Wacana Religius yang Terpinggirkan Mampu Melahirkan Kuasa

commit to user 197 Anderson muncul pada awal 1970-an awal —memiliki bahasa yang unik, seperti filsafat yang bersatu dengan teori, namun memiliki kekuatan yang luar biasa, meskipun tak sepenuhnya juga. Matrik Rekonstruksi Wacana Dimensi Realitas Wacana Ide Bacaan, realitas Identitas Lingkup sosio-kultur Tradisi, modern dan pasca- modern Ruang ungkap Penyampaian Pesan Bahasa Style Keterhambatan Tanda, kode dan simbol Varian Dari matrik tersebut, dapat dicermati yang ketat dan dramatis merupakan ambivalensi berbagai kultur, yakni kultur tradisi, modern, dan pasca-modern. Namun, ia tidak menepatkan penanda-penanda identitas tradisi dalam kemodernannya sebagai cara mencari kemungkinan baru untuk memasukki berbagai ruang. Persentuhannya dengan media dan persebaran dari perubahan tatanan sosial banyak muncul sebagai kritik, di satu sisi juga ada upaya menempatkan tradisi sebagai cara ungkap, pola struktur kebahasaan sebagai varian dari penyair terdahulu, bukan varian berdasarkan persentuhan dengan realitas. Padahal, dalam Tunjammu Kekasih dialetika dengan realitas begitu kuat dalam menghadirkan bebagai sisi dari ruang sosial secara abstrak.

4.3.3 Wacana Religius yang Terpinggirkan Mampu Melahirkan Kuasa

Wacana religius menjadi bagian penting dalam sastra Indonesia, terutama dalam munculnya sastra sufi dan sastra profetik. Hal itu dengan ditandai oleh beberapa sastrawan Indonesia yang menuis karya sastra memuat wacana religius, commit to user 198 dan menjadi perbincangan. Heru Kurniawan 2009:1-5 mencatat bahwa jejak sastra sufi sebenarnya sudah mulai ada sejak abad ke -16, namun mulai banyak ditulis pada periode 1970-an sampai 1990-an, di antaranya oleh Danarto, Sutardji Calzoum Bachri, M. Fudoli Zaini, Kuntowijoyo, Taufik Ismail, Abdul Hadi W.M., Hamid Jabbar, Emha Ainun Nadjib, A. Mustofa Bisri, dan Ahmadun Y. Herfanda. Maraknya sastra sufi, atau lebih tepatnya puisi sufi, kususnya di Yogyakarta pada tahun 1980-an hingga 1990-an. Sementara itu, munculnya sastra profetik dimulai dengan pandangan Kuntowijoyo dalam sebuah tulisan Maklulat Sastra Profetik. Adapun Abdul Wachid B.S. mulai menuliskan puisi-puisi yang memiliki wacana religius semenjak tahun 1980-an hingga sekarang. Abdul Wachid B.S. sengaja mencantumkan esai berjudul “Religiositas Islam dala m Sastra” di dalam buku puisi Rumah Cahaya. Esai tersebut seolah memperkukuh bahwa puisi yang ditulis memiliki nilai religius, meskipun dia tidak mengkrucutkan pada karyanya sendiri. Setidaknya, esai tersebut menjadi konsep dalam menulis puisi. Dengan demikian kesuastraan menjadi religius bila di dalamnya mempersoalkan dimensi kemanusiaan dalam kaitannya dengan dimensi transcendental. Kesusastraan religius selalu membicarakan persoalan kemanusiaan yang bersifat profan dengan topang nilai kerohanian, yang berpuncak pada Tuhan melalui lubuk hati terdalam kemanusiannya Wachid B.S., 1995:95-96. Pandangan mengenai wacana religius yang dibangun oleh Abdul Wachid B.S. dapat dilihat pada sajak berjudul “Kasidah dari Negeri Hijau Mimpi” berikut ini. commit to user 199 Kasidah dari Negeri Hijau Mimpi Sebuah pematang lurus ke senja