “mengorbankan” suatu penerimaan. Misalnya apabila seseorang menyuap atau menyogok seorang penegak hukum, ia mengharapkan keringanan hukuman. Dalam contoh kickback tersebut, pemberinya menerima keuntungan materi. Dalam hal kickback, si pembuat keputusan atau yang dapat mempengaruhi pembuat keputusan dapat “mengancam” sang rekanan. Ancaman ini bisa terselubung tetapi tidak jarang pula dilakukan secara terbuka. Ancaman ini bisa merupakan pemerasan economic extortion. Illegal gratuities adalah pemberian atau hadiah yng merupakan bentuk terselubung dari penyuapan. Di Indonesia, illegal gratuities dapat dilihat dalam bentuk hadiah perkawinan, hadiah ulanngtahun, hadiah perpisahan, hadiah kenaikan pangkat dan jabatan dan lain-lain yang diberikan kepada pejabat. 2. Asset Missapropriation Penyalahgunaan Aset Asset Missappropriations atau “pengambilan” asset secara illegal dalam bahasa sehari- hari disebut mencuri. Namun, dalam istilah hukum, “mengambil” asset secara illegal tidak sah atau melawan hukum yang dilakukan oleh seseorang yang diberi wewenang untuk mengelola atau mengawasi asset tersebut, disebut menggelapkan. Istilah pencurian, dalam fraud tree disebut larceny. Larceny atau pencurian adalah bentuk penjarahan yang paling kuno dan dikenal sejak awal peradaban manusia. Peluang untuk terjadinya penjarahan jenis ini berkaitan erat dengan lemahnya sistem pengendalian intern, khususnya yang berkenaan dengan perlindungan keselamatan asset safeguarding of assets. Pencurian melalui pengeluaran yang tidak sah fraudulent disbursements sebenarnya satu langkah lebih jauh dari pencurian. Sebelum tahap pencurian, ada tahap perantara. Billing Schemes adalah skema permainan schemes dengan menggunakan proses billing atau pembebanan tagihan sesuai sarananya. Pelaku fraud dapat mendirikan perusahaan “bayangan” shell company yang seolah-oleh merupakan pemasok atau rekanan atau kontraktor sungguhan. Perusahaan bayangan ini merupakan sarana untuk mengalirkan dana secara tidak sah ke luar perusahaan. Payroll schemes adalah skema permainan melalui pembayaran gaji. Bentuk permainannya antara lain dengan pegawai atau karyawan fiktif ghost employee atau dalam pemalsuan jumlah gaji. Jumlah gaji yang dilaporkan lebih besar dari gaji yang dibayarkan. Expense Reimbursement schemes adalah skema permainan melalui pembayaran kembali biaya-biaya, misalnya biaya perjalanan. Seorang salesman mengambil uang muka perjalanan dan sekembalinya dari perjalanan, ia membuat peritungan biaya perjalanan. Kalau biaya perjalanan melampaui uang mukanya, ia meminta reimbursement atau penggantian. Ada beberapa skema permainan melalui skema reimbursement ini. Rincian biaya menyamarkan jenis pengeluaran yang sebenarnya macharacterized expenses. Contoh perusahaan tidak memberikan penggantian konsumsi alkohol; pengeluaran ini disamarkan sebagai biaya makan dan minum. Atau biayanya dilaporkan lebih besar dari pengeluaran yang sebenarnya; ini lazimnya dilakukan dalam pengeluaran yang tidak ada atau tidak memerlukan bukti pendukung. Atau biayanya sama sekali fiktif fictitious expense. Check Tampering adalah skema permainan melalui pemalsuan cek. Yang dipalsukan bisa tandatangan orang yang mempunyai kuasa mengeluarkan cek, atau endorsemen nya atau nama kepada siapa cek dibayarkan, atau ceknya disembunyikan. Dalam contoh terakhir, pegawai meminta dua buku cek dari bank. Yang diketahui secara resmi hanya satu buku,sedangkan pengeluaran melalui buku cek kedua dirahasiakan. Di Amerika Serikat, cek yang sudah diuangkan, akan dikembalikan oleh bank kepada yang mengeluarkan cek. Register Disbursements adalah pengeluaran yang sudah masuk dalam Cash register. Skema permainan melalui Register Disbursements pada dasarnya ada dua, yakni false refunds pengembalian uang yang dibuat-buat dan false voids pembatalan palsu. 