commit to user 197
Anderson muncul pada awal 1970-an awal —memiliki bahasa yang unik, seperti
filsafat yang bersatu dengan teori, namun memiliki kekuatan yang luar biasa, meskipun tak sepenuhnya juga.
Matrik Rekonstruksi Wacana
Dimensi Realitas
Wacana
Ide Bacaan, realitas
Identitas Lingkup sosio-kultur
Tradisi, modern dan pasca- modern
Ruang ungkap Penyampaian Pesan
Bahasa Style
Keterhambatan Tanda, kode dan simbol
Varian
Dari matrik tersebut, dapat dicermati yang ketat dan dramatis merupakan ambivalensi berbagai kultur, yakni kultur tradisi, modern, dan pasca-modern.
Namun, ia tidak menepatkan penanda-penanda identitas tradisi dalam kemodernannya sebagai cara mencari kemungkinan baru untuk memasukki
berbagai ruang. Persentuhannya dengan media dan persebaran dari perubahan tatanan sosial banyak muncul sebagai kritik, di satu sisi juga ada upaya
menempatkan tradisi sebagai cara ungkap, pola struktur kebahasaan sebagai varian dari penyair terdahulu, bukan varian berdasarkan persentuhan dengan
realitas. Padahal, dalam
Tunjammu Kekasih
dialetika dengan realitas begitu kuat dalam menghadirkan bebagai sisi dari ruang sosial secara abstrak.
4.3.3 Wacana Religius yang Terpinggirkan Mampu Melahirkan Kuasa
Wacana religius menjadi bagian penting dalam sastra Indonesia, terutama dalam munculnya sastra sufi dan sastra profetik. Hal itu dengan ditandai oleh
beberapa sastrawan Indonesia yang menuis karya sastra memuat wacana religius,
commit to user 198
dan menjadi perbincangan. Heru Kurniawan 2009:1-5 mencatat bahwa jejak sastra sufi sebenarnya sudah mulai ada sejak abad ke -16, namun mulai banyak
ditulis pada periode 1970-an sampai 1990-an, di antaranya oleh Danarto, Sutardji Calzoum Bachri, M. Fudoli Zaini, Kuntowijoyo, Taufik Ismail, Abdul Hadi
W.M., Hamid Jabbar, Emha Ainun Nadjib, A. Mustofa Bisri, dan Ahmadun Y. Herfanda. Maraknya sastra sufi, atau lebih tepatnya puisi sufi, kususnya di
Yogyakarta pada tahun 1980-an hingga 1990-an. Sementara itu, munculnya sastra profetik dimulai dengan pandangan Kuntowijoyo dalam sebuah tulisan
Maklulat Sastra Profetik.
Adapun Abdul Wachid B.S. mulai menuliskan puisi-puisi yang memiliki wacana religius semenjak tahun 1980-an hingga sekarang.
Abdul Wachid B.S. sengaja mencantumkan esai berjudul “Religiositas Islam dala
m Sastra” di dalam buku puisi
Rumah Cahaya.
Esai tersebut seolah memperkukuh bahwa puisi yang ditulis memiliki nilai religius, meskipun dia tidak
mengkrucutkan pada karyanya sendiri. Setidaknya, esai tersebut menjadi konsep dalam menulis puisi.
Dengan demikian kesuastraan menjadi religius bila di dalamnya mempersoalkan dimensi kemanusiaan dalam kaitannya dengan dimensi
transcendental. Kesusastraan religius selalu membicarakan persoalan kemanusiaan yang bersifat profan dengan topang nilai kerohanian, yang
berpuncak pada Tuhan melalui lubuk hati terdalam kemanusiannya Wachid B.S., 1995:95-96.
