commit to user 63
2.2.4 Teori Stilistika
Nyoman Kutha Ratna 2009: 3 memandang stilistika sebagai “ilmu gaya,”
dengan acuan bahwa makna dari kata ‗stil‘
style
sebenarnya lebih tertuju pada cara-cara yang khas, berkaitan dengan karakteristik dengan peranan besar dari
adanya majas. Pandangan ini akhirnya tertuju pada gaya bahasa yang mewujud di dalam suatu teks sehingga gejolak bahasa memiliki ciri tersendiri, yang berbeda
dengan lainnya. Aminuddin 1997:3 juga memandang stilistika pada gaya bahasa dengan menyadari bahwa komunikasi sangat beragam, yang dapat ditandai
melalui bahasa yang digunakan. Jauh sebelumnya, Umar Junus 1989:xvii pernah memandang hakikat dari stilistika dihubungkan dengan penggunaan bahasa di
dalam karya sastra. Beberapa pandangan ini memberikan kejelasan mengenai stilistika tertuju pada gaya bahasa. Adapun gaya bahasa itu sendiri dapat muncul
di mana saja, dengan syarat ada komunikasi, baik lisan maupun tulisan: tepatnya ketika terjadi penyampaian pesan melalui bahasa.
Bahasa me mungkinkan “elemen ketakterhinggaan” di dalam suatu teks. Di
dalam bahasa, selalu tertoreh aneka macam permainan dari penciptanya, masih memungkinkan kemunculan makna tidak patuh pada pikiran. Berbagai macam
sistem tercipta di dalamnya. Makna sebuah kata bisa saja berubah, tidak seperti yang tertera di dalam kamus. Kata-kata dalam satuan sintaksis dapat saja berupa
kesadaran untuk membangkitkan orang lain pembaca atau pendengar. Komponen linguistik seperti pembentukan frase dan sistem sintaksis harus
dicermati karena di situlah makna tercipta. Menurut Foucault 2007:47, bahasa selain sebagai materi penulisan benda-benda, juga menemukan wilayah dalam
commit to user 64
himpunan tanda-tanda representasi yang umum. Makna suatu kata lebih ditentukan oleh perpaduan yang mengawali atau mengikutinya dengan konteks
yang cukup beragam. “Sebagai medium, bahasa adalah fakta kultural dengan hukum positif,” seperti penerapan kaidah-kaidah linguistik yang kompleks Ratna,
2009:44. Elemen yang terkandung di dalam bahasa sangat luas dan plural, dengan adanya relasi dengan fenomena sosial-budaya yang melingkupinya.
Bahasa untuk menjelaskan realitas penuh dengan artikulasi tersendiri. Dari beragamnya bahasa yang ada, justru memunculkan pilihan
kemungkinan tersendiri. Ini tidak sekadar persoalan pemilihan variasi ungkap, tetapi lebih pada pilihan kemungkinan dari berbagai macam ketersediaan bahasa.
Ada dua hal yang menarik menurut Umar Junus 1989:63, yakni
pertama
, karena adanya variasi bahasa yang sebenarnya tidak memberikan kemungkinan
pilihan karena keterikatan pada komposisi tertentu, dan
kedua
karena terbukanya pilihan dan menulis dalam posisi antara sadar dan tidak telah membuat pola di
dalam diri seseorang dalam memilih bahasa tertentu. Oleh karena itu, yang terjadi di dalam sebuah tulisan adalah artikulasi interpretatif berdasarkan persepsi dari
penulisnya dalam memahami realitas. Stilistika juga harus melihat pola pemilihan kata dalam arena keserbamungkinan dari seorang pengarang dalam memahami
fenomena untuk dimunculkan sebagai tulisan. Jangkauan stilistika cukup luas dengan melihat pada seluruh aspek yang
dapat menandai aktivitas kebahasaan. Jika ada persepsi yang lebih memandang stilistika untuk mengungkap gaya bahasa saja, maka hal itu adalah kekeliruan.
Aktivitas kebahasaan tertuju pada keindahan, produksi bahasa untuk
commit to user 65
menghasilkan pesan-pesan, produksi bahasa, dan pola-pola bahasa, yang sekaligus dapat menandai kualitas individu baca:pengarang yang berada di baliknya.