Ke kedalaman jiwa Di mana matahari membiaskan impian Impian pelangi. Hingga ke cakrawala Di situlah negeriku, di mana para pejalan sunyi memetik mawar hari-hari yang Menyimpan keharuman masadepan yang Tak kunjung hilang Lewat hutan tanda Di mana orang datang orang pergi memanah harapan dan bintang, pada sayap burung Burung yang mabuk cahaya Sebab negeriku bangkit dari kehijauan yang Tumbuh dari senyuman sampai ke matahari Dan o, telah kau gelar negeriku Seperti mimpi-mimpi pelangi Hingga ladang-ladang batinku Dan kutanam doa di situ dengan keringat dan airmata Sebab negeriku hijaunya hanya tumbuh Dalam mimpi 1992 Kasidah dari Negeri Hijau Mimpi sebuah pematang lurus ke senja ke kedalaman jiwa di mana matahari membiaskan impian- impian pelangi, hingga ke cakrawala di situlah negeriku, di mana para pejalan sunyi, memetik mawar hari-hari yang menyimpan keharuman masadepan yang tak kunjung hilang lewat hutan tanda di mana orang datang orang pergi memanah harapan dan bintang, pada sayap burung- burung yang mabuk cahaya sebab negeriku bangkit dari kehijauan yang tumbuh dari senyuman sampai ke matahari dan o, telah kau gelar negeriku seperti mimpi-mimpi pelangi hingga ladang-ladang batinku dan kutanam doa di situ dengan keringat dan airmata sebab negeriku hijaunya hanya tumbuh dalam mimpi 1992 Dalam sajak tersebut, memperlihatkan tentang puisi yang memiliki wacana religius, namun lebih disebabkan oleh desakan negeri yang tak kunjung memberikan kemakmuran. Kekuasaan dan politik dari sebuah negara menyababkan aku-lirik harus mencari masa depan lewat mimpi. Negeri yang sebenarnya begitu subur dengan memancarkan kehijauan, namun hanya angan- angan. Aku-lirik harus berdoa agar negerinya hijau kembali. Wacana religius yang dibangun oleh Abdul Wachid B.S. di dalam puisinya berdasarkan kegelisahan sosial. Ketika ruang publik, infrastruktur dan suprastruktur tidak lagi memberikan ketentraman batin, maka Tuhan menjadi satu-satunya harapan atas kegelisahan. Tuhan menjadi harapan atas kesetabilan melalui doa dan airmata. commit to user 200 Keadaan ini menjadi logis bagi Abdul Wachid B.S. dengan adanya basis Islam dan sosio-kultur yang melatarbelakangi hingga melekat pada sistem nilai, yang dalam proses kreatif menjadi elemen ketaksadaran, bahkan sudut pandang untuk penyelesaian konflik. Kekacauan sosial adalah konflik yang tak berkesudah, yang menjadi dorongan untuk menyandarkan diri pada Tuhan dalam menyelesaikan masalah. Tuhan dalam keyakinan dapat memberikan ketenangann jiwa. Keyakinan inilah yang mendasari sebagian masyarakat Indonesia tentang keberadaan Tuhan, yang seolah memberikan jawaban —setidaknya petunjuk dalam kehidupan. Pemahaman mengenai Tuhan sebagai petunjuk sangat disadari oleh seorang yang sedang menempuh kehidupan dan mengalami berbagai macam probelematika karena dapat memberikan sugesti untuk melakukan perbuatan tanpa mengenal lelah. Dari itulah, puisi ditulis. Barisan Doa Kembali menyusun barisan doa dari tangan-tangan yang dilukai Negeri ini bulannya telah lingsir dari hati manusianya hingga gerak jam kerja melayang menendang-nendang waktu sujud sunyi juga gelap kegilaan menyergap setiap nafas Di jalanan lelaki berdecak