Berdasarkan data yang tercantum pada Tabel 5.7 tersebut, nilai keteguhan rekat sejajar serat umumnya telah memenuhi standar JIS A 5980- 2003 yang
mensyaratkan keteguhan rekat bambu lapis sejajar serat permukaan sebesar 8,24 kgfcm
2
, kecuali untuk bambu lapis kontrol berbahan baku bambu tali dan andong yang dibuat dengan menggunakan perekat UF dan PVAc. Jika mengacu pada
standar SNI 01-5008.7-1999, maka semua contoh uji bambu lapis yang dibuat telah memenuhi standar yang hanya mensyaratkan keteguhan rekat bambu lapis
sebesar 7,0 kgfcm
2
. Tabel 5.6 Analisis sidik ragam keteguhan rekat sejajar serat permukaan bambu lapis
Sumber DB JK
KT F
Sig. Perlakuan
6 3564,313895
594,052316 91,00 ,0001
Perekat 2
829,611331 414,805666 63,54 ,0001
Bambu 2
14,935531 7,467766 1,14
0,3218
tn
PerlakuanPerekat 12
221,969543 18,497462 2,83
0,0018 PerlakuanBambu
12 94,240743
7,853396 1,20 0,2881
tn
PerekatBambu PerlakuanPerekatBambu
4 24
278,358605 385,881876
69,589651 16,078412
10,66 2,46
,0001 0,0007
Kesalahan percobaan 126
822,507067 6,527834
Total terkoreksi 188
6211,818592 Keterangan : DB = Derajat Bebas, JK =Jumlah Kuadrat , KT : Kuadrat Tengah
=nyata : sangat nyata , tn : tidak nyata
2.2. Keteguhan rekat tegak lurus serat permukaan
Nilai rataan keteguhan rekat tegak lurus bambu lapis berkisar antara 8,32 sampai dengan 30,16 kgfcm
2
. Nilai terendah terjadi pada bambu lapis kontrol yang berbahan baku bambu tali dengan menggunakan perekat PVAc, sedangkan
nilai tertinggi terdapat pada bambu lapis yang berbahan baku bambu tali dan bambu andong yang masing-masing menggunakan perekat PF dengan perlakuan
berupa jahitan yang berjarak 5 cm. Data selengkapnya tentang keteguhan rekat bambu lapis dan analisis sidik ragamnya berturut-turut disajikan pada Tabel 5.9
dan Tabel 5.10. Berdasarkan data pada Tabel 5.9 tersebut, nampak bahwa perlakuan berupa
jahitan maupun pemberian lakban mempunyai kecenderungan memberikan nilai
keteguhan rekat tegak lurus serat permukaan yang lebih baik daripada kontrol pada setiap jenis bambu dan jenis perekat. Analisi sidik ragam seperti tercantum
pada Tabel 5.10 menegaskan bahwa perlakuan pemberian jahitan dan lakban serta jenis perekat ternyata dapat meningkatkan nilai keteguhan rekat tegak lurus serat
bambu lapis. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa perlakuan jahitan memberikan nilai keteguhan rekat yang lebih baik daripada pemberian lakban.
Pemberian jahitan maupun lakban yang lebih rapat, ternyata memberikan nilai keteguhan rekat tegak lurus serat yang lebih baik dibanding pemberian perlakuan
jahitan dan lakban yang lebih jarang. Dengan perkataan lain, dalam konteks peneltian ini, semakin kecil jarak jahitan maupun jarak lakban, akan memberikan
nilai keteguhan rekat tegak lurus serat yang lebih tinggi. Hal ini mudah dimengerti mengingat jahitan akan meningkatkan kekuatan tarik tegak lurus serat
daripada lakban, karena kekuatan tarik benang 4 kgf lebih besar daripada kekuatan tarik lakban 2 kgf.
