Struktur anatomi bambu Sifat Mekanis Bambu Sifat Mekanis Bambu

III. IDENTIFIKASI BAHAN BAKU SIFAT-SIFAT BAMBU Pendahuluan Menurut Rao dan Sastry 1995, perhatian terhadap bambu sebagai alternatif bahan baku untuk keperluan industri di beberapa negara tropis dan subtropis dimulai sejak tahun 1980 ketika menghadapi permasalahan kelangkaan bahan baku kayu. Fakta bahwa bambu menghasilkan biomassa kayu lebih cepat daripada kayu cepat tumbuh fast growing species, dan bahwa beberapa sifat bambu telah menyaingi kayu remaja yang dihasilkan dari kayu cepat tumbuh tersebut telah membangkitkan minat yang sangat besar dalam penelitian bambu sebagai substitusi kayu untuk bangunan, meubel, pengepakan packing, transportasi dan lain-lain. Pemahaman yang holistik tentang sifat sifat bambu sebagai bahan baku merupakan hal yang sangat penting dan berkontribusi besar dalam pemanfaatan bahan baku tersebut menjadi berbagai produk. Sifat-sifat dasar bambu yang perlu dipahami meliputi struktur anbatomi, sifat fisis, sifat mekanis, dan kandungan kimianya. Bahan dan Metode Jenis bambu yang menjadi fokus perhatian untuk diteliti sifar-sifat dasarnya adalah bambu tali, andong, dan betung yang dimanfaatkan sebagai bahan baku untuk pembuatan bambu lapis. Penelitian dilakukan terhadap beberapa sifat dasar sepert sifat sifat fisis dan mekanis, kandungan kimia bambu, serta kelarutannya dalam berbagai pelarut seperti etanol-benzen, NaOH 1 , air dingin, dan air panas, sedangkan penelitian tentang struktur anatomi bambu dilakukan dilakukan dalam bentuk studi pustaka.

3.1. Struktur anatomi bambu

Penelitian tentang struktur anatomi dilakukan berdasarkan studi pustaka yang terkait dengan jenis bambu tali, andong, dan betung.

3.2. Sifat Fisis Bambu

Bahan yang digunakan dalam penelitian berupa bambu tali Gigantochoa apus J.A. dan J.H. Schultes Kurz, bambu andong Gigantochloa pseudoarundinaceae Stuude lWidjaja, dan bambu betung Dendrocalamus asper Schult.f.Backer ex Heyne yang didapat dari wilayah Kecamatan Leuwiliang, Bogor. Ketiga jenis bambu tersebut dipilih yang sudah masak tebang. Sifat fisis bambu lapis yang diteliti meliputi kerapatan, penyusutan, dan permeabilitas bambu.

3.2.1. Kerapatan

Contoh uji kerapatan bambu tali dalam keaadaan kering udara berukuran 5 cm x 5 cm x 0,5 cm, sedangkan contoh uji kerapatan bambu andong dan betung berukuran sama, yaitu 5 cm x 5 cm x 1,0 cm. Contoh uji tersebut ditimbang beratnya dan kemudian ditentukan volume contoh uji ditentukan secara gravimetri.. Kerapatan bambu dihitung dengan menggunakan rumus: Kerapatan gcm³ = Keterangan: M = Berat kering udara contoh uji g V = Volume contoh uji gcm³

3.2.2. Kadar air

Moisture Content Contoh uji kadar air yang berukuran sama dengan contoh uji kerapatan ditimbang untuk mendapatkan berat m 1 , lalu dioven pada suhu 103±2 C selama 24 jam sampai beratnya konstan; kemudian dimasukkan ke dalam desikator sampai mencapai suhu kamar dan ditimbang kembali m 2 . Nilai kadar air dapat dihitung dengan menggunakan rumus: Kadar air = x 100 Keterangan : m 1 = Berat awal kering udara m 2 = Berat kering oven

3.2.3. Permeabilitas

Penentuan permeabilitas ke tiga jenis bambu dilakukan dengan contoh uji berupa produk bambu laminasi. Hal ini dilakukan mengingat dimensi penampang lintang bambu berukuran kecil, yaitu berkisar mulai dari 1 cm pada bambu tali sampai 2 cm pada bambu betung, padahal kondisi alat pengujian untuk penentuan permeabilitas mengharuskan contoh uji yang berukuran lebih besar. Produk laminasi yang dibuat dalam penelitian ini mula-mula dirancang berukuran panjang 10 cm, lebar 5 cm, dan tebal 5 cm. Hal ini dilakukan untuk memudahkan dalam proses pembuatan bambu laminasinya, karena kalau ukuran laminanya terlalu kecil akan sulit dalam proses pengempaannya menggunakan klem. Produk bambu laminasi yang sudah dibuat selanjutnya dipotong lagi sehingga contoh uji berukuran panjang 5 cm, lebar 5 cm, dan tebal 1 cm. Dimensi yang terkecil, yaitu tebal berorientasi longitudinal, sedangkan panjang dan lebarnya berorientasi radial dan tangensial. Untuk setiap jenis bambu, contoh ujinya dapat dibedakan ke dalam dua kelompok, yaitu contoh yang tanpa buku internode, dan yang mengandung buku node. Penentuan permeabilitas ditentukan berdasarkan metode pendekatan, yaitu dengan cara mengukur besarnya tekanan vakum pada masing-masing contoh uji. Waktu yang diperlukan baik untuk proses pemakuman maupun waktu releas-nya dicatat. Waktu releas adalah waktu yang diperlukan agar tekanan di dalam tabung vakum kembali menjadi nol.

3.3. Sifat Mekanis Bambu

Penelitian tentang sifat mekanis bambu dilakukan berdasarkan studi pustaka yang terkait dengan jenis bambu tali, andong, dan betung.