kata-kata cabul menatapi gadis datang gadis pergi dalam mode mini dan segalanya Amerika “Aih, inilah tuhan” gumamnya Hanya kami yang menepi, keluar Dari segala itu Kembali menyusun barisan doa sendiri dari tangan-tangan hingga hati sendiri Sepanjang Barat dan Timur kami tak berjarak dalam dzikir dan pikir commit to user 201 menyelakan jalanan waktu mereka yang telah lama padam 1987, 1990 Pada sajak berjudul “Barisan Doa” memperlihatkan dinamika masyarakat yang telah terpengaruh oleh budaya asing. Kegelisahan dari aku-lirik dimunculkan dalam puisi, yang juga gelisah dengan mengungkapkan dzikir. Perububahan sosial yang disebabkan oleh bercampurnya kebudayaan menyebakan tata ruang berdampak pada moralitas, dan nilai. Memang, pada periode 1980-an, perkembangan pemerintahan Indonesia sedang mengalami era transisi urban sehingga masyarakat mengalami kegelisahan mengahdapi kemajuan zaman yang mengubah warisan leluhur. Kegelisahan itu dialami oleh Abdul Wachid BS, dan sebagai penyair ia menyikapinya dengan menulis puisi. Dengan itu, diharapkan pembaca akan tersentak hatinya setelah membaca kenyataan-kenyataan hidup yang serba modern, yang ternyata tidak selalu berdampak positif. Pelukisan-pelukisan mengenai kota dapat terlihat pada puisi “Eksposisi Kota Tua –bersama Ahmad Dja‘far Sudjatmoko”, “Imaji Burung dan Lorong Kota”, “Meditasi dari Trotoar”, “Patung di Pagi Sebuah Negeri”, “Kasidah Orang ke Pinggir”, dan “Kupu-Kupu Terperangkap Gelap”. Untuk mencapai hal itu, pemikiran Abdul Wachid BS terpengaruh ajaran sufisme. Kalau saya amati pemikirannya tidak jauh berbeda dengan pemikiran- pemikiran penyair yang muncul tahun 1980-an. Dia mampu menangkap kejadian di sekelilingnya melalui pendekatan diri kepada Tuhan. Pengaruh-pengaruh sufisme terlihat pada sajak “Mabuk dan Menari”, “Diam Mawar”, “Kasidah commit to user 202 Pengambara”, “Manusia Pergi”, “Sekeliling Gelas Oleng”, dan “Ungkapan Penari”. Penggunaan istilah-istilah sufi tersebut tidak hanya sebagai lambang atau simbol, tetapi juga pada kisah-kisanya yang merupakan kontekstualisasi dari situasi dan kondisi tahun 1980- an. Sebagai contoh pada sajak “Manusia Pergi” dan “Kasidah Pengambara”, mengingatkan pada kisah sufi, mereka gemar melakukan perajalanan jauh untuk menempuh kehidupan. Adapun yang dituliskan oleh Abdul Wachid BS hanya sebagian pengalaman menempuh dan mengamati perjalannya. Wacana mengenai sufi yang sedang populer di tahun 1980-an menjadi pandangan tersendiri dalam puisi sebagai “suara yang lain”. Puisi yang menuju Tuhan tidak lagi dalam kadar murni tentang sebuah percintaan agung seperti yang dijalan oleh Rumi ataupun Rabiah. Rumi misalnya, menulis puisi sufi karena mengalami secara langsung hubungan percintaan dengan Tuhan hingga mencapai peleburan. Rabiah pun demikian, walaupun substansi cinta agak berbeda, dengan sampai memilih tidak menikah dengan siapapun karena takut bahwa Tuhan cemburu. Namun demikian, kadar kesufian yang ditulis di sini adalah perlambang dan simbol, atas kegelisahan sosial yang begitu mendera hingga Tuhan adalah petunjuk satu-satunya. commit to user 203 Rumah Cahaya yang Sendiri Kesendirian rumah cahaya inilah yang bangkit Mendekap