Tabel 5.7 Rata-rata keteguhan rekat tegak lurus serat bambu lapis berbahan baku bambu tali, andong, dan betung
No. Perlakuan dan
perekat Nilai rata- rata
Tali Andong
Betung 1
UF Kontrol 9,10 0,92
8,22 0,77 8,46 0,16
2 UF J5
26,25 2.98 24,16 2,10
24,48 3,03 3
UFJ10 16,40 1,99
14,26 1,96 16,22 1,81
4 UFJ15
18,16 2,02 14,12 2,77
14,65 2,19 5
UFL5 14,40 2,23
12,48 2,11 13,72 2,11
6 UFL10
13,20 1,09 11,65 2,29
12,67 2,03 7
UFL15 11,16 0,92
10,72 2,02 10,82 1,48
8 PF Kontrol
12,14 1,74 12,14 2,12
14,72 2,02 9
PFJ5 30,00 3,31
30,00 3,06 30,16 2,68
10 PFJ10
20,16 1,71 20,16 1,73
22,14 1,89 11
PFJ15 16,44 2,10
16,44 2,64 17,16 1,86
12 PFL5
21,25 1,32 21,25 2,41
24,16 1,96 13
PFL10 18,22 0,92
18,22 2,79 18,22 2,94
14 PFL15
15,60 1,21 15,60 2,30
16,81 2,02 15
PVAc Kontrol 8,32 0,81
8,32 1,32 9,40 0,97
16 PVAc J5
21,26 3,15 21,26 1,96
18,22 2,04 17
PVAc J10 16,22 0,82
16,22 1,17 15,16 2,11
18 PVAc J15
10,16 0,86 10,16 0,97
12,40 2,18 19
PVAc L5 18,12 0,83
18,12 2,09 10,22 2,09
20 PVAc L10
14,72 1,18 14,72 2,30
8,40 1,28 21
PAc L15 12,65 1,11
12,65 2,18 7,60 1,00
Keterangan : UF= Urea Formaldehida , PF =Phenol Formaldehida, PVAc = Poly Vinyl Acetate, J5 = jahit berjarak 5 cm, J10 = jahit berjarak 10 cm, J15 = jahit
berjarak 15 cm, L5 = lakban berjarak 5 cm, L10 = lakban berjarak 10 cm,
L15 = lakban berjarak 15 cm. Angka dalam kurung adalah simpangan baku.
Nilai keteguhan rekat tegak lurus serat permukaan untuk semua contoh uji telah memenuhi persyaratan standar baik SNI 01-5008.7-1999 maupun JIS 2003,
yang masing-masing mensyaratkan nilai keteguhan rekat tegak lurus serat sebesar 7,0 kgfcm
2
dan 8,24 kgfcm
2
. Nilai keteguhan rekat tegak lurus serat merupkan indikator untuk keteguhan tarik tegak lurus serat bambu lapis. Semakin tinggi
nilai keteguhan rekat tegak lurus serat permukaan, maka semakin tinggi pula nilai keteguhan tarik tegak lurus serat permukaan bambu lapis tersebut.
Tabel 5.8. Analisis sidik ragam keteguhan rekat tegak lurus serat permukaan bambu lapis
Sumber Keragaman DB
JK KT
F Sig.
