Development of high quality ply bamboo

(1)

PENGEMBANGAN BAMBU LAPIS BERKUALITAS TINGGI

JAJANG SURYANA

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012


(2)

ii

ii PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi yang berjudul Pengembangan Bambu Lapis Berkualitas Tinggi adalah karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi.

Bogor, Agustus 2012

Jajang Suryana NRP E262070031


(3)

iii

ABSTRACT

JAJANG SURYANA. Development of High Quality Ply Bamboo. Under supervision of MUH. YUSRAM MASSIJAYA, YUSUF SUDO HADI and DEDE HERMAWAN

Utilization of non wood forest product such as bamboo is one of alternative in reducing wood usage. Some advantages of bamboo among other are very fast growth rate, short rotation, high tensile strength, abundantly in many countries, and traditionaly has been using as building material. The aim of this study was to produce ply bamboo that has high quality in terms of physical and bonding strength properties, and also resistance to termite attack. The raw material used in this study consisted of three bamboos species, namely, tali (Gigantochloa apus), andong (Gigantochloa verticillata) and betung (Dendrocalamus asper); and five kinds of adhesives, namely methylen diphenyl isocyanate (MDI), phenol formaldehyde (PF), melamine formaldehyde (MF), urea formaldehyde (PF) and poly vinyl acetate (PVAc). Fundamental properties of ply bamboo tested according to SNI 01-5008.7-1999. This study consisted of two topics. The aim of first study was to improve mechanical properties of ply bamboo, especially in enhanching perpendicular to grain bonding strength, and the purpose of second study was to improve resistance of ply bamboo to termite attack. The treatments applied in first topic were glue taped and sewn of bamboo strands perpendicular to grain. The distances of each treatment applied in bambo strands of both glue taped and sewn were 5 cm, 10 cm, and 15 cm, respectively; whereas the treatments applied in second topic were soaking in cold water, hot water, and boiled lime solution 5 %. The results of first topic showed that MDI was the best adhesives for ply bamboo, in terms of improving physical and bonding strength properties significantly. The results also indicated that the treatments applied in ply bamboo improved physical and bonding strength properties significantly, especialy in enhancing the perpendicular to grain bonding strength. The results of second topics showed that boiled lime solution 5 % was the best treatments for ply bamboo in improving resistance to termite attack.

Key words : bamboo, adhesives, ply bamboo, physical and bonding strength properties, resistance to termite attack.


(4)

iv

iv RINGKASAN

JAJANG SURYANA. Pengembangan Bambu Lapis Berkualitas Tinggi. Di bawah bimbingan MUH. YUSRAM MASSIJAYA, YUSUF SUDO HADI and DEDE HERMAWAN.

Penelitian tentang bambu lapis yang telah dilakukan masih menghadapi beberapa permasalahan (Sulastiningsih et al, 1994; Kliwon et al., 1996; Kliwon, 1997; Nurfaidah, 2002; Kurniawan, 2002; Kristiyanti, 2004; Wahyuni, 2005; Sulastiningsih, 2005; Nugraha, 2006; Irjayanti, 2009; dan Adha, 2008). Permasalahan tersebut pada dasarnya dapat dikelompokkan menjadi dua hal, yaitu : pertama, berkaitan dengan sifat mekanis dan keteguhan rekat tegak lurus serat permukaan bambu lapis yang nilainya lebih rendah dibandingkan dengan sifat mekanis dan keteguhan rekat sejajar serat permukaan, serta kedua, berkaitan dengan masa pakai bambu lapis yang relatif singkat akibat serangan kumbang bubuk dan rayap tanah. Dua permasalahan tersebut dijadikan topik dalam penelitian ini.

Penelitian topik pertama dilakukan sebagai upaya untuk meningkatkan nilai keteguhan rekat tegak lurus permukaan bambu lapis tersebut, yaitu dengan memperkuat lembaran bilah tipis bambu (strands) ke arah tegak lurus serat menggunakan jahitan dan lakban kertas. Upaya ini diharapkan menjadi solusi untuk mengatasi permasalahan tersebut sekaligus menghasilkan produk bambu lapis yang mempunyai keteguhan rekat yang tinggi, baik ke arah sejajar serat maupun ke arah tegak lurus serat permukaan.

Bahan yang digunakan dalam penelitian topik pertama berupa bambu tali (Gigantochoa apus (J.A. dan J.H. Schultes) Kurz)), bambu andong (Gigantochloa verticillata (Willd.) Munro), dan bambu betung (Dendrocalamus asper (Schult.f.) Backer ex Heyne) yang dipanen dari wilayah Kecamatan Leuwiliang, Bogor. Ketiga jenis bambu tersebut dipilih yang sudah masak tebang.

Perekat yang digunakan meliputi tiga jenis perekat, yaitu urea formaldehyde

(UF), phenol formaldehyde (PF), dan poly vinyl acetate (PVAc). Alat yang digunakan meliputi: gergaji tangan, golok, cutter, amplas, mesin serut; alat tulis, penggaris, caliper, oven, desikator, alat kempa, timbangan, kape; dan Universal Testing Machine (UTM) merk Instron.

Lembaran bambu lapis dibuat tiga lapis (tripleks) dengan ukuran 40 cm x 40 cm x 0,4 cm dengan berat labur sebesar 200 g/m2. Suhu kempa untuk perekat UF adalah 110oC, perekat PF sebesar 140oC, dan perekat PVAc pada suhu kamar. Pengempaan panas dilakukan selama 5 menit, dengan tekanan kempa spesifik sebesar 15 kg/cm2. Khusus untuk kayu lapis yang menggunakan PVAc, dilakukan pengempaan dingin menggunakan klem selama 24 jam. Setelah proses pengempaan dilakukan, bambu lapis dikondisikan di dalam ruangan selama 2 minggu. Pengujian bambu lapis mengacu kepada SNI 01-5008.7-1999 yang meliputi kerapatan, kadar air, keteguhan rekat sejajar serat permukaan, dan keteguhan rekat sejajar lapisan inti.

Hasil penelitian topik pertama menunjukkan bahwa perlakuan jahitan dan lakban meningkatkan keteguhan rekat bambu lapis, baik pada arah sejajar serat maupun pada arah tegak lurus serat permukaan tanpa menurunkan sifat fisisnya. Perlakuan jahitan memberikan peningkatan sifat keteguhan rekat yang lebih baik dibanding perlakuan lakban, baik pada arah sejajar serat maupun arah tegak lurus serat permukaan bambu lapis. Bambu lapis terbaik dihasilkan dengan perlakuan


(5)

v jahitan dengan jarak antar jahitan sebesar 5 cm dengan menggunakan perekat PF. Bambu lapis yang dihasilkan dari penelitian ini secara umum telah memenuhi bahkan melampaui persyaratan standar baik SNI 01-5008.7-1999 maupun standar JIS A 5980- 2003.

Penelitian topik kedua dilakukan sebagai upaya untuk meningkatkan ketahanan bambu lapis terhadap serangan kumbang bubuk dan rayap. Dengan perkataan lain penelitian ini ditujukan untuk meningkatkan keawetan bambu lapis. Jenis bambu yang digunakan dalam penelitian topik ke dua sama dengan jenis bambu yang digunakan dalam penelitian topik pertama, yaitu bambu tali, andong, dan betung. Ke tiga jenis bambu tersebut adalah bambu yang sudah masak tebang. Perekat yang digunakan meliputi 4 jenis perekat yaitu poly vinyl acetate (PVAc), urea formaldehyde (UF), methylen diphenyl isocyanate (MDI), dan melamine formaldehyde (MF). Alat yang digunakan dalam penelitian topik ke dua sama dengan alat yang digunakan dalam penelitian topik pertama.

Pada penelitian topik ke dua, bilah bambu hasil serutan dengan ukuran yang sama dengan penelitian topik pertama kemudian dipisahkan menjadi empat kelompok dan diberi perlakuan sebagai berikut :

(a). Kelompok I direndam dalam air mengalir selama 2 minggu. (b). Kelompok II direbus dalam air mendidih selama 2 jam.

(c). Kelompok III direbus dalam air kapur berkonsentrasi 5% selama 2 jam. (d). Kelompok IV tanpa perlakuan tambahan (kontrol).

Lembaran bambu lapis dibuat tiga lapis (tripleks) berukuran 40 cm x 40 cm x 0,4 cm dengan berat labur sebesar 200 g/m2. Suhu kempa untuk perekat UF adalah 110 oC, perekat MDI dan PF sebesar 140oC, dan perekat PVAc pada suhu kamar. Pengempaan panas dilakukan selama 5 menit, dengan tekanan kempa spesifik sebesar 15 kg/cm2. Khusus untuk kayu lapis yang menggunakan PVAc, dilakukan pengempaan dingin menggunakan klem selama 24 jam. Setelah proses pengempaan dilakukan, bambu lapis dikondisikan di dalam ruangan selama 2 minggu. Pengujian bambu lapis mengacu pada SNI 01-5008.7-1999 yang meliputi kerapatan, kadar air, stabilitas dimensi, keteguhan rekat, keteguhan lentur patah (MOR), dan kekakuan (MOE). Selain itu dilakukan pengujian ketahanan bambu lapis terhadap serangan rayap tanah Coptotermes curvignathus. Parameter yang diuji meliputi kehilangan berat bambu lapis dan mortalitas rayap.

Hasil penelitian topik ke dua menunjukkan bahwa berdasarkan hasil analisis kimia terhadap bambu lapis sebelum dan sesudah perlakuan, ternyata perlakuan perebusan dalam air kapur 5 % terbukti mengurangi jumlah kandungan zat ekstraktif pada bambu secara significant. Hal ini berarti peluang bambu lapis untuk diserang kumbang bubuk menjadi semakin kecil, karena kumbang bubuk pada dasarnya memakan sebagian zat ekstraktif berupa pati sebagai sumber makanannya. Selain itu, berdasarkan hasil pengujian ketahanan bambu lapis terhadap serangan rayap, diketahui bahwa perebusan dalam air kapur 5 % merupakan perlakuan terbaik dilihat dari parameter kehilangan berat bambu lapis dan mortalitas rayap. Walaupun demikian, ditinjau dari aspek sifat fisis mekanis, ternyata perlakuan perendaman dalam air sungai selama dua minggu menghasilkan bambu lapis yang terbaik, sedangkan perlakukan perebusan dalam air kapur 5 % menempati urutan ke dua yang nilainya hanya sedikit lebih rendah daripada bambu lapis yang mendapat perlakuan perendaman dalam air sungai, tapi masih memenuhi persyaratan SNI 01-5008.7-1999. Menyikapi hasil ini, maka untuk tujuan mengurangi serangan kumbang bubuk dan serangan rayap tanah


(6)

vi

vi salah satu solusi untuk mendapatkan bambu lapis berkualitas tinggi, dalam konteks memiliki kekuatan yang tinggi sekaligus relatif lebih tahan terhadap serangan kumbang bubuk dan serangan rayap tanah. Perekat yang direkomendasikan untuk keperluan tersebut adalah perekat MDI.


(7)

vii

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012

Hak Cipta dilindungi Undang-undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa seizin IPB


(8)

viii

viii

PENGEMBANGAN BAMBU LAPIS BERKUALITAS TINGGI

JAJANG SURYANA

Disertasi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada

Mayor Teknologi Serat dan Komposit

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012


(9)

ix Penguji Luar Komisi pada Ujian Tertutup :

Dr.Ir. Sucahyo Sadiyo, MS

(Staf Pengajar Departemen Hasil Hutan Fakultas Kehutanan IPB)

Prof. (Ris.) Dr. Ir. Gustan Pari, MS

(Peneliti Utama di Puslibang Pengolahan Hasil Hutan, Badan Litbang Kementerian Kehutanan RI)

Penguji Luar Komisi pada Ujian Terbuka : Dr. Ir. Naresworo Nugroho, MS

(Staf Pengajar Departemen Hasil Hutan Fakultas Kehutanan IPB)

Prof. (Ris.) Dr. Drs. Adi Santoso, MS.

(Peneliti Utama di Puslibang Pengolahan Hasil Hutan, Badan Litbang Kementerian Kehutanan RI)


(10)

x


(11)

xi

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan karunia-Nya, sehingga disertasi ini dapat diselesaikan. Disertasi berjudul Pengembangan Bambu Lapis Berkualitas Tinggi disusun sebagai tahapan akhir dalam penyelesaian studi untuk meraih gelar Doktor di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Dengan selesainya disertasi ini, penulis menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Muh. Yusram Massijaya, M.S selaku ketua komisi pembimbing, serta Bapak Prof. Dr. Ir. Yusuf Sudo Hadi, M.Agr. dan Bapak Dr. Ir. Dede Hermawan, M.Sc selaku anggota komisi pembimbing. Arahan komisi pembimbing pada berbagai kesempatan, baik dalam sidang komisi maupun selama proses konsultasi disertai dengan diskusi selama pelaksanaan penelitian dan penyusunan disertasi telah mempertajam dan memperdalam kerangka berpikir ilmiah penulis.

Ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya penulis sampaikan kepada pimpinan Institut Pertanian Bogor, serta pimpinan Fakultas Kehutanan IPB dan Ketua Departemen Hasil Hutan yang telah memberikan izin dan dukungan selama penulis menempuh studi. Ucapan terima kasih yang sama disampaikan kepada seluruh Civitas Akademika Departemen Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan IPB atas bantuan dan kerjasamanya selama ini, juga tidak lupa kepada Ditjen Dikti Kemendiknas atas bantuan BPPS (Beasiswa Pendidikan Pascasarjana) selama menjalani studi serta bantuan dana untuk membiayai penelitian melalui Hibah Penelitian Strategis Nasional.

Pada kesempatan ini, penulis juga ingin menyampaikan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah memberikan kontribusi penting bagi penyusunan disertasi ini. Untuk itu penulis ingin menyampaikan terimakasih dan penghargaan yang tulus kepada Bapak Dr. Ir. Naresworo Nugroho, MS dan Bapak Prof. (Ris.) Dr. Ir. Subyakto (Bio Material LIPI) selaku penguji dalam ujian kualifikasi, Bapak Dr. Ir. Sucahyo Sadiyo, MS, Bapak Dr. Ir. Wayan Darmawan, M.Sc. selaku Koordinator Mayor Teknologi Serat dan Komposit sekaligus juga penguji pada ujian kualifikasi lisan, dan ujian tertutup, dan Bapak Prof. (Ris.) Dr. Ir. Gustan Pari, MS (Balitbang Kehutanan Kementerian Kehutanan RI) selaku penguji ujian tertutup, Bapak Dr. Ir. Naresworo Nugroho, MS dan Bapak Prof. (Ris.) Dr. Drs. Adi santoso, M.S. (Balitbang Kehutanan Kementerian Kehutanan RI) selaku penguji ujian terbuka, Bapak Dr. Ir. Wayan Darmawan M.Sc. selaku pimpinan sidang mewakili Rektor IPB, dan Bapak Dr. Ir. Sucahyo Sadiyo, MS yang mewakili Koordinator Mayor Teknologi Serat dan Komposit sekaligus juga penguji pada ujian terbuka penulis.

Dalam melaksanakan penelitian ini, penulis juga mendapat banyak bantuan dari tenaga ahli dari Bio Material LIPI, laboran dan teknisi dalam lingkup Departemen Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan IPB. Untuk itu penulis menyampaikan terima kasih kepada Bapak Sukma Surya Kusumah, S.Hut, M.Si, Bapak Abdullah dan Bapak Mahdi Mubaroq, S.Si di Laboratorium Bio Komposit, Bapak Suprihatin di Bagian Kimia Hasil Hutan, Mas Irvan di Laboratorium Rekayasa dan Desain Bangunan Kayu serta Bapak Suhada dan Bapak Kadiman di

Workshop Penggergajian. Bantuan juga penulis terima dari berbagai pihak yang telah membantu menyelesaikan penulisan disertasi ini. Untuk itu penulis


(12)

xii

xii sampaikan terima kasih kepada Azwar Massijaya, S.Si, Wahyu Hidayat, Dina S.Hut., dan Fetri atas bantuan dalam pengolahan data. Ucapan terima kasih jugas disampaikan kepada Bapak Drs. Mingan, Eri Hikmat Hakim, Diki Sutisna, Agung, dan Didin atas bantuan penyediaan bahan baku bambu dan pembuatan bilah-bilah tipis bambu.

Kepada istriku tercinta Enung Kusnaeni dan ketiga anakku tersayang Firman Mulya Nugraha, SP, Johan Maulana Yusuf, dan Tomi Rahmat Gunawan, penulis menyampaikan terimakasih yang tulus atas segala doa, dukungan, kerelaan, dan pengorbanannya selama penulis menempuh studi. Kehadiran mereka adalah karunia yang tak ternilai bagi penulis

Semoga Allah SWT membalas semua kebaikan mereka yang telah ikhlas membantu penulis dengan caranya masing-masing, dan semoga disertasi ini bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi pengolahan hasil hutan pada umumnya. Amin!

Bogor, Agustus 2012


(13)

xiii

RIWAYAT HIDUP

Penulis lahir di Garut, Jawa Barat pada tanggal 18 Oktober 1958 dari ayah bernama Sumadiraksa dan ibu Titi dan merupakan anak ke enam dari delapan bersaudara. Pendidikan sarjana ditempuh di Jurusan Teknologi Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan IPB sejak bulan April 1978 dan lulus pada bulan September 1982. Pendidikan strata magister ditempuh sejak bulan Oktober 1995 di Fakultas Kehutanan, Universitas Goettingen, Jerman dan lulus pada bulan September 1997. Penulis melanjutkan ke jenjang Doktoral pada tahun 2007 di Departemen Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan IPB dengan Mayor Teknologi Serat dan Komposit atas biaya dari BPPS (Beasiswa Pendidikan Pascasarjana) Dikti.

Setelah menamatkan pendidikan sarjana, penulis menjadi asisten dosen di Jurusan Teknologi Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan IPB sejak bulan Oktober 1982, dan sampai serkarang tetap mengabdi sebagai staf pengajar di Departemen Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan IPB. Selama menjadi staf pengajar, penulis bergabung menjadi anggota Persatuan Sarjana Kehutanan Indonesia (Persaki) sejak 1982- sekarang dan bergabung menjadi anggota Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) sejak tahun 2002- sekarang. Pada tahun 2005- 2007, penulis pernah mengabdi sebagai Sekretaris Departemen Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan IPB.

Pada tahun 2010, penulis bersama Bapak Prof. Dr.Ir. Muh. Yusram Massijaya, MS dan Bapak Sukma Surya Kusumah, S.Hut.,M.Si. mendapat penghargaan dari Business Innovation Center (BIC) yang didukung sepenuhnya oleh Kementerian Riset dan Teknologi Republik Indonesia sebagai salah satu tim peneliti dari 102 Inovasi Indonesia (102Indonesia Innovations).

Beberapa karya ilmiah yang berkaitan dengan bambu dan disertasi adalah : “Pengembangan Produk Panel Sandwich dari Bambu” sebagai penulis kedua bersama Dr. Ir. Naresworo Nugroho, Febrian, S Hut. dan Ikhsan S. Hut., dimuat di dalam Jurnal Teknologi Industri Pertanian. Vol. 19(2), 71-77, 2009, “ Pengaruh Penyambungan Bilah Bambu dan Jenis Perekat terhadap Kualitas Tiga Jenis Bambu Lapis”, dimuat dalam Jurnal Ilmu dan Teknologi Hasil Hutan (JITHH) Volume 5 No. 1 tahun 2012, “ Pengaruh Perlakuan Perendaman dan Jenis Perekat terhadap Sifat Fisis dan Mekanis Bambu Andong”, akan dimuat pada Jurnal Perenial Volume 11 No.1 Tahun 2013.

Penulis menikah dengan Enung Kusnaeni dan dikaruniai tiga orang putra yang masing-masing bernama Firman Mulya Nugraha, SP, Johan Maulana Yusuf, dan Tomi Rahmat Gunawan.


(14)

xiv

xiv

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ... viii

HALAMAN PENGESAHAN ... ix

PRAKATA ... x

RIWAYAT HIDUP ... xii

DAFTAR ISI ... .... xiii

DAFTAR TABEL ... xvi

DAFTAR GAMBAR ... xviii

PENDAHULUAN ... ... 1

Latar Belakang ... 1

Perumusan Masalah... 1

Tujuan Penelitian... 4

Manfaat Penelitian... 4

Hipotesis... 4

Novelty... 5

Kerangka Pemikiran dan Tahapan Penelitian... 5

TINJAUAN PUSTAKA ... 7

Gambaran Umum Bambu ... 7

Kelebihan Bambu Dibandingkan dengan Kayu ... Kekurangan Bambu Dibandingkan dengan Kayu ... 7 10 Struktur Anatomi Bambu ... 12

Sifat Fisis Bambu ... 14

Sifat Mekanis Bambu ... 15

Kandungan Kimia Bambu ... 16

Sifat-sifat Beberapa Jenis Bambu yang Diteliti ... Perekat ... Sudut Kontak ... Pengertian Bambu Lapis ... Produk Panel Bambu : State of the Art Review ... 16 18 29 31 31 IDENTIFIKASI BAHAN BAKU (SIFAT-SIFAT BAMBU)... 44

Pendahuluan ... 44


(15)

xv

Hasil dan pembahasan ... 47

Kesimpulan ... 58

SIFAT-SIFAT DASAR BAMBU LAPIS ... 59

Pendahuluan ... 59

Bahan dan Metode... 60

Hasil dan pembahasan ... .... 66

Kesimpulan ... 84

PENINGKATAN KUALITAS BAMBU LAPIS... 85

A. PENINGKATAN KEKUATAN BAMBU LAPIS ... 85

Pendahuluan ... 85

Bahan dan Metode... 85

Hasil dan pembahasan ... 88

Kesimpulan ... 97

B. PENINGKATAN KEAWETAN BAMBU LAPIS ... 98

Pendahuluan ... 98

Bahan dan Metode... 99

Hasil dan pembahasan ... 108

Kesimpulan ... 122

PERBANDINGAN SIFAT-SIFAT DASAR BAMBU LAPIS DENGAN KAYU LAPIS... 123

Pendahuluan ... 123

Bahan dan Metode... 123

Hasil dan pembahasan ... 124

Kesimpulan ... 134

ANALISIS TEKNIS PEMANFAATAN BAMBU LAPIS ... 135

PEMBAHASAN UMUM ... 141

KESIMPULAN DAN SARAN ... 144

Kesimpulan ... 144

Saran ... 144

DAFTAR PUSTAKA ... 145


(16)

xvi

xvi

DAFTAR TABEL

No. 2.1.

Halaman Besarnya sudut kontak pada setiap lapisan dinding sel bambu

Phyllostachys pubescens ... 31

3.1. Acuan penentuan komponen kimia bambu ... 47

3.2. Kerapatan bambu bambu tali, andong dan betung ... 48

3.3. Kadar air bambu tali, andong dan betung ... 49

3.4. Permeablitas bambu tali, andong dan betung yang dinyatakan dalam besarnya tekanan vakum (bar) ... 51

3.5. Sifat fisis dan mekanis bambu tali, andong, dan betung ... 55

3.6. Sifat kimia bambu tali, andong dan betung 57 4.1. Rasio antara tebal lapisan inti dengan lapisan muka ... 64

4.2. Persyaratan keteguhan rekat kayu lapis ... 64

4.3. Kerapatan bambu lapis ... 67

4.4. Analisis sidik ragam kerapatan bambu lapis ... 67

4.5. Kadar air bambu lapis ... 68

4.6. Analisis sidik ragam kadar air bambu lapis ... 69

4.7. Nilai pengembangan dimensi bambu lapis ... 70

4.8. Analisis keragaman pengembangan panjang bambu lapis. ... 72

4.9 Analisis keragaman pengembangan lebar bambu lapis ... 72

4.10. Analisis keragaman pengembangan tebal bambu lapis ... 73

4.11. Keteguhan rekat bambu lapis ... 74

4.12. Analisis sidik ragam keteguhan rekat sejajar serat permukaan bambu lapis ... 75

4.13. Analisis sidik ragam keteguhan rekat tegak lurus serat permukaan bambu lapis ... 76

4.14. Keteguhan patah (MOR) bambu lapis ... 79

4.15. Analisis sidik ragam keteguhan patah sejajar serat permukaan bambu lapis ... 79

4.16. Analisis sidik ragam keteguhan patah (M)R) tegak lurus serat permukaan bambu lapis ... 80

4.17. Kekakuan (MOE) bambu lapis ... 82

4.18. Analisis sidik ragam keteguhan patah sejajar serat permukaan bambu lapis ... 82

4.19. Analisis sidik ragam keteguhan patah sejajar serat permukaan bambu lapis ... 83

5.1. Rata-rata nilai kerapatan bambu lapis berbahan baku bambu tali, andong, dan betung ... 89

5.2. Analisis sidik ragam kerapatan bambu lapis ... 90

5.3. Rata-rata kadar air bambu lapis berbahan baku bambu tali, andong, dan betung ... 91


(17)

xvii 5.4. Analisis sidik ragam kadar air bambu lapis ... 91 5.5. Rata-rata keteguhan rekat sejajar serat bambu lapis

berbahan baku bambu tali, andong, dan betung ... 94 5.6. Analisis sidik ragam keteguhan rekat sejajar serat

permukaan bambu lapis ... 95 5.7. Rata-rata keteguhan rekat tegak lurus serat bambu lapis

berbahan baku bambu tali, andong, dan betung ... 96 5.8 Analisis sidik ragam keteguhan rekat tegak lurus serat

permukaan bambu lapis ... 97 5.9. Kelarutan bambu lapis sebelum dan sesudah perlakuan ... 116 5.10. Prosentase kehilangan berat bambu lapis dan bambu akibat

serangan rayap tanah ... 119 5.11. Mortalitas rayap pada bambu lapis ... 121 6.1 Perbandingan kadar air bambu lapis dengan kayu lapis ... 125 6.2. Perbandingan MOE sejajar serat bambu lapis dengan

kayu lapis ... 126 6.3. Perbandingan MOE sejajar serat bambu lapis dengan kayu lapis... 128 6.4 Perbandingan MOE sejajar serat bambu lapis dengan

kayu lapis ... 129 6.5 Perbandingan MOE tegak lurus serat bambu lapis dengan

kayu lapis ... 131 6.6 Perbandingan keteguhan rekat sejajar serat bambu lapis

dengan kayu lapis ... 132 6.7 Perbandingan keteguhan rekat tegak lurus serat bambu

lapis dengan kayu lapis ... 134 7.1 Hubungan Perekat Kayu dengan Tingkat Resistensi


(18)

xviii

xviii

DAFTAR GAMBAR

No.