manusiaku yang senantiasa pergi Di dalamnya terngaung iguan adzan Adzan kefakiran Apakah pasar dunia telah usai di sini? Yang batas antara tawa manusiamu Dan yang sunyi menyanyi Yang menegakkan sujud air mata yang Di dalamnya mengalir malaikat seperti Sungai waktu. Menangisi pelayaran manusiamu Melewati pelabuhan-pelabuhan: Ke sebelah Barat benak dunia O, panorama alam benda Kesendirian rumah cahaya yang bangkit Mendekap bumi manusiaku yang begitu hibuk Yang di kotanya menyalakan konser perempuan Perempuannya menari-nari Dibalut tipis pakaian Musim panas. Di trotoar Bunga-bunga yang terselip sepasang payudara Telah letih dari perlambang cinta Aih, surga benar telah menjelma di hadapan Dalam fantasi kota malam Begitu temeram, begitu megah dan mengerikan Apakah pasar dunia tanpa tiang akhir Di situ? Orang datang orang pergi tanpa Manusia Kesendirian rumah cahaya inilah yang Bangkit. Mendirikan tiang langit Di tengah pasar Mengadzankan manusiamu ya manusiaku sampai Ke sebelah Barat benak dunia Manusia kita 1992 Rumah Cahaya kesendirian rumah cahaya inilah yang bangkit mendekap manusiaku yang selalu pergi di dalamnya terngaung adzan kefakiran apakah pasar dunia telah usai di sini? yang batas antara tawa manusiamu dan yang sunyi menyanyi yang menegakkan sujud air mata yang di dalamnya mengalir malaikat seperti sungai waktu, menangisi pelayaran manusiamu melewati pelabuhan-pelabuhan: ke sebelah barat benak dunia o, panorama alam benda kesendirian rumah cahaya inilah yang bangkit mendekap bumi manusiaku yang begitu hibuk yang di kotanya menyalakan konser perempuan menari-nari dibalut tipis pakaian musim panas di trotoar bunga-bunga yang terselip payudara telah wangi kasih sayang aih surga benar telah menjelma di hadapan dalam fantasi kota malam, begitu temeram, begitu megah dan mengerikan apakah pasar dunia tanpa tiang akhir? orang datang orang pergi tanpa manusia kesendirian rumah cahaya inilah yang bangkit, mendirikan tangga-tangga langit di tengah pasar mengadzankan manusiamu ya manusiaku sampai ke sebelah barat benak dunia manusia kita 1992 Dalam sajak di atas ada simbol yang sulit untuk diterima secara akal sehat karena tidak ada rumah yang dapat terbuat dari cahaya. Konsep ‗rumah cahaya‘ hanya terdapat dalam filosofi Islam bahwa rumah yang juga difungsikan sebagai tempat ibadah dapat berkilau dan mendapatkan cahaya kehidupan sesuai dengan surat An Nur. Selain dari pada itu, konsep cahaya dekat dengan petunjuk-petunjuk dari Allah terhadap kesulitan-kesulitan yang sedang dihadapi oleh manusia. Menurut Imam al- Ghazali dalam Abdul Hadi WM 2001: 106 bahwa “Tuhan commit to user 204 sebagai cahaya atas cahaya yang akan menuntun siapa yang Dia kehendaki kepada cahayaNya” yang jelas tidak dapat dipahami secara hardiah melalui tafsir formal. Secara estetik, sajak “Rumah Cahaya Yang Sendiri” memiliki kebaruan-kebaruan yang mempu berpengaruh besar terhadap pembaca. Pertama mendorong pembaca untuk senantiasa mendekatkan diri pada Allah SWT ketika menghadi berbagai macam persolan dengan bersujud air mata di atas keheningan sajadah. Dalam hal ini, terdapat ralaitas kehidupan yang nampak akan tetapi sulit untuk dipahami apabila tidak ada