merupakan dimensi perilaku penting yang dapat digunakan untuk menilai kecenderungan karyawan untuk bertahan sebagai anggota organisasi. Pegawai
yang lebh memilih untuk bergabung dengan instansi lain, berarti komitmen terhadap organisasi nya rendah.
8. Budaya Etis Organisasi
Berdasarkan tabel 4.17 dapat diketahui bahwa rata-rata terendah ditunjukkan oleh indikator BEO5 dengan persepsi bahwa “Di instansi tempat saya bekerja
lingkup pemeriksaan yang dilakukan inspektorat meliputi masalah perlindungan etika”. Pada instansi tempat responden bekerja, masalah perlindungan etika
kurang menjadi prioritas utama sehingga pegawai mempersepsikan bahwa masalah perlindungan etika dalam lingkup pemeriksaan yang dilakukan oleh
inspektorat kurang di blow up. Dalam melakukan pemeriksaan berkaitan dengan pengawasan yang dilakukan oleh inspektorat, hal yang utama adalah menilai
efektifitas dan efisiensi kegiatan operasional organisasi sehingga tujuan dari organisasi dapat tercapai. Masalah etika merupakan problem yang lebih mengarah
kepada hal yang bersifat psikologis. Sehingga seharusnya hal tersebut sudah tertanam dalam diri masing-masing pegawai.
4.6.2 Pembahasan Hasil Pengujian Hipotesis
Berdasarkan tabel 4.19 , berikut ini merupakan pembahasan dari masing- masing hasil pengujian hipotesis :
1. H1 = Penegakan peraturan berpengaruh negatif terhadap kecenderungan
kecurangan fraud.
Hipotesis pertama yang diajukan dalam penelitian ini adalah bahwa penegakan peraturan berpengaruh negatif terhadap kecenderungan kecurangan fraud.
Dengan kata lain, semakin tinggi penegakan peraturan dalam suatu instansi, maka semakin rendah kemungkinan terjadinya kecurangan dalam intansi tersebut. Hasil
pengolahan data menunjukkan bahwa penegakan peraturan berpengaruh negatif terhadap kecenderungan kecurangan fraud. Dengan demikian hipotesis pertama
H1 diterima.
Menurut Amrizal 2004 dalam Putro 2009, pada dasarnya praktik kecurangan akan terus berulang dalam suatu entitas jika pegawai tidak taat
terhadap hukum dan peraturan yang berlaku. Dalam suatu entitas, peraturan dibuat agar kegiatan operasional entitas berjalan lebih efektif dan efisien. Peraturan disini
berkaitan dengan peraturan yang mengatur pegawai sebagai pihak yang terlibat langsung dengan kegiatan operasional entitas. Jika pada suatu entitas, pejabat
yang berwenang tidak bertindak secara tegas, misalnya memberi sanksi kepada pegawai yang melanggar peraturan, maka pegawai akan melakukan pelanggaran
tersebut terus menerus bahkan meningkat dari pelanggaran peraturan ringan sampai dengan pelanggaran peraturan yang menimbulkan kerugian bagi pihak lain
seperti melakukan tindakan kecurangan. Menurut Alpinista 2013, tidak ada organisasi yang terbebas dari fraud
kecurangan karena pada dasarnya permasalahan ini bersumber dan bermuara pada masalah manusia, “the man behind the gun”. Apapun aturan dan prosedur
yang diciptakan, sangat dipengaruhi oleh manusia yang memgang kuasa untuk menjalankannya. Tegak atau tidak nya peraturan yang diterapkan oleh instansi
tergantung kepada pejabat yang berwenang mengenai hal tersebut. Jika pejabat tidak tegas dalam menangani masalah penegakan peraturan, maka pegawai akan
dengan mudah untuk melakukan pelanggaran peraturan, salah satunya kecurangan fraud tersebut. Jadi, lemahnya penegakan peraturan dalam suatu instansi, akan
membuka peluang bagi pagawai yang bekerja dalam instansi tersebut untuk melakukan tindakan kecurangan.
2. H2 = Keefektifan pengendalian internal berpengaruh negatif
kecenderungan kecurangan fraud.
Hipotesis kedua yang diajukan dalam penelitian ini adalah bahwa keefektifan pengendalian internal berpengaruh negatif kecenderungan kecurangan fraud.
Dengan kata lain, semakin efektif sistem pengendalian internal dalam suatu instansi, maka semakin rendah kemungkinan terjadinya kecurangan dalam intansi
tersebut. Hasil pengolahan data menunjukkan bahwa keefektifan pengendalian internal berpengaruh negatif kecenderungan kecurangan fraud.Dengan demikian
hipotesis kedua H2 diterima.