3. Fraudulent statements Pernyataan Palsu atau Salah Pernyataan Fraudulent statement meliputi tindakan yang dilakukan oleh pejabat atau eksekutif suatu perusahaan atau instansi pemerintah untuk menutupi kondisi keuangan yang sebenarnya dengan melakukan rekayasa keuangan financial engineering dalam penyajian laporan keuangannya untuk memperoleh keuntungan atau mungkin dapat dianalogikan dengan istilah window dressing Jatiningsih, 2011. Cabang dan ranting yang menggambarkan fraud yang diberi label “Fraudulent Statements” dapat dilihat dari sisi kanan fraud tree. Jenis fraud ini sangat dikenal para auditor yang melakukan general audit. Ranting pertama menggambarkan fraud dalam menyusun laporan keuangan. Fraud ini berupa salah saji misstatements baik overstatements maupun understatements. Cabang dari ranting ini ada dua. Pertama, menyajikan asset atau pendapatan lebih tinggi dari sebenarnya AssetRevenue overstatements. Kedua, menyajikan asset atau pendapatan lebih rendah dari yang sebenarnya Asset Revenue Understatements. Ranting kedua menggambarkan fraud dalam menyusun laporan non- keuangan. Fraud ini berupa penyampaian laporan non-keuangan secara menyesatkan, lebih bagus dari keadaan yang sebenarnya, dan seringkali merupakan pemalsuan atau pemutar balikan keadaan. Bisa tercantum dalam dokumen yang dipakai untuk keperluan intern maupun ekstern. Contoh : perusahaan minyak besar dunia yang mencantumkan cadangan minyaknya lebih besar secara signifikan dari keadaan yang sebenarnya apabila diukur dengan standar industrinya. Atau perusahaan yang alat produksinya atau limbahnya membawa bencana bagi masyarakat, tetapi secara terbuka misalnya melalui iklan mengklaim keadaan sebaliknya. Menurut Vona 2008:11-12 dalam Suprajadi 2009, pelaku kecurangan fraud dapat dikelompokkan menjadi empat kelompok: 1. First-time offenders. Merupakan tipe pelaku tanpa latar belakang kriminal. Pelaku memiliki tekanan dalam kehidupannya melewati batas kapasitas penghasilannya. Atau pelaku merasionalisasi perilakunya bahwa hal biasa jika melakukan penggelapan. Jika fakor tekanan dan rasionalisasi melampaui faktor takut untuk terdeteksi, maka seseorang akan mencari kelemahan pengendalian internal atau kesempatan untuk melakukan kecurangan. 2. Repeat offenders Hasil statistik menunjukkan bahwa seseorang yang melakukan kecurangan internal memiliki kecenderungan tinggi untuk melakukan kecurangan lebih dari satu kali. Dalam hal ini, faktor tekanan dan rasionalisasi akan kurang dominan dibandingkan dengan tipe first-time offenders. Faktor kesempatan akan menjadi pemicu untuk melakukan kecurangan. 3. Organized crime groups Kelompok kecurangan tipe ini termasuk kelompok profesional, bisa juga secara individu, yang biasanya melakukan kecurangan dengan tipe khusus. Faktor utama kecurangan tipe ini bisa terlaksana karena adanya kesempatan, yaitu lemahnya pengendalian internal, penyuapan atau pemerasan oleh karyawan atau melalui kolusi dengan pemasok atau pelanggan. 4. Intenally committed for the perceived benefit of the corporation. Pelaku kecurangan biasanya pegawai yang percaya bahwa tindakan kecurangan yang dilakukan adalah untuk kebaikan perusahaan. Secara khusus, dominasi faktor tekanan dan rasionalisasi terhadap kesempatan kondisinya sama seperti tipe firts-time offender maupun repeat offender.

