Upacara Kehamilan dan Kelahiran

tujuan luhur yang diharapakan oleh pelakunya. Adapaun upacara-upacara itu adalah seperti yang disebut dibawah ini, yang mana penjelasannya dari setiap upacara penulis dapatkan dari berbagai sumber. Sebagai orang Jawa, sebahagian upacara ini pernah penulis saksikan.

2.4.2.1 Upacara Kehamilan dan Kelahiran

Upacara pada saat kehamilan ada 2 tahapan, yaitu pada saat kandungan berusia tujuh bulan upacara tingkepan. Kemudian diteruskan pada saat kandungan berusia sembilan bulan slametan mumuli sedherek. Upacara tingkeban disebut juga mitoni berasal dari kata pitu yang artinya tujuh Bratawidjaja, 1993:21. Upacara tingkeban ini di laksanakan apabila usia kehamilan seseorang berusia tujuh bulan dan merupakan kehamilan yang pertama kali. Upacara tingkeban mempunyai makna bahwa pendidikan bukan saja di berikan setelah dewasa, akan tetapi semenjak benih tertanam di dalam rahim seseorang anak perlu di beri pendidikan Bratawidjaja, 1993:21. Upacara tingkeban ini hanya sebagai pengharapan saja, dan belum merupakan suatu kepastian. Tujuan dari pelaksanaan upacara tingkeban adalah untuk merayakan kandungan yang berusia tujuh bulan, memberitahukan tentang bakal adanya suatu peristiwa kelahiran, mencerminkan perasaan cemas dalam hal menghadapi kelahiran, serta mengharapakan bayi yang akan lahir dapat dengan mudah dan selamat. Pelaksanaan upacara tingkeban yang ada di Kota Medan, khususnya di Kecamatan Medan Selayang biasanya di lakukan oleh suku Jawa yang mempunyai tingkatan ekonomi golongan menengah keatas karena untuk Universitas Sumatera Utara melaksanakan upacara tingkeban ini di perluakan biaya yang banyak. Sementara suku Jawa yang memiliki tingkatan ekonomi golongan bawah, untuk merayakannya hanya mengirimkan nasi yang berisi lauk-pauk dan di bungkus dengan daun kertas bungkus dan atau sejenisnya sering disebut dengan berkat. Tujuannya adalah sama seperti yang telah disebutkan di atas. Upacara melahirkan di lakukan setelah jabang bayi sudah lahir, ari-ari plasenta bayi di bersihkan oleh ayahnya. Menurut kepercayaan suku Jawa, ari- ari di anggap sebagai saudara kembar dari bayi yang menemani bayi selama dalam kandungan ibunya, sejak janin terbentuk hingga saat dilahirkan Wardoyo, n.d.:6. Koentjaraningrat 1984:353 menyebutkan bahwa setelah tali pusat lepas, maka bagi masyarakat suku Jawa mengadakan upacara pupur puser. Upacara pupur puser ini di laksanakan pada malam hari setelah tali pusat lepas. Suku Jawa yang ada di kota Medan tidak pernah melaksanakan upacara pupur puser, Hal ini disebabkan mungkin bahwa suku Jawa di Kota Medan sudah mempunyai pandangan yang tidak ingin terlalu terikat oleh adat-istiadatnya. Yang masih di laksanakan adalah apabila tali pusat telah lepas, selanjutnya di bersihkan dan di jemur hingga kering. Setelah itu di simpan oleh ibu bayi. Sebagian masyarakat suku Jawa yang berada di lingkungan orang Jawa masih melaksanakan adat dalam melakukan upacara kelahiran tersebut yang prosesinya di lakukan dengan cara menggendong tali pusat oleh ayah sang bayi yang telah di letakkan di dalam wadah mangkuk atau piring yang telah di tutup yang kemudian di kubur di sekitar depan pintu atau samping pintu rumah bagian depan, yang kemudian setelah di Universitas Sumatera Utara kubur di beri pagar dari bambu-bambu. Pada setiap malam, kuburan tali pusat tersebut di pasangi lampu teplok selama lebih kurang 30 hari.

2.4.2.2 Upacara Perkawinan