BAB III DESKRIPSI JALANNYA UPACARA PERKAWINAN ADAT
SUKU JAWA DI KECAMATAN MEDAN SELAYANG
3.1 Latar Belakang Pelaksanaan Upacara Perkawinan
Perkawinan adat sebagai awal dari perkembangan hidup manusia yang hidup dalam koloni adat. Upacara perkawinan adat Jawa merupakan langkah
awal pembentukan ciri khas karakter manusia Jawa. Upacara perkawinan adat Jawa merupakan proses pelestarian budaya yang dijaga nilai-nilai budi luhurnya
. Perkawinan adalah suatu rangkaian upacara yang dilakukan sepasang kekasih
untuk menghalalkan semua perbuatan yang berhubungan dengan kehidupan suami-istri guna membentuk suatu keluarga dan meneruskan garis keturunan
Sumarsono, 2007. Di suku Jawa maupun yang ada di Medan, dimana kehidupan
kekeluargaan masih kuat, sebuah perkawinan tentu akan mempertemukan dua
buah keluarga besar dari pihak pria dan pihak perempuan menjadi satu keluarga serta mempersatukan pertalian sanak keluarganya. Oleh karena itu, sesuai
kebiasaan yang berlaku, dua insan yang berkasih-kasihan akan memberi tahukan kepada keluarga masing-masing bahwa mereka telah menemukan pasangan yang
cocok dan ideal untuk di jadikan suami ataupun istri. Hubungan cinta kasih antara pria dan wanita setelah melalui proses
pertimbangan, kemudian di mantabkan dalam sebuah tali ikatan perkawinan, hubungan dan hidup bersama secara resmi dan halal selaku suami istri dari segi
hukum, agama, dan adat. Atas dasar hal tersebut, orang Jawa selalu mencari hari
Universitas Sumatera Utara
baik, oleh karena itu maka perlu dimintakan pertimbangan dari ahli perhitungan hari baik berdasarkan patokan Primbon Jawa di mana juga biasanya ini dilakukan
oleh kerabat-kerabat keluarga yang sudah tua ataupun yang di tuakan yang faham mengenai perhitungan hari baik di dalam adat Jawa. Oleh karena itu, pelaksanaan
perkawinan bagi masyarakat Jawa pada umumnya di lakukan dengan suatu upacara adat.
Dalam penelitian ini yang melakasanakan rangkaian upacara perkawinan adat Jawa adalah yang beragama Islam. Sehingga setiap rangkaian prosesi
upacaranya selalu di kaitkan dengan doa-doa keislaman terhadap Allah SWT. Upacara perkawinan adat Jawa pada mulanya berasal dari kraton yaitu Kraton
Yogyakarta atau Kraton Surakarta Harpi Melati, 1988:1. Kedua kraton itu oleh suku Jawa di akui sebagai pusat dan sumber kebudayaan Jawa. Namun sekarang
upacara perkawinan adat Jawa yang sering di temui di daerah Sumatera, khususnya Kota Medan lebih sering menggunakan adat upacara perkawinan Solo
Kraton Surakarta. Hal ini disebabkan adanya berbagai aspek yang melatar belakangi dengan
berbagai alasan, di antaranya ialah adanya sisi kepraktisan dalam melaksanakan rangkaian upacara perkawinan adat Jawa yang di nilai jauh dari ritual sakral
seperti pada rangkaian upacara gaya Jogja pada umumnya, dan adanya tingkatan kasta yang ada pada suku Jawa sendiri yaitu yang dimaksud adalah Kaum
Abangan yang menjadi cikal bakal upacara perkawinan adat Jawa yang sering di temui hampir diseluruh pulau Sumatera hingga saat ini. Sehingga tidak ada lagi
perbedaan kasta dalam melaksanakan upacara perkawinan adat Jawa di pulau Sumatera, khususnya di kota Medan.
Universitas Sumatera Utara
Oleh karena perkembangan agama yang pesat pada saat ini, maka upacara yang bersifat ritual jarang sekali di laksanakan karena ajaran yang terdapat di
dalamnya tidak sesuai lagi dengan ajaran yang terdapat dalam agama Wardoyo, n.d.:5. Sementara itu upacara perkawinan adat yang bersifat simbolis masih
sering di laksanakan karena upacara ini hanya menggambarkan keinginan yang ingin di capai dari yang melaksanakan upacara.
Dewasa ini upacara adat perkawinan sering di laksanakan meski pun dalam bentuk yang sangat sederhana sekali. Hampir setiap orang tua yang akan
menikahkan putera-puterinya tidak lepas dengan upacara adat. Meskipun masyarakat berkali-kali menyaksikan upacara perkawinan adat Jawa tetapi mereka
kurang dapat memahami arti dan makna upacara tersebut. Dari para penata rias pengantin hanya terlihat sekedar dapat merias pengantin saja dan sekedar
pengetahuan upacara perkawinan adat. Sedangkan rangkaian upacara adat tersebut sangat luas. Kurangnya informasi dan buku-buku petunjuk mengenai
upacara perkawinan adat, mengakibatkan sering terjadinya kesimpang-siuran dalam pelaksanaannya dan mereka saling mempertahankan pendapat masing-
masing.
3.2 Tujuan Pelaksanaan Upacara Panggih