Hal ini sesuai dengan penelitian Thoyibatun 2009 yang menyatakan bahwa semakin sesuai sistem pengendalian internal dengan tujuannya, semakin
sederhana deteksi fraud yang perlu dilakukan. Artinya jika sistem penngendalian internal dalam instansi sudah berjalan efektif, maka kemungkinan kecurangan
fraud yang terjadi juga akan semakin kecil. Hasil penelitian ini juga sejalan dengan hasil penelitian Wilopo 2006 yang menemukan bahwa semakin efektif
suatu pengendalian internal pada suatu entitas, maka akan semakin rendah tingkat terjadinya fraud. Berdasarkan peraturan pemerintah Nomor 60 Tahun 2008
tentang Sistem Pengendalian Internal SPIP, SPI merupakan prroses yang integral pada tindakan dan kegiatan yang dilakukan secara terus-menerus oleh
pimpinan dan seluruh pegawai untuk memberikan keyakinan memadai atas tercapainya tujuan organisasi melalui kegiatan yang efektif dan efisien, keandalan
pelaporan keuangan, pengamanan aset negara dan ketaatan terhadap peraturan perundang-undangan. Dengan adanya sistem pengendalian yang efektif, maka
kegiatan operasional juga dapat berjalan secara efektif dan juga efisien sehingga kemungkinan adanya penyimpangan dalam proses operasional instansi juga dapat
diminimalisir. Dengan demikian, semakin efektif sistem pengendalian yang diterapkan dalam suatu entitas, maka semakin rendah kecenderungan kecurangan
fraud yang mungkin terjadi.
3. H3 = Asimetri informasi berpengaruh positif terhadap kecenderungan
kecurangan fraud
Hipotesis ketiga yang diajukan dalam penelitian ini adalah bahwa asimetri informasi berpengaruh positif terhadap kecenderungan kecurangan fraud.
Dengan kata lain, semakin tinggi asimetri informasi, maka semakin tinggi kemungkinan terjadinya kecurangan dalam instansi tersebut. Hasil pengolahan
data menunjukkan bahwa asimetri informasi berpengaruh positif terhadap
kecenderungan kecurangan fraud. Dengan demikian hipotesis ketiga H3
diterima.
Hal ini sesuai dengan penelitian Wilopo 2006 yang memperoleh hasil bahwa dengan adanya asimetri informasi yang tinggi akan memperbesar kecenderungan
kecurangan fraud. Menurut Kusumastuti 2012, pengelola organisasi lebih banyak mengetahui informasi internal dibandingkan dengan pihak pengguna
laopran keuangan, dalam hal ini adalah masyarakat. Laporan keuangan digunakan oleh berbagai pihak, namun yang paling berkepentingan dengan laporan keuangan
sebenarnya adalah para pengguna eksternal. Pengelola laporan keuangan tentu mengetahui laporan keuangan yang sebenarnya dikarenakan pengelola keuangan
terlibat langsung dengan kegiatan organisasi, sementara pihak eksternal organisasi memiliki informasi yang lebih sedikit dibandingkan pengelola. Karena kondisi
tersebut, pengelola tentu akan lebih leluasa atau berkesempatan untuk memanipulasi laporan keuangan yang disajikan dikarenakan ketidaktahuan
pengguna eksternal tentang angka dari laporan keuangan yang sebenarnya. Namun jika dalam suatu organisasi diberlakukan transparansi mengenai hal-hal yang
berkaitan dengan operasional organisasi dan berpengaruh terhadap aporan keuangan, hal tersebut tentu tidak akan tejadi. Terlebih pada organisasi di sektor
pemerintahan, yang wajib bertanggungjawab pada kepentingan masyarakat sebagai stakeholder nya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa semakin
tinggi asimetri informasi akan meningkatkan peluang terjadinya kecurangan fraud.
4. H4 = Keadilan distributif berpengaruh negatif terhadap kecenderungan
kecurangan fraud
Hipotesis keempat yang diajukan dalam penelitian ini adalah bahwa keadilan distributif berpengaruh negatif terhadap kecenderungan kecurangan fraud.
Dengan kata lain, semakin tinggi keadilan distributif pada suatu instansi, maka semakin rendah kemungkinan terjadinya kecurangan dalam instansi tersebut.
