Pengembangan tebal Penyusutan Stabilitas Dimensi

terjadi pelepasan air, sebaliknya apabila suhu dan kelembaban di sekitarnya lebih tinggi maka akan terjadi penyerapan air. Hasil analisis sidik ragam kadar air dengan tingkat kepercayaan 99 menunjukkan bahwa perlakuan perendaman tidak berpengaruh terhadap kadar air bambu bambu lapis, sedangkan jenis perekat sangat berpengaruh terhadap kadar air bambu lapis.Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa bambu lapis dengan perekat MDI memiliki nilai kadar air yang lebih kecil dibandingkan dengan bambu lapis dengan perekat lainnya. Hal ini disebabkan karena struktur kimia dari perekat MDI memiliki tangan OH bebas lebih sedikit dibandingkan dengan perekat lainnya. Nilai kadar air bambu lapis yang dibuat memenuhi baik standar SNI 01-5008.7-1999 maupun JIS A 5980- 2003.

1.3. Stabilitas Dimensi

Stabilitas dimensi menggambarkan kekuatan daya rekat perekat terhadap bahan yang direkatnya akibat pengaruh lingkungan sekitarnya, salah satunya air. Bila ikatan perekat mudah lepas akibat terkena air, maka bambu lapis akan mudah untuk mengembang yang akan mengakibatkan daya pakai bambu lapis berkurang. Untuk mengetahui stabilitas dimensi bambu lapis dilakukan pengujian, dengan melakukan perendaman dalam air selama 2 jam pertama dilanjutkan sampai 24 jam. Stabilitas dimensi ditunjukkan dengan nilai pengembangan dan penyusutan dimensi tebal .

1.3.1. Pengembangan tebal

Berdasarkan hasil uji lanjut Duncan, bambu lapis yang tanpa perlakuan perendaman kontrol pada semua jenis perekat memiliki nilai pengembangan tebal yang lebih kecil dibandingkan dengan bambu lapis lainnya, baik pada perendaman 2 jam maupun pada perendaman 24 jam. Hal ini disebabkan karena pemberian perlakuan pada bilah bambu menyebabkan penghambatan ikatan perekat dengan bambu. Secara lengkap grafik nilai pengembangan tebal disajikan pada Gambar 5.4 dan Gambar 5.5. Keterangan : U = Urea Formaldehida, M = Melamin Formaldehida, I = Methylen Diphenyl Isocyanate, V = PVAc, Rb = Rebus, Rn = Rendam, Kn = Kontrol, Kp = Kapur, T = Tali, B = Betung, A = Andong Gambar 5.4 Histogram pengembangan tebal 2 jam bambu lapis Keterangan : U = Urea Formaldehida, M = Melamin Formaldehida, I = Methylen Dimethyl Isocyanate, V = PVAc, Rb = Rebus, Rn = Rendam, Kn = Kontrol, Kp = Kapur, T = Tali, B = Betung, A = Andong Gambar 5.5 Histogram pengembangan tebal 24 jam bambu lapis Bambu lapis dengan perlakuan pendahuluan perendaman dan perekat MDI memiliki nilai pengembangan tebal 2 jam yang lebih kecil dibandingkan dengan bambu lapis pada perlakuan lainnya, sedangkan pada perendaman 24 jam, bambu lapis yang memiliki nilai pengembangan tebal yang lebih kecil dibandingkan dengan bambu lapis lainnya adalah bambu lapis pada perlakuan perebusan air panas dengan perekat MF dan perendaman dalam air sungai dengan perekat MDI.

