commit to user 139
digunakan oleh Abdul Wachid B.S. dan menjadi poros di dalam puisi-puisinya, yakni politik metonimi, politik metafora, dan politik simbol.
4.3.1.1. Politik Metonimi
“Metonimi bekerja dengan representasinya” begitulah tegas Jhon Fiske. Memang biasanya puisi bekerja dengan kekuatan metafora, tapi tidak dengan
upaya deskriptif mengenai tatanan “sosial lain” yang belum terbaca oleh masyarakat. Metonimi tidak bekerja sendiri, tapi ia harus melakukan rekonstruksi
realitas dalam susunan yang lain, yang tak pernah disadari secara umum dengan membentuk dialektika untuk melampaui batas-
batasnya. “Seorang perempuan berpupur gelisah di trotoar” adalah bentuk metonimi yang dalam indeksial akan
m erujuk pada “pelacur” dari eksposisi kota.
Abdul Wachid B.S. membentuk “metonimi sosial” dalam sajak “Malioboro Malamhari” seperti yang tertera berikut ini.
Malioboro Malamhari Jalan dengan Yogya malamhari, Malioboro dengan lampu-lam-
pu muram. Misalkan saja, seorang penyair dengan rambut-ram- but akar, dua kantong kosong, dan sungai kecil masasilam
menggemercik di urat darahnya. Seorang lelaki lebih liat dari kerikil jalanan. Tapi lebih lemah
dari perempuan dengan nyanyi-nyanyi kecil dan tarian dari da- pur, ke ranjang, ke ruang tamu. Lelaki itu berkeluh sepuluh
tahun mencari rumahnya yang hilang. Tubuhnya tipis tapi batu- batu, tumbuh akar kesadaran. Bahwa langit dan perempuan
sama rahasianya. Sedang ia didera sepi sekalipun membenci puisi sunyi, bahasa kosong, tanpa kerikil, tanpa ledakan.
Tambah mengental malam. Misalkan ia tidak bolak-balik Tugu alun-alun, apa malam
memberi benderang?
commit to user 140
Lengan legam oleh cat nasib, tapi tetap ia kehilangan warna siang. Pecahan rembulan, beberapa bintang masih di sakunya,
juga gemuruh laut selatan di jantung. Tatkala di hadapan:Yogya dengan tongkat ajaibnya, menyulap perutnya penuh batu-batu.
Dan matanya kunang-kunang memberi warna malam. Di seberang jalan seorang perempuan seperti putri duyung.
Mengingatkan ibunya di dusun, dengan rangkaian doa dan kembang di tangan.
1998
Sajak tersebut memperlihatkan keadaan kota Yogyakarta dengan metonimi
di Jalan Malioboro. Jalan ini seolah mewakili keberadaan Yogyakarta dalam proses urbanisasi. Penanda mengenai “lampu-lampu yang muram”
memperlihatkan terbenamnya tatanan ruang oleh kemegahan infrastruktur kota. Lampu adalah penerang, yang dalam arsitektur kota menjadi keindahan tersendiri
dalam gemerlap malam. Di pedesaan tidak banyak lampu, tapi kota berusaha membangun aktivitas sepanjang waktu sehingga sudut-sudut yang gelap harus
diberi penerang, yakni lampu. Aktivitas manusia yang padat memungkinkan bergerak di setiap waktu dengan akumulasi yang tak terhitung. Manusia susah
hidup dalam kegelapan sehingga dalam masyarakat yang beragam di perkotaan, lampu sangat dibutuhkan. Lampu di Jalan Malioboro telah popular dan dikenal
oleh kalangan luas sebagai ruang yang menyajikan keindahan kota. Aktivitas malam hari Yogyakarta banyak terpusat antara Jalan Malioboro dan alun-alun.
Aprinus Salam mengakui bahwa para penyair di Yogyakarta dulu sering melakukan aktivitas di Jalan Malioboro. Tempat ini menjadi sentral, terutama
ketika ada Umbu Landu Paranggi. Mereka sering mengadakan baca puisi bersama dan diskusi sastra.
commit to user 141
Dalam perkembangan, tidak heran jika tempat ini menjadi titik perhatian bagi Abdul Wachid B.S. dalam menulis puisi. Aktivitas dan lingkup proses
kreatifnya di Jalan Malioboro menjadikan tempat ini berkesan, sekaligus menjadi metonimi dengan adanya kesepakatan bersama: bahwa wilayah ini menjadi
aktivitas seniman; tempat yang ramai dan penting; juga terpublikasikan secara luas; dan menjadi ikon kota Yogyakarta.