Hasil pengolahan data menunjukkan keadilan distributif berpengaruh negatif terhadap kecenderungan kecurangan fraud. Dengan demikian hipotesis keempat
H4 diterima. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Rae dan Subramaniam 2006
serta Puspitadewi dan Irwandi 2012 yang menemukan bahwa keadilan organisasional berpengaruh terhadap kecenderungan kecurangan fraud yang
dimoderasi oleh keefektifan pengendalian internal. Menurut Gilliland 1993 dalam Herman 2013 persepsi karyawan tentang ketidakseimbangan antara
masukan pengetahuan, ketrampilan, kemampuan, pengalaman, kerajinan maupun kegigihan dan kerja keras yang mereka terima gaji, perlakuan ataupun
pengakuan akan menghasilkan emosi negatif yang memotivasi karyawan untuk mengubah perilaku, sikap dan kepusan mereka bahkan lebih parah lagi mereka
akan berusaha untuk memaksimalkan utilitas nya dengan bertindak yang menguntungkan dirinya dan merugikan perusahaan seperti melakukan
kecurangan. Dengan demikian, maka dapat disimpulkan bahwa adanya ketidakadilan yang berkaitan dengan pemberian gaji dan kompensasi lainnya
terhadap pegawai akan menimbulkan tekanan dalam diri pegawai tersebut untuk
melakukan tindakan menyimpang seperti kecurangan fraud. Namun apabila pegawai mempersepsikan bahwa pemberian gaji pada instansi tempat pegawai
tersebut bekerja, pegawai tersebut akan merasa puas dan cenderung tidak melakukan kecurangan fraud. Artinya, semakin adil keadilan distributif maka
akan semakin rendah kecenderungan pegawai untuk melakukan kecurangan fraud.
5. H5 = Keadilan prosedural berpengaruh negatif terhadap kecenderungan
kecurangan fraud.
Hipotesis kelima yang diajukan dalam penelitian ini adalah keadilan prosedural berpengaruh negatif terhadap kecenderungan kecurangan fraud.
Dengan kata lain, semakin tinggi keadilan prosedural pada suatu instansi, maka semakin rendah kemungkinan terjadinya kecurangan dalam instansi tersebut.
Hasil pengolahan data menunjukkan bahwa keadilan prosedural berpengaruh
negatif terhadap kecenderungan kecurangan fraud. Dengan demikian hipotesis
kelima H5 diterima. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Rae Subramaniam 2006 dan
Puspitadewi Irwandi 2012 yang menemukan bahwa keadilan organisasional berpengaruh terhadap kecenderungan kecurangan fraud. Hal ini juga didukung
oleh pendapat Pristiyani 2012 yang menyatakan bahwa individu tidak hanya melakukan evaluasi terhadap alokasi atau distribusi outcomes, namun juga
mengevaluasi terhadap keadilan prosedur untuk menentukan alokasi tersebut. Dalam sektor pemerintahan bukan hanya gaji yang adil saja yang harus dievaluasi,
melainkan prosedur penggajian yang adil juga dapat berpengaruh terhadap
tindakan pegawai dalam melakukan suatu penyimpangan, yang dalam hal ini adalah fraud. Tindakan menyimpang tersebut berasal dari tekanan dalam diri
pegawai dikarenakan persepsi bahwa terjadi ketidakadilan dalam dirinya. Dengan demikian maka dapat disimpulkan bahwa semakin adil keadilan prosedural dalam
suatu instansi, maka akan semakin rendah kecenderungan kecurangan fraud yang mungkin terjadi.
6. H6 = Komitmen organisasi berpengaruh negatif terhadap kecenderungan
kecurangan fraud.
Hipotesis keenam yang diajukan dalam penelitian ini adalah bahwa komitmen organisasi berpengaruh negatif terhadap kecenderungan kecurangan fraud.
Dengan kata lain, semakin tinggi komitmen organisasi pada suatu instansi, maka semakin rendah kemungkinan terjadinya kecurangan dalam instansi tersebut.
Hasil pengolahan data menunjukkan bahwa komitmen organisasi berpengaruh
negatif terhadap kecenderungan kecurangan fraud. Dengan demikian hipotesis
keenam H6 diterima. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Pristiyanti
2012 yang menemukan bahwa komitmen organisasi berpengaruh negatif terhadap kecenderungan kecurangan fraud. Hal ini didukung oleh pendapat
Wilopo 2006 bahwa upaya menghilangkan perilaku tidak etis manajemen dan kecenderungan kecurangan akuntansi dapat dilakukan dengan memperbaiki moral
dari pengelolaan perusahaan yang diwujudkan dengan mengembangkan sikap komitmen terhadap perusahaan. Memiliki komitmen yang tinggi terhadap instansi
berarti pegawai juga memiliki dedikasi yang tinggi terhadap instansi. Dengan
demikian, pegawai akan cenderung bekerja dengan baik untuk kemanjuan instansi tersebut. Sebaliknya, jika komitmen terhadap organisasi rendah, maka pegawai
cenderung akan bekerja kurang baik, dan akan merasionalisasikan hal tersebut sebagai hal yang wajar dikarenakan kurangnya komitmen terhadap organisasi. Hal
tersebut juga berarti bahwa pegawai kurang peduli dengan nasib instansi sehingga ketika pegawai tersebut melakukan kecurangan, akan dianggap sebagai hal yang
biasa. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi komitmen organisasi akan semakin rendah kecenderungan kecurangan fraud yang mungkin
terjadi.