Perlakuan 6 4175,402346
695,900391 81,38 ,0001
Perekat 2 1.322,351141
66,175570 77,32 ,0001
Bambu 2 21,288560
10,644280 1,24 0,2915
tn
PerlakuanPerekat 12 241,290978
20,107531 2.35 0.0093
tn
PerlakuanBambu 12 77,443225
6,453602 0,75 0,6954
tn
PerekatBambu PerlakuanPerekatBambu
4 24
20,042672 174.804765
50,510608 7,283532
5,91 0,85
0,0002 0,6650
tn
Kesalahan percobaan 126 1.077,396067
8,550762 Total terkoreksi
188 7.292,019153
Keterangan : DB = Derajat Bebas, JK = Jumlah Kuadrat, KT = Kuadrat Tengah, = nyata : sangat nyata, tn : tidak nyata
Selama ini, salah satu kelemahan bambu lapis adalah nilai keteguhan rekat tegak lurus serat permukaan yang lebih rendah dibandingkan dengan nilai
keteguhan tarik sejajar serat permukaannya, yang nilainya berkisar 69 - 76 dari nilai keteguhan sejajar serat permukaan, seperti ditunjukkan oleh hasil
penelitian yang diuraikan pada Bab IV mengenai Sifat-sifat Dasar Bambu Lapis, dan hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Kliwon et al 1996,
Krisdianto et al 2006, Tamolang et al 1980, Lestari 2012, Sembiring 2012, dan Iriayanto 2012. Dari hasil penelitian ini dapat ditunjukkan bahwa perlakuan
berupa jahitan dan pemberian lakban dapat meningkatkan nilai keteguhan rekat
bambu lapis tegak lurus permukaan secara signifikan, yaitu mencapai sekitar 90 -100 dari nilai keteguhan rekat sejajar serat permukaan.
Kesimpulan
Perlakuan jahitan dan lakban meningkatkan keteguhan rekat bambu lapis, baik pada arah sejajar serat maupun pada arah tegak lurus serat tanpa menurunkan
sifat fisisnya. Perlakuan jahitan memberikan peningkatan sifat keteguhan rekat yang lebih baik dibanding perlakuan lakban, baik pada arah sejajar serat maupun
arah tegak lurus serat. Bambu lapis terbaik dihasilkan dari bambu betung dengan perlakuan jahitan dengan jarak antar jahitan sebesar 5 cm dengan menggunakan
perekat PF. Bambu lapis yang dihasilkan dari penelitian ini secara umum telah memenuhi bahkan melampau persyaratan standar baik SNI 01-5008.7-1999
maupun standar JIS A 5980- 2003.
B. PENINGKATAN KEAWETAN BAMBU LAPIS Pendahuluan
Usaha pengawetan bambu secara tradisional sudah dikenal oleh masyarakat pedesaan. Pengawetan itu dilakukan dengan cara merendamnya di dalam air
mengalir, air tergenang, lumpur atau di air laut dan pengasapan. Selain itu juga sering ditemukan cara pengawetan dengan pelaburan kapur dan kotoran sapi pada
gedek dan bilik bambu Krisdianto et al.,2006. Lebih lanjut Krisdianto et al.2006 melaporkan bahwa penelitian
pengawetan bambu dengan menggunakan bahan kimia disertai metode yang tepat dan efisien terus dilakukan. Pengawetan bambu mempunyai tujuan untuk
mencegah serangan jamur pewarna dan pelapuk maupun serangga bubuk kering, rayap kayu kering dan
rayap tanah. Beberapa pengrajin meubel bambu telah melaksanakan pengawetan dengan menggunakan boraks,
campuran kapur barus dengan minyak tanah, atau pengasapan dengan belerang. Namun sejauh ini belum diketahui efektifitas bahan-bahan kimia yang digunakan
dan metode pengawetan yang dilaksanakan
.
Pengembangan metode pengawetan telah dilaksanakan, diantaranya dengan metode Boucheri untuk pengawetan bambu segar yang telah diteliti oleh Permadi
danSumarni 1995. Bahan bambu yang digunakan dalam penelitian tersebut adalah bambu andong Gigantochloa
verticillata Munro dan bambu tali
Giganto-chloa apus Kurz., dengan bahan pengawet borax Na2B4O7.10H2O konsentrasi 5. Pengawetan dengan metode Boucheri memberikan bahan
pengawet pada bagian bawah batang bambu dan tidak memotong daun dan rantingnya, agar proses asimilasi dan penyerapan bahan makanan tetap
berlangsung Krisdianto et al., 2006. Suryana et al. 2009 telah berhasil membuat bambu lapis yang memiliki
sifat fisis mekanis yang cukup baik ditinjau dari sifat fisis dan mekanis produk yang dihasilkan, namun pada sifat keawetan bambu lapis masih perlu dilakukan
perbaikan, sehingga pada penelitian ini akan dilakukan beberapa modifikasi proses pengawetan yang efektif dan ramah lingkungan.