Pandangan mengenai wacana religius yang dibangun oleh Abdul Wachid B.S. dapat dilihat pada sajak berjudul “Kasidah dari Negeri Hijau Mimpi” berikut
ini.
commit to user 199
Kasidah dari Negeri Hijau Mimpi Sebuah pematang lurus ke senja
Ke kedalaman jiwa Di mana matahari membiaskan impian
Impian pelangi. Hingga ke cakrawala Di situlah negeriku, di mana para pejalan
sunyi memetik mawar hari-hari yang Menyimpan keharuman masadepan yang
Tak kunjung hilang Lewat hutan tanda
Di mana orang datang orang pergi memanah harapan dan bintang, pada sayap burung
Burung yang mabuk cahaya Sebab negeriku bangkit dari kehijauan yang
Tumbuh dari senyuman sampai ke matahari Dan o, telah kau gelar negeriku
Seperti mimpi-mimpi pelangi Hingga ladang-ladang batinku
Dan kutanam doa di situ dengan keringat dan airmata
Sebab negeriku hijaunya hanya tumbuh Dalam mimpi
1992 Kasidah dari Negeri Hijau Mimpi
sebuah pematang lurus ke senja ke kedalaman jiwa
di mana matahari membiaskan impian- impian pelangi, hingga ke cakrawala
di situlah negeriku, di mana para pejalan
sunyi, memetik mawar hari-hari yang menyimpan keharuman masadepan yang
tak kunjung hilang lewat hutan tanda
di mana orang datang orang pergi memanah harapan dan bintang, pada sayap burung-
burung yang mabuk cahaya sebab negeriku bangkit dari kehijauan yang
tumbuh dari senyuman sampai ke matahari dan o, telah kau gelar negeriku
seperti mimpi-mimpi pelangi hingga ladang-ladang batinku
dan kutanam doa di situ dengan keringat dan airmata
sebab negeriku hijaunya hanya tumbuh dalam mimpi
1992
Dalam sajak tersebut, memperlihatkan tentang puisi yang memiliki wacana religius, namun lebih disebabkan oleh desakan negeri yang tak kunjung
memberikan kemakmuran. Kekuasaan dan politik dari sebuah negara menyababkan aku-lirik harus mencari masa depan lewat mimpi. Negeri yang
sebenarnya begitu subur dengan memancarkan kehijauan, namun hanya angan- angan. Aku-lirik harus berdoa agar negerinya hijau kembali.
Wacana religius yang dibangun oleh Abdul Wachid B.S. di dalam puisinya berdasarkan kegelisahan sosial. Ketika ruang publik, infrastruktur dan
suprastruktur tidak lagi memberikan ketentraman batin, maka Tuhan menjadi satu-satunya harapan atas kegelisahan. Tuhan menjadi harapan atas kesetabilan
melalui doa dan airmata.
commit to user 200
Keadaan ini menjadi logis bagi Abdul Wachid B.S. dengan adanya basis Islam dan sosio-kultur yang melatarbelakangi hingga melekat pada sistem nilai,
yang dalam proses kreatif menjadi elemen ketaksadaran, bahkan sudut pandang untuk penyelesaian konflik. Kekacauan sosial adalah konflik yang tak berkesudah,
yang menjadi dorongan untuk menyandarkan diri pada Tuhan dalam menyelesaikan masalah. Tuhan dalam keyakinan dapat memberikan ketenangann
jiwa. Keyakinan inilah yang mendasari sebagian masyarakat Indonesia tentang keberadaan Tuhan, yang seolah memberikan jawaban
—setidaknya petunjuk dalam kehidupan.
Pemahaman mengenai Tuhan sebagai petunjuk sangat disadari oleh seorang yang sedang menempuh kehidupan dan mengalami berbagai macam
probelematika karena dapat memberikan sugesti untuk melakukan perbuatan tanpa mengenal lelah. Dari itulah, puisi ditulis.