7. H7 = Budaya etis organisasi berpengaruh negatif terhadap
kecenderungan kecurangan fraud.
Hipotesis ketujuh yang diajukan dalam penelitian ini adalah bahwa budaya
etis organisasi berpengaruh negatif terhadap kecenderungan kecurangan fraud.
Hal ini berarti bahwa semakin etis budaya organisasi dalam suatu instansi, maka semakin rendah kecenderungan kecurangan fraud yang mungkin terjadi.
Berdasarkan hasil pengolahan data, dapat disimpulkan tidak terdapat pengaruh antara budaya etis organisasi dengan kecenderungan kecurangan fraud. Dengan
demikian budaya etis organisasi dalam instansi tidak dapat menekan terjadinya kecurangan fraud.
Hal tersebut sesuai dengan penelitian Zulkarnain 2013 yang menemukan bahwa budaya etis organisasi tidak berpengaruh terhadap kecenderungan
kecurangan fraud. Selain itu, penelitian yang dilakukan oleh Faisal 2013 juga menyimpulkan hasil yang sama. Menurut Faisal 2013 terdapat dua faktor yang
dapat mempengaruhi seseorang dalam berperilaku, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor eksternal berasal dari rangsangan atau pengaruh faktor
lingkungan. Sedangkan faktor internal berasal dari faktor individu. Perilaku seseorang yang dipengaruhi oleh faktor eksternal tidak hanya dipengaruhi oleh
faktor lingkungan organisasi saja tetapi juga faktor lingkungan di luar organisasi. Menurut Putranto 2011 Faktor-faktor eksternal yang mempengaruhi perilaku
individu yang berasal dari lingkungan antara lain pengaruh keluarga, pengaruh niai, moral dan agama, pengalaman hidup serta pengaruh teman. Individu akan
cenderung berperilaku mencontoh perilaku orang tuanya atau keluarga dekat atau berperilaku seperti yang disuruh keluarganya. Selain itu pengalaman juga akan
memepengaruhi perilaku seseorang, pengalaman merupakan proses yang normal dalam kehidupan seseorang, bisa pengalaman baik atau buruk sehingga dari
pengalaman tersebut dapat membentuk perilaku seseorang. Di samping faktor eksternal di luar lingkungan organisasi yang mempengaruhi
perilaku individu, faktor internal juga sangat berpangaruh terhadap perilaku individu tersebut. Salah satu contoh faktor internal tersebut adalah faktor moral
individu itu sendiri. Walaupun budaya organisasi pada instansi sudah etis , namun apabila moral dari pegawai instansi kurang etis, bukan tidak mungkin dapat terjadi
kecurangan fraud dalam instansi tersebut. Menurut Kohlberg 1969 dalam Puspasari dan Suwardi 2012 moral
berkembang melalui tiga tahapan, yaitu tahapan pre-conventional, tahapan conventional dan tahapan post-konvensional. Dalam tahapan paling rendah,
individu akan melakukan suatu tindakan karena takut terhadap hukum atau
peraturan yang ada.Selain itu, individu pada level moral ini juga akan memandang kepentingan pribadinya sebagai hal yang utama dalam melakukan suatu tindakan.
Pada tahap kedua conventional, individu akan mendasarkan tindakannya pada persetujuan teman-teman dan keluarganya dan juga pada norma-norma yang ada
di masyarakat. Pada tahap tertinggi post-conventional, individu mendasari tindakannya dengan memperhatikan kepentingan orang lain. Selanjutnya menurut
Welton 1994 dalam Puspasari dan Suwardi 2012, individu memiliki pandangan sendiri mengenai versi yang benar menurutnya. Sehingga tergantung
pada moral yang dimiliki oleh pegawai yang menentukan apakah perbuatan menyimpang seperti melakukan kecurangan merupakan versi hal yang benar atau
yang salah.
137
BAB V PENUTUP
5.1 Simpulan