Bahan dan Metode Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan dalam penelitian berupa bambu tali Gigantochoa apus J.A. dan J.H. Schultes Kurz, bambu andong Gigantochloa verticillata
Willd. Munro, dan bambu betung Dendrocalamus asperSchult.f.Backer ex Heyne yang akan dipanen dari wilayah Kecamatan Leuwiliang, Bogor. Ketiga
jenis bambu tersebut adalah bambu yang sudah masak tebang. Perekat yang digunakan meliputi 4 jenis perekat yang sering digunakan,
yaitu poly vinyl acetate PVAc, urea formaldehida UF, isocyanate DMI, dan melamine formaldehida MF.
Alat yang digunakan terdiri atas alat penyiapan bahan meliputi: gergaji tangan, golok, cutter, amplas, mesin serut; alat pembuatan panel bambu meliputi:
alat tulis, penggaris, caliper, oven, desikator, alat kempa, timbangan, kape; serta alat pengujian panel bambu berupa alat uji Universal Testing Machine UTM
merk Instron. Persiapan Bahan
Batang bambu terlebih dahulu dipotong-potong sepanjang 40 cm tanpa menyertakan buku bambu, kemudian selanjutnya dibuat menjadi bilah dengan
cara dibelah. Bilah bambu kemudian diserut menggunakan alat serut dengan lebar 2 cm dengan ketebalan yang berbeda, yaitu sebesar 1 mm, dan 2 mm. Ketebalan
bilah bambu sebesar 2 mm digunakan sebagai lapisan inti core panel bambu, sedangkan ketebalan 1 mm digunakan sebagai lapisan muka dan belakang face-
back panel bambu. Bilah bambu hasil serutan dibagi atas empat kelompok yang diberi perlakuan tambahan, yaitu :
a. Kelompok bilah bambu I direndam dalam air mengalir selama 2 minggu b. .Kelompok bilah bambu II direbus dalam air mendidih selama 2 jam.
c. Kelompok bilah bambu III direbus dalam air kapur CaCO2 selama 2 jam. d. Kelompok bilah bambu IV tanpa perlakuan kontrol.
Perlakuan tambahan terhadap bilah bambu diberikan dengan tujuan untuk mengurangi kadar pati dalam bambu agar tidak mudah diserang oleh serangga
perusak. Setelah proses perlakuan tambahan diberikan, bilah bambu kemudian dioven pada suhu 60- 80 °C hingga mencapai kadar air 8-10.
Pembentukan Lembaran
Bilah bambu serutan yang telah dikeringkan disusun sedemikian rupa menurut ketebalannya masing-masing sehingga ukuran 40 x 40 cm. Susunan bilah
bambu tersebut kemudian disatukan dengan cara merekat kedua ujungnya menggunakan lakban sehingga terbentuk suatu lembaran bilah bambu. Pola
rekatan bilah bambu dapat dilihat pada Gambar 5.2.
Gambar 5.1. Pola rekatan lembaran bilah bambu
Pembuatan dan Pengujian Bambu Lapis Pembuatan dan pengujian bambu lapis
Lembaran bambu lapis dibuat tiga lapis tripleks berukuran 40 cm x 40 cm x 0,4 cm dengan berat labur sebesar 200 gm
2
. Suhu kempa untuk perekat UF
adalah 110
o
C, perekat MDI dan MF sebesar 140
o
C, dan perekat PVAc pada suhu kamar. Pengempaan panas dilakukan selama 5 menit, dengan tekanan kempa
spesifik sebesar 15 kgcm
2
. Khusus untuk kayu lapis yang mengunakan PVAc,
dilakukan pengempaan dingin menggunakan klem selama 24 jam. Setelah proses
pengempaan dilakukan, bambu lapis dikondisikan di ruangan selama 2 minggu. Pengujian bambu lapis mengacu kepada SNI 01-5008.7-1999, meliputi kerapatan,
kadar air, stabilitas dimensi, keteguhan rekat, keteguhan patah MOR, dan keteguhan lentur MOE.