Halaman 1.1. Diagram alir kerangka pemikiran Pengembangan

Bambu Lapis Berkualitas Tinggi ... 6

2.1 Struktur mikroskopis tiga jenis bambu pada bidang transversal dengan perbesaran 100 kali ... 13

2.2. Tahap permulaan reaksi pembentukan PVAc ... 20

2.3. Tahap polimerisasi reaksi pembentukan PVAc ... 20

2.4. Tahap terminasi reaksi pembentukan PVAc ... 21

2.5. Reaksi kondensasi urea dan formaldehida ... 23

2.6. Grafik hubungan antara gel-time dengan suhu ... 23

2.7. Reaksi metilolasi dengan formaldehida ... 28

2.8. Tahap kondensasi awal... 38

2.9. Tahap kondensasi lanjut ... 29

4.1. Pola pemotongan contoh uji ... 61

4.2. Contoh uji keteguhan rekat ... 63

4.3 Pengujian MOE dan MOR ... 65

5.1. Pola rekatan lembaran bilah bambu ... 89

5.2. Histogram kerapatan bambu lapis ... 108

5.3. Histogram kadar air bambu lapis ... 109

5.4. Histogram pengembangan tebal 2 jam bambu lapis ... 111

5.5. Histogram pengembangan tebal 24 jam bambu lapis ... 111

5.6. Histogram penyusutan bambu lapis ... 112

5.7. Histogram keteguhan rekat bambu lapis ... 113

5.8. Histogram keteguhan patah (MOR) bambu lapis ... 114


(19)

xix

DAFTAR LAMPIRAN

No. Halaman

1 Data kerapatan, perekat UF ... 152

2 Data kerapatan, perekat PF ... 153

3 Data kerapatan, perekat PVAc ... 154

4 Data kadar air, Perekat UF ... 155

5 Data kadar air, Perekat PF ... 156

6 Data kadar air, perekat PVAC ... 157

7 Data keteguhan rekat sejajar serat, perekat UF ... 158

8 Data keteguhan rekat sejajar serat, perekat PF... 159

9 Data keteguhan rekat sejajar serat, perekat PVAc ... 160

10 Data keteguhan rekat tegak lurus serat, perekat UF ... 161

11 Data keteguhan rekat tegak lurus serat, perekat PF... 162

12 Data keteguhan rekat tegak lurus serat, perekat PVAc ... 163

13 Data MOE sejajar serat, perekat UF ... 164

14 Data MOE sejajar serat, perekat PF... 165

15 Data MOE sejajar serat, perekat UPVAc... 166

16 Data MOE tegak lurus serat, perekat UF ... 167

17 Data MOE tegak lurus serat, perekat PF ... 168

18 Data MOE tegak lurus serat, perekat PVAc ... 169

19 Data MOR sejajar serat, perekat UF ... 170

20 Data MOR sejajar serat, perekat PF ... 171

21 Data MOR sejajar serat, perekat UPVAc ... 172


(20)

xx

xx

23 Data MOR tegak lurus serat, perekat PF ... 174

24 Data MOR tegak lurus serat, perekat PVAc ... 175

25 Class Level Information untuk kerapatan ... 176

26 Analisis keragaman kerapatan bambu lapis ... 177

27 Uji lanjut Duncan untuk kerapatan bambu lapis berdasarkan perlakuan ... 178

28 Uji lanjut Duncan untuk kerapatan bambu lapis berdasarkan jenis bambu ... 179

29 Uji lanjut Duncan untuk kerapatan bambu lapis berdasarkan perekat ... 180

30 Class Level Information untuk kadar air bambu lapis ... 181

31 Analisis keragaman kadar air bambu lapis ... 182

32 Uji lanjut Duncan untuk kadar air bambu lapis berdasarkan perlakuan ... 183

33 Uji Lanjut Duncan untuk kadar air berdasarkan perekat ... 184

34 Uji Lanjut Duncan untuk kadar air berdasarkan jenis bambu ... 185

35 Class Level Information keteguhan rekat sejajar serat ... 186

36 Analisis keragaman keteguhan rekat sejajar serat ... 187

37 Uji lanjut Duncan untuk keteguhan rekat sejajar serat berdasarkan perlakuan ... 188

38 Uji lanjut Duncan untuk keteguhan rekat sejajar serat berdasarkan perekat ... 189

39 Uji lanjut Duncan untuk keteguhan rekat sejajar serat berdasarkan jenis bambu ... 190

40 Class Level Information keteguhan rekat tegak lurus serat ... 191

41 Analisis sidik ragam Keteguhan rekat tegak lurus serat ... 192

42 Uji lanjut Duncan untuk keteguhan rekat tegak lurus serat berdasarkan perlakuan ... 193


(21)

xxi 43 Uji lanjut Duncan untuk keteguhan rekat tegak lurus

serat berdasarkan perekat ... 194 44 Uji lanjut Duncan untuk keteguhan rekat tegak lurus serat


(22)

I. PENDAHULUAN

Latar Belakang

Bambu banyak dimanfaatkan untuk berbagai keperluan dan potensial dikembangkan untuk menjadi sumber pemasok bahan baku industri. Menurut

Bamboo Network (2002), pemanfaatan bambu selama ini sangat beragam dan dapat dikelompokkan berdasarkan beberapa kategori, yaitu sebagai bahan baku untuk keperluan sandang, papan, pangan, estetika dan budaya, kesehatan, dan sebagainya.

Beberapa keunggulan bambu diantaranya kuat, keras, ringan, mudah didapat, cepat tumbuh, mudah dalam pengerjaan, dan mempunyai sifat mekanis yang lebih baik dibanding kayu pada arah sejajar serat. Melihat keunggulan tersebut memungkinkan berkembangnya produk panel bambu sebagai wujud upaya diversifikasi produk panel kayu. Bentuk diversifikasi dari bambu menghasilkan papan tiruan yang beragam bentuk meliputi papan partikel, papan serat, papan laminasi bambu ataupun bambu lapis (ply bamboo).

Penelitian tentang bambu lapis yang telah dilakukan (Sulastiningsih et al,

1994; Kliwon et al.,1996; Kliwon, 1997; Nurfaidah,2002; Kurniawan,2002; Kristiyanti, 2004; Wahyuni,2005; Sulastiningsih, 2005; Nugraha, 2006; Irjayanti, 2009; dan Adha, 2008) masih menghadapi beberapa permasalahan. Permasalahan tersebut pada dasarnya dapat dikelompokkan menjadi dua hal, yaitu : pertama, berkaitan dengan sifat mekanis dan keteguhan rekat tegak lurus serat bambu lapis yang nilainya lebih rendah dibanding sifat mekanis dan keteguhan rekat sejajar serat permukaan, serta kedua, berkaitan dengan masa pakai bambu lapis yang relatif singkat akibat serangan kumbang bubuk dan rayap tanah.

Teknik penyatuan bilah-bilah tipis bambu ke arah tegak lurus serat atau ke arah lebar lembaran selama ini dilakukan dengan menggunakan lakban pada kedua ujungnya. Teknik ini tidak memperbaiki sifat mekanis dan keteguhan rekat bambu lapis yang dihasilkan, namun hanya mempermudah proses penyatuan bilah-bilah tipis tersebut dan mempermudah proses pelaburan perekat. Akibatnya, sifat mekanis dan keteguhan rekat bambu lapis pada arah tegak lurus serat menjadi lebih rendah dibandingkan dengan sifat mekanis dan keteguhan rekat yang sejajar serat.


(23)

Beberapa peneliti mencoba untuk menggunakan bahan pengawet yang efektif untuk mengatasi permasalahan tersebut, namun bahan pengawet yang efektif tersebut ini menghadapi resistensi dari berbagai pihak karena tidak ramah lingkungan. Bahan pengawet yang lebih ramah lingkungan (misalnya boraks) akhirnya menjadi pilihan untuk mengawetkan bambu lapis tersebut, namun bahan pengawet tersebut ternyata tidak terlalu efektif untuk mengatasi serangan kumbang bubuk, artinya hanya sedikit meningkatkan masa pakai bambu lapis, yaitu dari tiga tahun menjadi sekitar lima tahun.

Teknik pengawetan bambu yang lebih ramah lingkungan sebenarnya sudah diketahui dan diterapkan oleh nenek moyang kita, yaitu dengan merendam bambu dalam kolam dalam jangka waktu enam bulan sampai satu tahun. Teknologi kuno tersebut ternyata sangat efektif mengatasikumbang bubuk (Krisdianto et al., 2006). Hal ini dapat dibuktikan dari semakin lamanya umur pakai dari bambu tersebut yang dapat mencapai puluhan tahun. Berkurangnya serangan kumbang bubuk sehingga dapat meningkatkan masa pakai bambu dapat dimengerti, karena dengan proses perendaman dalam kolam tersebut akan melarutkan sebagian zat ekstraktif yang merupakan sumber makanan kumbang bubuk. Dengan berkurangnya kandungan zat ekstraktif dalam bambu tersebut, maka serangan kumbang bubukpun menjadi berkurang.

Meskipun teknologi perendaman tersebut sangat efektif sekaligus ramah lingkungan, namun jika diterapkan pada skala industri dianggap tidak praktis, karena terlalu lamanya menunggu proses perendaman tersebut. Oleh karena itu perlu dicari teknik perendaman yang lebih cepat namun tetap efektif mengatasi serangan kumbang bubuk.

Metode perendaman bambu yang lebih singkat dapat ditempuh dengan tetap berpegangan pada konsep melarutkan pati yang terdapat dalam bambu. Metode tersebut dapat ditempuh dengan dua cara, yaitu memperkecil ukuran bambu menjadi bilah-bilah tipis sehingga kandungan pati dalam bilah-bilah tipis tersebut dapat dilarutkan lebih cepat, dan kedua mempercepat larutnya kandungan pati dalam bilah-bilah tipis bambu tersebut dalam air yang mengalir, yaitu dengan cara merendam bilah-bilah tipis bambu dalam sungai. Cara lainnya untuk mempercepat


(24)

3

larutnya kandungan pati dalam bilah-bilah tipis bambu tersebut adalah dengan merendamnya dalam air panas.

Metode lainnya untuk meningkatkan masa pakai bambu adalah dengan melapisi bilah-bilah bambu dengan kapur. Kapur (CaCO3) terbukti efektif mengatasi serangan hama pengerek. Hal ini dapat dilihat pada bangunan-bangunan di pedesaan yang menggunakan lapisan kapur pada bilik atau gedek bambu sebagai dinding atau penutup langit-langitnya. Pemberian lapisan kapur pada anyaman bilik bambu ternyata dapat menurunkan serangan kumbang bubuk, atau dengan perkataan lain meningkatkan masa pakainya anyaman bambu tersebut. Teknik pengapuran ini sebenarnya dapat diterapkan pada produk bambu lapis untuk meningkatkan umur pakai bambu lapis, namun pengaruhnya terhadap sifat fisis, mekanis dan keteguhan rekat bambu lapis yang diberi perlakukan kapur tersebut belum banyak diketahui. Pemberian larutan kapur diduga akan berpengaruh terhadap sifat mekanis dan keteguhan rekat bambu lapis, karena kapur tersebut akan berinteraksi dengan perekat, namun seberapa besar pengaruh interaksi tersebut terhadap sifat mekanis dan keteguhan rekat bambu lapis belum banyak diketahui.