3.4. Sifat Kimia Bambu

Sifat kimia bambu yang diteliti meliputi komponen utama kimia bambu yang terdiri dari selulosa, hemiselulosa, lignin, dan zat ekstraktif . Bahan yang digunakan adalah bambu tali, andong, betung, sedangkan prosedur penentuannya mengacu pada TAPPI seperti disajikan pada Tabel 3.1, dan deskripsi dapat dilihat pada Bab V. Tabel 3.1 Acuan penentuan komponen kimia bambu No. Komponen kimia yang diteliti Acuan penentuan 1. Penyiapan bahan baku untuk analisis kimia termasuk penentuan kadar air TAPPI T 264 om-88 2. Kadar zat ekstraktif yang terlarut dalam air dingin TAPPI T207 om-93 3. Kadar zat ekstraktif yang terlarut dalam air panas TAPPI T 207 0m-93 4. Kelarutan bambu dan kayu dalam natrium hidroksida 1 TAPPI T 212 om-93 5. Penentuan holoselulosa TAPPI 9 m-54 6. Penentuan selulosa TAPPI 17-m-55 7. Penentuan kadar hemiselulosa TAPPI 223cm-84 7 Penentuan kadar lignin TAPPI T 203 os-74 Hasil dan Pembahasan 3.1. Sifat Fisis

3.1.1. Kerapatan bambu

Data hasil pengujian kerapatan bambu tali, andong dan betung disajikan pada Tabel 3.2. Berdasarkan data tersebut nampak ada perbedaan kerapatan, baik antar jenis bambu maupun kondisi bambunya tanpa buku dan dengan buku. Secara umum dapat diketahui bahwa bambu betung mempunyai kerapatan terbesar, diikuti oleh bambu andong dan bambu tali. Berdasarkan Tabel 3.2, kerapatan bambu betung yang mengandung buku lebih besar dibandingkan dengan bambu betung yang tidak mengandung buku, yaitu masing-masing sebesar 0,82 gcm 3 dan 0,76 gcm 3 . Hal yang serupa terjadi pada bambu andong, dan bambu tali. Kerapatan bambu andong yang mengandung buku dan yang tidak mengandung buku masing-masing sebesar 0,76 gcm 3 dan 0,72 gcm 3 , sedangkan kerapatan bambu tali pada kondisi yang sama berturut- turut sebesar 0,72 gcm 3 dan 0,67 gcm 3 . Pada semua jenis bambu yang diteliti, terdapat kecenderungan bahwa bambu yang mengandung buku memiliki kerapatan yang lebih tinggi dibanding bambu yang tidak mengandung buku. Hal ini diduga disebabkan oleh struktur anatomis yang lebih komplek dan kandungan lignin yang lebih tinggi pada bagian buku sehingga mengakibatkan berat jenis atau kerapatanya menjadi lebih tinggi dibanding bagian bambu yang tidak mengandung buku. Hasil ini sejalan dengan Dransfeld dan Widjaja 1995 yang menyatakan bahwa berat jenis pada buku bambu lebih besar 0,6-0,8 dibandingkan dengan antar buku bambu 0,5-0,7. Tabel 3.2 Kerapatan bambu bambu tali, andong dan betung Jenis bambu Kondisi Ulangan BKU g Volume cm 3 Kerapatan g cm 3 1 8,268 12,34 0,67 tanpa buku 2 8,257 12,51 0,66 3 8,486 12,48 0,68 Bambu tali Rata-rata 0,67 1 8,960 12,62 0,71 dengan buku 2 9,450 12,77 0,74 3 9.122 12,67 0,72 Rata-rata 0,72 1 18,346 25,48 0,72 tanpa buku 2 17,528 25,04 0,70 3 18,520 25,37 0,73 Bambu andong Rata-rata 0,72 1 17,344 26,14 0,74 dengan buku 2 19,593 25,78 0,76 3 19,650 25,52 0,77 Rata-rata 0,76 1 19,389 25,18 0,77 tanpa buku 2 19,509 25,67 0,76 3 19,616 25,81 0,76 Bambu betung Rata-rata 0,76 1 20,582 25,10 0,82 dengan buku 2 20,340 25,18 0,81 3 21,107 25,74 0,82 Rata-rata 0,82

3.1.2. Kadar air

Hasil pengujian kadar air pada bambu laminasi yang dibuat dari bambu tali dan andong disajikan pada Tabel 3.2. Data tersebut menunjukkan bahwa bahwa tidak ada perbedaan yang mencolok antara kadar air pada bambu tali, andong, dan betung. Rata-rata kadar air bambu tali yang tidak mengandung buku adalah 14,20 , sedangkan rata-rata kadar air bambu tali yang mengandung buku adalah 14,59 . Pada bambu andong, kadar air rata-rata untuk bambu yang tidak mengandung buku dan yang mengandung buku adalah masing-masing sebesar 13,77 dan 14,56 . Hasil yang hampir sama terdapat pada bambu betung, yang kadar air rata-ratanya berkisar antara 14,03 tanpa buku dan 14,52 . Berdasarkan data pada Tabel 3.3, terdapat kecenderungan bahwa kadar air pada bambu yang mengandung buku lebih besar dari pada bambu yang tidak mengandung buku. Hal tersebut diduga disebabkan oleh struktur anatomi pada bagian buku lebih kompleks dan mengandung lignin yang lebih banyak yang berakibat air pada bagian buku tersebut relatif lebih sukar keluar. Tabel 3.3 Kadar air bambu tali, andong dan betung Jenis bambu Kondisi Ulangan Berat Awal g BKT g KA tanpa buku 1 18,23 15,93 14,44 2 18,88 16,53 14,22 3 18,57 16,30 13,93 Tali Rata-rata 14,20 dengan buku 1 18,24 15,91 14,64 2 18,23 15,86 14,94 3 17,61 15,42 14,20 Rata-rata 14,59 tanpa buku 1 18,28 16,89 14,10 2 17,50 17,06 13,48 3 17,93 16,18 13,72 Andong Rata-rata 13,77 dengan buku 1 17,36 16,02 14,54 2 17,86 15,77 14,71 3 17,68 16,84 14,43 Rata-rata 14,56 tanpa buku 1 17,32 15,14 14,40 2 17,93 15,75 13,84 3 18,33 16,10 13,85 Betung Rata-rata 14,03 dengan buku 1 17,35 15,14 14,60 2 18,01 15,73 14,49 3 16,76 14,64 14,48 Rata-rata 14,52