Analisis kuantitatif perubahan komponen kimia bambu
Tahapan penelitian ini dirancang untuk menganalisis perubahan komponen kimia yang terjadi akibat perlakuan perendaman dalam air sungai, perebusan
dalam air, dan perebusan dalam air kapur 5. Komponen yang dianalisis meliputi komponen makro berupa selulosa, hemiselulosa, dan lignin, serta komponen
mikro berupa zat ekstraktif.
Persiapan bahan untuk analisis
Ukuran partikel bahan baku bambu untuk analisi kimia disesuaikan dengan standar TAPPI yaitu lolos saringan 40 mesh dan tertahan pada saringan 60 mesh.
Pengambilan sampel dan persiapan bahan untuk analisis merujuk pada TAPPI T 257 om-85 tentang “Sampling and Preparing Wood for Analisis”. Bahan yang
dianalisis tersebut terlebih dahulu ditentukan kadar airnya dengan merujuk pada standar TAPPI T 264 om-88 tentang “Preparation of Wood for Chemical Analysis
“
Kadar zat ekstraktif yang terlarut dalam air dingin TAPPI T207 om-93
Sebanyak 2,0 ± 0,1 g sampel bambu ditempatkan ke dalam gelas piala 400 ml dan dengan perlahan ditambahkan 300 ml air destilata. Selanjutnya diekstraksi
pada suhu 23 ± 2
o
C selama 48 jam. Sampel kemudian dipindahkan ke dalam gelas filter dan dikeringkan hingga beratnya konstan pada suhu 105 ± 3
o
C. Sampel dicuci dengan 200 ml air destilata dingin dan kemudian dikeringkan hingga
beratnya konstan pada suhu 105 ± 3
o
C, setelah itu didinginkan dan ditimbang.
Kadar Zat ekstraktif yang terlarut dalam air dingin dihitung dengan persamaan :
Keterangan: A = Berat awal serbuk kering g
B = Berat akhir serbuk keringg
Kadar zat ekstraktif yang terlarut dalam air panas TAPPI T 207 0m-93
Sebanyak 2,0 ± 0,1 g sampel ditempatkan dalam erlemeyer 250 ml, lalu ditambahkan dengan 100 ml air destilata panas dan selanjutnya ditempatkan
dalam water bath. Sampel dipanaskan selama 3 jam dengan permukaan air dalam water bath di atas permukaan air dalam erlemeyer. Selanjutnya sampel
dipindahkan ke dalam glass filteri yang telah dikeringkan pada suhu 105 ± 3
o
C hingga beratnya konstan. Sampel kemudian dicuci dengan 200 ml air destilata
dingin dan dikeringkan hingga beratnya konstan pada suhu 105 ± 3
o
C. Perhitungan kadar zat ekstraktif yang terlarut dalam air panas sama dengan
persamaan yang digunakan dalam perhitungan kadar zat ekstraktif yang terlarut dalam air dingin.