1.3.2. Penyusutan

Berdasarkan hasil pengujian diperoleh nilai penyusutan bambu lapis dengan nilai yan berbeda nyata antara perlakuan awal dan jenis perekat yang digunakan. Bambu lapis yang menggunakan bambu betung dan perekat MDI dengan perlakuan perendaman dalam air sungai memiliki nilai penyusutan yang lebih baik dibandingkan dengan bambu lapis lainnya, sedangkan bambu lapis kontrol yang menggunakan bambu betung dan perekat PVAc memiliki nilai penyusutan terjelek. Keterangan : U = Urea Formaldehida, M = Melamin Formaldehida, I = Methylen Diphenyl Isocyanate, V = PVAc, Rb = Rebus, Rn = Rendam, Kn = Kontrol, Kp = Kapur, T = Tali, B = Betung, A = Andong Gambar 5.6 Histogram penyusutan bambu lapis 2. Sifat Mekanis Bambu Lapis 2.1. Keteguhan Rekat Berdasarkan hasil pengujian, bambu lapis dari bambu tali dengan perekat MDI tanpa perlakuan memiliki nilai keteguhan rekat yang lebih tinggi dibandingkan dengan bambu lapis lainnya serta sesuai dengan nilai keteguhan rekat yang disyaratkan dalam standar SNI 01-5008.7-1999 tentang kayu lapis struktural, seperti yang disajikan pada Gambar 5.7. Hal ini terjadi karena rantai ikatan antara perekat dan bilah bambu pada bambu lapis kontrol terbentuk dengan maksimal. Ikatan fisik yang optimal antara perekat dengan bambu pada bambu lapis kontrol disebabkan karena tidak adanya material lain pada permukaan bilah bambu yang menghambat proses terjadinya ikatan antar perekat dengan bambu, seperti yang terjadi pada bambu lapis dari bambu tali dengan perekat MDI dan perlakuan direndam dalam air kapur, larutan kapur sebagian menempel di permukaan bilah bambu, sehingga menghambat perekat terpenetrasi dengan sempurna ke bagian dalam bambu. Selain daripada hal tersebut di atas, bambu lapis dengan perekat MDI memiliki nilai keteguhan rekat yang lebih tinggi dibandingkan dengan bambu lapis yang menggunakan perekat jenis lainnya. Hal ini terjadi karena ikatan yang terjadi antara perekat MDI dengan bambu merupakan ikatan kimia yaitu ikatan antara senyawa karbon C pada struktur kimia perekat MDI dengan senyawa OH bebas pada struktur kimia selulosa bambu, sehingga terdapat gaya vander wals yang lebih besar dibandingkan dengan ikatan fisik yang terjadi pada perekat lainnya. Keterangan : U = Urea Formaldehida, M = Melamin Formaldehida, I = Methylen Diphenyl Isocyanate, V = PVAc, Rb = Rebus, Rn = Rendam, Kn = Kontrol, Kp = Kapur,T = Tali, B = Betung, A = Andong Gambar 5.7 Histogram keteguhan rekat bambu lapis 2.2. Keteguhan Patah MOR Berdasarkan hasil penelitian diperoleh bahwa nilai rata-rata MOR bambu lapis dari bambu betung pada semua perlakuan dan jenis perekat lebih tinggi dibandingkan dengan bambu lapis dari jenis bambu lainnya serta memenuhi SNI 01-5008.7-1999 standar SNI 01-5008.7-1999 tentang kayu lapis struktural, yaitu: 1071,41 kgfcm 2 bambu betung; 833,38 kgfcm 2 bambu andong; 497,48 kgfcm 2 bambu tali. Hal ini disebabkan oleh kerapatan bambu betung lebih besar dibandingkan kedua jenis bambu lainnya, seperti yang ditulis pada hasil penelitian Haygreen dan Bowyer, 1982 yang dikutip oleh Bowyer et al. 2003 yang menyatakan bahwa semakin tinggi kerapatan suatu bahan maka semakin tinggi nilai kekuatan bahan tersebut. Keterangan : U = Urea Formaldehida, M = Melamin Formaldehida, I = Methylen Dimethyl Isocyanate, V = PVAc, Rb = Rebus, Rn = Rendam, Kn = Kontrol, Kp = Kapur, T = Tali, B = Betung, A = Andong Gambar 5.8 Histogram keteguhan patah MOR bambu lapis Bambu lapis dengan perlakuan awal perendaman dalam air dingin memiliki rata-rata nilai MOR yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan bambu lapis lainnya seperti yang terlihat pada Gambar 5.8. Hal ini terjadi karena efektivitas pencegahan serangan kumbang bubuk dengan perlakuan perendaman lebih baik dibandingkan dengan perlakuan awal lainnya, karena selain bambu terlindungi dari serangan bubuk yang merusak ikatan selulosa bambu juga tidak merusak struktur sel bambu, oleh karena itu bilah bambu yang digunakan dalam bambu lapis memberikan kekuatan patah MOR yang lebih baik dibandingkan dengan bambu lapis dari bambu dengan perlakuan lainnya.

2.3. Keteguhan Lentur MOE