3.1.3. Permeabilitas

Permeabilitas bambu tali, andong, dan betung baik yang mengandung buku node maupun yang tidak mengandung buku internode selengkapnya disajikan pada Tabel 3.4. Berdasarkan Tabel 3.4 tersebut, besarnya tekanan vakum pada bambu tali yang tanpa buku adalah berkisar antara 5,2 bar dan 5,8 bar dengan nilai rata-rata, sedangkan besarnya tekanan vakum pada bambu tali yang ada bukunya berkisar antara 6,3 dan 7,7 dengan nilai rata-rata 6,8. Data tersebut menunjukkan bahwa nilai tekanan vakum pada bambu yang tanpa buku lebih besar dibanding bambu yang berbuku. Hal ini berarti bahwa bambu yang tanpa buku lebih permeabel dibanding dengan bambu yang berbuku. Rata-rata waktu yang diperlukan untuk mencapai nilai vakum tersebut, pada bambu tali yang tanpa buku ternyata lebih cepat 27,1 detik dibanding bambu tali yang berbuku 34,0 detik. Begitu pula yang terjadi pada waktu releasenya. Rata-rata waktu release untuk bambu tali tanpa buku ternyata lebih cepat 9,4 detik dibanding untuk bambu tali yang berbuku 17,63 detik. Pada bambu andong yang tidak berbuku, rata-rata tekanan vakum ternata lebih kecil 6,3 bar dibandingkan dengan bambu andong yang berbuku 8,3 bar. Data ini menunjukkan bahwa bambu andong yang tanpa buku buku lebih permeabel dibanding bambu andong yang berbuku. Pada bambu betung, gejala yang serupa dengan bambu tali dan bambu andong juga terjadi, yaitu bambu yang tidak mengandung buku ternyata lebih lebih permeabel dibanding bambu yang mengandung buku. Hal ini ditunjukkan dengan hasil pengujiannya, yaitu nilai rata-rata tekanan vakum pada pada bambu betung yang tidak mengandung buku lebih kecil 6,9 bar dari pada bambu betung yang mengandung buku 8,8 bar. Rata-rata waktu yang diperlukan untuk mencapai tekanan tersebut masing-masing selama 38,4 detik untuk bambu betung yang tidak berbuku, dan 42,7 detik untuk bambu betung yang berbuku. Rata-rata waktu release untuk bambu betung tanpa buku dan bambu betung yang berbuku masing-masing adalah rata 16,9 detik dan 18,8 detik. Tabel 3.4 Permeablitas bambu tali, andong dan betung yang dinyatakan dalam besarnya tekanan vakum bar Jenis bambu Kondisi Ulangan Tekanan bar Waktu detik Waktu release detik tanpa buku 1 5,2 22,5 8,6 2 5,8 28,7 9,4 3 5,6 30,2 10,2 Bambu tali Rata-rata 5,5 27.1 9,4 dengan buku 1 6,3 33,4 17,8 2 6,4 32,1 16,3 3 7,7 36,5 18,2 Rata-rata 6,8 34,0 17,6 tanpa buku 1 5,8 29,7 11,7 2 6,8 38,3 14,4 Bambu andong 3 6,2 32,7 10,8 Rata-rata 6,3 33,6 12,3 dengan buku 1 7,8 40,1 18,3 2 7,6 38,4 18,4 3 9,5 51,2 29,5 Rata-rata 8,3 43,2 22,1 tanpa buku 1 6,8 36,8 15,2 2 7,5 45,5 20,7 Bambu betung 3 6,5 33,0 14,8 Rata-rata 6,9 38,4 16,9 dengan buku 1 8,1 43,6 18,5 2 8,9 42,6 19,8 3 9,5 42,0 18,1 Rata-rata 8,8 42,7 18,8 Secara umum hasil pengujian tersebut di atas mengindikasikan bahwa bambu yang tidak mengandung buku lebih permeabel dinding dengan bambu yang mengadung buku. Waktu yang diperlukan untuk mencapai nilai tekanan vakum serta waktu release-nya, pada bambu yang lebih permeabel yang tidak menandung buku ternyata lebih cepat dibanding yang tidak permeabel. Hasil tersebut ternyata berlaku untuk semua jenis bambu yang diuji, yaitu bambu tali, andong dan betung. Bahasan tentang fenomena tersebut akan dipaparkan di bawah ini. Pada bambu yang mengandung buku, strukturan anatominya lebih komplek dibanding bambu yang tidak mengandung buku. Arah orientasi serat pada bagian buku berbeda dibanding yang tanpa buku, yaitu tidak lagi lurus sebagaimana pada pada bagian yang tidak mengandung buku, tapi berbelok. Hal ini di duga akan menyebabkan permeabilitas bambu menurun. Kandungan lignin pada bagian buku yang lebih banyak juga diduga kan menyebabkan penurunan peremeabilitas. Pada bagian buku terdapat lebih banyak parenkim pendek yang akan tetap mengalami peroses lignifikasi walaupun umur bambu sudah tua. Terkait dengan permeabilitas yang dipengaruhi oleh oleh struktur anatomi bambu di bawah ini akan dipaparkan secara ringkas struktur anatomi bambu secara umum. Sebagaimana diketahui bahwa struktur anatomi bambu mengandung ikatan vaskuler yang terdiri dari xylem dan satu atau dua proto xylem yang kecil dan dua meta xylem yang besar 40-120 mikron. Pori bagian dalam batang lebih besar di bambu bagian luar batang. Pori dan phloem di kelilingi oleh selubung sklerenkim yang berbeda dalam bentuk, ukuran dan lokasi menurut posisi di dalam batang dan jenis bambu. Iktan vaskuler yang memiliki bentuk, ukuran, susunan dan jumlah ruang memberikan ciri suatu jenis bambu Liese, 1985. Serabut dicirikan oleh sklerenkim yang berada di sekitar ikatan vaskuler. Panjang dari serabut berbeda-beda tergantung dari species, akan tetapi terjadi peningkatan dari panjang serat di bagian luar dan maksimum di bagian tengah dan menurun pada bagian dalam batang. Serat pada bagian dalamnya lebih pendek sekitar 20 – 40 di banding serat bagian luar Dransfield dan Widjaja, 1995. Menurut Leise 1985, serabut di dalam bambu terdapat sebagai tudung pada ikatan vasculer dan merupakan 40-50 dari jaringan total atau 60-70 dari berat batang. Panjang serta tergantung spesies dan perbandingan antara panjang dan lebar serabut bervariasi antara 150:1 dan 250:1. Lebih lanjut Liese 1985 menjelaskan bahwa sel parenkim merupakan jaringan di dalam batang bambu dan dapat dibedakan atas dua macam, yaitu sel parenkim panjang yang umumnya tersusun vertikal dan sel parenkim pendek yang terletak bersilang-silang di antaranya. Sel parenkim panjang memiliki dinding sel yang lebih tebal dan menjalani proses lignifikasi pada awal pertumbuhan puncak, sedangkan sel parenkim pendek berdinding tipis dengan sitoplasma yang tetap aktif serta tetap mengalami proses lignifikasi walaupun telah dewasa. Sel-sel parenkim saling berhubungan satu dengan yang lain melalui noktah sederhana yang terletak pada dinding longitudinal. Ditinjau dari waktu yang dibutuhkan oleh bambu untuk mencapai tekanan vakum, data hasil pengujian juga menunjukkan ada korelasi. Korelasi antara permeabilitas dan waktu tersebut adalah hubungan yang berbanding terbalik, yaitu semakin tinggi nilai permeabilitas bambu semakin sedikit waktu yang diperlukan untuk mencapai tekanan vakum tersebut. Dengan perkataan lain semakin permeabel suatu benda, maka semakin cepat waktu yang diperlukan untuk mencapai tekanan vakum tersebut. Hal yang sama juga terjadi pada waktu release-nya.