Penelitian tentang bambu sebagai bahan baku industri perkayuan sangat penting dan mendesak dilakukan mengingat suplai bahan baku kayu sampai saat ini mengalami penurunan dari segi kuantitas maupun kualitasnya. Dengan demikian dari hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu solusi untuk mengatasi kekurangan bahan baku kayu sekaligus juga mengurangi ketergantungan terhadap bahan baku kayu.

Perumusan Masalah

Seperti yang telah diuraikan sebelumnya, permasalahan utama yang dihadapi terkait kualitas bambu lapis meliputi dua hal, yaitu pertama, keteguhan mekanis bambu lapis pada arah tegak lurus serat yang nilainya lebih rendah dibanding keteguhan mekanis sejajar serat, dan ke dua, masa pakai bambu lapis yang relatif singkat akibat serangan kumbang bubuk.

Solusi untuk mengatasi permasalahan tersebut dapat ditempuh dengan dua cara, yaitu : pertama meningkatkan keteguhan mekanis bambu lapis pada arah tegak lurus serat dengan cara menerapkan teknik penguatan sambungan bilah-bilih tipis bambu menjadi lembaran venir menggunakan lakban dan jahitan pada


(25)

jarak tertentu, dan kedua, dengan menerapkan metode mempercepat pelarutan kandungan pati dalam bambu dengan merendamnnya dalam air yang mengalir, air panas, dan air panas yang diberi larutan kapur.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk menghasilkan produk bambu lapis berkualitas tinggi, yaitu bambu lapis yang memiliki kekuatan dan keawetan yang tinggi.

Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Meningkatkan nilai tambah bambu, khususnya bambu tali, andong, dan betung sekaligus juga lebih meningkatkan kegunaannya.

2. Mengembangkan penggunaan bambu sebagai pengganti kayu dalam pembuatan kayu lapis sehingga dapat mengurangi ketergantungan terhadap bahan baku kayu.

3. Memberikan solusi alternatif penanggulangan kekurangan bahan baku baku bagi industri pengolahan kayu di Indonesia.

Hipotesis

Berdasarkan uraian sebelumnya, maka hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah :

1. Perlakuan jahitan dan lakban, serta jenis perekat dan bahan baku bambu berpengaruh terhadap sifat fisis dan mekanis bambu lapis.

2. Perlakuan perendaman bilah tipis bambu berpengaruh terhadap sifat fisis, sifat mekanis dan keawetan bambu lapis.

3. Bambu lapis hasil penelitian ini mempunyai sifat fisis dan mekanis yang memenuhi persyaratan SNI 01-5008.7-1999 dan standar JIS A 5980- 2003. 4. Bambu lapis hasil penelitian ini mempuyai sifat fisis dan mekanis yang lebih

baik daripada kayu lapis yang berbahan baku jenis kayu cepat tumbuh (fast growing species) dan dapat dapat dimanfaatkan untuk mensubstitusi kayu lapis tersebut.

Novelty

Novelti penelitian adalah ditemukan metode untuk memperbaiki kualitas bambu lapis yang dihasilkan, yaitu metode yang ramah lingkungan dan dapat meningkatkan sifat fisis dan mekanis serta keawetan bambu lapis.


(26)

5

Kerangka Pemikiran dan Tahapan Penelitian

Penelitian tentang Pengembangan Bambu Lapis Berkualitas Tinggi ini drancang berdasarkan kerangka pemikiran untuk memperbaiki kelemahan-kelemahan bambu lapis yang yang telah dilakukan oleh beberapa peneliti sebelumnya. Upaya perbaikan tersebut diawali dengan mengidentifikasi kelemahan-kelemahan utama bambu lapis, kemudian dilanjutkan dengan analisis yang mendalam terhadap kelemahan tersebut. Langkah selanjutnya adalah upaya pendekatan untuk mengatasinya. Agar upaya pendekatan tersebut tepat sasaran, maka perlu dijabarkan bentuk aplikasi teknologi yang memungkinkan upaya pendekatan tersebut dapat dilaksanakan secara efisien dan efektif. Langkah terakhir adalah menemukan indikator pembuktian bahwa teknologi yang diterapkan sesuai dengan harapan.

Penelitian ini dibagi menjadi beberapa tahapan. Penelitian diawali dengan identifikasi terhadap sifat-sifat bambu yang digunakan, yaitu bambu tali, andong dan betung. Tahapan berikutnya adalah melakukan identifikasi terhadap sifat-sifat bambu lapis yang telah diteliti dan melakukan analisis tentang kelemahannya. Berdasarkan analisis terhadap kelemahan tersebut dicari pendekatan solusi yang dapat mengatasinya, sehingga pada akhirnya akan didapatkan teknologi terapan ramah lingkungan yang akan menghasilkan bambu lapis berkualitas tinggi, yaitu bambu lapis yang memiliki kekuatan dan keawetan yang tinggi. Diagram alir kerangka pemikiran tersebut dalam rangka pengembangan bambu lapis berkuaslitas tinggi disajikan Pada Gambar 1.1.


(27)

Gambar 1.1 Diagram alir kerangka pemikiran Pengembangan Bambu Lapis Berkualitas Tinggi

BAHAN BAKU (BAMBU)

Identifikasi Sifat-sifat Bambu Lapis

Analisis Kelemahan

Bambu Lapis

Keteguhan rekat tegak lurus serat lebih rendah daripada keteguhan rekat sejajar serat permukaan bambu lapis

Umur pakai yang relatif singkat Identifikasi Sifat-sifat Bambu

BAMBU LAPIS (

HIGH QUALITY

)

Penguatan sambungan ke arah lebar venir

Perendaman bilah bambu untuk melarutkan pati


(28)

II. TINJAUAN PUSTAKA

Gambaran Umum Bambu

Secara teknis bambu merupakan rumput-rumputan yang termasuk ke dalam famili Graminae, sub famili Bambusoide. Lebih dari 1200 jenis bambu tumbuh di dunia. Sekitar 18 juta ha areal bambu terdistribusi di ekosistem hutan dunia, yang sebagian besar tumbuh di Asia, Afrika dan Amerika Latin. (Bamboo Network, 2002). Namun demikian hanya beberapa jenis saja yang berarti secara ekonomis. Di Indonesia tercatat 143 jenis bambu yang tersebar di areal hutan maupun pekarangan-pekarangan rumah di pedesaan, 60 jenis diantaranya tumbuh di Pulau Jawa (Widjaya, 2001). Belum ada data statistik terbaru yang menunjukkan banyaknya persediaan bambu di Indonesia, namun berdasarkan data Biro Pusat Statistik tahun 2003, persediaan bambu di Indonesia berjumlah 37.926.278 rumpun yang sebagian besar (76,83 %) terdapat di Pulau Jawa, yaitu sebanyak 29.139.388 rumpun, sedangkan persediaan bambu di luar Pulau Jawa berjumlah 8.786.890 rumpun atau hanya sekitar 23,17 % (Sukadaryati, 2006).

Kelebihan Bambu Dibandingkan dengan Kayu

Bambu mempunyai kelebihan dibanding kayu. Kelebihan bambu dibanding kayu antara lain adalah sebagai berikut (Bamboo Network, 2002; Sukadaryati, 2006; dan Kackdir.blogspot.com., 2012):

1. Bambu merupakan salah satu jenis tanaman perintis sehingga untuk tumbuh tidak membutuhkan persyaratan tumbuh yang terlalu rumit sebagaimana tanaman lain. Tumbuh mulai dari dataran rendah sampai dataran tinggi sesuai dengan jenis.

2. Memiliki umur yang panjang dengan siklus hidupnya berkisar 30-100 tahun bahkan lebih, tergantung dari jenisnya. Ada jenis yang setelah berbunga langsung mati; kelebihannya pengembangbiakan secara generatif untuk jenis ini relatif sulit, namun pembiakan secara vegetatif sangat mudah. Jenis lain ada yang setiap tahunnya berbunga, kelebihannya pembiakan secara generatif relatif mudah dan vegetatif relatif sulit.

3. Secara fisik bambu memiliki kelebihan yaitu serat panjang dan rapat, lentur tidak mudah patah, dinding keras dan memiliki keteguhan tarik yang tinggi. 4. Kecepatan pertumbuhan bambu dalam menyelesaikan masa pertumbuhan


(29)

menyamainya. Dari beberapa hasil penelitian, kecepatan pertumbuhan vegetatif bambu dalam 24 jam berkisar 30 cm – 120 cm.

5. Nilai lebih lain dari bambu dibandingkan kayu adalah sekali tanam, produksi dapat dilakukan secara berulang-ulang, berbeda dengan kayu sekali tanam kemudian produksi selanjutnya perlu menaman lagi. Sifat bambu yang demikian merupakan prospek yang sangat cerah secara ekonomis dan menguntungkan secara investasi. Walaupun demikian agar produksi bambu dapat dilakukan secara berulang-ulang dalam pengelolaannya harus memegang dan memperhatikan titik kritis dari bambu, pengelolaan dalam budidaya bambu harus mengacu pada azas kelestarian (kelestarian produksi dan kelestarian sumberdaya) dan penaganannya harus mendasarkan diri pada silvikultur bambu.

6. Secara ekonomis, produk-produk yang berasal dari bambu memiliki nilai yang cukup baik. Banyak produk-produk yang dihasilkan mencakup mulai dari sandang (serat untuk pembuatan pakaian, dan lain-lain), papan (papan lembaran, lantai, meubel, dan lain-lain), pangan (rebung kalengan, kripik, aneka jenis makanan olahan, dan lain-lain), estetika dan budaya (kertas budaya, pernik-pernik artifisial ruangan, dan lain-lain), kesehatan (arang, vinegar, dan lain-lain) dan sebagainya. Dengan pengolahan berteknologi tinggi, bambu dapat dijadikan kertas kualitas nomor satu, bahan obat-obatan kesehatan berkualitas, dan sebagainya. Masih banyak lagi potensi bambu yang terpendam dan belum tergali, tentunya dibutuhkan suatu inovasi tehnologi kedepan guna dapat mewujudkan potensi tersebut.

7. Bambu adalah penyerap karbon yang baik. Bambu menyerap karbon dioksida dan melepaskan oksigen 30 % lebih banyak ke atmosfir dibanding pohon-pohon pada umumnya.

8. Regerasi bambu yang cepat. Ketika bambu dipanen, tunas-tunas baru dari sistem perakarannya akan tumbuh terus. Bambu tidak memerlukan pupuk untuk tumbuh dan berkembang. Serasah daun bambu akan menjadi humus dan memberikan nutrisi yang diperlukan.

9. Tanaman bambu mempunyai ketahanan yang luar biasa. Rumpun bambu yang telah dibakar, masih dapat tumbuh lagi, bahkan pada saat Hiroshima


(30)

9

dijatuhi bom atom sampai rata dengan tanah, bambu adalah satu-satunya jenis tanaman yang masih dapat bertahan hidup.

10. Bambu berbentuk pipa sehingga momen kelembabannya tinggi, oleh karena itu bambu cukup baik untuk memikul momen lentur. Ditambah dengan sifat bambu yang elastis, struktur bambu mempunyai ketahan yang tinggi baik terhadap angin maupun gempa.

11. Bambu mencegah terjadinya erosi. Setelah hutan kayu ditebang, humus di bagian tanah atas akan mudah terkikis dan ikut hanyut terbawa aliran air. Hal ini tidak berlaku bagi bambu, karena sistem perakarannya akan terus tumbuh bahkan setelah pemanenan. Tunas baru akan muncul dan akar bambu masih mampu menjaga kestabilan tanah dan mempertahankan nutrisi yang ada. 12. Bambu ternyata anti bakteri. Bambu mengandung bio-agent yang dikenal

sebagai kun bambu yang bertindak sebagai zat anti bakteri. Zat ini sangat efektif untuk menghambat dan mencegah lebih dari 70 % bakteri, dan zat ini bisa terdapat dalam bentuk alami bambu atau dalam bentuk kain. Bambu tidak memerlukan pestisida atau pupuk kimia untuk pertumbuhannya yang sehat sehingga tidak mengherankan jika bambu jarang terserang hama atau terinfeksi oleh patogen berkat hasil kerja dari kun bambu tersebut.