Zaman, peradaban, dan ruang-waktu selalu mengalami perubahan setiap detiknya. Ada sesuatu yang tumbuh, dan ada sesuatu yang musnah. Seperti yang
Giddens ucapkan mengenai modernitas dan pascamodernitas bahwa manusia mengalami gerakan yang sewajarnya, yaitu mengalami perubahan. Gerakan
manusia secara sosiologis berpengaruh terhadap sastra, lukisan, seni plastis, dan arsitektur. Ada gerakan, maka ada yang ditinggalkan.
Metonimi bergerak pada wilayah manifestasi sublimatif karena adanya transformasi pada bentuk, isi maupun efek Fiske, 2010:36-52 Sublimasi bentuk
karena adanya keindahan yang tampak pada bentuk bahasa bila seni lain, yakni dalam wilayah lahir yang dalam pandangan mata, dan telinga tampak memiliki
keterkaitan dengan referen. Sublimasi isi karena adanya keindahan dalam hakikat terdalam, yang diwadahi bentuk untuk dinikmati dengan adanya hubungan yang
panjang. Adapun sublimasi efek karena adanya dinamisasi antara bentuk dan isi sehingga memunculkan efek untuk mempengaruhi kesadaran dalam memunculkan
persepsi pada wilayah horizon pembacaan untuk memenukan referen. Adanya sublimasi tersebut membuat metoniminisasi tidaklah sekadar indah dalam wilayah
luaran saja, namun keindahan itu masih pada wilayah dalam. Keindahan-
commit to user 142
keindahan antara luar dan dalam terjalin dalam kompleksitas yang saling mendukung sebagai aksentuasi teks. Untuk mencapai dua keindahan tersebut,
perlu adanya sublimasi dalam bentuk, isi, maupun efek. Sublimasi tersebut tampak nyata dengan adanya pola-pola baru yang interaktif di dalam teks sebagai
metonimi. Dari metonimi “Jalan Malioboro”, Abdul Wachid B.S. memainkan paradoks
dengan keadaan yang muram. Jika selama ini orang menganggap Jalan Malioboro dan alun-alun adalah kemegahan, justru dalam puisi ini dilukiskan sebaliknya.
Ruang dan distribusi budaya menjadi kritik tersendiri. Keadaan ini terbentuk oleh perubahan yang cepat dalam era pembangunan, yang juga mengubah pola pikir
masyarakat modern yang lebih mementingkan kemeriahan, namun tidak sadar pada yang hilang.
Era 1980-1990 kondisi sosial Indonesia ditandai dengan mekarnya kota menjadi modern dengan. Agus R. Sarjono 2001:181 melihat dalam keadaan itu
banyak kota yang memetropolitankan diri melalui pembangunan infrastruktur, yang berpengaruh juga pada pola tata kemanusiaan. Orientasi lebih pada politik
dan ekonomi, yang semua itu didasari oleh kebijakan pemerintah. Pada kondisi sosial yang seperti itu, penyair merindukan ruang untuk kontemplatif sebagai
bentuk kesadaran. “Tidak mengherankan jika era 80-an ditandai oleh dominannya sajak-sajak ketuhanan dan kecendrungan sufistik yang tidak jarang tiba-tiba pada
mistikisme” Sarjono, 2001:182. Pola ini terbentuk oleh ruang sosial yang membentuk formasi sehingga secara perlahan membentuk dialektika pada teks-
teks yang mereka produksi.
commit to user 143
Beberapa teks puisi yang ada dalam buku
Tunjammu Kekasih,
yang bercerita tentang kota lebih banyak diartikulasikan me
lalui metonimi. Sajak “Solo dalam Mei” yang menceritakan seorang gadis yang terlantar. Ada kritik mengenai
rumah yang hilang, padahal zaman sudah merdeka sehingga “panorama kota, seperti tangis kehilangan air mata.” Juga tentang “Senjakala di Tanah Aceh” yang
mengisahkan keadaan yang subur justru harus menangis. Abdul Wachid B.S. memulai teks-teksnya dengan metonimi yang menyebar seperti pohon yang
menyebar dengan akar dan ranting. Dia mencoba memulai dengan penanda paling sederhana, yang tampak dalam keseharian kemudian dikaitkan dengan fenomena
sehingga teks adalah keutuhan. Sajak berjudul “Kabar Kasmin bagi Istrinya” 2003a:27 memperlihatkan
hubungan desa dan kota yang terpisah. istri
di kota semua minta dibaca tapi mataku Cuma digambari kemlaratan semata
dan putusasa makin memnjara tapi, pulang begini lebih tak mungkin
seadang otakku dibayangi neraka kesepian tentu ini bukan kesunyian malam pertama
ataukah derai-derai doa? Sajak tersebut memperlihatkan kondisi sosial modern yang memisahkan
antara desa dan kota sehingga menyebabkan keterasingan. Adanya pemerintahan yang sentral menjadikan orang dari desa harus merantau ke kota untuk mengadu
nasib, namun berada di kota tidak seindah bayangan. Kisah tersebut dituliskan oleh Abdul Wachid B.S. sebagai representasi, yang tidak hanya dialami oleh satu
orang saja. Pengetahuan yang ditulis menjadi puisi tersebut juga pengetahuan dirinya yang memungkinkan merefleksikan tatanan sosial. Wacana tersebut adalah
commit to user 144
permainan metonimi, yakni hanya terfokus pada satu kisah, namun kisah tersebut muncul dalam kehidupan masyarakat. Model sajak yang demikian adalah sajak
yang berusaha untuk memberikan ruang berbicara bagi yang lain. Abdul Wachid B.S. berkisah tentang “Kabar Kasmin bagi Istrinya” sebagai medium bicara, yang
sebenarnya membicarakan orang-orang yang merantau di kota dengan nasib yang kurang lurus karena gagal dalam pertarungan kondisi modern.