3.2. Sifat Mekanis Bambu

Sifat mekanis bambu meliputi keteguhan belah, MOE modulus of elasticity, MOR modulus of rupture, tekan sejajar serat, dan tekan tegak lurus serat. Hasil studi pustaka tentang sifat mekanis bambu dirangkum dalam satu tabel dan disajikan pada Tabel 3.5. Pada tabel ini sengaja dimasukkan juga sifat fisis bambu hasil studi pustaka. Terkait dengan sifat mekanis bambu, Janssen 1981 menyatakan bahwa kekuatan mekanis sangat bergantung pada lapisan sklerenkim, yaitu jaringan yang berdinding tebal dan kuat terdiri dari sel-sel dewasa yang telah mati. Hal ini sejalan dengan Liese 1980 yang menyatakan bahwa sifat mekanis bambu lebih ditentukan oleh keberadaan ikatan vaskulernya dimana sklerenkim terdapat didalamnya dan bukan pada parenkim. Hingga saat ini, parenkim masih belum ditemukan kegunaannya. Selain itu, kekuatan mekanis juga dipengaruhi oleh kulit buluh yang mengandung silika, kehadiran silika meningkatkan kekuatan. Dransfield dan Widjaja 1995 menyatakan kandungan silika batang bambu umumnya lebih tinggi dari kayu, yaitu sekitar 0.5-4.0 . Disamping itu, jenis bambu yang berbeda akan memberikan sifat mekanis yang berbeda pula. Penelitian tentang sifat fisis dan mekanis beberapa jenis bambu di Indonesia telah dilakuan oleh beberapa peneliti antara lain Ginoga 1977, Syafii 1984, Hadjib dan Karnasudirdja 1986, Nurhayati 1986 dan 1994, Krisdianto dkk. 2006, Sukadaryati 2006, Suryana 2008, Irjayanti 2009, Suryana dkk.2009 dan 2010, Mardiana 2010, Sembiring 2012, Iriayanto 2012, dan Lestari, 2012. Rangkuman dari hasil penelitian sifat fisis dan mekanis bambu tersebut disajikan pada Tabel 3.5. Tabel 3.5 Sifat fisis dan mekanis bambu tali, andong, dan betung No. Sifat yang diuji Jenis bambu Tali Andong Betung 1. Kerapatan 0,67 0,58-0,76 0,72 0,64- 0,80 0,76 0,66 - 0,86 2. Susut Volume Basah-Kering udara 12,45 10,22-14,68 14,36 11,36-17,36 16,82 14,22- 19,42 3. Susut tebal Basah-Kering udara 6,83 5,42-8,24 7,94 6,22- 9,66 8,02 6,46-9,58 Kering udara-Kering tanur 5,36 4,96-5,76 5,75 5,10-6,4 6,30 5,26-7,34 4. Susut lebar Basah- Kering udara 5,30 4,21-6,39 6,18 5,52-6,84 6,21 5,64-6,78 Kering udara-Kering tanur 3,60 2,96-4,24 4,84 3,72-5,96 5,10 4,72-5,48 5 Keteguhan belah kgfcm2 49,5 40,8-58,2 56,58 52,4-60,76 62,554,6-70,4 6. MOE x 1000 kgfcm2 79,6 58,2-101,0 82,3 54,2-110,4 92,2 53,2-131,2 7. MOR kgfcm2 433 320-546 457 358-556 490 342- 638 8. Tekan sejajar serat kgfcm2 504 442-556 521 457-585 605 570- 640 9. Tekan tegak lurus serat kgfcm2 2.004 1.980-2.028 1.914 1.767-2.061 2.127 1.988-2.266 10. Permeabilitas tanpa buku tekanan vacum, bar 5,5 5.1-5,9 6,3 5,6-7,0 6,9 5,8-8 11. Permeabilitas dengan buku tekanan vacum, bar 6,8 5,4-8,2 8,3 6,8-9,8 8,8 7,4-10,2 Keterangan: Angka dalam kurung adalah kisaran angka hasil penelitian Ginoga, 1977; Syafii, 1984 ; Nurhayati, 1986 dan 1994; Krisdianto,dkk, 2000; Hadjib dan Karnasudirdja, 2006;; Sukadaryati, 2006, Irjayanti, 2009; Mardiana, 2010; Sembiring, 2012, Iriayanto, 2012, dan Lestari, 2012 Sifat Kimia Bambu Kandungan kimia bambu tali, andong, dan betung disajikan pada Tabel 3.6. Tabel 3.3 menunjukkan bahwa proses perendaman dalam air dingin yang mengalir, air panas, dan perebusan dalam air kapur 5 ternyata dapat menurunkan nilai kelarutan dalam etanolbenzen, Na OH 1 , air dingin, dan air panas. Hal ini berarti bahwa proses perlakuan perendaman tersebut dapat menurunkan kandungan pati yang larut dalam air dingin dan air panas. Dengan demikian proses perlakuan perendaman tersebut dapat dijadikan sebagai salah satu metode untuk menurunkan kandungan pati, yang pada gilirannya nanti dapat meningkatkan ketahanan bambu terhadap serangan organisme perusak bambu yang menjadikan pati sebagai makanannya, yaitu serangan kumbang bubuk. Kandungan kimia bambu tergantung pada jenis, kondisi tempat tumbuh, umur bambu dan lokasi pada batang. Kandungan pati paling besar terdapat pada musim hujan, dan kandungan pati terbesar terdapat pada bagian dalam batang Liese, 1985. Lebih lanjut Liese 1985 menjelaskan bahwa komponen utama kimia bambu terdiri dari selulosa, hemiselulosa, lignin, dan zat ekstraktif