Turner 1973: 8 mengakui bahwa “
we know what language is in the sense that we can identity it or simply construct a sample of it
.” Bahasa sebagai ekspresi menampilkan identitas seseorang, maka ada ciri yang khas dari setiap
penyampaian kata-kata. Dalam persepsi ini, stilistika menjadi menarik karena ia adalah ilmu yang berusaha mengungkap sistem kebahasaan berdasarkan
karakteristik, ciri, gaya, kekhasan, dan relasi tipikalitas pemilihan bahasa. Kekuatan silistika sebagai ilmu muncul dari gabungan antara linguistik dan sastra
Junus, 1989:xviii. Dalam ranah yang lebih luas, karya sastra merupakan bagian dari stilistika budaya Ratna, 2009:5. Aktivitas dan pola tersebut seperti bentuk
spiral yang saling terkait terhubung wilayahnya. Bahasalah yang merangkai wilayah terebut sehingga dapat dipahami dan dapat diposis
ikan sebagai ‗teks‘ untuk menemukan karakteristik.
Menurut Nyoman Kutha Ratna 2009:19, stilistika dapat dimasuki melalui dua hal, yakni “ruang lingkup yang berkaitan dengan objek stilistika dan ruang
lingkup dalam suatu aktivitas penelitian.” Dua ranah tersebut terbuka untuk melihat aspek kepribadian dengan mempermasalahkan bahasa sebagai
mediumnya. Dalam sistem bahasa, ada kemungkinan bahwa bahasa menampilkan tanda-tanda budaya berdasarkan kebutuhan pribadi seseorang untuk membentuk
komunikasi. Kreativitas individu yang terwujud melalui bahasa memainkan wilayah pengetahuan seseorang berdasarkan realitas yang ada di sekelilingnya.
Sistem bahasa yang diproduksi —meskipun sebagai inovasi sekalipun—
commit to user 66
menggunakan sistem yang tidak dapat dilepaskan berdasarkan praktik kehidupan. Objek yang ada di dalam stilistika harus dipahami dan dicermati karakteristiknya,
maka akan terlihat sistem produksi bahasa seseorang. Aminuddin 1997:75-76 memetakan tentang stilistika yang dapat dilakukan
melalui pendekatan monisme, dualisme dan pluralisme. Pendekatan monisme dilakukan dengan menyikapi teks sebagai sistem tanda dengan adanya kesatuan
antara bentuk dan isi. Elemen antara bentuk dan isi tidak dapat dipisahkan begitu saja karena merupakan suatu sistem yang saling mendukung. Pendekatan
dualisme menekankan pada bentuk dan isi sebagai elemen yang berbeda, yang dapat dipisahkan untuk menuju pada tataran makna. Ada ketidakidentikan antara
bentuk dan isi, yang sesungguhnya keduanya saling berhubungan secara erat. Pendekatan pluralisme lebih menitikperhatiankan bahasa pada fungsinya yang
sangat beragam. Suatu teks yang terdiri atas bahasa memungkinkan kedirian dari seorang pengarang dengan terkait pada fakta sosial yang melingkupi dan ia
memiliki penafsiran tersendiri terhadap realita. Persepsi ini lebih memungkinkan arah perhatian dilakukan secara luas dengan mengacu pada sistem tanda yang
harus dipaparkan tersendiri. Arah dari pendekatan pluralisme di dalam stilistika lebih mengarah pada
struktur sosial dan budaya pengarang sebagai karakteristik yang muncul di dalam suatu teks. “Makna suatu teks sendiri tidak lepas dari ideologi pengarangnya” Al-
Ma‘ruf, 2009:27. Stilistika memandang ideologi sebagai “gagasan dan pandangan” seorang pengarang—yang secara sadar maupun tidak sadar—
dimunculkan di dalam teks secara konsisten dan dapat menandai kepribadiannya.