penghayatan dalam diri pelaku. Kedua adalah mendorong pembaca menghindari perbuatan hina, maksiat, jahat, sombong, takabur, dengki dan tidak terdorong hawa nafsu. Sastra profetik tidak pernah melepaskan keterkaitan antara alam batin dan pengalaman-pengalaman yang telah dialami oleh sastrawan. Sastra profetik mengingatkan pula pada kita, betapa pentingnya mempelajari kembali nilai hakiki agama dan politik, serta hubungan erat keduanya, dalam membangun masyarakat dan kebudayaan Hadi WM, 2004: 23. Sastra profetik mengajak pembaca menelaah kehidupan melalui Hidayah serta Inayah-Nya sehingga cara pandang manusia tidak hanya bertumpu pada kemampuan akal saja, tetapi lebih merupakan kesinambungan antara akal dan hati, yang memilik pegangan kokoh pada al- Quran dan al-Sunnah. Dalam hal itu, Abdul Wachid BS meyakini bahwa puisi mampu meluruskan beberapa jalan kehidupan yang melenceng, dengan menonjolkan nilai moral. Dengan kata lain, ia sanagat mengupayakan amanat tersalurkan dengan baik kepada pembaca, tetapi pengungkapannya tidak dogmatis karena dia mampu commit to user 205 memperlihatkan dinamika puitis. Cara tersebut diraihnya melalui ketaklangsungan ekspresi aku-lirik sebagai pelak u dan narator. “Kesendirian rumah cahaya inilah yangBangkit. Mendirikan langitDi tengah pasarmengadzankan manusiamu ya manusiaku sampaiKe sebelah Barat benak duniaManusia kita” sajak “Rumah Cahaya Yang Sendiri”. Pada ungkapan “Kesendirian rumah cahaya inilah” merupakan presentasi kehidupan aku-lirik kepada pembaca, bahwa ia mampu mendirikan tiang langit di tengah keriuhan kota. Kata “pasar” pada konteksnya tidak dapat ditemukan di desa. Kata “pasar” di sini tidak bermakna konotatif, yang merupaka n simbol dari keriuhan kehidupan kota. Pertalian antara “kesendirian” dan “pasar” pada akhirnya menyebabkan hubungan paradoks, di mana tercapai kekhusu‘an aku-lirik mencapai kegiatan spiritualnya. Pada hemat penulis, “Rumah Cahaya Yang Sendiri” adalah pelarian dari aku-lirik setelah mengetahui efek yang ditimbulklan oleh modernisasi terhadap keberlangsungan kehidupan. Hal itu sesuai dengan konsep ajaran agama Islam, bahwa dengan mendekatan diri kepada Tuhan, baik melalui shalat maupun amalan lainnya, akan dicerahkan mata hatinya dari kegelapan, dalam bahasa puisi dilambangkan sebagai “cahaya”. Di dalam Al-Quran terdapat surat An-Nur yang menceritakan tentang pecerahan pemikiran manusia, eksistensi kejadian-kejadian transenden, dan Tuhan sebagai Cahaya Maha Cahaya. Pada prinsipnya kehidupan di dunia ini, memiliki batasan- batasan dan hanya dapat dilihat dengan mata batin. Penglihatan mata batin akan terjadi apabila seseorang memiliki kesadaran akan keberadaan dirinya dan Tuhannya. commit to user 206 Kendati dipengaruhi oleh wacana religius, Abdul Wachid BS memiliki keunikan dalam metafora filsafat, yang selalu terngiang oleh pembaca, yaitu pada ungkapan “Ada yang hilang saat senja”, sajak “Yang Hilang Saat Senja” dan “Sepertinya ada yang lepasSaat kau dikepung angin di jalanan”, sajak “Imaji Burung dan Lorong Kota”. Pada ungkapan-ungkapan tersebut memiliki kebenaran semu, di mana peristiwa tersebut telah dilampaui oleh makna dan mampu menciptakan bahasa sesuai