Untuk mengetahui ada tidaknya lignin berberat molekul rendah yang terlarut dalam air panas ini, maka dilakukan pula pengamatan dengan
spektofotometer UV. Cara penentuan lignin ini diadopsi dari penentuan lignin terlarut asam berdasarkan TAPPI T 250. Air panas yang digunakan untuk
melarutkan ekstraktif diambil sebanyak 15 ml kemudian digenapkan volumenya menjadi 1000 ml. Dari larutan tersebut diambil sebanyak 15 ml untuk diuji
dengan spektofotometer UV. Sebagai larutan standar, sampel blanko dibuat dari 5 ml asam sulfat yang digenapkan volumenya menjadi 1000 ml dan juga diambil
sampel uji sebanyak 15 ml. Identifikasi lignin dilakukan pada panjang gelombang 205 nm dan koefisien adsorpsi 110 L g
-1
cm
-1
. Kadar lignin yang larut dalam air panas dihitung dengan rumus:
Konsentrasi lignin C =
Kadar lignin terlarut KL =
Keterangan: C
= konsentrasi filtrat lignin dalam air panas gl V
= volume total filtrat ml A
= nilai absorban pada panjang gelombang 205 nm
Df = faktor pengenceran
KL = kadar lignin dalam air panas
BKT = berat kering tanur serbuk bambu dan kayu
Kelarutan bambu dan kayu dalam natrium hidroksida 1 TAPPI T 212 om- 93
Larutan alkali panas digunakan untuk mengekstrak karbohidrat berbobot molekul rendah terutama yang mengandung hemiselulosa dan selulosa yang
terdegradasi dalam sampel. Natrium hidroksida 1 0,25 N yang digunakan sebagai pelarut dibuat dengan cara melarutkan 10,0 g NaOH padatan dalam air
dan selanjutnya digenapkan menjadi 1000 ml. Asam asetat CH
3
COOH 10 , dibuat dengan cara mengencerkan 100 ml asam asetat glasial dengan air hingga
1000 ml. Pengujian kelarutan dalam natrium hidroksida dilakukan dengan cara
menimbang sampel sebanyak 2,0 ± 0,1 g dan menempatkannya dalam gelas piala 200 ml. Selanjutnya ditambahkan dengan 100 ± 1 ml larutan NaOH 1 dan
diaduk dengan pengaduk kaca. Gelas piala ditutup dengan gelas arloji dan ditempatkan dalam water bath dipertahankan agar tetap berada di atas permukaan
larutan dalam gelas piala. Larutan diaduk dengan pengaduk kaca selama masing- masing 5 detik setelah pemanasan 10, 15, dan 25 menit.
Setelah 60 menit, sampel dipindahkan ke dalam glass filter dan selanjutnya dicuci dengan 100 ml air panas. Kemudian ditambahkan dengan 25 ml
asam asetat 10 dan sampel dibiarkan terendam selama 1 menit sebelum larutan asam asetat tersebut dihilangkan. Tahap ini diulangi dengan 25 ml lauratan asam
asetat 10 yang kedua. Selanjutnya sampel dicuci dengan air panas hingga bebas asam.
Glass filter dikeringkan dengan sampel dalam oven pada suhu 105 ± 3
o
C hingga beratnya konstan, selanjutnya didinginkan dan ditimbang beratnya.
Perhitungan kadar zat ekstratktif yang terlarut dalam natrium hidroksida 1 sama dengan persamaan yang digunakan dalam perhitungan kadar zat ekstraktif yang
terlarut dalam air dingin.
Penentuan holoselulosa TAPPI 9 m-54
Sampel bambu bebas ekstraktif ekuivalien 2,0 g berat kering ditempatkan dalam erlenmeyer 250 ml. Sampel uji kemudian ditambahkan dengan 100 ml air
destilata, 1 g natrium klorit NaClO
2
dan 1 ml asam asetat glasial CH
3
COOH. Sampel kemudian dipanaskan dalam water bath pada suhu 80
o
C selama 5 jam. Natrium klorit sebanyak 1,0 g dan asam asetat sebanyak 0,2 ml ditambahkan ke
dalam contoh uji setiap interval pemanasan 1 jam, penambahan dilakukan sebanyak 4 kali. Sampel uji kemudian disaring dengan menggunakan glass filter,
selanjutnya dicuci dengan menggunakan air panas. Sebanyak 25 ml asam asetat 10 ditambahkan ke dalam sampel uji, lalu dicuci dengan air panas hingga bebas
asam. Sampel dioven pada suhu 105 ± 3
o
C hingga beratnya konstan didinginkan dan ditimbang beratnya. Kadar Holoselulosa dihitung dengan rumus:
Holoselulosa = AB x 100 Keterangan:
A = berat holoselulosa g B = BKT bebas ekstraktif g
Penentuan selulosa TAPPI 17-m-55
Selulosa dipisahkan dari holoselulosa dengan cara melarutkan hemiselulosa. Sebanyak 2,5 g serbuk bambu bebas ekstraktif ditempatkan dalam erlenmeyer
300 ml. Selanjutnya ditambahkan 125 ml larutan asam nitrat HNO
3
3,5 ke dalam sampel uji dan selanjutnya dilakukan pemanasan dalam water bath selama
12 jam pada suhu 80
o
C. Setelah pemanasan, sampel uji disaring dengan air destilata hingga tidak berwarna dan kemudian dikeringudarakan. Sampel
dipindahkan ke dalam erlenmeyer kembali lalu ditambahkan 125 ml larutan campuran NaOH dan Na
2
SO
3
dan dilakukan pemanasan selama 2 jam pada suhu 50
o
C. Sampel uji disaring dengan cawan saring dan selanjutnya dicuci dengan air destilata hingga filtrat tidak berwarna. Sebanyak 50 ml larutan natrium klorit 10
ditambahkan dan dilakukan pencucian dengan menggunakan air hingga diperoleh endapan berwarna putih. Selanjutnya sebanyak 100 ml asam asetat 10
ditambahkan ke dalam contoh uji lalu dicuci hingga bebas asam. Sampel uji kemudian dioven pada suhu 105 ± 3
o
C hingga beratnya konstan. Kadar selulosa dihitung dengan rumus:
Selulosa = AB x 100 Keterangan:
A = berat selulosa g
B = BKT bebas ekstraktif g
Penentuan kadar hemiselulosa TAPPI 223cm-84
Kadar hemiselulosa diperoleh dengan mengurangi kadar holoselulosa dengan kadar selulosa dengan menggunakan rumus :
Hemiselulolsa = A-B x 100 Keterangan:
A = Kadar holoselulosa B = Kadar selulosa
Penentuan kadar lignin TAPPI T 203 os-74
Sebanyak 1,0 g serbuk bambu atau kayu bebas ekstraktif dimasukan ke dalam gelas ukur 100 ml, lalu ditambahkan 15 ml H
2
S0
4
72 kemudian diaduk rata. Gelas ukur ditempatkan ke dalam nampan yang di sekelilingnya telah diberi
es agar suhunya berada pada kisaran 15 – 20
o
C, lalu diaduk setiap 15 menit selama 2 jam. Larutan kemudian dipindahkan ke dalam erlenmeyer 1000 ml lalu
ditambahkan air destilata yang telah dipanaskan sampat tanda tera, kemudian dipanaskan dalam water bath pada suhu ± 80
o
C selamat 4 jam. Lignin kemudian disaring dengan kertas saring yang telah diketahui BKT-nya, lalu dicuci dengan
air destilata sampai bebas asam. Sampel kemudian dikeringkan dalam oven pada suhu 105
o
C sampai beratnya konstan lalu ditimbang. Kadar lignin dihitung dengan rumus:
Lignin = AB x 100 Keterangan:
A = Berat lignin g B = BKT bebas ekstraktif g
Penentuan kadar abu TAPPI T 211 om-93
Abu menunjukan kandungan bahan anorganik dalam bambu atau kayu yang merupakan sisa setelah pembakaran bahan organik. Sebelum pengukuran
kadar abu, kadar air sampel ditentukan terlebih dahulu dengan merujuk pada suhu 525 ± 25
o
C selama 30 – 60 menit. Setelah pemanasan, cawan didinginkan dalam desikator dan ditimbang beratnya. Sampel uji ekuivalen 1,0 g kering oven
dipindahkan ke dalam cawan abul. Selanjutnya sampel uji dipanaskan pada suhu 100
o
C, lalu suhunya ditinkatkan hingga mencapai 525
o
C secara bertahap sehingga terjadi karbonasi tanpa pembakaran. Suhu pengabuan diatur sekitar 525
± 25
o
C. Pembakaran selesai jika partikel hitam telah hilang, lalu cwan didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Pembakaran dan penimbangan
diulangi hingga berat abu konstan. Abu = AB x 100
Keterangan : A = berat abu g
B = BKT bebas ekstraktif g
Pengujian Ketahanan Serangan Rayap
Pengujian terhadap rayap tanah menggunakan standar JIS yang telah dimodifikasi, yaitu wadah pengujian diganti dengan pipa pralon yang bagian
bawahnya ditutup dengan bahan penambal gigi. Dalam pengujian ini ditambahkan perlakuan kontrol, yaitu contoh uji dari bilah bambu, tali, andong, dan betung.