Barisan Doa Kembali menyusun barisan doa dari tangan-tangan yang dilukai
Negeri ini bulannya telah lingsir dari hati manusianya
hingga gerak jam kerja melayang menendang-nendang waktu sujud sunyi
juga gelap kegilaan menyergap setiap nafas Di jalanan
lelaki berdecak kata-kata cabul menatapi gadis datang gadis pergi
dalam mode mini dan segalanya Amerika
“Aih, inilah tuhan” gumamnya Hanya kami yang menepi, keluar
Dari segala itu Kembali menyusun barisan doa sendiri
dari tangan-tangan hingga hati sendiri Sepanjang Barat dan Timur
kami tak berjarak dalam dzikir dan pikir
commit to user 201
menyelakan jalanan waktu mereka yang telah lama padam
1987, 1990
Pada sajak berjudul “Barisan Doa” memperlihatkan dinamika masyarakat yang telah terpengaruh oleh budaya asing. Kegelisahan dari aku-lirik dimunculkan
dalam puisi, yang juga gelisah dengan mengungkapkan dzikir. Perububahan sosial yang disebabkan oleh bercampurnya kebudayaan menyebakan tata ruang
berdampak pada moralitas, dan nilai. Memang, pada periode 1980-an, perkembangan pemerintahan Indonesia
sedang mengalami era transisi urban sehingga masyarakat mengalami kegelisahan mengahdapi kemajuan zaman yang mengubah warisan leluhur. Kegelisahan itu
dialami oleh Abdul Wachid BS, dan sebagai penyair ia menyikapinya dengan menulis puisi. Dengan itu, diharapkan pembaca akan tersentak hatinya setelah
membaca kenyataan-kenyataan hidup yang serba modern, yang ternyata tidak selalu berdampak positif. Pelukisan-pelukisan mengenai kota dapat terlihat pada
puisi “Eksposisi Kota Tua –bersama Ahmad Dja‘far Sudjatmoko”, “Imaji Burung dan Lorong Kota”, “Meditasi dari Trotoar”, “Patung di Pagi Sebuah Negeri”,
“Kasidah Orang ke Pinggir”, dan “Kupu-Kupu Terperangkap Gelap”. Untuk mencapai hal itu, pemikiran Abdul Wachid BS terpengaruh ajaran
sufisme. Kalau saya amati pemikirannya tidak jauh berbeda dengan pemikiran- pemikiran penyair yang muncul tahun 1980-an. Dia mampu menangkap kejadian
di sekelilingnya melalui pendekatan diri kepada Tuhan. Pengaruh-pengaruh sufisme terlihat pada sajak “Mabuk dan Menari”, “Diam Mawar”, “Kasidah
commit to user 202
Pengambara”, “Manusia Pergi”, “Sekeliling Gelas Oleng”, dan “Ungkapan Penari”.
Penggunaan istilah-istilah sufi tersebut tidak hanya sebagai lambang atau simbol, tetapi juga pada kisah-kisanya yang merupakan kontekstualisasi dari
situasi dan kondisi tahun 1980- an. Sebagai contoh pada sajak “Manusia Pergi”
dan “Kasidah Pengambara”, mengingatkan pada kisah sufi, mereka gemar melakukan perajalanan jauh untuk menempuh kehidupan. Adapun yang dituliskan
oleh Abdul Wachid BS hanya sebagian pengalaman menempuh dan mengamati perjalannya.
Wacana mengenai sufi yang sedang populer di tahun 1980-an menjadi pandangan tersendiri dalam puisi sebagai “suara yang lain”. Puisi yang menuju
Tuhan tidak lagi dalam kadar murni tentang sebuah percintaan agung seperti yang dijalan oleh Rumi ataupun Rabiah. Rumi misalnya, menulis puisi sufi karena
mengalami secara langsung hubungan percintaan dengan Tuhan hingga mencapai peleburan. Rabiah pun demikian, walaupun substansi cinta agak berbeda, dengan
sampai memilih tidak menikah dengan siapapun karena takut bahwa Tuhan cemburu. Namun demikian, kadar kesufian yang ditulis di sini adalah perlambang
dan simbol, atas kegelisahan sosial yang begitu mendera hingga Tuhan adalah petunjuk satu-satunya.
commit to user 203
Rumah Cahaya yang Sendiri Kesendirian rumah cahaya inilah yang bangkit
Mendekap manusiaku yang senantiasa pergi Di dalamnya terngaung iguan adzan
Adzan kefakiran Apakah pasar dunia telah usai di sini?