2.1.3.3 Fraud Triangle Teory

Penelitian ini menggunakan fraud triangle theory sebagai dasar teori utama nya. Berdasarkan teori ini ada tiga faktor yang menyebabkan seseorang melakukan kecurangan. Ketiga faktor tersebut digambarkan dalam segitiga kecurangan fraud triangle. Menurut Kurniawati 2012, konsep segitiga kecurangan pertama kali diperkenalkan oleh Cressey 1953. Melalui serangkaian wawancara dengan 113 orang melakukan penggelapan uang perusahaan yang disebutnya “trust violators” atau “pelanggar kepercayaan”, Cressey menyimpulkan bahwa : Orang yang dipercaya menjadi pelanggar kepercayaan ketika ia melihat dirinya sendiri sebagai orang yang mempunyai masalah keuangan yang tidak dapat diceritakannya kepada orang lain, sadar bahwa masalah ini secara diam-diam dapat diatasinya dengan menyalahgunakan kewenangannya sebagai pemegang kepercayaan di bidang keuangan, dan tindak-tanduk sehari-hari memungkinkan menyesuaikan pandangan mengenai dirinya sebagai seseorang yang bisa dipercaya dalam menggunakan dana atau kekayaan yang dipercayakan. Cressey 1953 dalam Tuannakotta 2007 menyimpulkan bahwa kecurangan secara umum mempunyai tiga sifat umum. Fraud triangle terdiri dari tiga kondisi yang umumnya hadir pada saat fraud terjadi yaitu pressure, opportunity, dan rationalization. Incentive Pressure Opportunity Rationalizations Sumber : Fraud Triangle Theory oleh Cressey 1953 dalam Norbarani2012 Gambar 2.3 Fraud Triangle a. Tekanan pressure Menurut Salman 2005 dalam Kurniawati 2012 tekanan yaitu insentif yang mendorong orang melakukan kecurangan karena tuntutan gaya hidup, ketidakberdayaan dalam soal keuangan, perilaku gambling, mencoba-coba untuk mengalahkan sistem dan ketidakpuasan kerja. Montgomery et al., 2002 dalam Kurniawati 2012 mengatakan tekanan ini sesungguhnya mempunyai dua bentuk yaitu nyata direct dan bentuk persepsi indirect. Bentuk merupakan tekanan yang nyata disebabkan oleh kondisi-kondisi kehidupan yang nyata yang dihadapi oleh pelaku yang mendorong untuk melakukan kecurangan. Kondisi tersebut dapat berupa kebiasaan sering berjudi, kecanduan obat terlarang, atau menghadapi persoalan keuangan. Tekanan dalam bentuk persepsi merupakan opini yang dibangun oleh pelaku yang mendorong untuk melakukan kecurangan seperti misalnya executive need. Dalam SAS No. 99, terdapat empat jenis kondisi yang umum terjadi pada pressure yang dapat mengakibatkan kecurangan. Kondisi tersebut adalah financial stability, external pressure, personal financial need dan financial targets. b. Opportunity kesempatan Menurut Montgomery et al., 2002 dalam Kurniawati 2012 kesempatan yaitu peluang yang menyebabkan pelaku secara leluasa menjalankan aksinya yang disebabkan oleh pengendalian internal yang lemah, ketidakdisiplinan, kelemahan dalam mengakses informasi, tidak ada mekanisme audit, dan sikap apatis. Hal yang paling menonjol di sini adalah dalam hal pengendalian internal. Pengendalian internal yang tidak baik akan memberi peluang orang untuk melakukan kecurangan, SAS no. 99 menyebutkan bahwa peluang pada financial statements fraud dapat terjadi pada tiga kategori. Kondisi tersebut adalah nature of industry, ineffective monitoring, dan organizational structure. c. Rationalization rasionalisasi Menurut Norbarani 2012 rasionalisasi merupakan sikap, karakter, atau serangkaian nilai-nilai etis yang memperbolehkan pihak-pihak tertentu untuk melakukan tindakan kecurangan, atau orang-orang yang berada dalam lingkungan yang cukup menekan yang membuat mereka merasionalisasi tindakan fraud. Rasionalisai adalah komponen penting dalam banyak kecurangan. Rasionalisasi menyebabkan pelaku kecurangan mencari pembenaran atas perbuatannya. Rasionalisasi merupakan bagian dari fraud triangle yang paling sulit diukur Skousen et al., 2009, dalam Norbarani, 2012.