seperti resin, lilin, dan garam. Kandungan selulosa bambu berkisar 53,6 -54,4 , pentosan 30,8 -32,9 , lignin 20,0-32,9 , abu 1,1-1,2 , dan zat ekstraktif yang larut dalam alkohol benzene 7,5-9,3 Liese, 1985. Zat eksraktif bambu tali yang larut dalam air dingin, air panas, alkohol benzene, dan NaOH 1 adalah berturut-turut sebesar : 4,6 , 5,3 , 2,5 , dan 23,1 . Kelarutan bambu andong dalam air dingin, air panas, alkohol benzene, dan NaOH 1 adalah berturut-turut sebesar : 9,9 , 10,7 , 6,9 , dan 28,0 , sedangkan kelarutan bambu betung dalam air dingin, air panas, alkohol benzene, dan NaOH 1 adalah berturut-turut sebesar : 4,5, 6,1, 0,9 ,dan 22,2 Gusmalina dan Sumadiwangsa, 1988. Tabel 3.6. Sifat kimia bambu tali, andong dan betung Nama Sampel Holo- selulosa Selulo sa Hemi- selulos a Lignin Kelarutan dalam EtOH Benz. NaOH 1 Air Dingin Air Panas Andong-R14 76,1322 46,3706 29,7616 26,1400 2,5819 19,6593 1,2116 1,3325 Betung-R14 77,7848 46,7667 3,0181 24,9682 2,6539 19,0237 1,0203 1,3650 Tali-R14 77,3626 49,5336 27,8290 26,0600 2,8840 18,2133 1,0176 0,9522 Andong-RSR 75,0497 49,8500 25,1996 22,3512 0,3270 10,6596 2,1543 2,1839 Betung-RSR 72,7208 50,3215 22,3993 23,5483 0,2174 11,9191 1,0917 1,2793 Tali-RSR 76,0774 52,6231 23,4543 27,4381 0,3611 11,6969 2,6534 2,9071 Andong-K 79,5948 51,5079 28,0870 21,6270 3,6719 22,2826 2,9929 5,6437 Betung-K 79,4361 47,8592 31,5769 28,4377 4,0307 21,3622 3,2632 7,1316 Tali-K 80,1816 48,9439 31,2377 27,9108 4,7053 25,2979 4,2321 7,7697 Andong-R2 78,2091 49,0153 29,1938 26,9209 1,6562 20,1287 1,2315 1,4388 Betung-R2 78,9129 45,9491 32,9637 27,4343 2,5201 19,4376 1,8647 3,4083 Tali-R2 80,3638 57,1130 23,2507 22,0656 4,1274 18,3880 4,0063 4,6762 Keterangan: R14 = Rendaman selama 14 hari, RSR = Rebusan air kapur 2 jam, K = Kontrol,R2 = Perebusan 2 jam Tabel 3.6 menunjukkan bahwa kelarutan bambu tali, andong dan betung dalam etanolbenzene, NaOH 1 , air dingin, air panas, setelah diberi perlakuan perendaman dalam air sungai, perebusan, dan perebusan dalam larutan air kapur 5 umumnya menurun secara signifikanl dibandingkan dengan sebelum diberi perlakuan. Hal ini berarti zat ekstraktif yang terkandung dalam bambu tersebut telah jauh berkurang akibat perlakuan tersebut. Dengan demikian peluang bambu tersebut untuk diserang oleh kumbang bubuk akan berkurang pula karena sebagian zat ekstraktif yang berupa pati yang menjadi makanannya telah banyak berkurang. Walaupun demikian, perlakuan tersebut tidak mengurangi kandungan selulosa, hemiselulosa dan lignin secara signifikan. Kesimpulan Sifat-sifat bambu sebagai bahan baku ditentukan oleh struktur anatomi, sifat fisis, sifat mekanis, dan kandungan kimia bambu. Perbedaan diantara sifat bambu tali, andong, dan betung ditentukan oleh sifat-sifat tersebut di atas. Pada semua jenis bambu yang diteliti, terdapat kecenderungan bahwa bambu yang mengandung buku memiliki kerapatan yang lebih tinggi dibanding bambu yang tidak mengandung buku. Terdapat kecenderungan bahwa kadar air pada bambu yang mengandung buku lebih besar dari pada bambu yang tidak mengandung buku. Hasil pengujian mengindikasikan bahwa bambu yang tidak mengandung buku lebih permeabel dinding dengan bambu yang mengadung buku. Penyusutan tebal bambu lebih besar dibandingkan penyusutan lebar bambu. Keteguhan belah bambu tali, andong, dan betung relatif kecil dan masing- masing berkisar 40,8-58,2 kgfcm 2 ; 52,4-60,76 kgcm 2 ; dan 54,6-70,4 kgcm 2 . Dengan nilai sekecil ini berarti bambu tersebut mudah dibelah. Nilai MOR bambu tali, andong, dan betung berturut turut berkisar 320-546 kgfcm 2 ; 358-556 kgfcm 2 ; dan 342-638 kgfcm 2 Kisaran nilai MOE bambu tali andong, dan betung adalah 58.200-101.000 kgfcm 2 ; 54.200-110.000 kgfcm 2 ; dan 53.200- 131.200 kgfcm 2 . Kelarutan bambu tali, andong dan betung dalam etanolbenzene, NaOH 1 , air dingin, air panas, setelah diberi perlakuan perendaman dalam air sungai, perebusan, dan perebusan dalam larutan air kapur 5 umumnya lebih kecil dibandingakan dengan sebelum diberi perlakuan. Hal ini berarti zat ekstraktif yang terkandung dalam bambu tersebut telah berkurang akibat perlakuan