13. Bambu dapat menghilangkan bau tak sedap. Arang bambu dapat menghilangkan bau tak sedap karena dapat menyerap sejumlah gas dan bakteri yang meyebabkan bau. Pengharum bambu merupakan alternatif yang baik untuk orang-orang yang alergi terhadap aroma parfum kimia.

14. Serat kain dari bambu dapat mempertahankan suhu. Karakteristik isolasi dari serat bambu membuatnya bermanfaat untuk mempertahankan suhu tubuh penggunanya.

15. Bambu relatif ringan. Bentuk bambu yang seperti pipa menjadikan kerapatan batang bambu menjadi lebih rendah dibanding kayu untuk diameter yang sama.

16. Bambu relatif murah. Untuk ukuran diameter yang sama bambu relatif lebih murah dibanding kayu.

17. Rebung sebagai sumber makanan. Rebung adalah makanan yang rendah lemak, rendah kalori, serta rendah kolesterol. Rebung juga merupakan sumber serat dan potasium yang sangat baik.


(31)

Kekurangan Bambu Dibandingkan dengan Kayu

Selain mempunyai kelebihan, bambu juga memiliki sejumlah kekurangan. Kekurangan atau kelemahan bambu tersebut antara lain sebagai berikut (Sukadaryati 2006; Wancik, 2009; dan Suryana et al., 2010):

1. Bambu mempunyai durabilitas yang sangat rendah, bambu sangat potensial untuk diserang kumbang bubuk, sehingga bangunan atau perabot yang terbuat dari bambu tidak awet. Oleh karena itu rangka bangunan dari bambu, yang tidak diawetkan, hanya dipandang sebagai komponen bangunan sementara yang hanya tahan tidak lebih dari 5 tahun. Hal ini merupakan kendala yang sangat serius karena minat orang pada bambu jadi berkurang. Betapa ganasnya kumbang bubuk ini dapat diberikan contoh kejadian di pabrik angklung Saung Udjo yang berlokasi di Bandung. Perusahaan ini tiap tahun mendatangkan bambu sampai sekitar 12 truk, tetapi hampir 40 persen dari bambu tersebut telah rusak diserang kumbang bubuk sebelum sempat dijadikan angklung. Mengingat produk bambu kini sudah mulai menjadi komoditi ekspor, maka upaya untuk mencegah serangan bubuk perlu memperoleh perhatian secara khusus agar barang-barang yang terbuat dari bambu tidak mengecewakan pemakainya.

2. Pemanenan bambu memerlukan cara yang khusus. Batang bambu yang tua terdapat di bagian dalam rumpun. Untuk memanen bambu yang tua harus sedikit mengorbankan bagian batang bambu yang muda. Untuk memperkecil jumlah bambu muda yang dikorbankan, langkah pertama yang harus dilakukan adalah dengan cara melakukan penebangan bambu berbentuk juring sebagai jalan masuk menuju bambu yang telah tua.

3. Pemanen bambu tidak dapat dilakukan setiap waktu. Untuk mendapatkan bambu yang rendah kandungan patinya, maka pemanenan bambu harus dilakukan pada musim kemarau.

4. Bambu banyak mengandung silika. Hal ini akan menyebabkan mata pisau yang digunakan untuk memotong, membelah dan menyerut menjadi lebih cepat tumpul.

5. Bambu mengandung buku (node). Jarak antar buku (internode) pada setiap batang tidak sama. Kondisi ini menyulitkan mendapatkan panjang bambu bebas buku yang seragam.


(32)

11

6. Batang bambu berbentuk pipa. Tebal dinding sel bambu bervariasi namun secara umum relatif tipis (0,1-1,2 cm). Hal ini ditambah lagi dengan diameter bambu yang relatif kecil dan adanya buku, menyulitkan proses pengupasannya menjadi lembaran venir (memerlukan alat rotary cut yang khusus). Lazimnya, untuk mendapatkan bilah tipis bambu (yang akan disatukan menjadi lembaran), dilakukan proses penyayatan (slicing cut). Adanya lubang di tengah batang dan relatif tipisnya dinding bambu tersebut membuat produksi venir per batang bambu sedikit.

7. Bambu mempunyai keteguhan tarik tegak lurus serat yang rendah (mudah dibelah). Akibatnya lembaran tipis bambu yang dibentuk dari penyatuan bilah-bilah tipis bambu ke arah tegak lurus serat atau ke arah lebar jika tanpa perlakukan penguatan akan mempunyai keteguhan tarik tegak lurus serat yang sangat rendah.

8. Bambu relatif banyak mengandung pati. Kalau pati ini tidak dihilangkan atau dikurangi, selain akan meningkatkan serangan kumbang bubuk, juga akan akan memperlemah keteguhan rekatnya terutama untuk perekat yang biasa menggunakan ekstender, karena akibat adanya pati tersebut, proporsi ekstender dalam perekat akan meningkat.

9. Kekuatan sambungan bambu yang pada umumnya sangat rendah karena perangkaian batang-batang struktur bambu sering kali dilakukan secara konvensional memakai paku, pasak, atau tali ijuk. Pada perangkaian batang-batang struktur dari bambu yang dilakukan dengan paku atau pasak, maka serat yang sejajar dengan kekuatan geser yang rendah menjadikan bambu mudah pecah karena paku atau pasak. Penyambungan memakai tali sangat tergantung pada keterampilan pelaksana. Kekuatan sambungan hanya didasarkan pada kekuatan gesek antara tali dan bambu atau antara bambu yang satu dengan bambu lainnya Dengan demikian penyambungan bambu secara konvensional berkekuatan rendah, sehingga kekuatan bambu tidak dapat dimanfaatkan secara optimal. Pada saat tali kendor sebagai akibat kembang susut karena perubahan temperatur, kekuatan gesek itu akan turun, dan bangunan dapat runtuh. Oleh karena itu sambungan bambu yang memakai tali perlu dicek secara berkala, dan tali harus selalu disetel agar tidak kendor.


(33)

10. Sifat bambu yang mudah terbakar. Sekalipun ada cara-cara untuk menjadikan bambu tahan terhadap api, namun biaya yang dikeluarkan relatif mahal.

11. Kelangkaan buku petunjuk perancangan atau standar berkaitan dengan bangunan yang terbuat dari bambu.

12. Bersifat sosial berkaitan dengan opini masyarakat yang sering menghubungkan bambu dengan kemiskinan, sehingga orang segan tinggal di rumah bambu karena takut dianggap miskin. Orang baru mau tinggal di rumah bambu jika tidak ada pilihan lain. Untuk mengatasi kendala ini maka perlu dilibatkan arsitek, agar rumah yang dibuat dari bambu terlihat menarik. Upaya ini tampak pada bangunan-bangunan wisata yang berupa bungalow dan rumah makan yang berhasil menarik wisatawan mancanegara.

Struktur Anatomi Bambu

Berbeda dengan kayu, bambu tidak memiliki elemen-elemen sel radial. Batang bambu berbentuk pipa yang pada jarak tertentu terdapat sekat (node) (Liese, 1985, Dransfield dan Widjaya, 1995 ; danYap, 1997).

Di dalam dan di luar buluh bambu dilapisi oleh oleh kutikula yang keras. Batang mencapai tinggi lengkap dalam setengah tahun pertama dan dalam dua tahun batang menjadi dewasa. Menurut Yap (1997), batang dewasa pada bagian bawah lebih banyak mengandung lignin daripada bagian atas, dan bagian dalam lebih sedikit mengandung lignin daripada bagian luar.

Batang bambu terdiri dari sekitar 50 % parenkim, 40% serat dan 10 % sel penghubung (sel pembuluh dan sel pembuluh tapis). Parenkim dan sel penghubung lebih banyak di temukan pada bagian dalam batang, sedangkan serat lebih banyak terdapat pada bagian luarnya. Serat pada ruas penghubung antar buku (internode) memiliki kecenderungan bertambah besar mulai dari bawah ke atas sedangkan parenkimnya makin berkurang (Dransfield dan Widjaja, 1995). Ilustrasi struktur anatomis tiga jenis bambu pada bidang transversal yang digunakan dalam penelitian ini disajikan pada Gambar 2.1.


(34)

13

(a) (b (c)

Keterangan: (a) bambu betung; (b) bambu andong; (c) bambu tali

Gambar 2.1 Struktur mikroskopis tiga jenis bambu pada bidang transversal dengan perbesaran 100 kali

Sumber : Kusumah (2009)

Ikatan Vaskuler

Ikatan vaskuler bambu terdiri dari xylem dan satu atau dua proto xylem yang kecil dan dua meta xylem yang besar (40-120 mikron). Pori bagian dalam batang lebih besar di bambu bagian luar batang. Pori dan phloem di kelilingi oleh selubung sklerenkim yang berbeda dalam bentuk, ukuran dan lokasi menurut posisi di dalam batang dan jenis bambu. Ikatan vaskuler yang memiliki bentuk, ukuran, susunan dan jumlah ruang memberikan ciri suatu jenis bambu (Liese, 1985).

Serabut (Fiber)

Serabut dicirikan oleh sklerenkim yang berada di sekitar ikatan vaskuler. Panjang dari serabut berbeda-beda tergantung dari spesies, akan tetapi terjadi peningkatan dari panjang serat di bagian luar dan maksimum di bagian tengah dan menurun pada bagian dalam batang. Serat pada bagian dalamnya lebih pendek sekitar 20-40 % di banding serat bagian luar (Dransfield dan Widjaja, 1995).

Menurut Leise (1985), serabut di dalam bambu terdapat sebagai tudung pada ikatan vaskuler dan merupakan 40-50 % dari jaringan total atau 60-70% dari berat batang. Panjang serta tergantung spesies dan perbandingan antara panjang dan lebar serabut bervariasi antara 150:1 dan 250:1.

Parenkim

Menurut Liese (1985), sel parenkim merupakan jaringan di dalam batang bambu dan dapat dibedakan atas dua macam, yaitu sel parenkim panjang yang


(35)

umumnya tersusun vertikal dan sel parenkim pendek yang terletak berselang-seling di antaranya. Sel parenkim panjang memiliki dinding sel yang lebih tebal dan menjalani proses lignifikasi pada awal pertumbuhan puncak, sedangkan sel parenkim pendek berdinding tipis dengan sitoplasma yang tetap aktif serta tetap mengalami proses lignifikasi walaupun telah dewasa. Sel-sel parenkim saling berhubungan satu dengan yang lain melalui noktah sederhana yang terletak pada dinding longitudinal.

Sifat Fisis Bambu

Menurut Tamolang et al., (1980) BJ bambu cenderung naik ke arah ujung. Selanjutnya Liese (1980) menyatakan BJ bambu bervariasi dari 0.5-0.8, dengan bagian luar dari batang mempunyai BJ lebih besar dari bagian dalamnya.

Kadar Air

Kadar air bambu sangat penting karena dapat mempengaruhi sifat-sifat mekanis bambu. Kadar air dari bambu dewasa segar berkisar antara 50 - 99 % dan pada bambu muda berkisar dari 80-150 %, sedangkan kadar air bambu kering berkisar antara 12-8 %. Kadar air batang bambu meningkat dari bawah ke atas dan dari umur 1-3 tahun, selanjutnya menurun pada bambu yang berumur lebih dari 3 tahun. Kadar air meningkat pada musim penghujan jika dibandingkan dengan musim kemarau (Dransfield dan Widjaja, 1995).

Perbedaan kadar air pada musim penghujan dan musim kemarau dapat mencapai 100%. Selama musim kemarau, bagian atas bambu mengandung hanya kira-kira 50 % air (Yap, 1997). Tamolang et al. (1980) menyatakan bambu muda mengalami penurunan kadar air lebih cepat dari bambu dewasa selama proses pengeringan, yang dapat menyebabkan terjadinya pecah atau belah pada batang.

Berat Jenis

Menurut Liese (1985), berat jenis bambu bervariasi dari 0,5 sampai 0,8 dan bagian luar dari batang mempunyai berat jenis lebih besar dari pada bagian dalamnya. Berat jenis akan meningkat di dalam batang dari bagian bawah sampai bagian atas. Dransfield dan Widjaya (1995) menyatakan bahwa berat jenis pada buku bambu lebih besar (0,6-0,8) dibanding antar buku bambu (0,5-0,7).