2.1.3.4 Fraud pada Sektor Pemerintahan

Menurut Pristiyanti 2012 semua jenis fraud dapat terjadi pada sektor pemerintahan, akan tetapi yang paling sering terjadi adalah korupsi. Korupsi berasal dari bahasa latin, Corruptio-Corrumpere yang artinya busuk, rusak, mengenyahkan, memutarbalik atau menyogok. Secara harfiah korupsi adalah perilaku pejabat publik, baik politisi ataupun pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka. Skema fraud yang terjadi di entitas pemerintah cukup banyak dan beragam, dari sumber BPKP 2004 dalam Sukanto 2007 menjabarkan secara rinci tindak kecurangan dalam APBN maupun APBD, dari segi pengeluaran maupun pemasukan. Rangkumannya adalah sebagai berikut: Dari segi penerimaan: 1. Rendahnya anggaran penerimaan pajak, PBB, Bea Cukai, retribusi dan pajak lainnya dibanding potensi yang tersedia. 2. Manipulasi restitusi pajak. 3. Laporan SPT pajak bulanan maupun tahunan yang tidak sesuai dengan potensi pajak yang sesungguhnya. 4. Kesalahan pengenaan tarip pajak maupun bea. 5. Pembebasan pajak atas bahan baku impor tujuan ekspor tidak sesuai data sesungguhnya. 6. Perusahaan yang ditunjuk oleh pemerintah pusat daerah memperkecil data volume produksi pertambangan atau hasil alam. 7. Memperbesar biaya cost recovery, sehingga setoran hasil menjadi berkurang. 8. Kontrak pembagian hasil atas tambang yang merugikan negara. 9. Penjualan aset pemerintah tidak berdasar harga wajar atau harga pasar. 10. Pelaksanaan tukar guling ruislaag yang merugikan negara dan pemanfaatan tanah negara yang harga sewanya tidak wajar dibawah pasar. 11. Penerimaan yang seharusnya masuk ke rekening kas negara, namun masuk ke rekening atas nama pejabat atau perorangan, meskipun pejabat tersebut pimpinan instansi yang bersangkutan, namun cara ini berpotensi merugikan negara. Dari segi pengeluaran: 1. Pengeluaran belanjajasa atau perjalanan dinas barang fiktif. 2. Pembayaran ganda pejabat atau pegawai yang diperbantukan. 3. Penggelembungan mark-up harga, atau harga patokan terlalu mahal dibandingkan harga pasar. 4. Pelaksanaan sistem tender, penunjukan rekanan dan atau konsultan, persyaratan kualifikasi, dan lain-lain tidak sesuai standar prosedur, atau sesuai prosedur tetapi hanya memenuhi persyaratan formalitas. 5. Pemenang tender men-sub kontrak-kan pekerjaannya kepada pihak ketiga, sehingga posisi rekanan tidak lebih sebagai broker semata. 6. Rekanan atau konsultan tidak mampu melaksanakan pekerjaannya sesuai jadwal yang ditetapkan. 7. Pekerjaan atau barang yang dihasilkan tidak sesuai spesifikasi. 8. Program bantuan sosial atau penanggulangan bencana yang salah sasaran. 9. Adanya “percaloan” dalam pengurusan alokasi dana, sehingga instansi atau daerah yang ingin mendapatkan alokasi anggaran perlu mencadangkan dana untuk komisi. 10. Biaya yang terlalu tinggi pada penunjukan konsultan keuangan, akuntan, underwriter, dan penggunaan tenaga profesional lainnya terkait dengan program pemerintah atau BUMN. 11. Privatisasi BUMN yang merugikan negara. 12. Biaya restrukturiusasi, bantuan likuiditas dan biaya lain-lain yang sejenis yang merugikan negara. Menurut Sukanto 2007, Dalam hal penindakan terhadap fraud dapat dikelompokkan menjadi tiga tahap yakni tindakan preventif, detektif dan represif. Tindakan preventif antara lain memberi kesejahteraan yang baik bagi pegawai, menjaga kualitas SDM dengan pembekalan pendidikan dan pelatihan berkelanjutan, memperkuat pengawasan dari atasan maupun dari rekan kerja, memperkuat struktur internal control, menerapkan standar prosedur kerja yang konsisten, memperkuat posisi internal audit, menerapkan system risk management, tidak memberikan pekerjaan dari awal sampai akhir kepada satu bagian, memperkuat instumen anggaran sebagai pengendali organisasi, dan memperkuat penerapan kode etik Tindakan detektif bisa ditempuh dalam mengatasi fraud antara lain memperbaiki dan menerapkan sistem tindak lanjut dari pengaduan, melaporkan transaksi-transaksi khusus diluar standar prosedur baku, mendalami fraud auditing bagi anggota internal audit, memantau gejala-gejala fraud sejak dini, tetapi tidak melanggar aturan moral maupun aturan kerja, dan berpartisipasi dalam gerakan moral. Untuk tindakan represif dapat dilakukan dengan cara melakukan investigatif audit jika diperlukan. Jika bukti mendukung, perlu dilanjutkan ke proses berikutnya bisa berupa teguran, peringatan, PHK atau diteruskan ke aparat yang berwenang, dan penyitaan barang bukti, dokumen-dokumen, bahkan kekayaan jika terbukti kekayaan tersebut hasil korupsi.