Yang batas antara tawa manusiamu Dan yang sunyi menyanyi
Yang menegakkan sujud air mata yang Di dalamnya mengalir malaikat seperti
Sungai waktu. Menangisi pelayaran manusiamu Melewati pelabuhan-pelabuhan:
Ke sebelah Barat benak dunia O, panorama alam benda
Kesendirian rumah cahaya yang bangkit Mendekap bumi manusiaku yang begitu hibuk
Yang di kotanya menyalakan konser perempuan Perempuannya menari-nari
Dibalut tipis pakaian Musim panas. Di trotoar
Bunga-bunga yang terselip sepasang payudara Telah letih dari perlambang cinta
Aih, surga benar telah menjelma di hadapan Dalam fantasi kota malam
Begitu temeram, begitu megah dan mengerikan Apakah pasar dunia tanpa tiang akhir
Di situ? Orang datang orang pergi tanpa Manusia
Kesendirian rumah cahaya inilah yang Bangkit. Mendirikan tiang langit
Di tengah pasar Mengadzankan manusiamu ya manusiaku sampai
Ke sebelah Barat benak dunia Manusia kita
1992 Rumah Cahaya
kesendirian rumah cahaya inilah yang bangkit mendekap manusiaku yang selalu pergi
di dalamnya terngaung adzan kefakiran apakah pasar dunia telah usai di sini?
yang batas antara tawa manusiamu dan yang sunyi menyanyi
yang menegakkan sujud air mata yang di dalamnya mengalir malaikat seperti
sungai waktu, menangisi pelayaran manusiamu melewati pelabuhan-pelabuhan:
ke sebelah barat benak dunia o, panorama alam benda
kesendirian rumah cahaya inilah yang bangkit mendekap bumi manusiaku yang begitu hibuk
yang di kotanya menyalakan konser perempuan menari-nari
dibalut tipis pakaian musim panas di trotoar
bunga-bunga yang terselip payudara telah wangi kasih sayang
aih surga benar telah menjelma di hadapan dalam fantasi kota malam, begitu temeram, begitu
megah dan mengerikan apakah pasar dunia tanpa tiang akhir?
orang datang orang pergi tanpa manusia
kesendirian rumah cahaya inilah yang bangkit, mendirikan tangga-tangga langit
di tengah pasar mengadzankan manusiamu
ya manusiaku sampai ke sebelah barat benak dunia manusia kita
1992
Dalam sajak di atas ada simbol yang sulit untuk diterima secara akal sehat karena tidak ada rumah yang dapat terbuat dari cahaya. Konsep ‗rumah cahaya‘
hanya terdapat dalam filosofi Islam bahwa rumah yang juga difungsikan sebagai tempat ibadah dapat berkilau dan mendapatkan cahaya kehidupan sesuai dengan
surat An Nur. Selain dari pada itu, konsep cahaya dekat dengan petunjuk-petunjuk dari Allah terhadap kesulitan-kesulitan yang sedang dihadapi oleh manusia.
Menurut Imam al- Ghazali dalam Abdul Hadi WM 2001: 106 bahwa “Tuhan
commit to user 204
sebagai cahaya atas cahaya yang akan menuntun siapa yang Dia kehendaki kepada cahayaNya” yang jelas tidak dapat dipahami secara hardiah melalui tafsir formal.
Secara estetik, sajak “Rumah Cahaya Yang Sendiri” memiliki kebaruan-kebaruan yang mempu berpengaruh besar terhadap pembaca. Pertama mendorong pembaca
untuk senantiasa mendekatkan diri pada Allah SWT ketika menghadi berbagai macam persolan dengan bersujud air mata di atas keheningan sajadah. Dalam hal
ini, terdapat ralaitas kehidupan yang nampak akan tetapi sulit untuk dipahami apabila tidak ada penghayatan dalam diri pelaku. Kedua adalah mendorong
pembaca menghindari perbuatan hina, maksiat, jahat, sombong, takabur, dengki dan tidak terdorong hawa nafsu.