(36)

15

Penyusutan

Tidak seperti kayu, bambu langsung menyusut setelah dipanen, tetapi tidak berlangsung seragam. Penyusutan dipengaruhi oleh tebal dinding dan diameter batang bambu (Liese, 1985). Pengeringan bambu dewasa segar hingga kadar air 20 % menyebabkan penyusutan sebesar 4-14 % pada tebal dinding dan 3-12 % pada diameternya. Penyusutan lebih besar terjadi pada arah radial daripada arah tangensialnya (sekitar 7 % berbanding 6 %) tetapi perbedaan penyusutan antara bagian dalam dengan bagian luar dinding batang bambu sangat besar. Penyusutan pada arah lingitudinal kurang dari 0.5 % (Dransfield dan Widjaja, 1995).

Sifat Mekanis Bambu

Bowyer et.al (2003) menyatakan bahwa kekuatan dan ketahanan terhadap perubahan satu bahan disebut sebagai sifat-sifat mekanis. Kekuatan adalah kemampuan suatu bahan untuk memikul beban/gaya yang mengenainya. Ketahanan terhadap perubahan bentuk menentukan banyaknya bahan yag dimanfaatkan, terpuntir atau terlengkungkan oleh beban yang mengenainya.

Sifat kekuatan meningkat dengan adanya penurunan kadar air dan berhubungan erat dengan posisi dalam batang. Lama pembebanan sangat mempengaruhi sifat fisis dan mekanis bambu (Janssen, 1980).

Lebih lanjut Janssen (1981) menyatakan bahwa kekuatan mekanis sangat bergantung pada lapisan sklerenkim, yang dimaksud dengan lapisan sklerenkim adalah jaringan yang berdinding tebal dan kuat terdiri dari sel-sel dewasa yang telah mati. Hal ini sejalan dengan Liese (1980) yang menyatakan bahwa sifat mekanis bambu lebih ditentukan oleh keberadaan ikatan vaskulernya (dimana sklerenkim terdapat didalamnya) dan bukan pada parenkim. Hingga saat ini, parenkim masih belum ditemukan kegunaannya.

Selain itu, kekuatan mekanis juga dipengaruhi oleh kulit buluh yang mengandung silika, kehadiran silika meningkatkan kekuatan. Dransfield dan Widjaja (1995) menyatakan bahwa kandungan silika batang bambu umumnya lebih tinggi dari kayu sebesar sekitar 0.5-4.0 %. Disamping itu, jenis bambu yang berbeda akan memberikan sifat mekanis yang meliputi keteguhan lentur, keteguhan tarik dan keteguhan tekan yang berbeda pula.


(37)

Kandungan Kimia Bambu

Kandungan kimia bambu tergantung pada jenis, kondisi tempat tumbuh, umur bambu dan lokasi pada batang. Kandungan pati paling besar terdapat pada musim hujan, dan kandungan pati terbesar terdapat pada bagian dalam batang (Liese, 1985).

Lebih lanjut Liese (1985) menjelaskan bahwa komponen utama kimia bambu terdiri dari selulosa, hemiselulosa, lignin, dan zat ekstraktif seperti resin, lilin, dan garam. Kandungan selulosa bambu berkisar 53,6-54,4 %, pentosan 30,8 -32,9 %, lignin 20,0-32,9 %, abu 1,1-1,2 %, dan zat ekstraktif yang larut dalam alkohol benzene 7,5-9,3 %.

Zat eksraktif bambu tali yang larut dalam air dingin, air panas, alkohol benzene, dan NaOH 1% adalah berturut-turut sebesar : 4,6 %, 5,3 %, 2,5 %, dan 23,1 %. Kelarutan bambu andong dalam air dingin, air panas, alkohol benzene, dan NaOH 1% adalah berturut-turut sebesar : 9,9 %, 10,7 %, 6,9 %, dan 28,0 %, sedangkan kelarutan bambu betung dalam air dingin, air panas, alkohol benzene, dan NaOH 1% adalah berturut-turut sebesar :4,5%, 6,1%, 0,9 % ,dan 22,2 % (Gusmalina dan Sumadiwangsa, 1988).

Sifat-sifat Beberapa Jenis Bambu yang Diteliti Bambu Tali

Bambu tali (Gigantochoa apus (J.A. dan J.H. Schultes) Kurz)) termasuk tanaman simpodial, berdiri tegak, tinggi batang 8-30 m dengan diameter buluh 4-13 cm dan tebalnya dapat mencapai 1,0 cm. Buluhnya berwarna hijau terang sampai kuning dengan lapisan lilin pada bagian bawah bukunya ketika masih muda. Selain itu terdapat kuping pelepah buluh yang sangat kecil sehingga hampir tidak kelihatan. Percabangannya tidak besar. Cabang primer tumbuh dengan baik yang kemudian diikuti oleh cabang-cabang berikutnya. Pada buku-bukunya tampak adanya penonjolan dan berwarna agak kuning dengan miang coklat kehitam-hitaman yang melekat.

Bambu ini mudah dibedakan dari jenis bambu lainnya karena pelepah buluhnya selalu melekat pada buluhnya meskipun umurnya sudah tua. Panjang ruas 20-75 cm, buku sedikit membengkok pada pada bagian luar. Panjang serat sekitar 0,9-5,5 mm. Diameter serat 5,3 µm, tebal dinding sel 1-3 µm. Kadar air


(38)

17

rata-rata batang bambu segar adalah 54,3 % dan batang bambu kering 15,1 %. Komponen kimia dari batang bambu tali antara lain holoselulosa 52,1-54,7 %, pentosan 19,1-19,3 %, lignin 24,8 - 25,8 %, kadar abu 2,7-2,9 %, silika 1,8-5,2 %. Kelarutan dalam air dingin 5,2 %, air panas 5,4-6,45 %, alkohol-benzen 1,4-3,2 % dan NaOH 1 % sebesar 21,2-25,1 %. Kadar pati bervariasi antara 0,24-0,71 %, tergantung musim. Pada musim hujan kandungan patinya paling besar. (Disarikan dari Sastrapradja dkk, 1980, Dransfeld dan Widjaja, 1995).

Bambu Andong

Bambu andong (Gigantochloa pseudoarundinasea) adalah jenis kedua yang terpenting di Indonesia setelah bambu tali. Bambu andong atau bambu gombong memiliki sinonim antara lain Gigantochloa pseudoarrundinaceace (Steudel) Widjaja, Bambusa pseudoarundinaceae Steudel dan Gigantochloa maxima Kurtz, dan memiliki nama daerah berupa pring sunda, awi andong (Sunda), buluh danto (Padang, Sumatera). Bambu ini mempunyai buluh yang berwarna hijau kekuning-kuningan dengan garis-garis kuning yang sejajar dengan buluhnya. Rumpunya tidak terlalu rapat. Tinggi buluhnya dapat 7-30 m , diameter 5-13 cm, dengan ketebalan dinding sampai 1,5 cm. Internodes panjangnya mencapai 40-60 cm Pelebah buluhnya mempunyai daun yang berbentuk lanset. Kuping pelepah buluhnya kecil.

Bambu andong termasuk kedalam bambu simpodial yang rimbun dengan pusat rumpunnya lebih tinggi dari permukaan tanah disekitarnya tapi tidak beraturan. Dimensi serat bambu andong adalah : panjang 2,7-3,27 mm, diameter serat 24,55-37,97 µm dengan jumlah serat bertambah sekitar 10 % dari pangkal ke ujung buluh. Berat jenis 0,5-0,7 (antar buku) dan 0,6-0,8 (buku). Kandungan kimia bambu andong terdiri dari holoselulosa 61-71 %, pentosan 16-21 %, lignin 20-30 %, kadar abu 3 %. Kelarutannya dalam air dingin 4,6 %, air panas 6 %, alkohol-benzen 23 %. (Disarikan dari Sastrapradja dkk, 1980; Dransfeld dan Widjaja, 1995, dan Widjaja, 2001).

Bambu Betung

Bambu betung (Dendrocalamus asper (Schult.f.) Backer ex Heyne) dalam bahasa Sunda dikenal dengan awi bitung. Bambu jenis ini mempunyai rumpun yang sedikit rapat, tinggi buluh dapat mencapai 20-30 m dan berdiameter 8-20


(39)

cm. Buku-bukunya mempunyai akar pendek. Panjang ruas 40-60 cm, tebal dinding buluh dapat mencapai 2 cm. Cabang-cabangnya hanya terdapat pada buku-buku bagian atas dengan cabang primer lebih besar dari pada cabang yang lainnya. Pelepah buluh panjangnya 20-55 cm dan mudah jatuh dengan miang yang berwarna coklat muda keputih-putihan.

Panjang serat sekitar 3,78 mm, diameter 19 µm, tebal lumen 7 µm, tebal dinding sel 6 µm, dengan berat jenis 0,7. Kadar airnya pada kondisi basah bervariasi antara 76 % (pada bagian bawah) dan 36 % (pada bagian atas). Nilai penyusutan arah radial adalah 5-7 %, sedangkan penyusutan arah tangensial 3,5-5 %. Kandungan kimia bambu betung terdiri dari holoselulosa 53 %, pentosan 19 %, lignin 25 %, kadar abu 3 %. Kelarutannya dalam air dingin 4,5 %, air panas 6 %, alkohol - benzen 1 % dan dalam NaOH 1 % sebesar 22 % (Dransfield dan Widjaja, 1995).

Perekat Pengertian Perekat

Perekat (adhesive) adalah suatu substansi yang dapat menyatukan dua buah benda atau lebih melalui ikatan permukaan. Dilihat dari reaksi perekat terhadap panas, maka perekat dapat dibedakan atas perekat thermossetting dan perekat

theroplastik. Perekat thermossetting merupakan perekat yang dapat mengeras bila terkena panas atau reaksi kimia dengan sebuah katalisator yang disebut hardener

dan bersifat irreversible. Perekat jenis ini jika sudah mengeras tidak dapat lagi menjadi lunak. Contoh perekat yang termasuk jenis ini adalah polyvinil adhesive, cellulose adhesive dan acrylic resin adhesive (Pizzi, 1983).

Dalam penggunaan perekat harus dipilih perekat yang dapat memberikan ikatan yang baik dalam jangka waktu yang panjang pada suatu struktur. Perekat yang ideal untuk kayu mempunyai persyaratan tertentu yaitu harganya murah, mempunyai kadaluarsa yang panjang, cepat mengeras dan cepat matang hanya dengan temperatur yang rendah, mempunyai ketahanan yang tinggi terhadap kelembaban, tahan panas dan mikroorganisme, serta dapat dipergunakan untuk berbagai keperluan (Ruhendi dan Widarmana, 1983).


(40)

19

Perekat merupakan suatu substansi yang memiliki kemampuan untuk mempersatukan bahan sejenis atau tidak sejenis melalui ikatan permukaan.

Selanjutnya, Pizzi (1983) membedakan perekat berdasarkan reaksi terhadap panas menjadi perekat thermosetting dan thermoplastic.

 Perekat thermosetting merupakan perekat yang dapat mengeras bila terkena panas atau reaksi kimia dengan katalisator (hardener) tertentu dan reaksinya bersifat tidak dapat balik. Perekat jenis ini jika sudah mengeras tidak dapat lagi menjadi lunak. Contoh perekat ini antara lain phenol formaldehid, urea formaldehid, melamine formaldehid dan isocyanate.

 Perekat thermoplastic adalah perekat yang dapat lunak jika terkena panas dan kembali mengeras jika suhu rendah. Contoh perekat ini antara lain polyvinyl-acetate, cellulose adhesives, arilic resin adhesives.

Perekat Polyvinyl Asetat (PVAc)

Menurut Ruhendi dan Hadi (1997), polyvinyl asetat diperoleh dari polimerisasi vinyl asetat dengan cara polimerisasi massa, polimerisasi larutan, maupun polimerisasi emulsi. Yang paling banyak digunakan dalam proses produksi adalah polimerisasi emulsi. Reaksinya dimulai dan dikontrol dengan penggunaan radikal bebas atau katalis ionik, sedangkan untuk tujuan percobaan dapat dilakukan dengan metoda katalis, termasuk katalis redox atau aktivasi dengan cahaya. Secara garis besar reaksinya ada tiga tahap yaitu permulaan, pertumbuhan polimer dan terminasi.

Pada tahap permulaan atau tahap awal dimulai dengan adanya radikal bebas dari peroksida seperti benzoil, lauroil, hidrogen peroksida, serta initator lainnya, seperti persulfat, seperti pada Gambar 2.2.


(41)

Tahap kedua yaitu polimerisasi berlangsung terus dengan adanya gugus aktif di ujung molekul polimer tersebut, seperti terlihat pada Gambar 2.3 berikut.