2.1.4 Penegakan Peraturan

Menurut Huda 2012 peraturan adalah pola yang ditetapkan untuk mengatur pola tingkah laku. Jadi, peraturan merupakan ikatan, aturan yang harus dipatuhi seluruh anggota organisasi selama proses operasional sehingga proses tersebut dapat berjalan secara efektif dan efisien. Jenis-jenis peraturan menurut Huda 2012 antara lain : 1. Peraturan otoritarian Dalam peaturan otoritarian, peraturan dibuat sangat ketat dan rinci. Orang yang berada dalam lingkungan peraturan ini diminta mematuhi dan mentaati peraturan yang berlaku di tempat itu. Apabila gagal menaati dan mematuhi peraturan yang berlaku, akan menerima sanksi atau hukuman berat. Sebaliknya bila berhasil memenuhi peraturan, kurang mendapat penghargaan atau hal itu sudah dianggap menjadi kewajiban. Jadi, tidak perlu mendapat penghargaan lagi. Peraturan yang ototarian berarti pengendalian tingkah laku berdasarkan dorongan, tekanan, pemaksaan dari luar diri seseorang. 2. Peraturan permisif Dalam peraturan ini seseorang dibiarkan bertindak menurut keinginannya. Kemudian dibebaskan untuk mengambil keputusan sendiri dan bertindak sesuai keinginan yang diambilnya itu. Seseorang yang berbuat sesuatu, dan ternyata membawa akibat melanggar norma atau aturan yang berlaku, tidak diberi sanksi atau hukuman. Dampak peraturan permisif ini berupa kebingungan dan kebimbangan. Penyebabnya tidak tahu mana yang dilarang dan mana yang tidak dilarang atau bahkan menjadi takut, cemas, dan dapat juga menjadi agresif serta tanpa kendali. 3. Peraturan Demokrasi Pendekatan peraturan demokratis dilakukan dengan memberi penjelasan, diskusi dan penalaran untuk membantu memahami mengapa diharapkan mematuhi dan menaati peraturan yang ada. Peraturan jenis ini menekankan aspek edukatif bukan aspek hukuman. Sanksi atau hukuman dapat diberikan kepada yang menolak atau melanggar peraturan. Akan tetapi hukuman dimaksud sebagai upaya menyadarkan dan mengoreksi. Menurut Arikunto dalam Huda 2012, semua peraturan yang berlaku umum maupun khusus meliputi tiga unsur yaitu perbuatan atau perilaku yang diharuskan dan dilarang, akibat atau sanksi yang menjadi tanggungjawab pelaku atau yang melanggar peraturan, cara atau prosedur untuk menyampaikan peraturan kepada subyek yang dikenai peraturan tersebut. Graham dalam Huda 2012 melihat empat faktor yang merupakan kepatuhan seseorang terhadap nilai atau peraturan tertentu antara lain : - Normativist. Biasanya kepatuhan pada norma-norma hukum, selanjutnya dikatakan bahwa kepatuhan ini terdapat dalam 3 bentuk yaitu kepatuhan terhadap norma itu sendiri, kepatuhan pada proses tanpa memedulikan normanya sendiri,kepatuhan pada hasilnya atau tujuan yang diharapkannya dari peraturan itu. - Integralist. Yaitu kepatuhan yang didasarkan pada kesadaran dalam pertimbangan-pertimbangan yang rasional - Fenomenalist, yaitu kepatuhan berdasarkan suara hati tau sekedar basa- basi - Hedonist, yaitu kepatuhan berdasarkan kepentingan diri sendiri Dari keempat faktor yang menjadi dasar kepatuhan setiap individu tentu saja yang diharapkan adalah kepatuhan yang bersifat normativist, sebab kepatuhan semacam ini adalah kepatuhan didasari kesadaran akan nilai, tanpa mempedulikan apakah tingkah laku itu menguntungkan untuk dirinya atau tidak. Selanjutnya dalam sumber yang sama dijelaskan dari empat faktor ini terdapat lima tipe kepatuhan: - Ototarian, yaitu suatu kepatuhan tanpa reserve atau kepatuhan yang ikut- ikut an. - Conformist. Kepatuhan tipe ini mempunyai 3 bentuk yaitu conformist directed penyesuaian diri terhadap orang lain, conformist hedonist kepatuhan yang berorientasi pada untung-rugi, dan conformist integral kepatuhan yang menyesuaikan kepentingan diri sendiri dengan kepentingan orang lain. - Compulsive deviant. Kepatuhan yang tidak konsisten - Hedonik psikopatik, yaitu kepatuhan pada kekayaan tanpa memperhitungkan kepentingan orang lain - Supramoralist, yaitu kepatuhan karena keyakinan yang tinggi terhadap nilai-nilai moral