Sastra profetik tidak pernah melepaskan keterkaitan antara alam batin dan pengalaman-pengalaman yang telah dialami oleh sastrawan. Sastra profetik
mengingatkan pula pada kita, betapa pentingnya mempelajari kembali nilai hakiki agama dan politik, serta hubungan erat keduanya, dalam membangun masyarakat
dan kebudayaan Hadi WM, 2004: 23. Sastra profetik mengajak pembaca menelaah kehidupan melalui Hidayah serta Inayah-Nya sehingga cara pandang
manusia tidak hanya bertumpu pada kemampuan akal saja, tetapi lebih merupakan kesinambungan antara akal dan hati, yang memilik pegangan kokoh pada al-
Quran dan al-Sunnah. Dalam hal itu, Abdul Wachid BS meyakini bahwa puisi mampu meluruskan
beberapa jalan kehidupan yang melenceng, dengan menonjolkan nilai moral. Dengan kata lain, ia sanagat mengupayakan amanat tersalurkan dengan baik
kepada pembaca, tetapi pengungkapannya tidak dogmatis karena dia mampu
commit to user 205
memperlihatkan dinamika puitis. Cara tersebut diraihnya melalui ketaklangsungan ekspresi aku-lirik sebagai pelak
u dan narator. “Kesendirian rumah cahaya inilah yangBangkit. Mendirikan langitDi tengah pasarmengadzankan manusiamu ya
manusiaku sampaiKe sebelah Barat benak duniaManusia kita” sajak “Rumah Cahaya Yang Sendiri”. Pada ungkapan “Kesendirian rumah cahaya inilah”
merupakan presentasi kehidupan aku-lirik kepada pembaca, bahwa ia mampu mendirikan tiang langit di tengah keriuhan kota. Kata “pasar” pada konteksnya
tidak dapat ditemukan di desa. Kata “pasar” di sini tidak bermakna konotatif, yang merupaka
n simbol dari keriuhan kehidupan kota. Pertalian antara “kesendirian” dan “pasar” pada akhirnya menyebabkan hubungan paradoks, di mana tercapai
kekhusu‘an aku-lirik mencapai kegiatan spiritualnya. Pada hemat penulis, “Rumah Cahaya Yang Sendiri” adalah pelarian dari aku-lirik setelah mengetahui
efek yang ditimbulklan oleh modernisasi terhadap keberlangsungan kehidupan. Hal itu sesuai dengan konsep ajaran agama Islam, bahwa dengan mendekatan diri
kepada Tuhan, baik melalui shalat maupun amalan lainnya, akan dicerahkan mata hatinya dari kegelapan, dalam bahasa puisi dilambangkan sebagai “cahaya”. Di
dalam Al-Quran terdapat surat An-Nur yang menceritakan tentang pecerahan pemikiran manusia, eksistensi kejadian-kejadian transenden, dan Tuhan sebagai
Cahaya Maha Cahaya. Pada prinsipnya kehidupan di dunia ini, memiliki batasan- batasan dan hanya dapat dilihat dengan mata batin. Penglihatan mata batin akan
terjadi apabila seseorang memiliki kesadaran akan keberadaan dirinya dan Tuhannya.