tersebut. IV. SIFAT-SIFAT DASAR BAMBU LAPIS Pendahuluan Untuk mengatasi ketidakmampuan hutan dalam memenuhi kebutuhan kayu yang terus meningkat, perlu dilakukan tindakan-tindakan antisipasi dengan mencari bahan baku selain kayu yang dapat digunakan sebagai substitusi kayu dari hutan alam. Salah satunya dengan memanfaatkan hasil hutan bukan kayu berupa bambu. Keadaan ini ditunjang oleh kenyataan bahwa Indonesia memang kaya akan jenis bambu yang berpotensi ekonomi baik secara lokal maupun dalam skala nasional dan bahkan untuk keperluan regional dan internasional. Potensi bambu di Indonesia meliputi lebih dari 143 jenis bambu dan 9 jenis diantaranya merupakan bambu yang hidup endemik di Jawa Widjaja, 2001. Bambu banyak dimanfaatkan untuk berbagai keperluan dan potensial dikembangkan untuk menjadi sumber pemasok bahan baku industri. Pemanfaatan bambu diantaranya untuk keperluan alat-alat rumah tangga, sebagai penghara industri sumpit, barang kerajinan, bilik, tanaman hias, dan lain sebagainya. Bambu juga merupakan bahan bangunan siap pakai, tergantung kebutuhan yang diinginkan sedangkan rebungya untuk jenis tertentu dapat dimanfaatkan sebagai sayuran. Beberapa keunggulan bambu diantaranya kuat, keras, ringan, mudah didapat, cepat tumbuh, mudah dalam pengerjaan, dan mempunyai sifat mekanis yang lebih baik pada arah sejajar serat. Melihat keunggulan-keunggulan tersebut memungkinakan berkembangnya produk-produk panel bambu sebagai wujud upaya diversifikasi produk panel kayu. Bentuk-bentuk diversifikasi dari bambu menghasilkan papan tiruan yang beragam bentuk meliputi papan partikel, papan serat, papan laminasi bambu ataupun bambu lapis ply bamboo. Penelitian ini bertujuan untuk memanfaatkan bambu tali, bambu andong dan bambu betung sebagai bahan baku bambu lapis serta mengetahui pengaruh jenis bambu dan jenis perekat terhadap sifat fisis dan mekanis bambu lapis. Bahan dan Metode Bahan dan Alat Penelitian Bahan yang digunakan dalam penelitian berupa bambu tali Gigantochoa apus J.A. dan J.H. Schultes Kurz, bambu andong Gigantochloa verticillata Willd. Munro, dan bambu betung Dendrocalamus asperSchult.f.Backer ex Heyne yang didapat dari wilayah Kecamatan Leuwiliang, Bogor. Ketiga jenis bambu tersebut dipilih yang sudah masak tebang. Perekat yang digunakan meliputi lima jenis perekat, yaitu methylen diphenyl isocianate MDI, phenol formaldehyde PF, melamine formaldehyde MF, urea formaldehyde UF, dan poly vinyl acetate PVAc. Alat yang digunakan meliputi : gergaji tangan, golok, cutter, amplas, mesin serut, alat tulis, penggaris, caliper, oven, desikator, alat kempa, timbangan, kape, dan Universal Testing Machine UTM merk Instron. Persiapan Bahan Batang bambu terlebih dahulu dipotong sepanjang 40 cm tanpa menyertakan buku bambu, selanjutnya dibuat menjadi bilah dengan cara dibelah. Bilah bambu kemudian diserut menggunakan alat serut dengan lebar 2 cm dan ketebalan yang berbeda, yaitu sebesar 1 mm, dan 2 mm. Ketebalan bilah bambu sebesar 2 mm digunakan sebagai lapisan inti core panel bambu, sedangkan ketebalan 1 mm digunakan sebagai lapisan muka dan belakang face-back panel bambu. Bambu kemudian dioven pada suhu 60- 80 °C hingga mencapai kadar air 8-10. Pembentukan Lembaran Bilah bambu serutan yang telah dikeringkan disusun sedemikian rupa menurut ketebalannya masing-masing sehingga berukuran 40 x 40 cm. Susunan bilah bambu tersebut kemudian disatukan dengan cara merekat kedua ujungnya menggunakan lakban sehingga terbentuk suatu lembaran bilah bambu. Pembuatan dan pengujian bambu lapis Lembaran bambu lapis dibuat dengan ukuran 40 cm x 40 cm x 0,4 cm tiga lapis dengan berat labur sebesar 200 gm 2 . Suhu kempa untuk perekat UF adalah 110 o C, perekat PF, MF, dan MDI sebesar 140 o C, dan perekat PVAc pada suhu kamar. Pengempaan panas dilakukan selama 5 menit, dengan tekanan kempa spesifik sebesar 15 kgcm 2 . Khusus untuk kayu lapis yang mengunakan PVAc, dilakukan pengempaan dingin menggunakan klem selama 24 jam. Setelah proses pengempaan dilakukan, bambu lapis dikondisikan di ruangan selama 2 minggu. Pengujian bambu lapis mengacu kepada SNI 01-5008.7-1999, meliputi