Gambar 2.3. Tahap polimerisasi reaksi pembentukan PVAc

Pada tahap terminasi terjadi apabila readikal bebas satu bertemu dengan radikal bebas lainnya, seperti pada Gambar 2.4 berikut.


(42)

21

Gambar 2.4. Tahap terminasi reaksi pembentukan PVAc

Tingkat polimerisasi ini akan sangat berpengaruh terhadap sifat PVAc-nya dimana berat molekul yang tinggi akan memberikan kekentalan yang lebih tinggi juga. Untuk perekat kayu biasanya digunakan PVAc dengan berat molekul sekitar 100.000 yang akan larut dalam toluena dan pelarut organik lainnya.

Kelebihan polyvinyl asetat yaitu mudah penanganannya, storage life-nya tidak terbatas, tahan terhadap mikroorganisme, tidak mengakibatkan bercak noda pada kayu, mempunyai gap-filling hampir sama dengan perekat hewani serta tekanan kempanya rendah.

Kekurangan polyvinyl asetat yaitu sangat sensitif terhadap air, sehingga penggunaanya hanya untuk interior saja, kekuatan rekatnya menurun cepat dengan adanya panas dan air serta sifat visco-elastisitasnya tidak baik, sehingga creep


(43)

Menurut Shield (1970) dalam Ruhendi dkk. (2007), polyvinyl asetat merupakan perekat sintesis yang bersifat termoplastik. Masa tunggu adalah 10 sampai 15 menit. Perekat ini kurang tahan terhadap cuaca dan kelembaban tertentu, serta digunakan untuk pemakainan interior.

Pizzi (1983) menyatakan bahwa faktor-faktor yang harus diperhatikan dalam pengunaan perekat polyvinyl asetat meliputi komponen-komponen perekat (substrate), permukaan bahan yang direkat, viskositas, masa tunggu, kondisi pemakaian, kondisi penyimpanan dan harga.

Menurut Pizzi (1983), perekat polyvinyl asetat tidak memerlukan kempa panas. Dalam penggunaan secara luas dapat menghasilkan keteguhan rekat yang baik, dengan biaya yang relatif rendah. Keuntungan utama dari polyvinyl asetat melebihi perekat urea formaldehida, karena kemampuannya menghasilkan ikatan rekat yang cepat pada suhu kamar. Keuntungan lainnya yaitu dapat menghindari kempa panas yang memerlukan biaya tinggi. Perekat polyvinyl asetat mempunyai sifat termoplastik, yang penting untuk menjaga tekanan kempa selama pembentukan ikatan sampai ikatan rekat mempunyai kekuatan yang memadai.

Penggunaan khusus polyvinyl asetat dipakai pada pembuatan kayu lapis dan papan blok, karena perekat ini mampu meningkatkan kekuatan rekat secara ekstrim dan cepat (Pizzi, 1983).

Perekat Urea Formaldehida

Menurut Ruhendi, urea formaldehida merupakan hasil kondensasi dari urea dan formaldehida dengan perbandingan molar 1: (1,5-2). Pada tahap awalnya terbentuk mono-, di-, tri-, dan tetra-methyloluera, reaksinya secara singkat sebagai tampak pada Gambar 2.5.


(44)

23

Urea formaldehida ini larut dalam air dan proses pengerasannya akan terbentuk pola ikatan jaringan (cross-link). Urea formaldehida akan cepat mengeras dengan naiknya temperatur dan/atau turunnya pH. Hubungan antara gel-time dengan suhu terlihat pada Gambar 2.6.

Gambar 2.6. Grafik hubungan antara gel-time dengan suhu

Apabila pH turun secara drastis maka pot life-nya sangat pendek, dan kekuatan rekat menurun dengan pengaruh waktu. Hal ini dapat diatasi dengan penggunaan garam amonium dari asam kuat, dan sering digunakan adalah amonium chlorida. Dengan adanya dua faktor yang sangat berperan dalam proses pengerasan urea formaldehida ini, maka perekat ini dapat dikempa panas maupun dikempa dingin, yaitu dengan cara mengatur keasaman perekatnya.

Kelebihan urea formaldehida yaitu warnanya putih sehingga tidak memberikan warna gelap pada waktu penggunaannya, dapat dicampur perekat melamin formaldehida agar kualitas perekatnya lebih baik, harganya relatif lebih murah dibandingkan perekat sintesis lainnya serta than terhadap biodetriorasi dan air dingin. Kekurangan urea formaldehida yaitu kurang tahan terhadap pengaruh asam dan basa serta penggunaannya terbatas untuk interior saja.


(45)

Perekat Phenol Formaldehida

Phenol formaldehida merupakan hasil kondensasi formaldehida dengan monohidrik fenol phenol, termasuk phenol itu sendiri, creosol dan xylenol. Phenol formaldehida ini dapat dibagi menjadi dua kelas, yaitu resol yang bersifat

thermosetting dan novolak yang bersifat thermoplastic. Perbedaan kedua kelas ini disebabkan oleh perbandingan molar phenol dan formaldehida, serta katalis atau kondisi yang terjadi selama berlangsungnya reaksi (Ruhendi dan Hadi, 1977).

Secara lebih rinci, Pizzi (1994) menjelaskan bahwa gugus fungsi phenol dapat bereaksi dengan formaldehida dalam dua posisi gugus hidroksil, yaitu ortho dan para. Pada tahap pertama, phenol berkondensasi dengan formaldehida baik dalam kondisi asam mapun basa membentuk phenol metilol. Reaksi awal dapat terjadi pada posisi 2, 4 atau 6 gugus hidroksil. Pada tahap kedua, reaksi melibatkan gugus metilol dengan phenol atau phenol metilol yang tersedia yang pada awalnya membentuk formasi polimer linier dan selanjutnya berubah menjadi struktur yang bercabang pada kondisi perekat yang sudah mengeras.

Resol yang banyak digunakan sebagai perekat kayu diperoleh dengan memepergunakan katalis basa disertai dengan formaldehida yang berlebih. Molekul resol mengandung gugus metilol yang reaktif sifatnya. Pemanasan menyebabkan gugus metilol yang reaktif tersebut berkondensasi membentuk molekul besar tanpa penambahan bahan pengeras. Fungsi phenol sebagai

nuckleophil diperkuat oleh ionisasi phenol tersebut tanpa mempengaruhi aktifitas aldehidnya (Pizzi, 1994).

Menurut Pizzi (1994), dalam proses kondensasi phenol dan formaldehida yang menggunakan katalis basa, reaksi substitusi awalnya (contohnya

formaldehida yang menyerang phenol) lebih cepat dibanding reaksi kondensasi lanjutannya. Oleh karena itu dapat dimengerti bahwa alkohol phenolik merupakan senyawa antara yang paling banyak terbentuk. Alkohol phenolik yang

mengandung gugus metilol aktif tersebut dapat berkondensasi baik dengan gugus metilol lain (membentuk ikatan ether) maupun gugus hidroksil (ortho atau para) membentuk jembatan methylen. Dalam kedua reaksi tersebut air dihilangkan.

Lebih lanjut Pizzi (1994) menjelaskan bahwa dalam resol terdapat sejumlah kecil phenol sederhana, alkohol phenolik, formaldehida, dan air. Pemanasan atau pengasaman perekat tersebut menyebabkan ikatan silang melalui gugus alkohol


(46)

25

phenolik yang tidak terkondensasi dan dapat juga melalui reaksi formaldehida yang dilepaskan akibat pecahnya ikatan ether.

Seperti halnya novolak, metilol yang terbentuk berkondensasi dengan dengan phenol lainnya membentuk polyphenol jembatan methylen. Selain itu, polyphenol jembatan methylen tersebut dalam kondisi basa bereaksi dengan cepat dengan formaldehida menghasilkan turunan metilol polyphenol. Gugus metilol dapat bereaksi satu dengan lainnya, melepaskan air dan membentuk ikatan ether-dimethylen CH2 - O - CH2. Hal ini hanya akan terjadi jika rasio formaldehida/phenol tinggi (Pizzi).

Phenol Formaldehida (PF) merupakan polimer sintetis pertama yang sudah dikembangkan secara komesial pada awal abad ke-20 (Pizzi, 1994; dan Detlefsen 2002, diacu dalam Frihart 2005). Perekat ini banyak digunakan dalam papan laminasi dan papan komposit karena memiliki daya tahan yang luar biasa, sehingga menghasilkan perekat yang baik untuk kayu, kekuatan polimer yang tinggi, dan stabilitas perekat yang baik. Faktor-faktor yang dapat menyebabkan perekat tidak bagus (daya ikatan buruk) yaitu polimerisasi yang tidak sempurna akibat waktu pemberian suhu yang sangat pendek, berat molekul yang terlalu tinggi, keterbasahan dan penetrasi yang buruk, waktu assembly time yang terlalu lama, dan garis rekat yang berlebihan (Frihart 2005).

Kelebihan perekat PF yaitu tahan terhadap perlakuan air, tahan terhadap kelembaban dan temperatur tinggi, tahan terhadap bakteri, jamur, rayap, dan mikroorganisme serta tahan terhadap bahan kimia seperti minyak, basa, dan bahan pengawet kayu. Adapun kelemahan PF yaitu memberikan warna yang gelap, kadar air kayu harus lebih rendah dari perekat UF atau perekat lainnya, serta garis perekatan yang relatif lebih tebal dan mudah patah (Ruhendi et al. 2007).

Perekat Isocyanate (MDI)

Senyawa kimia organik isocyanate dasar dikembangkan di Jerman pada akhir tahun 1930 dan perekat berdasarkan isocyanate digunakan pertama kali di pertengahan tahun 1940. Penggunaan diisocyanate sebagai perekat kayu sangat menarik perhatian, walaupun diisocyanate telah digunakan 30 tahun yang lalu pada pembuatan polyurethane untuk berbagai produk industri, penggunaannya sebagai perekat kayu merupakan hal yang baru. Pelopor penggunaan diisocyanate


(47)

konsekuensi dari pekerjaannya, pembuatan papan partikel komersial dengan menggunakan diisocyanate dimulai di Jerman pada tahun 1975 (Pizzi 1983).

Polymeric methylene diphenyl diisocyanate (pMDI) dikembangkan sebagai perekat kayu dengan kekuatan tinggi dan tahan lama. Perekat ini sekarang digunakan secara luas dalam pembuatan produk komposit (Vick 1999). MDI

binder bereaksi dengan molekul yang mengandung hidrogen aktif untuk menghasilkan molekul dasar polyurethane dan polyurea. Sumber hidrogen aktif dapat berikatan dengan gugus hidroksil didalam kayu, ekstrakstif kayu, dan atau resin kayu sebagaimana halnya kadar air dalam kayu. Serbuk gergaji yang berasal dari papan yang dibuat dengan MDI aman dan tidak berbahaya bagi kesehatan.

Perekat isocyanate berbasis pada reaktifitas yang tinggi dari radikal

isocyanate, ─N=C=O. Ikatan dengan polaritas yang kuat dari senyawa yang juga membawa radikal ini tidak hanya mempunyai potensi daya rekat yang baik tetapi juga potensial untuk membentuk ikatan kovalen dengan substrat yang mempunyai gugus hidrogen reaktif. Jika molekul memuat 2 radikal isocyanate seperti

diisocyanate, kombinasi perekat akan memiliki kemampuan untuk membentuk ikatan kohesi melalui polimerisasi. Reaksi bifungsional isocyanate dengan bifungsional alkohol menghasilkan molekul linier, dimana molekul-molekul tri- dan tetra fungsional memungkinkan terjadinya ikatan silang. Sifat material ini dapat bervariasi dengan kisaran yang luas dari elastomer ke rigid, yang memungkinkannya untuk dibuat berbagai macam produk (Marra 1992).

Isocyanate berbentuk liquid yang mengandung isomer dan oligomer dari

methylene diphenyl diisocyanate. Perekat ini berwarna coklat terang dan garis perekatannya tidak terlihat. Diperlukan temperatur dan tekanan yang tinggi untuk menghasilkan perkembangan ikatan yang terbaik pada papan partikel. Penggunaan perekat isocyanate saat ini umumnya untuk produk flakeboard dan OSB. Sifat kekuatan perekat ini yaitu kekuatan kering dan basah tinggi, sangat tahan terhadap air dan udara lembab, serta dapat direkat pada besi dan plastik (Vick 1999).