commit to user 206
Kendati dipengaruhi oleh wacana religius, Abdul Wachid BS memiliki keunikan dalam metafora filsafat, yang selalu terngiang oleh pembaca, yaitu pada
ungkapan “Ada yang hilang saat senja”, sajak “Yang Hilang Saat Senja” dan “Sepertinya ada yang lepasSaat kau dikepung angin di jalanan”, sajak “Imaji
Burung dan Lorong Kota”. Pada ungkapan-ungkapan tersebut memiliki kebenaran semu, di mana peristiwa tersebut telah dilampaui oleh makna dan
mampu menciptakan bahasa sesuai dengan dunia. Sesunggunya metafora yang baik adalah metafora yang menimbulkan perenungan bagi pembaca, namun selalu
diingat dalam keseharian karena begitu dekat dengan kehidupan. Bagi Abdul Wachid BS dalam kumpulan sajak “Rumah Cahaya”, kekuatan metafora lebih
banyak terletak pada kerumitan bahasa. Akan tetapi, dalam kerumitan bahasa tersebut, ia berusaha keras menyampaikan nilai moral agama. Penyampaian nilai
moral cukuplah berlangsung sederhana disertai pengalaman empirikal, dalam artian tidak memperkerut pembaca lewat pemutar-balikkan kata-kata. Maka,
kesegaran ekspresi akan tetap terjaga, di suatu sisi mampu menampilkan variasi bahasa secara indah dan menyenangkan.
Matrik Transformasi: Penyair, Teks dan Pembaca
Penyair Transformasi
Wacana Pembaca
Bahasa Ungkap Simbolik
melalui metafora dan metonimi
Mengakuinya sebagai hakikat puisi, yang memang sedang popular di tahun 1980-an
hingga 1990-an mengenai puisi surealis Permainan tanda
Antara inovasi
dan konvensi
Puisi sudah seharusnya berada di antara inovasi dan
konvensi, yang
mencerminkan ada
kreativitas dari pengarang juga tetap terakui sebagai puisi
Usaha Menampilka Isi
Religius, sosial, moral Sisi ini sejalan dengan nilai-nilai kemanusiaan
yang banyak diperbicarakan dalam sastra Sudut pandangan
Partikular Pembaca akan merasa menjadi bagian dari teks
karena ia dapat saja menjelma tokoh aku, ataupun sebagai bagian dari narasi melalui
commit to user 207
kesamaan kisah Pemosisian diri
Berada dalam garis pola Pola-pola yang umum akan lebih mudah
diakui, teruntuk bagi individu kecil.
Proses transformasi teks dilakukan dalam tiga cara. Pertama, mengartikan makna verbal teks secara utuh. Teks yang memiliki sisi religius diposisikan
sebagai wacana yang memiliki konteks realitas keberagamaan di Indonesia sehingga pemahaman pembaca itu tidak hanya melulu berkutat pada tulisan,
namun juga pada kemungkinan teks berpolisemi. Ada makna-makna yang di luar pikiran dari pengarang itu muncul menjadi makna yang mesti dipahami sebagai
bagian dari teks. Pikiran pengarang terhadap teks bisa saja dikabiri oleh arah komunikasi yang membentuk ruang simbolik sehingga harus ditelusuri jejak-jejak
simbolik tersebut. Jejak-jejak tersebut menuntut adanya berbagai macam cara sebagaimana teks diposisikan sebagai representasi.
Kedua memaknai teks sebagai sebuah individu. Pembaca memahami puisi- puisi Abdul Wachid B.S. bukanlah memahami pengarang baca: pencipta.