dengan dunia. Sesunggunya metafora yang baik adalah metafora yang menimbulkan perenungan bagi pembaca, namun selalu diingat dalam keseharian karena begitu dekat dengan kehidupan. Bagi Abdul Wachid BS dalam kumpulan sajak “Rumah Cahaya”, kekuatan metafora lebih banyak terletak pada kerumitan bahasa. Akan tetapi, dalam kerumitan bahasa tersebut, ia berusaha keras menyampaikan nilai moral agama. Penyampaian nilai moral cukuplah berlangsung sederhana disertai pengalaman empirikal, dalam artian tidak memperkerut pembaca lewat pemutar-balikkan kata-kata. Maka, kesegaran ekspresi akan tetap terjaga, di suatu sisi mampu menampilkan variasi bahasa secara indah dan menyenangkan. Matrik Transformasi: Penyair, Teks dan Pembaca Penyair Transformasi Wacana Pembaca Bahasa Ungkap Simbolik melalui metafora dan metonimi Mengakuinya sebagai hakikat puisi, yang memang sedang popular di tahun 1980-an hingga 1990-an mengenai puisi surealis Permainan tanda Antara inovasi dan konvensi Puisi sudah seharusnya berada di antara inovasi dan konvensi, yang mencerminkan ada kreativitas dari pengarang juga tetap terakui sebagai puisi Usaha Menampilka Isi Religius, sosial, moral Sisi ini sejalan dengan nilai-nilai kemanusiaan yang banyak diperbicarakan dalam sastra Sudut pandangan Partikular Pembaca akan merasa menjadi bagian dari teks karena ia dapat saja menjelma tokoh aku, ataupun sebagai bagian dari narasi melalui commit to user 207 kesamaan kisah Pemosisian diri Berada dalam garis pola Pola-pola yang umum akan lebih mudah diakui, teruntuk bagi individu kecil. Proses transformasi teks dilakukan dalam tiga cara. Pertama, mengartikan makna verbal teks secara utuh. Teks yang memiliki sisi religius diposisikan sebagai wacana yang memiliki konteks realitas keberagamaan di Indonesia sehingga pemahaman pembaca itu tidak hanya melulu berkutat pada tulisan, namun juga pada kemungkinan teks berpolisemi. Ada makna-makna yang di luar pikiran dari pengarang itu muncul menjadi makna yang mesti dipahami sebagai bagian dari teks. Pikiran pengarang terhadap teks bisa saja dikabiri oleh arah komunikasi yang membentuk ruang simbolik sehingga harus ditelusuri jejak-jejak simbolik tersebut. Jejak-jejak tersebut menuntut adanya berbagai macam cara sebagaimana teks diposisikan sebagai representasi. Kedua memaknai teks sebagai sebuah individu. Pembaca memahami puisi- puisi Abdul Wachid B.S. bukanlah memahami pengarang baca: pencipta. Memahami puisi-puisi Abdul Wachid B.S. adalah memahami teks itu sendiri sebagai wacana. Fenomena-fenomena yang melingkupi puisi-puisi Abdul Wachid B.S. dapat saja muncul dan lenyap karena berada dalam lingkup ruang dan waktu yang selalu saja memberikan lingkaran-lingkaran berdasarkan realita. Ada tindakan yang bermakna, yang menjalin hubungan dengan teks sebagai rujukan yang ostensif. Realita membukakan kemungkinan-kemungkinan atas interpretasi yang akan menentukan makna dalam dialektika sosial. Ketiga, puisi-puisi Abdul Wachid B.S. secara literar melibatkan horizon potensial makna, yang dapat diaktualisasikan dengan cara yang berbeda. Puisi- commit to user 208 puisi Abdul Wachid B.S. —pada kahikatnya—memiliki perluasan-perluasan atas konstruks