Keuntungan menggunakan perekat isocyanate dibandingkan perekat berbahan dasar resin adalah (Marra 1992) :

1. Dibutuhkan dalam jumlah sedikit untuk memproduksi papan dengan kekuatan yang sama


(48)

27

3. Memungkinkan penggunaan kempa yang lebih cepat 4. Lebih toleran pada partikel berkadar air tinggi 5. Energi untuk pengeringan lebih sedikit dibutuhkan 6. Stabilitas dimensi papan yang dihasilkan lebih stabil 7. Tidak ada emisi formaldehyde.

Perekat Melamin Formaldehida

Melamin adalah bahan kimia berupa kristal berwarna putih yang kelarutannya sangat rendah dalam air, alkohol atau pelarut umum lainnya. Tapi melamin ini dapat larut dalam formalin yang dihangatkan dan membentuk polimer yang bersifat resin dengan cara dipanaskan dan kondisinya agak basa.

Perbandingan antara melamin dan formaldehida adalah 1 : (1,5-3,5), pH antara 8-9, dan temperaturnya mendekati titik didih larutan tersebut, kondisi inilah yang digunakan dalam reaksinya. Bila pH dalam reaksinya di bawah enam maka polimer yang tidak larut akan terbentuk dengan cepat.

Menurut Utomo (2011) reaksi pembentukan resin melamin formaldehida merupakan reaksi polikondensasi yang sampai pada tahap akhir penggunaannya terdiri dari tiga tahap. Tahap pertama adalah reaksi metilolasi dengan formaldehida membentuk melamin termetilolasi . Molekul melamin mengandung tiga gugus amina primer dan setiap gugus tersebut mempunyai potensi untuk bereaksi dengan dua molekul formaldehida hingga dapat membentuk produk heksametilolmelamin, jika rasio formaldehida/melamin cukup tinggi. Dalam medium alkali (pH >9) maka produk yang dihasilkan secara esensial adalah trimetilolmelamin dan heksametilolmelamin. Tahap kedua adalah tahap kondensasi membentuk jembatan ether dan melepaskan air atau pembentukan jembatan metilen dengan melepaskan formaldehida, bergantung pada pH. Sebagai contoh kondensasi dari molekul monometilolmelamin. Tahap akhir adalah tahap kondensasi lanjut yang pada akhirnya membentuk produk polimer terikat silang dengan struktur jejaring tiga dimensi. Reaksi metilosasi dengan formaldehida, tahap kondensi awal, dan tahap kondensasi lanjut bertururt-turut disajikan pada Gambar 2.7, 2.8, dan 2.9.


(49)

Gambar 2.7. Reaksi metilolasi dengan formaldehida

Gambar 2.8 Tahap kondensasi awal

Gambar 2.9 Tahap kondensasi lanjut

Melamin formaldehida dapat dicampur dengan urea formaldehida untuk mengurangi biaya penggunaannya. Dengan perbandingan 1 : 1 antara urea formaldehida dan melamin formaldehida, maka dapat dihasilkan garis rekat yang tahan air dengan kekuatan 90 % dibanding dengan melamin formaldehida murni.


(50)

29

Melamin formaldehida yang proses pengerasannya dengan kempa panas dapat menghasilkan garis rekat yang relatif tahan terhadap pengaruh air dingin maupun air panas.

Melamin formaldehida dapat megeras pada suhu yang jauh lebih rendah daripada urea formaldehida dengan cara menurunkan pH-nya tetapi hasil garis rekatnya kurang memuaskan, dimana kohesi dan adhesinya rendah. Selain itu, melamin formaldehida ini dapat dikempa panas dengan suhu 120-130 °C tanpa

hardeners dengan waktu yang relatif singkat dan hasilnya memuaskan. Namun demikian, pada umumnya kempa panas yang diberikan adalah sekitar 100 °C dengan adanya penambahan hardeners berupa asam atau garam amonium dari asam kuat.

Kelebihan melamin formaldehida adalah cukup tahan terhadap air panas, yakni dapat direbus dalam air selama tiga jam, stabilitas terhadap panasnya tinggi, dapat mengeras pada suhu yang sangat rendah serta dapat digunakan untuk impregnasi.

Kekurangan melamin formaldehida adalah harganya relatif mahal dibanding urea formaldehida.

Sudut Kontak

Pengukuran sudut kontak sering dijadikan dasar untuk menduga sifat-sifat keterbasahan (wettability) bahan. Terdapat tiga metode utama yang dapat diterapkan untuk menganalisis sudut kontak, yaitu metode tetesan sessile (sessile drop method), pelat Wilhelmy atau metode sudut kontak dinamis, dan metode sumbu (wicking method) untuk bahan berbentuk serbuk (Li,2004).

Lebih lanjut Li (2004) menjelaskan bahwa dia telah menggunakan metode tetesan sessile untuk mengukur sudut kontak perekat UF pada berbagai lapisan dinding sel bambu Phyllostachys pubescens, yaitu pada bagian permukaan epidermis atau kulit bambu, bagian luar di bawah kulit , bagian tengah, dan bagian dalam atau kutikula bambu. Potongan bambu dari bagian pangkal dengan panjang 2,5 cm dan tebal 1,2 cm direndam dalam air destilata selama empat jam. Lapisan setebal 60 mikron dari setiap bagian dinding bambu disayat


(51)

menggunakan pisau mikrotone. Lapisan bambu segar yang sangat tipis tersebut selanjutnya dijepit diantara dua gelas preparat dan kemudian dikeringkan di dalam oven pada suhu 40oC selama 24 jam untuk diukur sudut kontaknya. Cairan perekat UF sebanyak 0,1 ml diteteskan di atas permukaan lapisan tipis bambu tersebut menggunakan pipet berukuran 5 ml. Begitu tetesan menempel pada permukaan lapisan, foto bentuk tetesan diambil setiap interval waktu 30 detik selama 210 detik menggunakan kamera digital SPOT yang dihubungkan dengan mikroskop dan komputer personal.

Hasil penelitian Li (2004) menunjukkan bahwa setiap lapisan dinding bambu Phyllostachys pubescens mempunyai tingkat keterbasahan (wettability) yang berbeda. Tingkat keterbasahan terbaik terdapat pada bagian tengah (middle part) dinding sel bambu yang ditunjukkan oleh nilai sudut kontak tetesan perekat UF pada permukaan lapisan tipis bambu tersebut yang paling kecil, sedangkan tingkat keterbasahan terjelek terdapat pada lapisan permukaan epidermis yang ditunjukkan dari nilai sudut kontak tetesan perekat UF yang paling besar. Sudut kontak akan mengecil dengan bertambahnya waktu kontak antara perekat UF dengan permukaan setiap lapisan tipis bambu tersebut. Data selengkapnya hasil pengujian sudut kontak tersebut disajikan pada Tabel 2.1.

Tabel 2.1 Besarnya sudut kontak pada setiap lapisan dinding sel bambu

Phyllostachys pubescens

Lapisan Nilai sudut kontak (derajat) berdasarnya waktu kontak

0 30 60 90 120 150 180 210

Epidermis 88 80 78 77 76 76 75 75

Dalam 74 72 71 70 69 68 67 67

Luar 74 61 59 55 54 54 54 54

Tengah 59 44 41 37 36 35 34 34

Sumber : Li (2004)

Pengertian Bambu Lapis

Bambu lapis adalah suatu produk panel yang diperoleh dengan cara menyusun bersilangan tegak lurus beberapa lembar lapisan tipis bambu (yang disatukan baik menggunakan lakban, jahitan ataupun anyaman) yang diikat dengan perekat (Sulastiningsih et al. 2005, Suryana et al. 2009). Bambu lapis merupakan analog dari produk kayu lapis dengan bahan baku venir penyusunnya berupa bambu.


(1)

Lampiran 39 Uji lanjut Duncan untuk keteguhan rekat sejajar serat berdasarkan jenis bambu

The SAS System 19:22 Thursday, June 21, 2012 5 The GLM Procedure

Duncan's Multiple Range Test for Keteguhan_rekat_ss NOTE: This test controls the Type I comparisonwise error rate, not the

experimentwise error rate.

Alpha 0.05

Error Degrees of Freedom 147 Error Mean Square 8.217427 Number of Means 2 3 Critical Range 1.017 1.071

Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping Mean N Bambu

A 16.9792 62 c2 A

A 16.4660 62 c1 A

A 16.3155 62 c3


(2)

191 Lampiran 40. Class Level Information keteguhan rekat tegak lurus serat

The SAS System 19:34 Thursday, June 21, 2012 4 The GLM Procedure

Class Level Information Class Levels Values

Perlakuan 7 a1 a2 a3 a4 a5 a6 a7 Perekat 3 b1 b2 b3

Bambu 3 c1 c2 c3

Number of Observations Read 189 Number of Observations Used 187


(3)

Lampiran 41. Analisis sidik ragam Keteguhan rekat tegak lurus serat The SAS System 19:34 Thursday, June 21, 2012 5

Dependent Variable: Keteguhan_rekat_TLS Sum of

Source DF Squares Mean Square F Value Pr > F Model 38 5982.036060 157.422002 19.38 <.0001 Error 148 1201.892412 8.120895

Corrected Total 186 7183.928472

R-Square Coeff Var Root MSE Keteguhan_rekat_TLS Mean 0.832697 17.74958 2.849718 16.05513

Source DF Type I SS Mean Square F Value Pr > F Perlakuan 6 4146.811317 691.135219 85.11 <.0001 Perekat 2 1300.431829 650.215914 80.07 <.0001 Bambu 2 19.148212 9.574106 1.18 0.3105 Perlakuan*Perekat 12 266.779017 22.231585 2.74 0.0022 Perlakuan*Bambu 12 77.511982 6.459332 0.80 0.6547 Perekat*Bambu 4 171.353703 42.838426 5.28 0.0005 Source DF Type III SS Mean Square F Value Pr > F Perlakuan 6 4170.622726 695.103788 85.59 <.0001 Perekat 2 1324.787725 662.393863 81.57 <.0001 Bambu 2 22.142978 11.071489 1.36 0.2590 Perlakuan*Perekat 12 263.335033 21.944586 2.70 0.0025 Perlakuan*Bambu 12 77.725114 6.477093 0.80 0.6524 Perekat*Bambu 4 171.353703 42.838426 5.28 0.0005


(4)

193 Lampiran 42. Uji lanjut Duncan untuk keteguhan rekat tegak lurus serat berdasarkan

perlakuan

The SAS System 19:34 Thursday, June 21, 2012 6 The GLM Procedure

Duncan's Multiple Range Test for Keteguhan_rekat_TLS NOTE: This test controls the Type I comparisonwise error rate, not the

experimentwise erro rate

Alpha 0.05

Error Degrees of Freedom 148 Error Mean Square 8.120895 Harmonic Mean of Cell Sizes 26.70652 NOTE: Cell sizes are not equal.

Number of Means 2 3 4 5 6 7

Critical Range 1.541 1.622 1.676 1.716 1.746 1.771 Means with the same letter are not significantly different.

Duncan Grouping Mean N Perlakuan A 26.0144 27 a2 B 17.4356 27 a3 B

B 17.0154 26 a5 C 14.7842 26 a6 C

C 14.4100 27 a4 D 12.6233 27 a7 E 10.0915 27 a1


(5)

Lampiran 43. Uji lanjut Duncan untuk keteguhan rekat tegak lurus serat berdasarkan perekat

The SAS System 19:34 Thursday, June 21, 2012 7 The GLM Procedure

Duncan's Multiple Range Test for Keteguhan_rekat_TLS NOTE: This test controls the Type I comparisonwise error rate, not the

experimentwise error rate.

Alpha 0.05

Error Degrees of Freedom 148 Error Mean Square 8.120895 Harmonic Mean of Cell Sizes 62.32979 NOTE: Cell sizes are not equal. Number of Means 2 3 Critical Range 1.009 1.062

Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping Mean N Perekat

A 19.7640 62 b2 B 14.5129 63 b1 B


(6)

195 Lampiran 44. Uji lanjut Duncan untuk keteguhan rekat tegak lurus serat berdasarkan

jenis bambu

The SAS System 19:34 Thursday, June 21, 2012 8 The GLM Procedure

Duncan's Multiple Range Test for Keteguhan_rekat_TLS NOTE: This test controls the Type I comparisonwise error rate, not the

experimentwise error rate.

Alpha 0.05

Error Degrees of Freedom 148 Error Mean Square 8.120895 Harmonic Mean of Cell Sizes 62.32979 NOTE: Cell sizes are not equal. Number of Means 2 3 Critical Range 1.009 1.062

Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping Mean N Bambu

A 16.3926 62 c1 A

A 16.0295 63 c2 A