Memahami puisi-puisi Abdul Wachid B.S. adalah memahami teks itu sendiri sebagai wacana. Fenomena-fenomena yang melingkupi puisi-puisi Abdul Wachid
B.S. dapat saja muncul dan lenyap karena berada dalam lingkup ruang dan waktu yang selalu saja memberikan lingkaran-lingkaran berdasarkan realita. Ada
tindakan yang bermakna, yang menjalin hubungan dengan teks sebagai rujukan yang ostensif. Realita membukakan kemungkinan-kemungkinan atas interpretasi
yang akan menentukan makna dalam dialektika sosial. Ketiga, puisi-puisi Abdul Wachid B.S. secara literar melibatkan horizon
potensial makna, yang dapat diaktualisasikan dengan cara yang berbeda. Puisi-
commit to user 208
puisi Abdul Wachid B.S. —pada kahikatnya—memiliki perluasan-perluasan atas
konstruks simbol yang ada di dalamnya. Potensialitas dari puisi-puisi Abdul Wachid B.S. akan muncul dari berbagai macam sisi yang berbeda. Pembaca
memiliki horizon cakrawala pikir sebagai persepsi atas simbol-simbol yang hadir di permukaan, maupun simbol yang tersembunyi. Kekuatan pembaca untuk
memberikan pembacaan terhadap teks sangat dipengaruhi oleh sosio-kultur yang melingkupinya. Antara pembaca yang satu dengan pembaca yang lainnya
memiliki arah pandang yang berbeda, yang akan saling melengkapi interpretasi, dan di sini tidak ada benar dan salah. Pembaca memiliki otoritas terhadap teks
untuk memberikan kesimpulan maupun pandangan berdasarkan pikiran dan pengalaman. Puisi-puisi Abdul Wachid B.S. memiliki beberapa sisi yang dapat
dilihat oleh pembaca sehingga memungkinkan pembacaan dengan orang lain. Pembaca harus berpegang penuh terhadap aksentuasi pikir teks.
Dari keadaan-keadaan bahasa yang telah mengkonvensi dalam kehidupan sehari-hari, kemudian dipahami berdasarkan pantulan-pantulan dari fenomena.
Transformasi menjadi bentuk teks dimungkinkan ada beberapa lingkup tertentu yang menjadikan adanya ketidaksempurnaan. Pantulan-pantulan lain yang
berimbas terhadap teks ini harus disikapi dengan jeli dan teliti sehingga terbuka paradigm tersendiri.
Adapun untuk menjelaskan teks, konsep mengenai untuk membuka keberadaan teks dalam dunia ini menjadi sangat penting. Adanya lingkaran
hermeneutis antara penjelasan dan pemahaman, serta antara pemahaman dan penjelasan tersebut harus relevan dengan ilmu pengetahuan dan ideologi karena
commit to user 209
simbol itu bergerak dalam ranah aktivitas pikir. Segala bentuk perilaku dan keseharian manusia merupakan mozaik-mozaik dari panjangnya rangkaian
ideologi yang bergerak terus-menerus.
commit to user 210
BAB V SIMPULAN DAN SARAN
5.1. Simpulan
Wacana dapat berada di mana saja, termasuk puisi. Sekalipun puisi memiliki kerumitan pada kata-kata, namun terhubung dengan tanda dalam praktik
sosial. Bahasa di dalam puisi bukan hanya sebatas satuan gramatikal, juga memproduksi pengetahuan dengan cara tertentu melihat realitas. Adapun bahasa
itu sendiri pada akhirnya dapat diposisikan sebagai media untuk mengungkapkan sesuatu yang dapat dikatakan dari yang dipikirkan oleh penyair berdasarkan cara
pandang untuk melihat kebenaran. Pada wilayah itulah, puisi terlibat dalam formasi sosial dengan ia kembali memproduksi realitas. Hal ini berlangsung
dalam puisi yang memainkan politik kebahasaan untuk berkomunikasi dengan membentuk kebenaran.
Dengan mengacu pada paparan yang termuat di dalam analisis dan pembahasan, maka ada tiga simpulan di dalam penelitian ini.
Pertama
, strategi wacana di dalam puisi-puisi Abdul Wachid B.S. terbentuk oleh politik metonimi
dan metafora. Dua politik kebahasaan ini begitu dominan, terutama di dalam buku
Rumah Cahaya
dan
Tunjamu Kekasih
, sedangkan di dalam buku
Ijinkan Aku Mencitaimu
dan
Beribu Rindu Kekasihku
lebih memainkan metafora sebagai kesegaran bahasa. Adapun di dalam buku
Yang
lebih memilih metonimi religius. Pertautan antara metonimi dan metafora itu tersembunyi dalam simbol-simbol
sehingga variasi bahasa lebih termungkinkan. Dalam bahasa yang bervariatif
210