2.1.5 Sistem pengendalian internal

Dokumen yang terkait

FAKTOR FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KECENDERUNGAN KECURANGAN (FRAUD) MANAJEMEN PENDIDIKAN DI KABUPATEN SEMARANG PERSEPSI PEGAWAI DINAS PENDIDIKAN, MANAJEMEN SEKOLAH, GURU, DAN MURID

0 20 219

FAKTOR – FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TERJADINYA FRAUD DI SEKTOR PEMERINTAHAN. (PERSEPSI PEGAWAI PADA DINAS SE KOTA SALATIGA)

16 110 141

PERSEPSI PEGAWAI DINAS SE KABUPATEN BATANG TENTANG FAKTOR FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KECURANGAN (FRAUD)

3 16 164

FAKTOR – FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TERJADINYA FRAUD DI SEKTOR PEMERINTAHAN (PERSEPSI PEGAWAI PADA DINAS SE KABUPATEN KUDUS)

0 11 183

FAKTOR – FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TERJADINYA FRAUD DI SEKTOR PEMERINTAHAN (PERSEPSI PEGAWAI PADA DINAS SE KOTA DAN KABUPATEN PEKALONGAN)

0 41 168

PERSEPSI PEGAWAI MENGENAI FAKTOR FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KECURANGAN (FRAUD)

0 18 118

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KECENDERUNGAN KECURANGAN AKUNTANSI Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kecenderungan Kecurangan Akuntansi (Studi Empiris pada Dinas Kota Surakarta).

0 3 13

Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kecenderungan Kecurangan Akuntansi Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kecenderungan Kecurangan Akuntansi (Studi Empiris pada Dinas Kota Surakarta).

0 2 23

PENDAHULUAN Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kecenderungan Kecurangan Akuntansi (Studi Empiris pada Dinas Kota Surakarta).

0 6 11

DAFTAR PUSTAKA Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kecenderungan Kecurangan Akuntansi (Studi Empiris pada Dinas Kota Surakarta).

0 8 5