Metonimi yang dibangun oleh Abdul Wachid B.S. adalah perwakilan dari kisah yang nista, tragik dan paradoks. Wilayah ini sangat ideal untuk
menggetarkan perasaan pembaca melalui puisi. Relasi sosial dan rutinitas yang berkelindan antara kota dan kemiskinan menjadikan modernitas berada pada sisi
yang ambigu. Puisi berada pada wilayah emotif yang dalam komunikasi menginginkan pembaca lebih terhanyut pada wacana yang dituliskan berdasarkan
keterlibatan indrawi. Puisi memberikan jejak yang sangat dalam pada ingatan pembaca dengan adanya kisah yang mengesankan, sementara paradoks menjadi
orang tertarik untuk mendalami lebih da lam. Dalam sajak “Kaki-kakiKecil Itu
Meluncur”, kota dan alam yang terabai, dengan sisi pembangunan yang berada dalam dunia tunggal untuk uang, telah menandai sebuah masa ketika “kaki-kaki
kecil itu tanpa alas terus meluncur berebut uang logam.” Simulasi perekonomian yang berada di wilayah utopis telah membuka sisi dramatis, sekaligus paradoks
bagi kehidupan.
Wilayah inilah
yang menjadi
pengetahuan —sebagai
pencerahan —yang pada akhirnya akan merujuk pada “kuasa” sebuah teks atas
kekuatan sosial dalam jaringan kode.
commit to user 145
Menurut Jhon Fiske 2010: 91 “kode tersusun oleh sistem pengorganisasian
dari tanda.” Kemunculan dari kode ini sudah ada aturan yang membuat kesepakatan itu terjadi. Pelaksanaan kesepakatan terbentuk melalui disiplin
masyarakat yang telah meyakini. Masyarakat terbentuk berdasarkan rangsangan wacana. Foucault 2001:17-18 melihat rangsangan wacana muncul dengan
adanya kesan dan persepsi untuk menjadikan setiap orang patuh dalam kebijakan bahasa:praktik bahasa dapat dikendalikan, bahkan melalui bidang yang sangat
kecil. Kode muncul dengan adanya kesalingterkaitan di dalam teks sehingga maksud masih dapat diterima secara luas. Selanjutnya, kode tersebut dapat
menjadi petunjuk indeks untuk menghindari keterbatasan makna. Namun, untuk menjadi indeks dan bergulir dalam simbol perlu ada
signifikasi lebih dalam pada realitas itu sendiri. Hanya saja, metonimi sering bermain dengan ekspresi untuk memunculkan ostensifikasi ketika segalanya
sudah berubah menjadi tulisan:dan realitas telah menjadi realitas yang lain dalam susunan kata-kata yang telah dibakukan:
Jika gelap mulai mencat langit Seorang perempuan berpupur gelisah di trotoar
Menghitung batu-batu Seorang laki-laki menanti pacar
Menghitung batu-batu
Bagian itu bukanlah realitas yang sesungguhnya bukan pula potretan atau cerminan, melainkan konstruksi bahasa
—dari sebuah sudut pandang—yang menandai aktivitas sosial di perkotaan mengenai malam hari, yang tak sepenuhnya
semua kota berlaku demikian. Dalam hal ini, perlu melihat bidikan lebih analitis, ketimbang membacanya sebagai fenomena sosial yang lumrah karena sistem
commit to user 146
bergerak dengan jejak- jejak dari yang “hadir” dan “tak hadir.” Identitas yang
dibangun dari teks tersebut adalah identitas kolektif, yang dilakukan secara metonimis. Rangkaian tanda itu
disusun seminimal mungkin seperti “arena bermain” bagi siapapun yang lewat dan menyukai tempat kehidupan dinyalakan
oleh segala gerak waktu yang tampak dari sebuah lubang kecil, dan itu adalah kerja dari metonimi.