kerapatan, kadar air, pengembangan dimensi, keteguhan rekat sejajar serat permukaan, keteguhan rekat tegak lurus serat permukaan, MOE sejajar serat permukaan, MOE tegak lurus serat permukaan, MOR sejajar serat permukaan, dan MOR tegak lurus serat permukaan. Pola pemotongan contoh uji pada setiap papan dapat dilihat pada Gambar 4.1. Keterangan : A = Contoh uji MOE , dan MOR 20 cm x 5 cm, B = Contoh uji kadar air dan kerapatan 10 cm x 10 cm, C = Contoh uji pengembangan tebal 5 cm x5 cm, D = Contoh uji keteguhan rekat 2,5 cm x 7,5cm. Gambar 4.1 Pola pemotongan contoh uji Penentuan Kerapatan Kerapatan panel bambu lapis ditentukan dengan menggunakan contoh uji yang sama dengan kadar air berukuran 10 cm x 10 cm. Contoh uji ditimbang lakban lakban B A A Sampel B c c EE D beratnya kondisi kering udara dan dilakukan pengukuran dimensinya panjang, tebal, dan lebar. Besar nilai kerapatan ditentukan dengan perhitungan: T L P BKU Kr × × = Keterangan : Kr = Kearapatan gcm 3 BKU = Berat Kering Udara g P = Panjang cm L = Lebar cm T = Tebal cm Penentuan Kadar Air Contoh uji berukuran 10 cm x 10 cm ditimbang untuk mengetahui berat awal. Kemudaian dikeringkan di dalam oven dengan suhu 103 ± 2 °C sampai beratnya konstan. Contoh uji kemudian didinginkan selama kurang lebih 15 menit di dalam desikator. Selanjutnya contoh uji ditimbang kembali. Besar nilai kadar air dihitung dengan persamaan: 100 × × = BKT BKT BA KA Keterangan: KA = Kadar Air BA = Berat Awal gram BKT = Berat Kering Tanur gram Penentuan Pengembangan Dimensi Contoh uji berukuran 5 cm x 2,5 cm diukur dimensinya panjang, tebal, dan lebar dalam kondisi kering udara, selanjutnya direndam dalam air suhu 25°C selama 24 jam, kemudian diukur kembali dimensinya. Besar nilai pengembangannya diperoleh dari perhitungan: 100 × − = Dku Dku Db Pg Keterangan: Pg = Pengembangan dimensi Dku = Dimensi keadaan kering udara cm Db = Dimensi keadaan basah cm Penentuan Keteguhan Rekat Prosedur pengujian keteguhan rekat mengikuti SNI 01-5008.7-1999 dan dilakukan dengan menggunakan alat uji UTM merk Instron. Berdasarkan jenis perekat yang digunakan, pengujian keteguhan rekat dilakukan dalam kondisi kering dimana perekat PVAc termasuk perekat tipe interior II. Gambar contoh uji keteguhan rekat dan keteguhan lentur masing-masing dapat dilihat pada Gambar 4.2 dan Gambar 4.3. I-----------35mm -------- I I -25 mm-I I ---------35 mm ----------I Gambar 4.2 Contoh uji keteguhan rekat. Nilai keteguhan rekat diperoleh dengan perhitungan: KR = Keteguhan Geser Tarik × f Nilai keteguhan geser rekat ditentukan dengan persamaan: L P B KGT × = Keterangan : KR = Keteguhan Rekat kgcm2 f = Koefesien, nilainya tergantung rasio tebal lapisan inti dengan lapisan muka. KGT = Keteguhan Geser Tarik kgcm3 P = Panjang bidang geser cm L = Lebar bidang geser cm B = Beban tarik kg Tabel 4.1. Rasio antara tebal lapisan inti dengan lapisan muka No. Rasio antara tebal lapisan inti dan lapisan muka Koefisienf 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 1,5 - 2,0 2,0 - 2,5 2,5 - 3,0 3,0 - 3,5 3,5 - 4,0 4,0 - 4,5 ≥ 4,5 1,1 1,2 1,3 1,4 1,5 1,7 2,0 Untuk menentukan potensi kerusakan panel bambu dihitung dengan persamaan: 100 × = LB LK KK Keterangan : KK = kerusakan kayu LK = luas kerusakan kayu pada bidang geser cm 2 LB = luas bidang geser cm 2 Persyaratan nilai keteguhan rekat kayu lapis tertera pada Tabel 4.2. Tabel 4.2 Persyaratan keteguhan rekat kayu lapis No. Keteguhan rekat rata-rata kgfcm2 Kerusakan kayu rata-rata 1. 7 Tidak dipersyaratkan 2. 