commit to user 67
Makna yang dimunculkan di dalam suatu teks mengarah pada hasil interpretasi pengarang atas realitas. Dia berusaha untuk merenungi, dan memikirkan realitas
di sekelilingnya, sebelum pada akhirnya mewujud menjadi teks dengan medium bahasa. Pengarang menyerap pengetahuan dengan ada usaha melampaui batas-
batas bahasa keseharian untuk disusun menjadi pengetahuan dengan berbagai macam politik yang digunakan. Politik bahasa dengan pola retorika akan
menandai karakteristik seorang pengarang di dalam karya-karyanya. Bahasa telah dipenuhi dengan metafora, metonimi dan simbol untuk
merepresentasikan aneka elemen sosial-budaya menjadi teks yang padat. Di dalam sastra banyak ditemukan elemen ba
hasa yang padat. “Sastra adalah sesuatu yang menggantikan fungsi penandaan dari bahasa dan bukan menegaskannya
Foucault, 2007:49. Karena itulah, sastra menjadi berbeda dengan kehidupan sehari-hari. Ada titik pandang yang dapat ditandai melalui bahasa yang berbeda,
memiliki ciri, karakter, pola, dan kesatuan yang telah dibentuk untuk unik dan menarik. Metafora selalu memunculkan upaya pembebasan pada bahasa dengan
daya yang kreatif dan imajinatif. Metafora bukan sekadar kata-kata manis, tapi mampu membentuk, menciptakan, dan mempertahankan pandangan dunia Sarup,
2003:83. Metonimi sendiri mampu menjadikan keterwakilan melalui hal-hal yang penting dan dapat dijangkau oleh imajinasi orang lain. Munculnya metonimi
memang telah didahului oleh konvensi, namun tetap menjadikan bahasa bersinar dan menjadikan wacana lebih hidup. Metonimi sangat berkaitan dengan
penandaan yang hadir untuk membaca yang tidak hadir. Adapun simbol yang harus dirujuk pada referen terasa menyulitkan, tapi ia menampakkan diri untuk
commit to user 68
memahami dunia secara lebih mendalam. Aneka politik dari komposisi metafora, metonimi dan simbol di dalam suatu teks menjadi ruang fundamental dengan
kandungan yang ditandai. Ruang itu menunjukkan sebagaimana teks tersebut muncul dan membentuk pola yang berbeda dengan teks lainnya.
Stilistika yang berusaha untuk menemukan arti dari suatu teks harus mampu mendeskripsikan gaya, yakni dengan akhirnya sastra lebih dominan untuk
menandai capaian dari seseorang yang berbeda dengan orang lain. “Gaya sebagai milik pri
badi” dikaitkan dengan obsesifitas, keinginan, maupun lingkungan sosial budaya yang melatarbelakanginya. Upaya untuk melihat ciri pribadi haruslah
ditentukan dengan gaya orang lain sebagai perbandingan Junus, 1989:21. Adapun yang menjadi karakteristik ini mengungkap pemikiran dan penciptaan
yang dilihat dari teksnya. Teks sebagai diskursus yang dibakukan Riceour, 2006:
196 menyisakan jejak yang dapat ditelusuri. Adapun “jejak itulah sebagai entitas” yang memuat pemikiran dan penciptaan berdasarkan struktur sosial dan
budaya. Keberadaan bahasa di dalam suatu teks berada di bawah level identitas yang telah diartikulasikan. Dengan begitu, di luar jalinan bahasa yang terbangun
dengan baik, sesungguhnya melintasi seluruh bidang representasi Foucault, 2007:138-139.
Gaya pribadi di dalam kreativitas seorang pengarang dapat saja dimunculkan sebagai kredo Aminuddin:1997:29. Kredo dibangun berdasarkan
kesadaran dari seorang pengarang untuk membuat tipikalitas di dalam teks- teksnya. Tipikalitas sengaja untuk diciptakan. Pengarang ingin agar masyarakat
menandai dan menganggap berbeda dengan yang lain. Pengarang secara sadar
commit to user 69
bahwa ia diharuskan memiliki inovasi sehingga tidak ingin terkesan sebagai epigon. Dalam usaha membentuk kredo, serangkaian konsep telah dipersiapkan
untuk mengutuhkan pandangan-pandangan terhadap suatu fenomena. Untuk memunculkan kredo tidaklah mudah karena harus berhadapan dengan
kemapanan-kemapanan yang telah ada. Ketika kredo telah menjadi miliki pribadi, maka individu yang lainnya apabila memproduksi teks yang serupa akan dianggap
meniru. Pemunculan kredo bagi terciptanya karya-karya seorang pengarang dibentuk
melalui wacana. Kredo yang hadir sebagai ciri yang khas, tetapi juga dibentuk berdasarkan konsep yang kuat. Untuk memunculkan suatu konsep adalah dengan
adanya pengetahuan. Komposisi pengetahuan itu sendiri dapat hadir berdasarkan wacana, baik yang diucapkan dijelaskan maupun dilakukan terus dimunculkan
di dalam karyanya. Tindakan juga menyertai sebuah teks dengan adanya pretensi untuk dibakukan.