simbol yang ada di dalamnya. Potensialitas dari puisi-puisi Abdul Wachid B.S. akan muncul dari berbagai macam sisi yang berbeda. Pembaca memiliki horizon cakrawala pikir sebagai persepsi atas simbol-simbol yang hadir di permukaan, maupun simbol yang tersembunyi. Kekuatan pembaca untuk memberikan pembacaan terhadap teks sangat dipengaruhi oleh sosio-kultur yang melingkupinya. Antara pembaca yang satu dengan pembaca yang lainnya memiliki arah pandang yang berbeda, yang akan saling melengkapi interpretasi, dan di sini tidak ada benar dan salah. Pembaca memiliki otoritas terhadap teks untuk memberikan kesimpulan maupun pandangan berdasarkan pikiran dan pengalaman. Puisi-puisi Abdul Wachid B.S. memiliki beberapa sisi yang dapat dilihat oleh pembaca sehingga memungkinkan pembacaan dengan orang lain. Pembaca harus berpegang penuh terhadap aksentuasi pikir teks. Dari keadaan-keadaan bahasa yang telah mengkonvensi dalam kehidupan sehari-hari, kemudian dipahami berdasarkan pantulan-pantulan dari fenomena. Transformasi menjadi bentuk teks dimungkinkan ada beberapa lingkup tertentu yang menjadikan adanya ketidaksempurnaan. Pantulan-pantulan lain yang berimbas terhadap teks ini harus disikapi dengan jeli dan teliti sehingga terbuka paradigm tersendiri. Adapun untuk menjelaskan teks, konsep mengenai untuk membuka keberadaan teks dalam dunia ini menjadi sangat penting. Adanya lingkaran hermeneutis antara penjelasan dan pemahaman, serta antara pemahaman dan penjelasan tersebut harus relevan dengan ilmu pengetahuan dan ideologi karena commit to user 209 simbol itu bergerak dalam ranah aktivitas pikir. Segala bentuk perilaku dan keseharian manusia merupakan mozaik-mozaik dari panjangnya rangkaian ideologi yang bergerak terus-menerus. commit to user 210

BAB V SIMPULAN DAN SARAN

5.1. Simpulan

Wacana dapat berada di mana saja, termasuk puisi. Sekalipun puisi memiliki kerumitan pada kata-kata, namun terhubung dengan tanda dalam praktik sosial. Bahasa di dalam puisi bukan hanya sebatas satuan gramatikal, juga memproduksi pengetahuan dengan cara tertentu melihat realitas. Adapun bahasa itu sendiri pada akhirnya dapat diposisikan sebagai media untuk mengungkapkan sesuatu yang dapat dikatakan dari yang dipikirkan oleh penyair berdasarkan cara pandang untuk melihat kebenaran. Pada wilayah itulah, puisi terlibat dalam formasi sosial dengan ia kembali memproduksi realitas. Hal ini berlangsung dalam puisi yang memainkan politik kebahasaan untuk berkomunikasi dengan membentuk kebenaran. Dengan mengacu pada paparan yang termuat di dalam analisis dan pembahasan, maka ada tiga simpulan di dalam penelitian ini. Pertama , strategi wacana di dalam puisi-puisi Abdul Wachid B.S. terbentuk oleh politik metonimi dan metafora. Dua politik kebahasaan ini begitu dominan, terutama di dalam buku Rumah Cahaya dan Tunjamu Kekasih , sedangkan di dalam buku Ijinkan Aku Mencitaimu dan Beribu Rindu Kekasihku lebih memainkan metafora sebagai kesegaran bahasa. Adapun di dalam buku Yang lebih memilih metonimi religius. Pertautan antara metonimi dan metafora itu tersembunyi dalam simbol-simbol sehingga variasi bahasa lebih termungkinkan. Dalam bahasa yang bervariatif 210