3,5-7 50 Penentuan Kekakuan MOE dan Keteguhan Patah MOR Contoh uji yang berukuran 5 cm x 5 cm +24t cm diukur tebal dan lebarnya, kemudian diletakan pada alat uji dengan beban berada ditengah bentang. Pembebanan dilakukan dengan laju pembebanan tidak melebihi 150 kgcm 2 permenit atau 6 mmmm pada mesin UTM merk Instron. Posisi contoh uji dan letak beban dapat dilihat pada Gambar 5.3 L L2 L2 Gambar 4.3 Pengujian MOE dan MOR Keteguhan lentur statis berupa modulus patah MOR dan kekakuan MOE dapat dihitung dengan persamaan: 2 2 2 3 bh Pml cm kg MOR = 3 3 2 4 Ybh Pl cm kg MOE = Keterangan : MOR = Modulus patah MOE = Modulus elastisitas kekakuan P = Beban sampai batas proporsional kg Pm = Beban maksimal kg Y = Defleksi yang terjadi cm b = Lebar contoh uji cm h = Tabal contoh uji cm l = Panjang bentang cm Analisis data Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Faktorial Acak Lengkap dengan 2 faktor, yaitu faktor A: jenis bambu 3 jenis, dan faktor B: jenis perekat 5 jenis dengan ulangan sebanyak 3 kali. Model umum rancangannya untuk semua pengujian adalah sebagai berikut: Yijkl = μ + αi + βj + αβij + εijk Keterangan : i = 1, 2, 3 jenis bambu : tali, andong, dan betung j = 1, 2,3,4,5 jenis perekat: MDI, PF, MF, UF, dan PVAc k = 1, 2, 3 banyaknya ulangan Yijk = Nilai respon pengamatan pada ulangan ke-k yang disebabkan oleh taraf k-i faktor α, dan taraf ke-j faktor β. μ = Nilai rata-rata αi = Pengaruh jenis bambu βj = Pengaruh jenis perekat αβij = Pengaruh interaksi antara jenis bambu ke-i dan jenisperekat ke- j εijk = Kesalahan percobaan dari jenis bambu ke-i, jenis perekatke-j, dan ulangan pada taraf ke-l. Untuk mengetahui bambu lapis yang memperoleh pengaruh dari perlaukan dibuat analisis keragaman Anova dengan kriteria sebagai beriku: Jiak F hitung F tabel, maka Ho diterima atau perlakuan tidak memberikan pengaruh pada selang kepercayaan. Jika F hitung F tabel, maka Ho ditolak atau perlakuan memberikan pengaruh pada suatu selang kepercayaan. Untuk mengetahui faktor mana yang berpengaruh maka dilakukan uji lanjut dengan menggunakan uji Duncan. Hasil dan Pembahasan 1. Sifat Fisis Bambu Lapis 1.1. Kerapatan Nilai kerapatan bambu lapis berkisar antara 0,63 dan 0,78 gcm3. Nilai kerapatan terendah terdapat pada bambu lapis yang berbahan baku bambu tali dengan perekat PVAc, sedangkan nilai kerapatan tertinggi terdapat pada bambu lapis yang berbahan baku bambu betung. Data kerapatan bambu lapis selengkapnya disajikan pada Tabel 4.3, sedangkan analisis sidik ragamnya dapat dilihat pada Tabel 4.4. Tabel 4.3 Kerapatan bambu lapis No. Jenis Perekat Nilai rata-rata kerapatan gcm 3 Tali Andong Betung 1 MDI 0,66 0,030 0,72 0,030 0,75 0,031 2 PF 0,67 0,041 0,73 0,035 0,78 0,036 3 MF 0,66 0,021 0,70 0,036 0.74 0,030 4 UF 0,64 0,035 0,71 0,035 0,750,031 5 PVAc 0,63 0,025 0,69 0,035 0,73 0,035 Keterangan : MDI = methylene diphenyl isocianate, PF = phenol formaldehyde, MF = melamine formaldehyde,UF = urea formaldehyde, PVAc = poly vinyl acetate. Angka dalam kurung adalah nilai simpangan baku. Tabel 4.4. Analisis sidik ragam kerapatan bambu lapis Sumber DB JK KT F Sig. Jenis bambu 2 0,30525185 0,15262593 407,89 ,0001 Jenis perekat 4 0,00579788 0,00289894 7,75 0,0465 Jenis bambu Jenis perekat 8 0,00064974 0,00016243 0,43 0,7838 tn Kesalahan percobaan 30 0,05612804 0,00037419 Total terkoreksi 44 0,61164233 Hasil uji sidik ragam seperti tercantum pada pada Tabel 4.3 menunjukkan bahwa kerapatan bambu lapis dipengaruhi oleh jenis bambu dan jenis perekat. Jenis bambu yang digunakan secara alamiah mempunyai kerapatan yang berbeda. Bambu betung mempunyai kerapatan terbesar 0,66-0,86 gcm 3 , diikuti oleh bambu andong 0,64-0,80 gcm 3 dan bambu tali 0,58-0,76 Syafii, 1984; Krisdianto et al., 2006; Suryana et al., 2009. Perekat yang digunakan dalam penelitian ini juga mempunyai berat jenis BJ yang beragam, yaitu perekat MDI dengan kisaran BJ1,15-1,20; perekat PF dengan kisaran BJ 1,22-1,25; perekat MF dengan kisaran BJ 1,10-1,20; perekat UF dengan kisaran BJ 1,15-1,20; dan perekat PVAc dengan BJ 1,10-1,20 Pizzi, 1994; Frihart, 2005; PAI, 2007. Dengan demikian mudah dipahami bahwa kerapatan bahan baku bambu yang berbeda serta berat jenis perekat yang beragam akan menghasilkan kerapatan bambu lapis yang berbeda. Berdasarkan hasil uji lanjut Duncan, bambu lapis yang berbahan baku bambu tali, andong dan betung, ketiganya menunjukkan kerapatan yang berbeda satu dengan yang lainnya. Mengacu pada jenis perekat yang digunakan, bambu lapis yang dibuat dengan perekat MDI, PF, dan MF tidak menunjukkan perbedaan, tetapi bambu lapis yang dibuat dengan perekat UF dan PVAc memberikan hasil yang berbeda dengan bambu lapis yang dibuat dengan perekat MDI dan PF.

1.2. Kadar air