Kumpulan metonimi dalam sajak “Kaki-kaki Kecil Itu Meluncur” menjadi kunci:penanda yang berkumpul dalam
langue.
Metabahasa terjadi dalam usaha untuk mendekonstruksi realitas semisal “darah tambah membasah di
headline
”, di mana kumpulan metonimi membentuk metafora dalam keadaan yang
kontradiktif sehingga menjadi kombinasi yang sangat menarik, dan yang dibutuhkan adalah pengenalan dengan konteks. Semua metonimi itu bekerja
dengan baik,
yang tak
memerlukan repetisi
untuk memberikan
penekanan: ….Kaki
-kaki kecil itu Tanpa alas terus meluncur, berebut uang
logam Hari jauh dari malam, terasa kelam
. Pernyataan itu arbitrair, tetapi dipaksakan untuk menjadi kata kunci yang menyimpan segala rahasia. Penekanan
yang kontemplatif untuk memikirkan anak-anak masa depan sebagai tulang punggung bangsa, yang kerjanya hanya berebut uang logam sebagai pencapaian
buruk dalam imaji peradaban. Abdul Wachid B.S. membuat penanda yang bergulir terus seperti waktu
yang harus disi oleh fragmen-fragmen. Di dalam teks: “
Bocah-bocah ta k henti mainkan musik jalan Surat kabar tak henti dari teriakan Darah tambah
membasah di
headline” dari sajak “Kaki-kaki Kecil Itu Meluncur” membentuk
commit to user 147
zona waktu yang perlu untuk dilihat dari peristiwanya, yaitu konteks. Ada batas yang dapat diidentifikasi mengenai kejadian yang teralienasi. Kejadian yang
sudah termuat di surat kabar pun harus dimaknai secara simbolis di dalam puisi. Relasi dengan konteks yang memilukan harus dirujuk untuk mencermati kondisi
sosial yang dipenuhi dengan kerusuhan atau tindak kriminal lainnya, namun ini bukan potret realitas, melainkan realitas tiruan. Pernyataan:
“Darah tambah
membasah di
headline” telah menjelaskan pemaknaan penyair untuk meng- “indah”-kan bahasa, juga menampilkan corak artian baru mengenai pembunuhan
yang terbiarkan. Keadaan sosial yang ditulis menjadi puisi oleh Abdul Wachid B.S. adalah
kegelisahan dirinya dalam kenyataan dan khayalan. Kepekaan terhadap kemiskinan dalam tatanan modern dituliskan dalam bentuk yang kecil, yang
seolah terpinggirkan. Ada kekuasaan besar yang mengurung kebebasan sehingga perlu untuk menulis yang kecil-kecil agar terkesan tidak menampilkan secara
keseluruhan. Dalam itu, ada permainan “ketidaklangsungan pernyataan” dengan kemungkinan terjadinya representasi. Padangan-pandangan Abdul Wachid B.S.
menjadi diterima oleh publik karena bermain dalam kategori puisi, yang dalam kesepakatan boleh membicarakan hati nurani rakyat. Penyair masih bisa bermain-
main dalam kategori imajinasi untuk membentuk wacana yang diterima sebagai makna baru. Tanpa memainkan metonimi, puisi justru akan jatuh sebagai teks
yang mampu berbicara secara terlibat:yang akan sama dengan khotbah ataupun ceramah. Justru, yang menjadi kekuatan dari puisi pun karya sastra secara umum
adalah masuk ke dalam ruang yang lebih personal dan subjektif untuk
commit to user 148
membongkar realitas. Kisah menjadi representasi yang berusaha untuk mengungkap melalui pengetahuan yang tidak terlihat oleh umum.
Metonimi tentang, kota, trotoar, dan pasar begitu berwarna dalam buku
Rumah Cahaya
dan
Tunjammu Kekasih
. Dua buku tersebut memang ditulis dalam rezim Orde Baru dengan tekanan kekuasaan modern melalui pembaharuan masa
depan lewat pembangunan. Praktik-praktik sosial yang menjadi keseharian dituturkan dalam posisi dan pola yang berbeda dari struktur birokratik. Realitas
yang bervariasi menjadikan representasi kesengsaraan tampak kental sebagai wacana yang memberikan pengetahuan. Ketidakstabilan kondisi sosial menjadi
suara yang dilantangkan untuk bergema melalui puisi. Semua itu disampikan dalam komunikasi tidak langsung untuk menjadikan makna berpandangan dan
penuh dengan inovasi.
4.3.1.2. Politik Metafora