Sebelum dilakukan pengujian, contoh uji terlebih dahulu dikeringkan sampai kering oven. Kedalam botol kaca tersebut dimasukkan rayap tanah
sebanyak 160 ekor rayap pekerja. Pipa pralon kemudian ditutup dengan kain hitam lalu ditempatkan di ruangan gelap. Kehilangan berat dan mortalitas dihitung
setelah 21 hari pengumpanan. Persentase kehilangan berat akibat serangan rayap dihitung dengan rumus :
Keterangan : Wo
= Berat kering oven contoh uji sebelum diumpankan ke rayap g W1
= Berat kering oven contoh uji setelah diumpankan ke rayap g Persentase jumlah individu rayap yang mati mortalitas dihitung dengan rumus:
Keterangan :
No = Jumlah individu rayap sebelum pengumpanan
N1 = Jumlah individu rayap setelah pengujian
Analisis data
Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Faktorial Acak Lengkap dengan 3 faktor, yaitu faktor A: jenis perlakuan 4 jenis, faktor B: jenis
perekat 4 jenis, dan faktor C: jenis bambu 3 jenis dengan ulangan sebanyak 3
kali. Model umum rancangannya untuk semua pengujian adalah sebagai berikut.
Yijkl = μ + αi + βj + θk +αβij + άθik +βθjk + εijkl
Keterangan : i = 1, 2, 3, 4 perlakuan perendaman : kontrol, direndam dalam air sungai selama
2 minggu, direbus dalam air, direbus dalam air kapur 5 j = 1, 2,3,4 jenis perekat: UF, Mf, MDI, dan PVAc
k = 1, 2, 3 jenis bambu: tali, andong, dan betung l = 1,2,3 banyaknya ulangan
Yijk = Nilai respon pengamatan pada ulangan ke-l yang disebabkan oleh taraf k-i
faktor α, taraf ke-j faktor β, taraf ke k faktor θ. μ = Nilai rata-rata
αi = Pengaruh perlakuan perendaman βj = Pengaruh jenis perekat
θk = Pengaruh jenis bambu αβij = Pengaruh interaksi antara perlakuan ke-i dan jenis perekat ke- j
αθik = Pengaruh interaksi antara perlakuan ke- i dan jenis bambu ke-k βθjk = Pengaruh interaksi antara jenis perekat ke- k dan jenis bambu ke – l
αβθijk = Pengaruh interaksi antara perlakuan ke i, jenis perekat ke j, dan jenis bam-bu ke k
εijkl = Kesalahan percobaan dari jenis bambu ke-i, jenis perekat ke-j, penguat sambungan ke - k dan ulangan pada taraf ke-l.
Untuk mengetahui bambu lapis yang memperoleh pengaruh dari perlaukan dibuat analisis keragaman Anova dengan kriteria sebagai beriku:
Jiak F hitung F tabel, maka Ho diterima atau perlakuan tidak memberikan pengaruh pada selang kepercayaan.
Jika F hitung F tabel, maka Ho ditolak atau perlakuan memberikan pengaruh pada suatu selang kepercayaan.
Untuk mengetahui faktor mana yang berpengaruh maka dilakukan uji lanjut dengan menggunakan uji Duncan.
Hasil dan Pembahsan 1. Sifat Fisis Bambu Lapis
1.1. Kerapatan