Umar Junus 1989:76-90 melihat arah perkembangan stilistika pada wacana. Dia melihat pada kehadiran tiap kata di dalam suatu wacana memiliki
makna untuk tujuan retorik. Dia sendiri mengacu pada pendapat Foucault tentang wacana yang menguasai pembaca. Pandangan ini berdasar pada wacana yang
memiliki elemen bahasa secara kompleks. “Bahasa dan teks adalah proses daur ulang tanpa akhir”, walaupun teks bukanlah bahasa, dan “teks lebih terkandung di
dalam bahasa” Ratna, 2009:222. Dalam kaitan ini, menjadi sangat mungkin ketika, stilistika
—ilmu tentang gaya bahasa—harus berurusan dengan wacana yang menggunakan bahasa. Elemen komunikasi termuat di dalam wacana dengan
commit to user 70
memuat ilusi dan kemiripan yang berbeda untuk menyatakan maksud. Ada usaha untuk menaksir setiap kata-kata sebagai interpretasi atas pengetahuan yang
ditandai sehingga pesan ditransmisikan. Dengan demikian, “ada cara-cara tersendiri
dalam rekonstruksi wacana untuk memberi kebenaran.” Gaya bahasa menjadi elemen yang penting dalam suatu wacana untuk
membentuk jalur distribusi pengetahuan yang hendak disampaikan. Gaya bahasa dapat menjadikan seseorang tertarik dalam mengikuti alur pikir di dalam suatu
wacana. Dengan adanya tata bahasa yang rapi, puitik, dan menyenangkan dapat menjadikan seseorang betah dalam memahami pesan-pesan di dalam wacana
tanpa adanya paksaan. Wacana yang ada di dalam karya sastra dibentuk oleh serangkaian gaya bahasa yang indah untuk mampu berkesan pada benak pembaca.
Seorang sastrawan yang mampu peka terhadap momen puitik sebagai suatu ide berusaha untuk membangun wacana berdasarkan kelengkapan antara keindahan
dan pesan. Melalui keindahan-keindahan itulah, pembaca secara tidak sadar menerima pengetahuan-pengetahuan yang dituliskan secara empiris. Daya sugestif
dari gaya bahasa merupakan arena pemosisian sebagai sesuatu yang benar. Wacana membentuk dan mengonstruksi peristiwa sehari-hari untuk dapat ditandai
sebagai pengetahuan. Setiap kata yang ada di dalam wacana memiliki berbagai macam
kemungkinan untuk menandai. Keberadaan kata-kata tidak hanya untuk melihat pada keindahan suatu teks, melainkan selalu memungkinkan terjadinya proses
pemaknaan dengan adanya ciri metafora untuk memperhalus. Keberadaan metafora ini berhubungan dengan pengetahuan-pengetahuan dari realitas karena
commit to user 71
pengetahuan itu sendiri tidak selalu konkret, juga abstrak. Untuk menjelaskan pengetahuan dibutuhkan perumpamaan yang mampu menggambarkan sebagai
sesuatu yang mesti dipahami. Penggunaan metafora di dalam suatu wacana mampu sebagai retorika untuk mengalirkan pendapat dan ide agar mudah
dipahami, yang ketika pembaca tidak tahu latar belakang sosial budayanya menjadi sangat bingung. Munculnya metafora sendiri dapat menghadirkan
suasana dengan membentuk kekuatan baru untuk terasa segar. Kemampuan retorika di dalam wuatu wacana melalui metafora akan mengarahkan pada
kemiripan yang terus berkembang dan melampaui batasan-batasan bahasa yang mulanya telah digariskan secara konvensional. Michel Foucault 2007:54-55
sendiri melihat bahwa bahasa di dalam wacana mampu merekonstruksi pengalaman bahasa baru dan benda-benda dengan kesalingpengaruhan distingsi
yang digambarkan di dalamnya.
2.3 Kontribusi Pustaka Terdahulu